WPAP AS A POPULAR POP ART IN INDONESIA

May 17, 2017 | Autor: Angga Kusuma Dawami | Categoría: Popular Culture, Indonesian Studies, Indonesia, Popular Arts, Pop Art, Wpap
Share Embed


Descripción

 

385 

 

386 

 

387 

WPAP AS A POPULAR POP ART IN INDONESIA Angga Kusuma Dawami Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta [email protected] Abstract Wedha’s Pop Art Portrait, the called WPAP, is the one of much visual art style in Indonesia. Wedha Abdul Rasyid is announced WPAP at his exibition for WPAP at Bentara Budaya Jakarta in October 2008. It is the beginning WPAP that coming to Popular Pop Art in Indonesia. WPAP was spread by the support community, and be more greater until now. This Paper discribe how is WPAP become a Popular Pop Art in Indonesia. That is we know that, Pop Art was injected in Indonesia after the growth Pop Art in America at 1960’s. But, I see that WPAP was become the next generation of Pop Art in Indonesia. That is why, this paper describe and analysis of WPAP as Popular Pop Art in Indonesia, and try to explain the existential of WPAP by the founder and the community as support system and the impact of economical WPAP’s artist. This paper use existential analysis of Dasein of WPAP, with hermeneutic-phenomenology as approach. WPAP’s existential will describe and analysis to be see “being of WPAP” as a Popular Pop Art in Indonesia. We will see that WPAP will be to something Popular Art and Pop Art to explain the WPAP phenomena. Keyword:WPAP, Popular Art, Pop Art, Indonesia keduanya bisa dibicarakan bahwa Pop Art menjadi merebak ke seluruh dunia. Tahun 1965, Andy Warhol mengatakan bahwa pergerakan Pop Art (Pop Art Movement) telah selesai, namun dampaknya sangat kuat sampai hari ini.Hal ini juga mempengaruhi Wedha Abdul Rasyid untuk membentuk Wedha’s Pop Art Potrait (WPAP)— dalam penulisan berikutnya menggunakan istilah WPAP— sebagai salah satu Pop Art di Indonesia. Awal mulanya adalah ketika pameran tunggal Wedha Abdul Rasyid pada 28 Oktober 2008 tentang WPAP, yang sekaligus menjadi penetapan resmi WPAP. Sebelum WPAP, didahului oleh Foto Marak Berkotak (FMB). Fenomena dari WPAP dari pengalaman Wedha dan masyarakat pendukungnya sebagai sebuah teknik, gaya desain, maupun ber-eksistensi dalam masyarakat pendukungnya, menjadi menarik untuk dikaji, disamping masih belum ada kajian tingkat tesis atau disertasi yang mengkaji tentang WPAP, kecuali tentang manajemen komunitas WPAP yang dilakukan oleh Gusti Hamdan Firmanta. Landasan konseptual WPAP yang disebarkan sebagai sebuah Pop Art, yang sampai sekarang berkembang di Indonesia, pada awalnya belum memiliki nilai-nilai budaya yang diangkat dalam gaya WPAP. Ketika kemunculan pertama sebagai sebuah Pop Art—maka menjadikan WPAP patut untuk dipertanyakan kembali eksistensinya sampai sekarang. Ada beberapa kompetisi WPAP yang mengangkat tema seperti “100 Tahun Basoeki Abdullah”, atau tema-tema kenusantaraan yang diangkat oleh seniman WPAP secara individu yang didukung oleh komunitas WPAP yang ada di beberapa kota besar, sebagai bentuk

PENGANTAR Seni rupa menjadi salah satu media dalam mengekspresikan diri melalui gambar dan lukisan. Ungkapan perasaan yang dituang dalam bidang gambar beragam bentuknya, mulai dari senang ketika melihat pemandangan kemudian menjadi lukisan pemandangan, mendeskripsikan kehidupan melalui gambar kritik, sampai menggambar orang dengan karakter khasnya seniman sendiri.Hal ini yang kemudian memunculkan gaya-gaya lukisan dalam seni rupa di dunia barat dan di Indonesia, seperti; renaisans, kubisme, dada, barok, realisme, ekspresionisme, abstrak, dan lain sebagainya (Diyanto, 2014:74). Sampai pada abad 19, salah satu gaya yang menjamur kala itu adalah Pop Art. Andy Warhol, Roy Lichtenshen, menjadi seniman yang konsisten pada gaya ini. Gambar yang kala itu populer menjadi hal yang menarik untuk diolah sesuai dengan ide mereka. Memang pada dasarnya, Pop Art merupakan lukisan dan gambar patung yang meminjam gambar-gambar dari budaya seni massa tinggi meniru seni rendah; seperti produk-produk komersial, produk-produk iklan, kliping-kliping dari koran, meskipun buku-buku komik dan pornografi juga menjadi sasaran untuk seniman pop, dimana didalamnya mengangkat materimateri vulgar ke status dari budaya 'high-brow'. Pertama kali, ikon-ikon dari budaya populer sepertinya sudah memperoleh dukungan di masyarakat yang menyaingi politisi dan pengusaha kala itu. Ini menjadi sangat memungkinkan bahwa pada zaman Elvis Presley dan Mickey Mouse, yang kemudian memunculkan seniman Pop Amerika seperti Andy Warhol dan Roy Lichtenstein, dari

 

388 

ini. Heidegger menggunakan analisa terhadap Dasein, semata-mata untuk menjawab pertanyaan tentang makna “Ada” ada yang sebenarnya (Muzairini, 2002: 98). What thus shows itself in itself ("the forms of intuition")are the phenomena of phenomenology (Heiddeger, 2010:30).

eksistensi WPAP dalam masyarakatnya. Melihat latar belakang tersebut, penelitian ini mengangkat pertanyaan tentang bagaimana eksistensi Wedha’s Pop Art Potrait (WPAP) oleh Wedha Abdul Rasyid dalam masyarakat dan komunitas pendukungnya? KERANGKA KONSEPTUAL Pengalaman-pengalaman manusia tetap terus ada selama manusia itu hidup di dunia. Kehidupan secara bertahap membentuk persepsi dari pengalaman-pengalaman yang ada pada masa lalu manusia. Seperti orang takut ke dokter dikarenakan pengalaman pertamanya ke dokter, diikuti trauma yang besar terhadap jarum suntik, disebabkan oleh ketakutannya pada jarum suntik, misalnya. Pengalaman-mengalaman ini menjadi sebuah hal yang menarik untuk dikaji karena melalui pengalaman, seseorang akan menentukan sikapnya, menentukan perbuatan dalam dirinya, dan terus mencari kebenaran yang dianggapnya benar. Pengalaman pada akhirnya membetuk apa yang ada dibalik sebuah pembentukan atas sesuatu, mengada atas sesuatu. Pengalaman yang dialami oleh banyak orang akan membentuk sebuah kesepahaman bersama tentang sesuatu tersebut. Fenomenologi merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu (Creswell, 2012:20). Berhubungan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi dengan prespektif filsafat. Hal ini berarti, dengan memperhatikan pengalaman kehidupan dalam WPAP, dari Wedha maupun dari komunitas pendukungnya, serta mengungkap tentang bagaimana eksistensi, pemikiran, dan karya WPAP oleh Wedha maupun komunitas pendukungnya dengan mempertanyakan kembali, apakah memang seperti ini, memang seperti itu. Sejalan dengan pendekatan fenomenologi, proyek utama filsafat Heidegger adalah mempertanyakan makna “ada,” dengan pertanyaannya yang terkenal, (Muzairini, 2002: 98) “mengapa ada sesuatu, bukan ketiadaan?” Dari pertanyaan tersebut, Heidegger memiliki konsep sederhana, yang sangat kompleks, yang dalam bahasa Jerman disebut sebagai Dasein dalam bukunya “Sein und Zeit”, inilah yang menjadi permasalah konseptual pertama. Bagi Heidegger, ternyata manusia adalah makhluk yang menanyakan makna tentang “Ada,” maka Heidegger memulai analisa terhadap “Dasein.” Peninjauan kembali atas eksistensi Wedha dan masyarakat pendukungnya dengan menggunakan Dasein, hal ini memberikan pandangan tentang bagaimana WPAP yang terekam dalam akhir penulisan hasil penelitian  

Gambar 1. Existential of Dasein Kerney (dalam Langdridge, 2007: 30-33) dalam bukunya Phenomenological Psychology: Theory, Research, and Method, Dasein dibentuk dari beberapa prinsip, yaitu: 1. Temporality/temporalitas: hal-hal yang terjadi dalam waktu (sehari-hari). 2. Facticity(deutsch:Faktizität)/taktisitas/kemewak tuan dan keterlemparan manusia, kenyataan bahwa manusia telah ada di dunia. 3. Mood/emosi sementara: dimana akan mempengaruhi Dasein 4. Being-towards-death/ingatan akan kematian: kematian membatasi dan menentukan posibilitas Dasein. 5. Care/perhatian: sebagai awal penjabaran Dasein dalam keseharian 6. Authenticity/keaslian: pengakuan terhadap realitas fundamen 7. Being-with/mengada-dengan: orang-orang sekitar yang membentuk Dasein. 8. Discourse/wacana: merupakan jalan yang dimana maksud dari dunia termanifestasikan dalam Dasein Delapan prisip diatas pada akhirnya menjawab bagaimana Dasein dibentuk. Kemudian pada tahap analisis data menggunakan analisis eksistensial dari Dasein-Martin Heidegger dengan menafsirkan sesuai dengan delapan prinsip Dasein di atas. PEMBAHASAN DAN HASIL Wedha, melalui WPAP, menjadi di kenal oleh masyarakat secara luas, walaupun sebelumnya sudah dikenal melalui ilustrasi “Lupus” yang terkenal di tahun 1980-an. Gaya melukis baru yang dikenalkan Wedha, WPAP merupakan sebuah hal baru bagi masyarakat awam yang membuat seni rupa memiliki corak yang berbeda dari dunia seni rupa yang sebelumnya, dimana banyak seniman yang mucul benar-benar dari dunia kesenirupaan. Walaupun menggunakan teknik digital pada pembuatan dan perkembangannya, WPAP oleh Wedha mampu membuat keterkejutan baru terhadap dunia seni visual di Indonesia.

389 

Wedha selalu percaya dengan kebutuhan dalam menuangkan hasrat kesenirupaan seseorang tidak akan pernah ada habisnya. Dimulai pada awal tahun 1992, Wedha mulai bosan untuk melukis wajah manusia secara realis yang baginya memiliki kesulitan yang tinggi. Memilih dan mencampur warna menjadi hal yang menyulitkan bagi Wedha memasuki usia empat puluh tahun. Dalam keadaan seperti ini membuat Wedha memikirkan cara melukis wajah yang lebih mudah, yang memungkinkankan untuk menghindari dari keharusan mengolah kulit manusia yang sulit. Kemudian muncul pemikiran Wedha yang membuat cara melukis sosok manusia, khususnya potret wajah dengan lebih mudah yaitu dengan mengutak-atik titik, garis dan bidang. Inilah yang menjadi embrio kemunculan WPAP. Karya-karya awal gaya ini sudah didominasi oleh bidang-bidang geometrik yang saya bentuk dengan goresan bebas (free hand stroke) dan menggunakan medium crayon. Pewarnaannya sudah meninggalkan pakem warna kulit manusia, juga dengan stroke bebas. Pembidangan pada karya ini mengikuti intuisi saya pada saat saya mengamati wajah seseorang (biasanya figur-figur terkenal di bidangnya masing-masing), melalui fotonya. Saya berusaha keras menangkap ekspresi figur yang saya hadapi lewat beberapa foto. (Rasyid, 2011:26)

Ada dorongan bathin untuk lebih menguatkan unsur garis, sesuai dengan kelengkapan sebuah komposisi, ada garis, ada bidang. Intuisi yang mendasarinya masih sama. Dengan medium poster color, garis-garis kuat ini saya terapkan ketika saya melukis wajah David Foster yang ketika itu berkunjung ke majalah kami, dan juga untuk Bob Geldof. Tapi kemudian, saya merasa tampilan gari-garis itu tidak menyatu dengan warna. Dan kalau dihubungkan dengan pewarnaan, terasa tampilan garis itu berlebihan. Warna-warna yang memang sudah berbeda, bila disandingkan otomatis akan membentuk garis pemisah sendiri, walaupun garis pemisah itu imajiner (Rasyid, 2011:28).

Gambar 3. (dari kiri) Freedy Mercury; Jack Nicholson, Whoopie Golberg. Oleh Wedha Abdul Rasyid. Sumber: Foto hasil Repro dari Wedha & WPAP (2011:29-31)

Bentuk-bentuk dengan garis yang tegas oleh Wedha, dimunculkan untuk semakin memantapkan gambar yang dibuat dalam masa FMB, 1991-2008. Sampai pada FMB bertransformasi dan dicetuskan dengan mana WPAP pada 28 Oktober 2008, bertepatan dengan pameran tunggal WPAP oleh Wedha Abdul Rasyid di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Moment inilah merupakan awal penetapan nama WPAP dan dimulainya penyebaran gaya WPAP. Pameran WPAP di BBJ menjadi ujung tombak bendera pertama pergerakan dari WPAP, didukung dengan buku Wedha&WPAP (Wedha’s Pop Art Potrait), Pop Art Asli Indonesia yang terbit di tahun 2009. Dalam buku Wedha yang merupakan ulasan singkat autobiografi, sejarah, serta teknik tersebut, dalam membuat Wedha’s Pop Art Potrait, Wedha mengemas dua bab singkat yang diakhiri dengan harapan atas WPAP untuk Indonesia. WPAP menjadi ‘ada’ oleh Wedha merupakan salah satu cara untuk memahami WPAP dari sisi fenomena baru yang muncul di Indonesia, mengapa WPAP dikenal, dan mengapa WPAP menjadi sangat digemari oleh generasi muda saat ini. Eksistensi

Gambar 2.Freedy Mercury. 1992. Wedha Abdul Rasyid. Generasi pertama FMB (Foto hasil Repro dari Wedha & WPAP (2011:27))

Embrio WPAP tersebut diberi nama Foto Marak Berkotak/FMB (Rasyid, 2011: 32), dan embrio WPAP lahir ketika Wedha saat itu bekerja menjadi ilustrator di majalah Hai. Pada generasi pertama Wedha, sudah didominasi oleh warna dan garis yang merupakan efek dari krayon gambar. Proses ini kental unsur intuisinya. Sosoknya sendiri banyak mengalami deformasi yang tafsirkan oleh Wedha dengan bentuk yang menyerupai, dan tahap ini berjalan beberapa bulan saja, sejak pertama Wedha mengembara bentuk untuk FMB.

 

390 

Wedha yang pada akhirnya memunculkan mengadanya (being) WPAP, dapat dilihat secara keseluruhan melalui asas ‘Dasein’ dari Heidegger, untuk membuat kontruksi berfikir tentang hal mendasar mengadanya WPAP. Kerney dalam Langdridge (2007: 30-33) dalam bukunya Phenomenological Psychology: Theory, Research, and Method, Dasein dibentuk dari beberapa prinsip, yaitu: 1. Temporalitas Kebutuhan Wedha akan aktualisasi diri, dimana ketika memunculkan WPAP menjabat sebagai illustrator di majalah Hai, membuat Wedha berfikir tentang identitas dirinya sebagai seorang seniman rupa terapan yang bisa memberikan kontribusi kepada negaranya. “Permainan warna, percobaan dalam berkarya, eksperiment,” kata Wedha (dalam wawancara 21 Oktober 2015), menjadi sebuah tonggak baru untuk Wedha dalam membuat karya WPAP. Ketika mencetuskan WPAP sebelum pameran, Wedha membuat karya Pop Art seperti ini. Karyakarya yang dibuat Wedha dalam keseharian ilustrasinya menjadikan dirinya bosan terhadap gambaran realis. Gradasi warna yang kompleks, disertai umur yang sudah berkepala empat, menjadikan Wedha memilih untuk mencari cara lain dalam berkarya.

3. Mood atau emosi Kecenderungan terhadap garis, pencarian jati dirinya sebagai illustrator, menjadikan Wedha senang terhadap eksperimen karya yang diciptakannya. Setiap kali menikmati proses menggambarnya, Wedha terus menerus membuat inovasi dengan karyanya, serta meyakinkan dirinya, bahwa apapun yang dikatakan orang, dia akan teguh pada pendiriannya. Kesenangan terhadap bentuk-bentuk geometri, kerangka bangunan, dan pertabrakan warna, menjadikan WPAP dicetuskan. 4. Being-towards-death atau ingatan akan kematian Kesadaran Wedha terhadap masa depan, membuat Wedha memikirkan tentang bagaimana kelanjutan WPAP sepenginggal dirinya. Kebutuhan perkembangan, agar kebanggan terhadap WPAP sebagai sebuah seni visual, membuat Wedha sepakat dengan adanya bentuk pembelajaran secara massal dengan menggunakan komunitas. Komunitas inilah yang juga langsung disepakati Wedha sebagai ujung tombak dalam menyebarkan WPAP. Mengada dari WPAP, memberikan pengetahuan baru bahwa WPAP juga diperkirakan oleh pencetusnya, Wedha, mengalami dilusi dalam keberjalanan di masa mendatang. Wedha (Rasyid, 2009:40) mengatakan dalam bukunya, bahwa “…saat ini saya berkewajiban untuk meluaskan gaya ini dalam bentuk buku kepada semua orang, agar ada yang melanjutkan kelak bila saya sudah tiada.” Pengingat ini menjadi pesan yang menyatakan bahwa ingatan akan mati terhadap mengada-nya WPAP telah di akomodir dengan menghadirkan buku teknis dalam pembuatan WPAP. 5. Care atau perhatian Rasa senang terhadap bidang-bidang geometri yang terangkat semenjak kecil, membuat Wedha memberikan banyak perhatian kepada WPAP. Kegelisahan, kebosanan Wedha terhadap apa yang dikerjakan ketika menjadi illustrator di majalah Hai, terjawab ketika WPAP muncul sebagai sebuah solusi yang sudah lama dipendam oleh Wedha dari tahun 1990-an. Hal ini ditambah dengan factor usianya yang memasuki umur 40an, pemilihan warna pada gambar realis tidak menjadi mudah, malah menjadi semakin kabur. Perhatian pada kegelisahan, kebosanan dalam berkarya ilustrasi di majalah Hai, menjadikan Wedha berfikir untuk memunculkan WPAP sebagai sebuah capaian diri. 6. Authenticity atau keaslian

Gambar 4.Gambar tanpa judul, dokumentasi Pribadi Wedha. 2007. (Gambar dokumentasi pribadi Wedha Abdul Rasyid, 2007)

Ini menunjukkan dalam pencarian dirinya terhadap Pop Art dalam WPAP, Wedha mencoba menampilkan pemikirannya terhadap hal-hal yang bersinggungan dengan Pop Art. Menampilkan sesuatu yang populer, dikenal oleh banyak orang, dan hal-hal yang dikenal banyak orang. 2. Faktisitas/Facticity (deutsch:Faktizität) Masa lalu Wedha sebagai mahasiswa Arsitektur Universitas Indonesia, mendukung kemampuan dirinya dalam berkarya dengan menggunakan bidang-bidang tegas, walaupun pada akhirnya dia menekuni segala gaya gambar yang dibutuhkan dalam ilustrasinya. WPAP dicetuskan tidak dalam keadaan yang tidak sadar. Wedha memberikan waktunya untuk memikirkan hal tersebut sebagai sebuah teknik menggambar yang baru berupa WPAP.  

391 

dan didukung oleh masyarakat pendukungnya. Pengembangan-pengembangan terhadap WPAP diharapkan terus hadir dalam mewujudkan impian Wedha. “…dengan mempelajari dan memahami gaya ini, akan terbuka peluang yang luas bagi setiap orang untuk bisa menemukan lagi trobosantrobosan baru… (Rasyid, 2009:109),” kata Wedha. WPAP menjadi terbuka bagi siapapun yang ingin mempelajari, dan setiap orang berhak menggunakan WPAP sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh Wedha. Delapan pripsip Dasein ini memberikan penjelasan tentang bagaimana WPAP dimunculkan oleh Wedha. Pada kemudian hari, setelah Wedha mencetuskan WPAP, Wedha cenderung membiarkannya berkembang, agar menjadi potensi bagi masyarakat luas untuk menggunakan, mengembangkan, dan membuat pengaruh baru terhadap seni rupa Indonesia melalui masyarakat pendukungnya. Masyarakat pendukungnya juga sadar akan hal ini, sehingga terjadi saling kerjasama antara Wedha dan masyarakat pendukungnya untuk membuat eksistensi WPAP secara luas, dengan memperkenalkan, menanamkan ide, dan menunjukkan bahwa apa yang mereka buat adalah WPAP melalui media apapun. KESIMPULAN WPAP meniti jalannya sebagai sebuah tonggak keberjalanan seni visual dengan teknik grafis yang ada di Indonesia di era 2000-an. Pengalaman Wedha dalam berkesenian, membuat Wedha mampu memunculkan tonggak WPAP-nya, sebagai sebuah repertoar, diantara membuat karya dengan teknik dalam membuat seni grafis di Indonesia. Sebuah teknik seni grafis yang banyak digandrungi oleh banyak anak muda yang banyak berkembang dalam dunia digital yang mengusung wacana ke-Indonesiaan, sebagai sebuah gaya yang lahir dari orang Indonesia dengan eksistensi dirinya sendiri dalam mencetuskan WPAP sebagai sebuah Pop Art. WPAP mengada karena keinginan Wedha dalam mencetuskan WPAP sebagai sebuah warna baru dalam Seni Populer di Indonesia. Wedha sebagai pencetusnya, memberikan gambaran dan penjelasan tentang bagaimana WPAP dibuat, bagaimana menggunakan aturan warnanya, bagaimana memulainya, memilih bahannya. Hampir semua masyarakat awam memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap sebuah seni visual baru yang mudah diterima di masyarakat, dan dengan mudah bereksistensi dengan caranya sendiri. WPAP, senada dengan seni populer yang ada di Amerika, mencoba memberikan eksistensinya melalui kepopulerannya.

Komunitas komunal yang terbentuk karena WPAP, yang oleh orang komunitas dinamankan WPAPers—pembuat WPAP, menjadikan pengakuan terhadap WPAP menjadi kuat. Komunitas ini tidak berdasarkan ikatan darah, maupun paksaan untuk ikut dalam komunitas untuk melestarikan ‘ada’ dari WPAP, sebagai bentuk eksistensi yang terus-menerus ada. Mereka membuat sebuah pengakuan bahwa memang WPAP merupakan Pop Art yang ada di Indonesia. Hal ini didukung dari buku yang dikeluarkan Wedha berupa “Wedha&WPAP, Pop Art asli Indonesia.” Walaupun terjadi perdebatan apakah memang sebuah gaya atau aliran itu bisa dikatakan ‘asli’ atau tidak asli. Wedha lebih memilih untuk menetapkan WPAP sebagai hasil eksperimen pribadinya, dimana nama Pop Art hanya tersemat sebagai bagian yang disesuaikan dengan aliran yang berkembang di dunia, yaitu Pop Art. 7. Being-with atau mengada-dengan Banyak orang-orang yang disekitar Wedha mengatakan bahwa karya seperti WPAP belum ada yang memberikan label, dengan nama lain dengan karya yang seperti WPAP oleh Wedha. Agum Gumelar, dosen sekaligus pemberi semangat Wedha dalam membentuk pemikiran Wedha untuk mengukuhkan WPAP sebagai sebuah karya yang memang berasal dari Wedha. Risman Marah, yang juga memberikan buku yang berjudul Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern karangan Soedarso SP, sebagai keputusan Wedha yang pada akhirnya menamakan gayanya sebagai WPAP. Efix Mulyadi dan Agus Darmawan T, juga memberikan semangat terhadap Wedha untuk memunculkan WPAP, terutama ketika pameran WPAP di Bentara Budaya Jakarta diadakan pada 28 Oktober 2008. Dukungan dari komunitas WPAP dari berbagai Chapter di Indonesia, juga memberikan semangat terhadap Wedha untuk terus menerus menyebarkan gaya ini melalui banyak hal, termasuk kelas WPAP di beberapa Chapter, gathering dengan Wedha, dan kegiatan lain yang mendukung berkembangnya WPAP di dunianya. Komunitas WPAP memberikan sumbangsih besar dalam perkembangan gaya ini melalui dunia nyata maupun maya. 8. Discourse atau wacana Kepercayaan terhadap kematian dirinya, pakem terhadap gaya WPAP yang diciptakan, membuat Wedha berfikir kembali tentang bagaimana kelanjutan WPAP kedepannya. Keinginan dirinya untuk memunculkan WPAP sebagai Pop Art untuk Indonesia, sangat terasa,  

392 

DAFTAR PUSTAKA Creswell, John W. (2012). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Terj. Achmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Heiddeger, Martin. (2010). [Sein und Zeit] English:Being and Time, terj. Joan Stambaugh. New York: State University of New York Press. James, Jamie. (1996). Pop Art. Singapura: Borders Press, hlm. 5-6. Langdridge, Darren. (2007). Phenomenological Psychology: Theory, Research, and Method. Glasgow: Bell and Bain Ltd. Lippard, Lucy R. (1991). Pop Art. London: Thames and Hudson Ltd. Muzairi. (2002). Eksistensialisme Jean Paul Satre: Sumur tanpa Dasar Kebebasan Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rasyid, Wedha Abdul. (2009). Wedha & WPAP, Pop Art Asli Indonesia (1sted.). Jakarta: Elex Komputindo Kompas Gramedia. Sugiharto, Bambang Ed. (2014). Untuk Apa Seni? Bandung: Pustaka Matahari. DAFTAR NARASUMBER Gilang Bogy (22), 2016, seniman WPAP, WPAP Chapter Solo. Gusti Hamdan Firmanta (28), 2016, dosen Desain Komunikasi Visual Universitas Pembangunan Nasional "Veteran", JawaTimur. Itock Soekarso (38), 2016, Ketua Komunitas WPAP Jakarta. Bintaro, Jakarta Selatan

 

393 

Lihat lebih banyak...

Comentarios

Copyright © 2017 DATOSPDF Inc.