Urgensi Intensifikasi Transportasi Publik

Share Embed


Descripción

Urgensi Intensifikasi Transportasi Publik Sebuah Opini: Dikepung "Mesin Berjalan" Masalah utama yang mengintai beberapa kota besar di Indonesia adalah serbuan kendaraan dari berbagai penjuru yang menyebabkan pergerakan menjadi lambat, bahkan sangat lambat. Kondisi itulah yang disebut dengan kemacetan. Kota Jakarta sudah bertahun-tahun mengalami permasalahan ini. Akan tetapi, sudah bertahun-tahun pula masalah tersebut tidak juga teratasi. Bahkan, kemacetan yang terjadi semakin menjadi-jadi. Kini, kemacetan juga menghantui kota-kota lainnya di Indonesia, seperti Surabaya, Medan, dan sebagainya. Bahkan, Kota Yogyakarta yang sebenarnya terhitung bukan kota metropolitan besar, mulai merasakan kondisi kemacetan lalu lintas tersebut di beberapa titik. Banyak hal yang menjadi akar permasalahan kemacetan ini. Kepemilikan kendaraan pribadi yang sangat mudah hanya bermodal kartu identitas merupakan salah satu penyebabnya. Kondisi tersebut merupakan sebuah serbuan industri otomotif yang tidak dapat dihalau pemerintah Indonesia. Tidak dapat dihalau karena transportasi umum sebagai solusi, tidak dapat disediakan secara memadai oleh pemerintah, sementara mobilitas masyarakat semakin tinggi. Walaupun sebenarnya, tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini juga terkait dengan gaya hidup masyarakat di kota-kota besar yang lebih "nyaman" menggunakan kendaraan pribadi mewahnya. Pertambahan jumlah kendaraan di suatu kota dikatakan menjadi sebuah pertanda pertumbuhan ekonomi kota tersebut. Berarti, dapat juga diartikan bahwa kemacetan yang terjadi akibat peningkatan volume kendaraan yang berseliweran di suatau kota juga merupakan indikator peningkatan ekonomi tersebut. Mungkin, hal tersebut ada benarnya, karena intensitas pergerakan barang/jasa dan aktivitas masyarakat yang semakin tinggi. Kota Yogyakarta, misalnya, sebagai salah satu kota wisata, jalan-jalan kota pada hampir setiap akhir pekan dan musim liburan tiba selalu diserbu kendaraan dari berbagai daerah. Geliat ekonomi, bahkan sampai tingkat yang paling rendah, tukang becak dan pedagang asongan misalnya, sangat terasa pada saat-saat seperti itu. Akan tetapi, untuk kota-kota yang diserang kanker kemacetan stadium lanjut karena setiap hari mengalaminya, hal ini bukan pertanda indikator peningkatan ekonomi kota. Hal yang terjadi justru adalah penurunan produktivitas masyarakat karena waktu habis dimakan lamanya perjalanan. Belum lagi, masalah polusi udara yang merusak kesehatan kota dan warganya, polusi suara, stress, dan masalah lainnya menghantui kita semua. Lalu, apa solusinya ? Salah satu hal yang marak diperbincangkan kini dan dianggap sebagai solusi adalah peningkatan kapasitas jalan-jalan di kota. Artinya, pelebaran dan perpanjangan jalan, bahkan pembangunan jalan baru berupa jalan layang misalnya, dianggap sebagai solusi mutakhir yang dapat mengatasi kemacetan. Mungkin lebih tepatnya, "mengurai" kemacetan. Artinya, kemacetan yang terjadi di ruas jalan yang satu, diuraikan dan dibagi-bagi ke ruas jalan yang lain, agar arus lalu lintas "terlihat" lebih lancar. Jika ditelaah lebih mendalam, apakah benar hal tersebut merupakan solusi kemacetan ? Bukankah terlihat seperti "sulapan" yang ingin membuat semuanya teratasi secara instan tapi kemudian memunculkan bibit-bibit kemacetan baru ? Mau macet lagi ? Sampai kapan ? Pertanyaan lain yang menggelitik dari hal yang dianggap sebagai solusi di atas, yakni apakah Anda akan menyeberang jalan hanya untuk membeli sesuatu di toko depan menggunakan mobil atau motor, mengingat jarak yang jauh karena pelebaran ? Jika tidak, mungkin Anda harus ekstra hati-hati ketika menyeberang. Karena

jalan tersebut tidak lagi diciptakan untuk kita (manusia), tetapi untuk "mesin berjalan". Apakah lambat laun Anda juga akan menyerahkan posisi Anda sebagai warga kota kepda "mesin berjalan" tersebut ? Saya yakin jawaban kita akan sama, tetapi perbuatan kita yang membedakan.

Sebuah Elaborasi: Urgensi Intensifikasi Transportasi Publik Perkembangan kota yang tak terkontrol dan melebar kemana-mana (sprawl) menimbulkan banyak masalah. Berdasarkan Survei Arterial Road System Development Study (ARSDS) pada tahun 1985 yang dirilis oleh P2E LIPI (2007), sebanyak 13 juta perjalanan dilakukan oleh warga Jakarta setiap hari. Kemudian, pada tahun 2002 tercatat bahwa terjadi peningkatan terhadap jumlah perjalanan tersebut sekitar 30%, sehingga menjadi sekitar 17 juta perjalanan (Study on Integrated Transportation Master Plan/SITRAMP dalam P2E LIPI, 2007). Jumlah perjalanan tersebut belum lagi ditambah dengan perjalanan yang dilakukan oleh para penglaju dari luar Jakarta. Setiap tahun hingga tahun 2013 ini, jumlah perjalanan tersebut tentu terus bertambah. Jumlah kendaraan pribadi yang lebih banyak dibanding kendaraan umum juga memperparah keruwetan transportasi di Jakarta. Menurut Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (2007), terdapat ketimpangan yang besar dalam perbandingan antara jumlah kendaraan pribadi dan kendaraan umum di Jakarta. Jumlah kendaraan pribadi mencapai 98%, sedangkan kendaraan umum hanya 2%. Padahal jumlah orang yang dapat diangkut oleh setiap unit kendaraan umum lebih banyak dari pada jumlah orang yang diangkut kendaraan pribadi. Kondisi tersebut seakan menunjukkan ketergantungan terhadap kendaraan pribadi merupakan suatu hal yang lumrah karena kebutuhan akan mobilitas kian meningkat, tetapi sarana transportasi publik minim. Menurut Halim (2008), setidaknya ada dua 'subsidi' yang mendorong orang untuk mengendarai kendaraan pribadi dibanding menggunakan moda transportasi publik. Pertama, jasa privat dalam hal ini mengendarai kendaraan pribadi dengan BBM bersubsidi yang dibayar oleh anggaran publik. Padahal, setiap liter BBM bersubsidi tersebut tentunya akan menggeser prioritas sektor publik yang dibutuhkan oleh masyarakat luas seperti pendidikan dan kesehatan. Kedua, biaya sosial yang tidak dibayar oleh para pengendara kendaraan pribadi. Pengendara hanya membayar biaya yang diperlukannya untuk mengoperasikan kendaraan, sementara biaya sosial seperti biaya atas polusi dan kemacetan lalu lintas tak dibayar oleh mereka. Akan tetapi, hal tersebut tentu bukan alasan untuk membenarkan ketergantungan terhadap kendaraan pribadi, karena tak dapat dipungkiri kondisi itu kemudian membawa pada masalah yang lebih kompleks lagi. Semakin meningkatnya jumlah kendaraan pribadi tersebut tentu berimbas pada masalah kemacetan dan tuntutan penyediaan prasarananya, yaitu jalan. Telah banyak solusi diambil untuk menanggulangi kemacetan yang terjadi akibat kendaraan pribadi tersebut. Sayangnya, hal yang dianggap solusi tersebut adalah pembangunan jalan layang atau jalan TOL. Dari tabel di bawah, dapat dilihat pembangunan jalan TOL yang terus dilakukan dari tahun ke tahun dengan alasan memperlancar arus kendaraan. Jangankan memperlancar, yang terjadi justru memicu semakin banyaknya kendaraan bermotor tersebut dan menimbulkan kemacetan di jalan TOL itu sendiri. Belum lagi langit-langit Kota Jakarta yang kini berhias beton-beton TOL tersebut menghalangi sinar matahari ke bagian bawah. Ruang-ruang di bawah jalan layang atau TOL menjadi naungan saudara kita yang tunawisma dan tak jarang menjadi sarang kriminalitas. Sungguh merusak wajah kota. Pembangunan jalan TOL tersebut juga menyebabkan perkembangan kota yang semakin melebar kemana-mana. Mengapa demikian ? Karena dengan pembangunan TOL tersebut seolah dibuat nyaman untuk berpergian jarak jauh, sehingga bukan suatu masalah jika rumah Anda di Bekasi tetapi berbelanja kebutuhan mingguan di Jakarta.

Tabel 1. Pembangunan Jalan Tol di Jakarta Panjang (km) Tahun Pembuatan

No

Ruas Jalan Tol

1

Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi)

59

1973-1978

2

Jakarta-Tangerang

33

1984-1992

3

Jakarta-Ciakmpek

72

1988

4

JORR Selatan Taman Mini)

14.25

1990

5

Prof. Dr. Sedyatmo

14.3

1991

6

Ir. Wiyoto Wiyono

15.5

1991

7

JORR E2 (Cikunir-Cakung)

9.7

1991

8

Pluit-Ancol-Jembatan Tiga

11.55

1995

9

JORR E1 Selatan (Taman MiniHankam Raya)

5.3

2002

10

JORR W2 Selatan (PondokpinangVeteran)

2.4

2003

(Pondokpinang-

Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Jalan_tol, diolah 2013

Masalah lainnya, antara lain: kerusakan lingkungan, terutama meningkatnya polusi dan ketergantungan pada bahan bakar fosil; meningkatnya resiko kecelakaan lalu lintas; meningkatnya biaya transportasi karena warga pinggir kota menghabiskan sebagian besar penghasilannya hanya untuk transportasi. Warga Bekasi yang bekerja di Jakarta dengan menggunakan mobil pribadi menghabiskan rata-rata Rp 2.000.000,00 per bulan atau 2x upah minimum DKI Jakarta 2008 yang sebesar Rp 972.604,80 (sumber data : diintisarikan dari Halim, 2008). Dalam UU No. 22 tahun 2009, keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan diartikan sebagai suatu keadaan tehindarnya setiap orang dari resiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan dan/atau lingkungan. Keselamatan transportasi di Indonesia juga nampaknya masih menjadi perhatian besar. Tingginya tingkat kecelakaan menjadi penyebabnya. Menurut Departemen Perhubungan, isu yang menjadi penyebab tingginya tingkat kecelakaan tersebut di antaranya adalah isu sumber daya manusia (human resources issues), isu fasilitas (facility issues), dan isu infrastruktur (infrastructure issues). Dari tabel di bawah ini dapat diketahui bahwa sebesar 2,91% dari PDB (Produk Domestik Bruto) Nasional hilang akibat kecelakaan lalu lintas per tahun. Tabel 2. How Much is National Loss? (estimated) Condition Numbers of victim Total cost (million Rp) Fatal 30.464 9.972.037 Serious 450.000 9.614.672 Slight 2.100.000 12.772.448 PDO 13.515.000 9.036.899 Total 41.396.056 PDB 1.427.000.000 % PDB 2,91 Sumber: http://www.dephub.go.id Melihat perkembangan kota seperti sekarang ini, yakni kota dengan morfologi pertumbuhan kota menyebar (leapfrog development) karena disebabkan pembangunan jaringan transportasinya, dan hal tersebut banyak memiliki efek negatif seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, maka perlu suatu strategi untuk menghentikan perembetan “tumor” kota akibat transportasi tersebut. Perlunya suatu pengelolaan transportasi yang mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan transportasi pribadi. Distribusi ruang untuk perumahan, pekerjaan, pendidikan, pusat belanja, rekreasi dan kegiatan lainnya atau yang biasa ditentukan oleh zonasi kawasan menentukan rata-rata jarak perjalanan dalam transportasi perkotaan.

Tingkat kepadatan populasi yang tinggi dan menggabungkan berbagai zonasi untuk bermacam fungsi (mixed use) dapat mempertahankan jarak yang dekat antara asal dan tujuan perjalanan warga kota. Pada sisi lain, pengembangan kota dengan tingkat kepadatan yang rendah, lokasi antar zonasi fungsi berjauhan, dan bidang jalan yang besar akan meningkatkan jarak perjalanan dan mendorong porsi perjalanan kendaraan bermotor yang lebih tinggi. Dengan mempengaruhi struktur ruang lokasi di lingkungan perkotaan, perencanaan zonasi (guna lahan) bisa membantu menurunkan jarak yang ditempuh dan mendukung porsi transit yang tinggi. Pengembangan yang padat dan mixed use menjadi daya tarik bagi orang untuk berjalan kaki atau naik sepeda. Ini merupakan mode transportasi yang paling ramah lingkungan.

Mayang Rahmi Novita Sari Referensi Pusat Penelitian Ekonomi LIPI. (2007). Biaya Kemacetan Lalu Lintas. http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=314252&kat_id=16, diakses pada 25 Juni 2013 Halim, DK. 2008. Psikologi Lingkungan Perkotaan. Jakarta : Bumi Aksara http://www.dephub.go.id

Lihat lebih banyak...

Comentarios

Copyright © 2017 DATOSPDF Inc.