Proposal Penelitian

September 23, 2017 | Autor: Tira Septiana Sejati | Categoría: Pendidikan Matematika, PENELITIAN PENDIDIKAN MATEMATIKA, Metodologi Penelitian, Proposal Penelitian, FKIP Matematika
Share Embed


Descripción









116

"Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas X SMAN 1 Rawamerta Melalui Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)"

PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat penilaian pada mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan Matematika


Di susun oleh:
Andini Mardalena (1141172105033) B
Disam (1241172105110) D
Eka Julyani Putri (1241172105164) D
Emah Hujaemah Wijaya. K. (1241172105026) A
Santi Sarifah (1241172105122) D
Tira Septiana Sejati (1241172105108) D
Semester 5 (lima)

Dosen Pengampu:
Dori Lukman Hakim, S.Pd., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2014


HALAMAN PENGESAHAN

Proposal penelitian yang berjudul "Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas X SMAN 1 Rawamerta Melalui Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)"
Yang disusun oleh:
Andini Mardalena (1141172105033)
Disam (1241172105110)
Eka Julyani Putri (1241172105164)
Emah Hujaemah Wijaya. K. (1241172105026)
Santi Sarifah (1241172105122)
Tira Septiana Sejati (1241172105108)
Telah memenuhi syarat sebagai salah satu tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan Matematika.


Dosen Pengampu



Dori Lukman Hakim, S.Pd., M.Pd.

LEMBAR PERNYATAAN

Judul : "Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas X SMAN 1 Rawamerta Melalui Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)"
Yang bertandatangan di bawah ini kami:
Menyatakan bahwa proposal penelitian ini benar-benar karya kami sendiri dan sepanjang pengetahuan kami tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali pada bagian-bagian tertentu yang kami ambil sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Karawang, Desember 2014

Ketua



Tira Septiana Sejati
NPM. 1241172105108

Anggota



Andini Mardalena
NPM. 1141172105033
Anggota



Disam
NPM. 1241172105110
Anggota



Eka Julyani Putri
NPM.1241172105164
Anggota



Ema Hujaemah W.K
NPM.1241172105026

Anggota



Santi Sarifah
NPM. 1241172105122



KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil'alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul "Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas X SMAN 1 Rawamerta Melalui Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)".
Kami menyadari bahwa dalam penulisan proposal penelitian ini tidak lepas dari bimbingan, arahan dan bantuan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada:
Dori Lukman Hakim, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan Matematika, yang telah membimbing kami dalam penyusunan proposal penelitian ini.
Teman-teman kelas 5D, yang telah memberikan dukungan dan bantuan terhadap kami dalam proses penyusunan proposal penelitian ini.
Semua pihak yang telah memberikan motivasi, membantu pelaksanaan penelitian serta penyempurnaan proposal penelitian baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Kami menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki karya-karya berikutnya. Semoga karya ini bermanfaat bagi semua pihak.


Karawang, Desember 2014


Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
HALAMAN PENGESAHAN 2
LEMBAR PERNYATAAN 3
KATA PENGANTAR 4
DAFTAR ISI 5
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Masalah 7
I. 2. Batasan Masalah 10
I. 3. Rumusan Masalah 10
I. 4. Tujuan Penelitian 11
I. 5. Manfaat Hasil Penelitian 11
I. 6. Definisi Operasional 12
I. 7. Hipotesis 12
KAJIAN PUSTAKA
II. 1. Hakikat Penalaran Matematik 14
II. 2. Pendekatan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 19
METODE PENELITIAN
III. 1. Pendekatan dan Metode Penelitian 32
III. 2. Desain Penelitian 33
III. 3. Tempat Penelitian 34
III. 4. Sampel Sumber Data Penelitian 34
III. 5. Instrumen Penelitian 35
III. 6. Instrumen Tes 36
III. 7. Instrumen Non Tes 39
III. 8. Teknik Pengumpulan Data 40
III. 9. Teknik Analisis Data 42
III. 10. Indikator Kinerja 43
III. 11. Prosedur Penelitian 44
III. 12. Jadwal Pelaksanaan Penelitian 47
DAFTAR PUSTAKA 48
Lampiran 1 Jurnal Internasional 50
Lampiran 2 Jurnal Nasional 66
Lampiran 3 Instrumen Tes 92
Lampiran 4 Instrumen Non Tes 93
Lampiran 5 Kisi–kisi Indikator Kemampuan 101
Lampiran 6 Kisi–kisi Indikator Materi Pelajaran 102
Lampiran 7 Hasil Uji Coba Instrumen 103
Lampiran 8 Nilai Validitas 105
Lampiran 9 Nilai Reliabilitas 112
Lampiran 10 Nilai Indeks Kesukaran 114
Lampiran 11 Daya Pembeda 117
Lampiran 12 Gejala Pusat (Mean, Median, Modus, Varians, Rentang, Standar Deviasi) 119


BAB I
PENDAHULUAN


I. 1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu aspek dalam kehidupan ini yang memegang peranan penting. Suatu negara dapat mencapai sebuah kemajuan jika pendidikan dalam negara itu baik kualitasnya. Tinggi rendahnya kualitas pendidikan dalam suatu negara dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya dari siswa, pengajar, sarana prasarana, dan juga karena faktor lingkungan. Salah satu mata pelajaran di sekolah yang dapat mengajak siswa untuk mengasah kemampuannya adalah matematika. Menurut Erman Suherman (2003: 56) fungsi mata pelajaran matematika adalah sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Ketiga fungsi matematika tersebut hendaknya dijadikan acuan dalam pembelajaran matematika sekolah. Balajar matematika bagi para siswa juga merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan diantara pengertian-pengertian itu.
Permendiknas RI No. 22 tahun 2006 (tentang standar isi) menyatakan bahwa tujuan dari mata pelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa mampu:
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Sri Wardani, 2008: 2).
National Council of Teachers of Mathematics [NCTM] (2000: 262) yang menyatakan bahwa dalam tingkat menengah, siswa seharusnya mempunyai frekuensi dan pengalaman yang berbeda dalam penalaran matematis seperti: 1) uji pola dan struktur untuk mendeteksi keteraturan; 2) merumuskan generalisasi dan konjektur tentang keteraturan yang diamati; 3) mengevaluasi konjektur; 4) mengkonstruksi dan mengevaluasi argumen matematika. Siswa dapat melatih penalaran mereka dengan cara aktif dalam pembelajaran, diantaranya yaitu berdiskusi dengan guru maupun teman yang lain, mengeluarkan pendapat dan alasan pemikiran mereka dalam matematika. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa salah satu kompetensi yang diharapkan muncul sebagai dampak dari pembelajaran matematika dan memberi peran yang besar dalam mencapai hasil belajar matematika yang optimal yaitu kemampuan penalaran matematis.
Kemampuan penalaran matematis merupakan kemampuan untuk menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Rahayu (Sukirwan, 2008: 4) menyatakan bahwa kemampuan penalaran merupakan bagian terpenting dalam matematika. Hal ini sejalan dengan Depdiknas (Shadiq, 2004: 5) yang menyatakan bahwa materi matematika dan penalaran matematis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika. Dengan kata lain, belajar matematika tidak terlepas dari aktivitas bernalar.
Rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa akan mempengaruhi kualitas belajar siswa, yang berdampak pula pada rendahnya prestasi belajar siswa di sekolah. Hal ini terlihat dari hasil pembelajaran siswa yang tersirat dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumarmo (Sukirwan, 2008: 4) yang menyatakan bahwa skor kemampuan siswa dalam penalaran masih rendah. Hal ini juga terlihat dari prestasi siswa dalam belajar matematika memberikan hasil yang kurang menggembirakan, yang ditunjukkan dengan rendahnya prestasi siswa Indonesia dalam matematika yang diungkapkan oleh hasil tes PISA 2006 yang menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 52 dari 57 negara (Kusumah, 2011). Merujuk dari penelitian di atas, pembelajaran matematika yang mengarah kepada meningkatnya kemampuan penalaran matematis sudah semestinya diupayakan dan diimplementasikan.
Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan di SMAN 1 Rawamerta, diketahui bahwa kemampuan penalaran yang dimiliki siswa di SMA tersebut masih rendah. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya siswa yang mampu mengajukan dugaan, melakukan manipulasi matematika, memberikan alasan atas jawabannya, dan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan matematika yang diberikan. Selain itu perhatian dan keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar matematika masih kurang. Untuk itu diperlukan pendekatan yang tepat agar dapat meningkatkan kemampuan penalaran siswa. Menurut wawancara yang penulis lakukan dengan beberapa guru, diketahui bahwa model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) belum pernah diterapkan dalam pembelajaran matematika di SMA tersebut. Selama ini guru masih menerapkan pola pembelajaran konvensional yaitu dengan metode ceramah. Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti tentang upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematika siswa SMAN 1 Rawamerta melalui model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).
Menurut Nurhadi dalam Sugianto (2008:146), pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning-CTL) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sendiri-sendiri. Pengetahuan dan ketermpilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketermpilan baru ketika ia belajar.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nanik Hartini di Surakarta tahun 2010, model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) memilki kelebihan di antaranya, pertama pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Kedua pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) menganut aliran konstruktivisme, yang menganggap siswa dapat menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui "mengalami" bukan "menghafal".
Kemudian berdasarkan fakta hasil pengamatan yang dilakukan bahwa ketika dalam proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) penalaran matematis pada siswa meningkat 30% dibandingkan dengan model pembelajaran sebelumnya yaitu konvensional.
Beradasarkan faktor-faktor di atas, penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) ditengarai dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematik siswa khususnya untuk Standar Kompetensi: Sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Untuk itulah perlu dilaksanakan laporan penelitian dengan judul "Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas X SMAN 1 Rawamerta Melalui Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)"

I. 2. Batasan Masalah
Untuk memfokuskan penelitian, maka masalah dibatasi pada upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa melalui model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) pada pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel terhadap siswa kelas X SMAN 1 Rawamerta.

I. 3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Apakah penggunaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa di kelas X SMAN 1 Rawamerta?
Bagaimana respon siswa kelas kelas X SMAN 1 Rawamerta terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) kaitannya dengan kemampuan penalaran matematis?

I. 4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa melalui model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap siswa kelas X. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk,
Untuk mengetahui apakah penggunaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa di kelas X SMAN 1 Rawamerta.
Untuk mengetahui bagaimana respon siswa kelas kelas X SMAN 1 Rawamerta terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) kaitannya dengan kemampuan penalaran matematis.

I. 5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bagi siswa
Dengan penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran siswa kelas X dalam pembelajaran matematika.
Bagi guru
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberdayakan guru matematika dalam menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran siswa.
Bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang pendekatan mengajar bagi guru yang berkaitan dengan pembelajaran matematika, serta sebagai bekal bagi masa depan sebagai seorang calon pendidik (guru).

I. 6. Definisi Operasional
Untuk memperjelas variabel-variabel, agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap rumusan masalah dalam penelitian ini, berikut diberikan definisi operasional:
Kemampuan penalaran matematika adalah kemampuan dalam menarik kesimpulan melalui langkah-langkah formal yang didukung oleh argumen matematis berdasarkan pernyataan yang diketahui benar atau yang telah diasumsikan kebenarannya. Indikator dari kemampuan penalaran matematika yaitu: menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, diagram; mengajukan dugaan; melakukan manipulasi matematika; memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi; menarik kesimpulan dari pernyataan; memeriksa kesahihan suatu argumen, menemukan sifat atau pola dari suatu gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dengan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

I. 7. Hipotesis Tindakan
Hipotesis Penelitian
Hipotesis H0/Ho
Penggunaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) tidak dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa di kelas X SMAN 1 Rawamerta.
Tidak terdapat respon yang berarti pada siswa kelas kelas X SMAN 1 Rawamerta terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) kaitannya dengan kemampuan penalaran matematis.
Hipotesis H1/Ha
Penggunaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa di kelas X SMAN 1 Rawamerta.
Terdapat respon yang berarti pada siswa kelas kelas X SMAN 1 Rawamerta terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) kaitannya dengan kemampuan penalaran matematis.
Hipotesis Statistik
H0/Ho = X1 < X2
H1/Ha = X1 > X2
H0/Ho = X1 < X2
H1/Ha = X1 > X2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA


II. 1. Hakikat Penalaran Matematik
Penalaran adalah suatu bentuk pemikiran, demikian dinyatakan oleh R.G. Soekadijo (1985: 3). Adapun Suhartoyo Hardjosatoto dan Endang Daruni Asdi (1979: 10) memberikan definisi penalaran sebagai berikut, "Penalaran adalah proses dari budi manusia yang berusaha tiba pada suatu keterangan baru dari sesuatu atau beberapa keterangan lain yang telah diketahui dan keterangan yang baru itu mestilah merupakan urutan kelanjutan dari sesuatu atau beberapa keterangan yang semula itu."
Mereka juga menyatakan bahwa penalaran menjadi salah satu kejadian dari proses berfikir. Batasan mengenai berpikir yaitu, "Berpikir atau thinking adalah serangkaian proses mental yang banyak macamnya seperti mengingat-ingat kembali sesuatu hal, berkhayal, menghafal, menghitung dalam kepala, menghubungkan beberapa pengertian, menciptakan sesuatu konsep atau mengira-ngira berbagai kemungkinan."
Secara lebih tegas Suhartoyo Hardjosatoto dan Endang Daruni Asdi menyatakan perbedaan antara penalaran dan berfikir sebagai berikut, "Memang penalaran atau reasoning merupakan salah satu pemikiran atau thinking, tetapi tidak semua thinking merupakan penalaran (1979: 10)." R.G. Soekadijo membuat kronologi mengenai terjadinya penalaran. Proses berfikir dimulai dari pengamatan indera atau observasi empirik. Proses itu di dalam pikiran menghasilkan sejumlah pengertian dan proposisi sekaligus. Berdasarkan pengamatan-pengamatan indera yang sejenis, pikiran menyusun proposisi yang sejenis pula. Proses inilah yang disebut dengan penalaran yaitu bahwa berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar kemudian digunakan untuk menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui (Soekadijo, 1985: 6).
Menurut Drs. Kasdi Haryanta dalam artikel di blognya (http://kasdiharyanta-kasdih.blogspot.com, diakses pada tanggal 25/10/14),
"Penalaran merupakan suatu corak atau cara seseorang mengunakan nalarnya dalam menarik kesimpulan sebelum akhirnya orang tersebut berpendapat dan dikemukakannya kepada orang lain. Penalaran seseorang mengungkapkan cara kerja sistematis pola berpikirnya sehingga dimunculkanlah suatu opini atau pendapat, konsep, dan gagasan."
Masih mengenai definisi penalaran, Keraf (1982: 5) dalam Fadjar Shadiq (2004: 2) menjelaskan penalaran (jalan pikiran atau reasoning) sebagai: "Proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan". Secara lebih lanjut, Fadjar Shadiq mendefinisikan bahwa penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berfikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.
Adapun Copi (1978) sebagaimana dikutip oleh Fadjar Shadiq (2007) menyatakan sebagai berikut: "Reasoning is a special kind of thinking in which inference takes place, in which conclusions are drawn from premises" Berdasarkan definisi yang disampaikan Copi tersebut, Fajar Shadiq menerjemahkan pernyataan Copi tersebut yaitu bahwa penalaran merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasar pada beberapa pernyataan yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar yang disebut premis. Dari definisi yang dinyatakan oleh Copi tersebut dapat diketahui bahwa kegiatan penalaran terfokus pada upaya merumuskan kesimpulan berdasarkan beberapa pernyataan yang dianggap benar. Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical reasoning. Karin Brodie (2010: 7) menyatakan bahwa, "Mathematical reasoning is reasoning about and with the object of mathematics." Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa penalaran matematis adalah penalaran mengenai dan dengan objek matematika. Objek matematika dalam hal ini adalah cabang-cabang matematika yang dipelajari seperti statistika, aljabar, geometri dan sebagainya. Referensi lain yaitu Math Glossary (http://www.surfnetparents.com) menyatakan definisi penalaran matematis sebagai berikut, "Mathematical reasoning: thinking through math problems logically in order to arrive at solutions. It involves being able to identify what is important and unimportant in solving a problem and to explain or justify a solution."
Salah satu tujuan mata pelajaran matematika di sekolah adalah menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Ini juga didukung oleh Ball, Lewis & Thamel (dalam Widjaya, 2010) bahwa "mathematical reasoning is the foundation for the construction of mathematical knowledge". Hal ini berarti penalaran matematika adalah fondasi untuk mendapatkan atau menkonstruk pengetahuan matematika. Dengan demikian berarti guru di sekolah dasar dan menengah harus mengembangkan kemampuan penalaran siswa dalam pembelajaran matematika, seperti yang dikemukakan oleh Bambang Riyanto dalam laporan penelitiannya. Selanjutnya Jhonson dan Rising (1972) menyatakan bahwa "mathematics is a creation of the human mind, concened primarily with idea processes and reasoning". Ini berarti bahwa matematika merupakan kreasi pemikiran manusia yang pada intinya berkait dengan ide-ide, proses-proses dan penalaran. Dengan demikian, guru matematika seharusnya mengembangkan kemampuan penalaran siswa di dalam proses pembelajaran matematika, tetapi kenyataan di lapangan berdasarkan hasil penelitian kemampuan penalaran siswa masih kurang, seperti yang dikemukakan oleh laporan penelitian Priatna.
Menurut Amir Hulopi didalam tesisnya (2012) "Fokus pada kemampuan penalaran matematika siswa, matematika dan penalaran merupakan dua hal yang tak terpisahkan, dimana matematika dipahami dari penalaran sedangkan penalaran dipahami dan dilatih melalui belajar matematika."
Dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan oleh Enika Wulandari (2011) dalam studi skripsinya, bahwa penalaran matematis adalah berpikir mengenai permasalahan-permasalahan matematika secara logis untuk memperoleh penyelesaian dan bahwa penalaran matematis mensyaratkan kemampuan untuk memilah apa yang penting dan tidak penting dalam menyelesaikan sebuah permasalahan dan untuk menjelaskan atau memberikan alasan atas sebuah penyelesaian.
Melalui kegiatan bernalar dalam matematika, diharapkan siswa dapat melihat bahwa matematika merupakan kajian yang masuk akal atau logis. Dengan demikian siswa merasa yakin bahwa matematika dapat dipahami, dipikirkan, dibuktikan, dan dievaluasi. Seperti dinyatakan oleh Silver et al. (1990) bahwa dalam "doing mathematics" melibatkan kegiatan bernalar.
Menurut Sugianto, Dian Armanto, Mara Bangun Harahap didalam jurnal nasionalnya,
"Fondasi dari matematika adalah penalaran (reasoning), salah satu tujuan terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan kepada siswa penalaran logika (logical reasoning). Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya."
Menurut Jumanta dalam artikel ilmiahnya, dalam prosesnya penalaran dibedakan menjadi dua.
Penalaran induktif
Secara formal dapat dikatakan bahwa induksi adalah proses penalran untuk sampai pada suatu keputusan, prinsip, atau sikap yang bersifat umum dan khusus, beradasarkan pengamatan atas hal-hal yang khusus.
Proses induktif dapat dibedakan:
Generalisasi, ialah proses penalaran berdasarkan pengamatan atas jumlah gejala dengan sifat-sifat tertentu untuk menarik kesimpulan mengenai semua atau sebagian dari gejala serupa.
Analogi, adalah suatu proses penalaran untuk menarik kesimpulan tentang kebenaran suatu gejala khusus berdasarkan kebenaran gejala khusus lain yang memiliki sifat-sifat esensial yang bersamaan.
Hubungan sebab akibat, Penalaran dari sebab ke akibat mulai dari pengamatan terhadap suatu sebab yang diketahui. Berdasarkan itu, kita menarik kesimpulan mengenai akibat yang mungkin ditimbulkan.
Penalaran deduktif
Penalaran deduktif didasarkan atas prinsip, hukum, atau teori yang berlaku umum tentang suatu hal atau gejala. Berdasarkan prinsip umum itu, ditarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus, yang merupakan bagiuan dari hal atau gejala itu. jadi, penalaran deduktif bergerak dari hal atau gejala yang umum menuju pada gejala yang khusus.
Menurut Al Krismanto (1997), di dalam mempelajari matematika kemampuan penalaran dapat dikembangkan pada saat siswa memahami suatu konsep (pengertian), atau menemukan dan membuktikan suatu prinsip. Ketika menemukan atau membuktikan suatu prinsip, dikembangkan pola pikir induktif dan deduktif. Siswa dibiasakan melihat ciri-ciri beberapa kasus, melihat pola dan membuat dugaan tentang hubungan yang ada diantara kasus-kasus itu, serta selanjutnya menyatakan hubungan yang berlaku umum (generalisasi, penalaran induktif). Disamping itu siswa juga perlu dibiasakan menerima terlebih dahulu suatu hubungan yang jelas kebenarannya, selanjutnya menggunakan hubungan itu untuk menemukan hubungan-hubungan lainnya (penalaran deduktif). Jadi baik penalaran deduktif maupun induktif, keduanya amat penting dalam pembelajaran matematika.
Departemen Pendidikan Nasional dalam Peraturan Dirjen Dikdasmen No.506/C/PP/2004 sebagaimana yang dikutip oleh Fadjar Shadiq (2005: 25) memberikan cakupan aktivitas penalaran yang lebih luas sekaligus melengkapi penjelasan cakupan kemampuan penalaran matematis dalam Math Glossary sebagai berikut:
Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram.
Mengajukan dugaan (conjectures)
Melakukan manipulasi matematika
Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap beberapa solusi.
Menarik kesimpulan dari pernyataan
Memeriksa kesahihan suatu argumen
Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Berdasarkan beberapa definisi mengenai kemampuan penalaran matematis di atas maka peneliti yakni Enika Wulandari (2011) dalam studi skripsinya, menetapkan definisi kemampuan penalaran matematis pada penelitian ini sebagai kemampuan siswa untuk merumuskan kesimpulan atau pernyataan baru berdasarkan pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya, yang ditandai dengan tujuh indikator sebagai berikut:
Kemampuan menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram.
Kemampuan mengajukan dugaan.
Kemampuan melakukan manipulasi matematika.
Kemampuan menyusun bukti, memberikan alasan terhadap suatu solusi.
Kemampuan menarik kesimpulan dari pernyataan.
Kemampuan memeriksa kesahihan suatu argumen.
Kemampuan menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Dari seluruh uraian di atas menurut studi skripsi yang dilakukan oleh Hariyanti, dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematika adalah kemampuan atau kesanggupan untuk melakukan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berpikir secara sistematik untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Kemampuan penalaran matematika ada dua jenis yaitu kemampuan penalaran deduktif dan kemampuan penalaran deduktif. Indikator dari kemampuan penalaran matematika yaitu: menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, diagram; mengajukan dugaan; melakukan manipulasi matematika; memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi; menarik kesimpulan dari pernyataan; memeriksa kesahihan suatu argumen, menemukan sifat atau pola dari suatu gejala matematis untuk membuat generalisasi.

II. 2. Pendekatan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)
Menurut Sanjaya (2005:109) dalam Sukarto (2009:3),
"Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka."
Menurut Nurhadi dalam Sugianto (2008:146),
"Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning-CTL) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sendiri-sendiri. Pengetahuan dan ketermpilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketermpilan baru ketika ia belajar".
Sedangkan menurut Jhonson dalam Sugianto (2008:148) "(contextual teaching and learning-CTL) adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan pribadi, social dan budaya mereka."
Menurut Nurhadji Nugraha (2012) dalam artikel di blognya (http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-pembelajaran/. Diakses pada tanggal 25/10/14).
"Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan–memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa."
Menurut Akhmad Sudrajad (2008:3),
"Model pembelajaran (contextual teaching and learning-CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya".
Elaine B. Johnson (2007:14) dalam Sukarto (2009:3) memberikan penjelasan bahwa,
"Contextual Teaching Learning (CTL) adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya."
Menurut Diah Setiawati, Edi Syahputra dan W.R. Rajagukguk dalam jurnal pendidikannya, melalui proses belajar mengajar yang menekankan pada kompetensi dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) diharapkan peserta didik akan menjadi pribadi yang unggul secara akademis maupun non akademis. Pergeseran paradigma dalam proses pembelajaran yaitu dari teacher active learning beralih menjadi student active learning, yang artinya orientasi pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).
Menurut Bettye P. Smith (2010) dalam Jurnal Internasionalnya,
"Characteristics of the Contextual Teaching and Learning classroom can be attributed to the roles and responsibilities of the teacher, student, and methods of assessment. Each of these dimensions will be briefly explained.
Dari beberapa definisi yang telah diuraikan, menurut Nanik Hartini (2010) dalam studi skripsinya, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) adalah model pembelajaran yang menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa yang bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan atau ditransfer dari suatu permasalahan yang satu ke permasalahan yang lain dan dari konteks satu ke konteks yang lain.
Dasar Teori Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Para pendidik yang menyetujui pandangan ilmu pengetahuan bahwa alam semesta itu hidup, tidak diam dan bahwa alam semesta ditopang oleh tiga prinsip kesalingbergantungan, diferensiasi dan organisai diri, seharusnya menerapkan pandangan dan cara berpikir baru mengenai pembelajaran dan pengajaran.
Menurut Jhonson dalam Sugianto (2008:153) tiga pilar dalam sistem Contextual Teaching Learning (CTL), yaitu:
Contextual Teaching Learning (CTL) mencerminkan prinsip kesalingbergantungan. Kesalingbergantungan mewujudkan diri, misalnya ketika para siswa bergabung untuk memecahkan masalah dan ketika para guru mengadakan pertemuan dengan rekannya. Hal ini tampak jelas ketika subjek yang yang berbeda dihubungkan, dan ketika kemitraan menggabungkan sekolah dengan dunia bisnis dan komunitas.
Contextual Teaching Learning (CTL) mencerminkan prinsip diferensiasi. Diferensiasi men-jadi nyata ketika CTL menantang para siswa untuk saling menghormati keunikan masing-masing, untuk menghormati perbedaan-perbedaan, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja sama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda, dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan.
Contextual Teaching Learning (CTL) mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Pengorganisasian diri terlihat ketika para siswa mencari dan menemukan kemampuan dan inat mereka sendiri yang berbeda, mendapat manfaat dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam tuntunan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi, dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati mereka bernyanyi.
Landasan filosofi Contextual Teaching Learning (CTL) adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. "Konstruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas oleh Jhon Dewey pada awal abad ke 20, yaitu sebuah filosofi belajar yang menekankan pada pengembangan minat dan pengalaman siswa" ( Sugianto,2008:160).
Jean Piaget dalam Anonim (2010:2) berpendapat bahwa,
"...sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan "skema". Skema terbentuk karena pengalaman, dan proses penyempurnaan skema itu dinamakan asimilasi dan semakin besar pertumbuhan anak maka skema akan semakin sempurna yang kemudian disebut dengan proses akomodasi...".
Pendapat Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa model pembelajaran, diantaranya model pembelajaran kontekstual. Menurut pembelajaran kontekstual, pengetahuan itu akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa.
Dengan Contextual Teaching Learning (CTL) menurut Nanik Hartini (2010) dalam studi skripsinya, proses pembelajaran diharapkan berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil. Dalam konteks itu siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, mereka dalam status apa dan bagaimana cara mencapainya. Mereka akan menyadari bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya. Dengan demikian mereka mempelajari sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Untuk menciptakan kondisi tersebut strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri. Melalui strategi Contextual Teaching Learning (CTL) siswa diharapkan belajar mengalami bukan belajar menghafal.
Komponen Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
Menurut Akhmad Sudrajat (2008:4) pembelajaran berbasis Contextual Teaching Learning (CTL) melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yaitu: Konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).
Konstruktivisme (constructivism) adalah proses membangun dan menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasar pengalaman. Pengetahuan terbentuk bukan hanya dari obyek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subyek yang menangkap setiap objek yang diamatinya. Kontruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu berasal dari luar akan tetapi dikontruksi dari dalam diri seseorang. Karena itu pengetahuan terbentuk oleh objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterprestasikan objek tersebut.
Inkuiri (inquiry), artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukuan melalui beberapa langkah, yaitu : 1) merumuskan masalah, 2) mengajukan hipotesis, 3) mengumpulkan data, 4) menguji hipotesis, 5) membuat kesimpulan. Penerapan asas inkuiri pada Contextual Teaching Learning (CTL) dimulai dengan adanya masalah yang jelas yang ingin dipecahkan, dengan cara mendorong siswa untuk menemukan masalah sampai merumuskan kesimpulan. Asas menemukan dan berfikir sistematis akan dapat menumbuhan sikap ilmiah, rasional, sebagai dasar pembentukan kreatifitas.
Bertanya (questioning) adalah bagian inti belajar dan menemukan pengetahuan. Dengan adanya keingintahuanlah pengetahuan selalu dapat berkembang. Dalam pembelajaran model Contextual Teaching Learning (CTL) guru tidak menyampaikan informasi begitu saja tetapi memancing siswa dengan bertanya agar siswa dapat menemukan jawabannya sendiri. Dengan demikian pengembangan keterampilan guru dalam bertanya sangat diperlukan. Hal ini penting karena pertanyaan guru menjadikan pembelajaran lebih produktif, yaitu berguna untuk : 1) Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan pelajaran; 2) Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar; 3) Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu; 4) Memfokuskan siswa pada sesuatu yang didinginkan; 5) Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
Masyarakat Belajar (learning community) didasarkan pada pendapat Vygotsky dalam Sugianto (2008:168), bahwa
"Pengetahuan dan pengalaman anak banyak dibentuk oleh komunikasi dengan orang lain". Permasalahan tidak mungkin dipecahkan sendirian, tetapi membutuhkan bantuan orang lain untuk saling membutuhkan. Dalam model Contextual Teaching Learning (CTL) hasil belajar dapat diperoloeh dari hasil Sharing dengan orang lain, teman, antar kelompok, sumber lain dan bukan hanya guru. Dengan demikian asas masyarakat belajar dapat diterapkan dalam kelompok, dan sumber-sumber lain dari luar yang dianggap tahu tentang sesuatau yang menjadi fokus pembelajaran."
Pemodelan (modeling) adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu contoh yang dapat ditiru oleh siswa. Sebagai contoh, membaca berita, Membaca lafal bahasa, mengoperasikan instrument memerlukan cotoh agar siswa dapat mengerjakan dengan benar. Dengan demikian modeling merupakan asas penting dalam pembelajaran melalui Contextual Teaching Learning (CTL) ,karena melalui Contextual Teaching Learning (CTL) siswa dapat terhindar dari verbalisme atau pengetahuan yang bersifat teoritis-abstrak.
Refleksi (reflection) adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dengan cara mengurutkan dan mengevaluasi kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran telah dilaluinya untuk mendapatkan pemahaman yang dicapai baik yang bernilai positif atau bernilai negative. Melalui refleksi siswa akan dapat memperbaharui pengetahuan yang telah dibentuknya serta menambah khazanah pengetahuannya.
Penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak. Penilaian ini berguna untuk mengetahui apakah pengalaman belajar mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan siswa baik intelektual, mental maupun psikomotorik. Pembelajaran CTL lebih menekankan pada proses belajar daripada sekedar hasil belajar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasi bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena assessment menekankan pada proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan di akhir periode (semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar tetapi dilakukan bersama-sama secara terintegrasi atau tidak terpisah dari kegiatan pembelajaran.
Karakteristik Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
Menurut Anonim (2010:1) terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran CTL, yaitu : 1) Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge). 2) Pembelajaran ntuk memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). 3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge). 4) Mempraktikan pengetrahuan dan pengalaman tersebut (applying knomledge). 5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge).
Menurut Akhmad Sudrajad (2008:5) model pembelajaran CTL mempunyai karakteristik: 1) Kerjasama. 2) Saling menunjang. 3) Menyenangkan, tidak membosankan. 4) Belajar dengan bergairah. 5) Pembelajaran terintegrasi. 6) Menggunakan berbagai sumber. 7) Siswa aktif. 8) Sharing dengan teman. 9) Siswa kritis guru kreati. 10) Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain. 11) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain.
Dalam model pembelajaran CTL, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan stategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.
Perbedaan Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dengan Pembelajaran Konvensional
Berikut ini perbedaan pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional yang dikemukakan oleh Udin Syaefudin Sa'ud (2008:167) :
Tabel 1 : Perbedaan Model Pembelajaran CTL dengan Model Pembelajaran Konvensional
No
Konteks Pembelajaran
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran Konvensional
1
Hakikat Belajar
Konten pembelajaran selalu dikaitkan dengan kehidupan nyata yang diperoleh sehari-hari pada lingkungannya.
Isi pelajaran terdiri dari konsep dan teori yang abstrak tanpa pertimbangan manfaat bagi siswa.
2
Model Pembelajaran
Siswa belajar melalui kegiatan kelompok seperti kerja kelompok, berdiskusi, praktikum kelompok, saling bertukar pikiran, memberi dan menerima informasi.
Siswa melakukan kegiatan pembelajaran bersifat individual dan komunikasi satu arah, kegiatan dominan mencatat, menghafal, menerima instruksi guru.
3
Kegiatan Pembelajaran
Siswa ditempatkan sebagai subjek pembelajaran dan berusaha menggali dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Siswa ditempatkan sebai objek pembelajaran yang lebih berperan sebagai penerima informasi yang pasif dan kaku.
4
Kebermaknaan Belajar
Mengutamakan kemampuan yang didasarkan pada pengalaman yang diperoleh siswa dari kehidupan nyata.
Kemampuan yang didapat siswa berdasarkan latihan-latihan dan driil yang terus menerus.
5
Tindakan dan Perilaku Siswa
Membutuhkan kesadaran diri pada anak didik karena menyadari perilaku itu merugikan dan tidak memberikan manfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Tindakan dari perilaku individu didasarkan oleh faktor luar dirinya, tidak melakukan sesuatu karena takut sangsi, kalaupun melakukan sekedar memperoleh nilai/ ganjaran.
6
Tujuan Hasil Belajar
Pengetahuan yang dimiliki bersifat tentatif karena tujuan akhir belajar kepuasan diri.
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil pembelajaran bersifat final dan absolut karena bertujuan untuk nilai.

Akhmad Sudrajad (2008:5) mengemukakan empat belas perbedaan antara model pembelajaran CTL dengan model pembelajaran konvensional, yaitu:
Tabel 2 : Perbedaan Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dengan Model Pembelajaran Konvensional
No
Model Pembelajaran CTL
Model Pembelajaran Konvensional
1
Menyandarkan pada pemahaman makna
Menyandarkan pada hafalan
2
Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa.
Pemilihan informasi lebih banyak ditentukan oleh guru.
3
Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
Siswa secara pasif menerima informasi, khususnya dari guru.
4
Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan.
Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis, tidak bersandar pada realitas kehidupan.
5
Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan.
6
Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang.
Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu.
7
Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek
dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok).
Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah, dan mengisi latihan (kerja individual).
8
Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
Perilaku dibangun atas kebiasaan.
9
Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.
Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.
10
Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri yang bersifat subyektif.
Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai rapor.
11
Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tersebut merugikan.
Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman.
12
Perilaku baik berdasarkan motivasi intrinsik.
Perilaku baik berdasarkan motivasi intrinsik.
13
Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting.
Pembelajaran terjadi hanya terjadi di dalam ruangan kelas.
14
Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik.
Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan model pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dengan model pembelajaran konvensional adalah peran siswa dalam pembelajaran pada pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) adalah sebagai pencari informasi sedangkan pada pembelajaran konvensional siswa sebagai penerima informasi.
Langkah-Langkah Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
Secara sedehana langkah penerapan CTL dalam kelas secara garis besar menurut Sugianto (2008:170) adalah sebagai berikut : 1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakana dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan engonstruksikan sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; 2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik; 3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya; 4) Ciptakan "masyarakat belajar" (belajar dalam kelompok-kelompok); 5) Hadirkan "model" sebagai contoh pembelajaran; 6) Lakukan refleksi di akhir penemuan; 7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
Kelebihan CTL (Contextual Teaching and Learning)
Menurut Anisah (2009:1) ada 2 kelebihan model pembelajaran kontekstual, yaitu :
Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui "mengalami" bukan "menghafal".
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kelebihan model pembelajaran CTL adalah siswa lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran dan pengetahuan siswa berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya.
Kelemahan CTL (Contextual Teaching and Learning)
Menurut Anisah (2009:1) kelemahan model pembelajaran CTL antara lain:
Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam metode CTL.
Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya.
Peran guru bukanlah sebagai instruktur atau "penguasa" yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
Guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kelemahan model pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) adalah guru harus dapat mengelola pembelajaran dengan sebaik-baiknya agar tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tecapai dengan maksimal.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


III. 1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian tindakan kelas (PTK). Pengertian penelitian tindakan kelas (PTK) yang merupakan terjemahan dari Classroom Action Research (CAR) adalah penelitian kelas yang merupakan rangkaian riset-tindakan-riset-tindakan yang dilakukan secara siklik dalam rangka pemecahan masalah sehingga masalah tersebut terpecahkan (UPI, 2012: 45). Sedangkan Ebbutt menyebutkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah kajian sistematik perbaikan pelaksanaan pendidikan oleh sekumpulan guru dengan melakukan tindakan dalam pembelajaran (UPI, 2012: 46).
Berdasarkan pendapat diatas jelaslah bahwa penelitian tindakan kelas adalah suatu penelitian yang digunakan secara refleksi terhadap berbagai tindakan yang dilakukan guru atau pelaku untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas hakikatnya bertujuan untuk meningkatkan keterampilan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu keterampilan profesional dalam melaksanakan tugasnya sebagai tenaga pendidik, serta demi perbaikan dan peningkatan praktek pembelajaran secara berkesinambungan.
Wardhani (2008:14) memaparkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah "penelitian yang dilakukan oleh guru didalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat."
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan perlu benar-benar dipahami dan dilaksanakan oleh guru, sebab gurulah yang melakukan, merasakan apakah praktek pembelajaran telah memperoleh hasil yang diharapkan serta memiliki keefektifan yang tinggi atau belum. Hal ini dilakukan karena tuntutan masyarakat terhadap masalah pendidikan dewasa ini begitu tinggi sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
III. 2. Desain Penelitian
Ada beberapa macam model desain penelitian tindakan kelas salah satunya adalah model siklus "spiral". Model siklus ini dikembangkan oleh Sthepen Kemmis dan Robin Mc. Taggert pada tahun 1998. Mereka menggunakan empat komponen penelitian tindakan yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi dalam suatu sistem spiral yang saling terkait. Menurut kedua pakar ini, setelah satu siklus selesai khususnya setelah adanya refleksi, kemudian dilanjutkan adanya perencanaan ulang yang dilaksanakan dengan bentuk siklus selanjutnya.
Apabila dalam pelaksanaannya kemudian dievaluasi ternyata masih terdapat kekurangan rencana tersebut diperbaiki, yakni dilanjutkan dalam perencanaan tindakan kedua dan seterusnya. Siklus ini berhenti apabila tindakan yang dilakukan oleh peneliti sudah dinilai baik.
Kemmis dan Mc. Taggert telah mengembangkan suatu metode siklus penelitian tindakan kelas seperti yang terlihat pada bagan dibawah ini.
Gambar siklus penelitian model spiral Kemmis dan Mc. Teggart
Perencanaan atau planning
Rencana penelitian tindakan merupakan tindakan yang terstruktur dan terencana, namun tidak menutup kemungkinan untuk mengalami perubahan sesuai situasi dan kondisi yang tepat.
Tindakan atau acting
Yang dimaksud tindakan atau acting dalam penelitian ini adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dan terkendali yang merupakan variasi praktek yang cermat dan bijaksana. Tindakan yang dilakukan berdasarkan pada perencanaan yang telah disusun sesuai dengan permasalahan.
Observasi atau observing
Observasi pada tindakan ini berfungsi untuk mendokumentasikan hal-hal yang terjadi selama tindakan.
Refleksi atau reflecting
Refleksi adalah mengingat dan merenungkan kembali suatu tindakan yang telah dilakukan sesuai dengan hasil observasi.

III. 3. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di ruang kelas X K SMAN 1 Rawamerta Kecamatan Rawamerta Kabupaten Karawang. Penelitian dilaksanakan dengan menyesuaikan jam pelajaran matematika di kelas X itu sendiri. Alasan yang mendasari penelitian dilaksanakan di SMAN 1 Rawamerta, yaitu:
Rendahnya kemampuan penalaran matematis pada siswa kelas X K SMAN 1 Rawamerta.
SMAN 1 Rawamerta memberi ijin untuk kegiatan penelitian.
Masalah ini belum pernah diteliti di kelas X K SMAN 1 Rawamerta.
SMAN 1 Rawamerta bersedia memberikan data yang diperlukan peneliti.

III. 4. Sampel Sumber Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan Purposive Sampling yang artinya pengambilan sampel berdasarkan kesengajaan, maka pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri atau sifat tertentu yang mempunyai sangkut paut dalam penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X K SMAN 1 Rawamerta yang berjumlah 30 siswa pada tahun ajaran 2014-2015 pada penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa. Adapun pertimbangan peneliti dalam menentukan subyek penelitian ini adalah:
Satu guru mata pelajaran matematika kelas X K SMAN 1 Rawamerta
Yakni guru yang berkaitan langsung dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa dengan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap siswa kelas X K, sebagai sumber data utama. Berpengaruh atau tidaknya penerapan model tersebut terhadap kemampuan matematis siswa.
Tiga puluh siswa kelas X K SMAN 1 Rawamerta
Untuk subyek siswa kelas X K, karena kelas ini merupakan kelas yang paling rendah dalam memperoleh nilai mata pelajaran matematika dikarenakan rasa ketidaksenangan terhadapa proses pembelajaran juga materi yang begitu sulit. Untuk itulah, kelas ini dipakai sebagai subyek dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa dengan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) yang diterapkan guru matematika untuk memperoleh data tentang respon siswa.

III. 5. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah instrumen tes dan non tes. Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes yang didesain khusus untuk mengukur kemampuan penalaran matematis siswa berupa soal uraian sebanyak 7 buah. Tes dilakukan untuk mengukur kemampuan penalaran siswa setelah pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). Tes dibuat berdasarkan indikator yang telah ditetapkan.
Kriteria penskoran terhadap jawaban tes mengadopsi holistic scoring rubrics (Cai dan Jakabcsin, 1996). Seperti pada tabel dibawah berikut:
Skor
Kriteria
4
Dapat menjawab semua aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar dan jelas atau lengkap.
3
Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar.
2
Dapat menjawab hanya sebagian aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar.
1
Menjawab tidak sesuai dengan aspek pertanyaan tentang penalaran atau menarik kesimpulan salah.
0
Tidak ada jawaban.

III. 6. Instrumen Tes
Sebelum instrumen-instrumen digunakan untuk mengevaluasi dan mengumpulkan data, instrumen tersebut harus valid agar hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi valid. Agar validitas dan reabilitas yang diperoleh semakin kuat maka harus di uji cobakan terlebih dahulu dengan memenuhi uji prasyarat, yaitu uji validitas dan uji reliabilitas sebagai berikut:
Validitas
Kata validitas menurut Djaali (2008: 49) berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Jika skor butir instrumen soal berbentuk uraian, maka rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien korelasi antara skor butir instrumen atau skor butir total instrumen adalah koefisien korelasi product moment (r) sebagai berikut (Djaali, 2008: 86):
rit = xi . xtxi2. xt2
Keterangan:
rit = koefisien korelasi antara skor butir soal dengan skor total
xi = jumlah kuadrat deviasi skor dari xi
xt = jumlah kuadrat deviasi skor dari xt
Selanjutnya menurut (Sugiyono, 2012 :356) koefisien korelasi yang diperoleh diinterpretasikan ke dalam klasifikasi koefisien validitas, yaitu :
Klasifikasi Koefisien Validitas
Koefisien Validitas
Interpretasi
0.80
Lihat lebih banyak...

Comentarios

Copyright © 2017 DATOSPDF Inc.