Perlindungan Sosial (Social Protection) untuk Buruh Migran Indonesia

August 25, 2017 | Autor: Bara Brelian | Categoría: Migrant workers, Female Migrant Domestic Workers
Share Embed


Descripción

Perlindungan Sosial (Social Protection) untuk Buruh Migran Indonesia

Perlindungan terhadap buruh migran yang rentan dalam konteks perlindungan hukum memang menjadi prioritas advokasi kebijakan yang dilakukan berbagai kalangan selama ini khususnya di Indonesia. Hal tersebut dilatarbelakangi dengan banyaknya kasus kekerasan, pelecehan seksual, dan berbagai pelanggaran terhadap hak buruh migran. Advokasi dari masalah pra pemberangkatan seperti perlindungan di tempat penampungan dan balai pelatihan hingga pasca kepulangan seperti kasus pemerasan di bandara memang begitu mengemuka. Hingga kini, usaha untuk mendorong terciptanya sistem dan kebijakan yang berorientasi melindungi buruh migran terus diupayakan baik oleh kalangan civil society dan stake holder lain. Namun sebenarnya ada isu lain yang sama pentingnya untuk segera ditindaklanjuti berkaitan dengan dampak migrasi dari aspek sosial budaya. Problem kerentanan yang dihadapi oleh jutaan buruh migran Indonesia tidak selesai hanya dengan menciptakan sistem yang melindungi mereka dari sisi hak hukum sipil dan politik. Melainkan juga harus mencakup hak – hak dasar sosial dan ekonomi buruh migran. Aspek ini biasanya terdiri dari berbagai hal yang berkaitan dengan buruh migran beserta anggota keluarga hingga komunitas terdekat mereka. Ada beberapa hal yang memperlihatkan selama ini bahwa kondisi buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri sangat rentan. Kerentanan tersebut dikarenakan beberapa hal, yakni latar belakang pendidikan, status, hingga kondisi ekonomi. Ada fakta yang tidak bisa dihindari selama ini bahwa sebagian besar buruh migran Indonesia adalah perempuan dan bekerja di sektor domestik. Hingga tahun 2013, tercatat bahwa buruh migran perempuan yang berdokumen resmi dan tercatat lebih banyak dibanding buruh migran laki-laki. Tahun 2010 misalnya dari total BMI terdiri dari 78% perempuan dan 22% laki-laki. Kuat dugaan apabila hitungan tersebut juga menyertakan BMI yang tidak berdokumen resmi, maka akan semakin banyak buruh migran perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

Data BMI berdasarkan Jenis Kelamin No 1 2 3 4

Tahun 2010 2011 2012 2013 Jumlah

Jumlah Perempuan % 78 575.804 451.120 585.802 376.686 64 494.609 279.784 57 512.168 276.998 54 2168383 1384588 64 Sumber: diolah dari Puslitfo BNP2TKI

Laki-Laki 124.684 210.116 214.825 235.170 784795

% 22 36 43 46 36

Kerentanan berikutnya adalah rendahnya rata-rata pendidikan terakhir yang diikuti BMI. Tingkat pendidikan rata-rata pekerja migran Indonesia ada pada tingkat SD dan SMP. Sebuah bekal yang masih prematur ketika harus dihadapkan pada keras dan asingnya lingkungan kerja di luar negeri. Rendahnya pendidikan ini juga yang berimplikasi pada kerentanan BMI ketika berinteraksi dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Belum lagi tingkat adaptasi dengan pola kerja yang dihadapi di luar negeri. Ini kemudian yang juga mengakibatkan tingginya kasus penipuan dan perdagangan manusia. Sektor domestik memang menempati urutan tertinggi jenis pekerjaan BMI karena sektor

inilah yang paling mudah diakses dari segi pendidikan dasar dan mengengah dan tidak membutuhkan ijazah keahlian lain.

Data BMI Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan

40,00

39,84 37,02

39,45

35,00

37,40 31,26

29,75

30,00

24,20

24,37

25,00 20,00

SMU 17,79

SMP SD

15,00 10,00 5,00 0,00 2011

2012

2013

Sumber: Diolah dari Puslitfo BNP2TKI Kerentanan berikutnya adalah pada konteks aturan dan perlindungan hukum yang menaungi pekerja migran. Ketidaktegasan aturan hukum hingga kegagalan perlindungan dan implementasi kebijakan dari pemerintah turut memperbesar peluang BMI yang menjadi korban. Hingga kini usaha untuk merevisi UU no 39 tahun 2004 serta usaha meratifikasi Konvensi ILO 189 mengenai kerja layak masih menemui jalan terjal. Analisis Problem Sosial Budaya Secara teoretis terdapat dua aliran utama yang berkembang dalam studi migrasi internasional. Pertama, aliran neoklasik yang memandang bahwa migrasi terjadi karena adanya kelebihan tenaga kerja di suatu wilayah dan kebutuhan akan tenaga kerja di wilayah lainnya. Akibatnya, akan terjadi aliran tenaga kerja dari wilayah yang mengalami kelebihan (oversupply) tenaga kerja ke wilayah yang membutuhkan tenaga kerja. Aliran kedua yaitu aliran strukturalis. Aliran ini memandang bahwa migrasi tenaga kerja internasional terjadi karena ketidakseimbangan pembangunan yang terjadi di dunia maju dan dunia ketiga (uneven geographical development). Dalam upaya mengakumulasi kapital, dunia maju memerlukan tenaga buruh murah yang dapat menjamin kelanggengan produksi dan reproduksi sosial warga negaranya. Untuk dapat mempertahankan produktivitas kerjanya dan juga pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut, keluarga-keluarga di negara maju membutuhkan seseorang yang mampu menangani urusan domestik mereka dengan tingkat upah yang relatif lebih rendah dibanding menggunakan tenaga kerja lokal (Dewayanti, 2010). Oleh karenanya, proses migrasi menjadi siklus yang tidak pernah kunjung berhenti. Migrasi terus mereproduksi diri hingga menciptakan mekanisme ketergantungan alamiah. Ironisnya, sebagian besar sikuls itu melibatkan dua jenis negara, negara industri (emerging eonomies) dengan negara berkembang (least developed countries maupun lower middle income countries). Fenomena di

Indonesia sendiri sebagian besar migrasi yang dilakukan bukanlah jenis voulentary migration melainkan forced migration. Yakni proses migrasi yang dilakukan karena keterpaksaan dan keterbatasan pilihan ekonomi. Proses migrasi dengan keterpaksaan ini tentu memperkuat kerentanan buruh migran sendiri. Dalam banyak kasus, seorang buruh migran yang keluar harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit agar bisa diberangkatkan bekerja ke luar negeri. Modal besar yang sebagian besar dari akumulasi aset maupun hutang tersebut yang akhirnya turut memperbesar peluang siklus migrasi kembali terulang. Hal tersebut dikarenakan buruh migran membutuhkan uang agar modal awal yang ia keluarkan bisa kembali. Buruh migran Indonesia sebagian besar telah berstatus memiliki keluarga yang terdiri dari Istri/ Suami dan anak. Oleh karenanya proses mereka bermigrasi berimplikasi banyak terhadap keadaan dan perkembangan keluarga yang mereka tinggalkan. Ada beberapa dampak negatif dalam konteks sosial dalam proses migrasi ke luar negeri. Pertama, problem kerentanan keluarga hingga penyelewengan norma sosial. Sebagian besar status buruh migran yang bekerja diluar negeri telah menikah. Perginya salah satu buruh migran baik mereka yang berstatus sebagai suami maupun istri secara otomatis akan meninggalkan anggota keluarga lain di daerah asal. Fenomena yang muncul menunjukkan bahwa terjadi kerentanan terhadap keluarga buruh migran. Kerentanan tersebut misalnya dalam bentuk perceraian dan keretakan keluarga.

Data BMI Berdasarkan Status Perkawinan No 1 2 3

Status Perkawinan Menikah Cerai Belum Menikah Total

2011 2012 Jumlah % Jumlah % 64,6 60,7 379.366 300.030 7,1 7,3 41.451 36.228 28,3 32,0 165.989 158.351 100 100 586.806 494.609 Sumber: Diolah dari Puslitfo BNP2TKI

2013 Jumlah 309.427 43.883 158.858 512.168

% 60,4 8,6 31,0 100

Penyebab kerentanan terhadap rumah tangga buruh migran dilatarbelakangi tiga hal, pertama dampak dari interaksi budaya, kedua dampak dari intensitas komunikasi yang menurun, dan ketiga ketiaksiapan dalam hal perubahan ekonomi rumah tangga. Penelitian dari Puslitbang Kementerian Sosial mengenai relasi gender dalam konteks buruh migran (Nainggolan, 2010) menunjukkan pasca kepulangan sebagai TKW, mereka membawa nilai-nilai baru yang diserap melalui proses akulturasi budaya di negara perantauannya yang didukung dengan posisi ekonomi isteri yang meningkat yang berimplikasi pada perubahan posisi dan peran di tengah keluarga. Hal ini memberikan ruang yang cukup bagi terjadinya pergeseran pola relasi gender lokal di tengah keluarganya, yang secara psikologis mengarah pada konsep androgini. Dalam hal ini pihak isteri mulai independen dalam membuat keputusan sehingga posisinya sebagai sub ordinat makin kabur. Pergerseran peran suami dan istri dalam rumah tangga pun semakin besar. Hal tersebut umumnya berimplikasi pada konflik keluarga sehingga relatif kurang harmonis. Perubahan pola relasi gender keluarga migran pasca migrasi sebagai tkw

No 1.

Keadaan sebelum menjadi TKW Pencari nafkah utama adalah suami

2.

Suami meyakini nilai-nilai pemingitan terhadap istri Istri fokus terhadap sektor domestik Istri tidak independen dalam membuat keputusan Suami tidak terlibat dalam sektor domestik Pembagian kerja sexiest dikotomis

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10

Posisi istri sebagai subordinat sangat kelihatan Pola relasi gender lebih didominasi maskulin dan feminim Pengasuh anak tanggung jawab utama istri Keluarga relatif harmonis

Keadaan setelah menjadi TKW Pencari nafkah utama adalah suami dan istri Suami mulai permisif ketika istri masuk sektor publik Istri mulai terbuka pada sektor publik Istri mulai independen dalam membuat keputusan Sebagian suami terjun ke sektot domestik Pembagian kerja mulai kabur, tidak sexiest dan tidak dikotomis Posisi istri sebagai mitra mulai kelihatan

Pola relasi gender mengarah pada androgini Pengasuhan anak mengarah pada tanggung jawab bersama Ada konflik yang bersifat potensial dan manifest Sumber: Nainggolan (2010)

Selain itu, pengalaman migrasi internasional yang dilakukan oleh warga Juntinyuat yang menjadi buruh migran internasional ternyata membawa konsekuensi pada perubahan atau pergeseran relasi gender tradisional atau dari relasi gender yang sudah ada dan telah lama dipraktekkan dalam rumah tangga komunitas Juntinyuat kepada relasi gender yang baru yang mengarah kepada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Rosadi (2011) menunjukkan perubahan relasi gender itu terjadi pada 2 aspek penting yaitu aspek peran dan akses terutama perubahan peran perempuan menjadi semkain berkembang, bergeser dan bertambah antara peran domestik dan peran publik. Hal tersebut berimplikasi pula pada tingginya kasus perceraian di berbagai daerah yang menjadi basis pengirim buuh migran. Hasil pengamatan migrant institute misalnya di salah satu desa di daerah Ponorogo menunjukkan banyaknya angka perceraian terutama pada keluarga buruh migran. Secara sosial dampak tersebut cukup berpengaruh terhadap keharmonisan iklim sosial dan struktur masyarakat setempat yang selama ini kental dengan keharmonisan dan keguyuban. Bahkan implikasi lain dari kerentanan rumah tangga tersebut juga berkaitan dengan penyelewengan norma sosial dengan maraknya hubungan suami istri di luar pernikahan. Para suami yang ditinggalkan istrinya pergi bekerja ke luar negeri banyak yang menjalin hubungan dengan PSK di daerah tersebut. Lebih buruknya adalah maraknya kasus perselingkuhan yang terjadi. Penelitian lapangan yang dilakukan pegiat SERUNI Banyumas menemukan beberapa fakta yang terjadi di beberapa desa yang menjadi basis pengirim buruh migran di daerah jawa tengah. Kepada pegiat dari SERUNI Banyumas, laki-laki yang sudah terbiasa hidup sendiri tersebut berbicara secara blak-blakan. “Kami sudah komitmen dengan istri, Mas. “Jajan” juga nggak apa-apa, yang penting hati-hati,” tutur laki-laki setengah baya itu. Pegiat SERUNI sempat terkejut mendengar penuturan warga yang tinggal di Kecamatan Gumelar, Banyumas tersebut. “Jajan” adalah sebuah istilah laki-laki dewasa, yang melakukan hubungan suami istri dengan bukan istrinya, melainkan dengan PSK.

Ketika pegiat SERUNI melontarkan pertanyaan mengenai resiko penyakit AIDS yang bisa saja menimpanya, berikut jawaban Sum: “Takut sih, tapi kan ada penangkalnya…” “Apa penangkalnya?” 1 “Makan pisang ambon….”

Fakta dan fenomena tersebut ironisnya diamini oleh warga sekitar. Komunitas sosial dan struktur masyarakat setempat akhirnya beranggapan bahwa praktik penyelewengan dan perselingkuhan yang acap terjadi di keluarga BMI menjadi hal yang wajar. Disadari atau tidak, fenomena ini berdampak jauh terhadap kultur dan budaya kearifan masyarakat. Selain itu, banyaknya praktik ini akhirnya berimplikasi pada kasus penyebaran penyakit AIDS di beberapa daerah kantong buruh migran. Kedua, fenomena kerentanan terhadap hak asuh anak dari orang tua (children left behind) dan hak pendidikan dasar anak. Buruh migran yang telah berkeluarga seringkali meninggalkan anak dan anggota keluarga lain di daerah asal. Akhirnya, peran asuh anak dari Ayah atau Ibu dalam rentang waktu yang cukup lama pun absen. Fenomena Children Left Behind ini kemudian menimbulkan banyak dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak baik pada konteks pendekatan pendidikan maupun praktik kenakalan yang terjadi di komunitas asal buruh migran tersebut. UNICEF mendefinisikan anak yang terabaikan (Children Left Behind) sebagai kondisi-kondisi yang harus dihadapi anak-anak berkaitan dengan kesenjangan kesejahteraan materi, pendidikan dan kesehatan saat mereka ditinggalkan oleh orangtua mereka bermigrasi ke luar negeri Jelas fakta ini perlu disikapi ketika UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak telah mengatur hak yang harus diperoleh oleh anak. Pasal 13 UU tersebut menyebutkan, “setiap anak selama dalam pengasuhan orangtuanya, wali atau pihak manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun sosial, penelantraran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya”. Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan Seruni Banyumas bekerja sama dengan Yayasan Tifa merilis hasil penelitian berjudul “Pembangunan Strategi Pola Pengasuhan Children Left Behind (CLB) berbasis Komunitas Kabupaten Banyumas” (22/4/2014). Penelitian tersebut dilakukan di tiga kecamatan di Kabupaten Banyumas, yakni Pakuncen, Kedungbanteng, dan Kalibagor. Ada beberapa fakta hasil penelitian mengenai kondisi children left behind yang menggejala di daerah tersebut, antara lain: a. Mayoritas Anak TKI ditinggal bekerja ke luar negeri saat usia balita dan usia sekolah dasar. b. Dengan dalih asal tidak rewel, pengasuh cenderung menuruti apapun permintaan anak TKI dengan kiriman uang dari orang tua yang bekerja di luar negeri, sehingga memunculkan pola prilaku tidak patuh/disiplin dan malas. c. Meskipun tercukupi secara materi, ternyata masih ditemui anak-anak TKI/CLB yang putus sekolah dan pengasuh tidak berdaya mengatasi masalah ini. d. Terdapat kasus inses (hubungan kelamin sedarah/ayah dengan anak perempuan) atau tindak kejahatan seksual pemerkosaan pada anak TKI/CLB.

1

http://buruhmigran.or.id/2013/01/10/perilaku-seksual-suami-tkw/ 5 September 2014

e. Komunitas/lingkungan mempunyai anggapan bahwa persoalan pengasuhan merupakan urusan pribadi keluarga BMI. Temuan tersebut akhirnya menjelaskan bahwa di beberapa tempat yang menjadi basis pengirim buruh migran memiliki problem terhadap pengasuhan dan pendidikan anak. Namun demikian di beberapa daerah di perbatasan Indonesia dan Malaysia misalnya, ada praktik yang sama terhadap pelanggaran terhadap hak pengasuhan dan pendidikan yang seharusnya diperoleh anak walaupun dalam tingkatan yang berbeda. Di Sabah, ada aturan yang memungkinkan pekerja ladang kelapa sawit dari Indonesia untuk membawa keluarga. Namun permasalahannya fasilitas pendidikan bagi anak-anak BMI yang bekerja di sana tidak memadai. Bahkan dalam taraf tertentu, tidak sedikit anakanak yang tidak melek huruf. Sebagian dari anak-anak tersebut ditampung dalam pendidikan semacam kejar paket yang dinamakan Community Learning Centres (CLC) dengan guru campuran, Indonesia dan Malaysia. Sayangnya CLC ini jumlahnya baru mencapai 207 dengan 23.824 murid. Menurut Konsul Jenderal RI di Kota Kinabalu, Akhmad Irfan, terdapat sekitar 30ribu anak usia sekolah yang tidak tertampung dalam sistem CLC. Mereka saat ini menganggur, bekerja seadanya atau bermain main saja. Kekosongan tersebut bahkan dalam batas-batas tertentu telah mendorong sebagian di antaranya untuk bertindak kriminal. “Saya kira masalah ini bukan hanya domain pemerintah Indonesia tetapi juga Malaysia. Sebab kalau anak-anak itu tidak terdidik dengan baik maka berpotensi bikin masalah di manapun berada. Untuk mendirikan CLC baru sepertinya pemerintah sabah agak enggan mengeluarkan izin, dengan berbagai dalih. Selain itu ada beberapa perusahaan kelapa sawit yang enggan mengluarkan CSR nya dalam bentuk bangunan CLC.2

Problem pengasuhan dan pendidikan anak ini jamak terjadi di berbagai daerah maupun keluaga buruh migran. Bila setidaknya ada dua juta buruh migran dengan dua orang anak dan bekerja ke luar negeri itu artinya ada potensi sebesar empat juta anak yang terlantar akan asuhan dari orang tua/ keluarga maupun tercampakkan pendidikannya.

2

http://news.detik.com/read/2014/11/08/193006/2742879/10/2/anak-anak-tki-di-malaysia-sulit-mendapatpendidikan-layak

Analisis Masalah Berbicara migrasi tidak hanya berbicara mengenai perpindahan manusia dan pekerjaan. Melainkan juga mengenai interkasi sosial dan budaya yang sedikit banyak berpengaruh terhadap konteks sosial di komunitas dan daerah asal maupun di negara tujuan. Dalam konteks sosial, migrasi juga memiliki dampak negatif terhadap keluarga, komunitas, hingga kultur masyarakat daerah asal buruh migran. Secara umum permasalahan yang muncul dalam konteks sosial ini mampu dikelola dengan dua pendekatan yang saling melengkapi, yakni pendekatan social protection dan pendekatan social reintegration. Social Protection Motif utama migrasi adalah motif ekonomi dimana buruh migran secara berkala akan mengirimkan hasil kerja kerasnya (remitansi) dari luar negeri kepada keluarganya di daerah. Untuk itu konteks social protection sangatlah penting sebagai mekanisme proteksi jangka panjang. Namun, kajian dan dorongan untuk menerapkan secara sistem proteksi sosial secara optimal belum menjadi prioritas yang penting khususnya di Indonesia. “..detailed attention is neither given to the right to broader social protection for migrant workers, nor migrants’ access to domestic social security systems in origin and destination countries. Discussion of migrants’ rights to pensions, or women migrants’ rights to maternity leave are relatively rare... The issue of social protection as a long-term protection measure for migrants is of crucial importance. Among many long-term protection issues is that of migrants’ old age pensions, as it is necessary to ensure that migrants benefit from access to the social protection systems of their home country when they return after many years of noncontribution.” (Hall, Andy: 2011).

Secara umum penggunaan istilah social protection dan social securtity sering digunakan secara bergantian karena substansi nya yang hampir sama. Namun demikian definisi dari social protection sendiri sebenarnya lebih dalam dan luas. Menurut definisi ILO dalam World Social Security Report (ILO, 2011) dalam Hall, Andy, 2011 social protection di jelaskan sebagai berikut: Social protection… is often interpreted as having a broader character than social security (including protection provided between members of the family or members of a local community) but is also used in some contexts with a narrower meaning (understood as comprising only measures addressed to the poorest, most vulnerable or excluded members of society)… Social protection has the following aspects: (1) interchangeable with “social security;” (2) as “protection” provided by social security in case of social risks and needs. Social security covers all measures providing benefits, whether in cash or in kind, to secure protection from: (a) lack of work-related income (or sufficient income) caused by sickness, disability, maternity, employment injury, unemployment, old age or death of a family member; (b) lack of access or unaffordable access to health care; (c) insufficient family support, particularly for children and adult dependents; and (d) general poverty and social exclusion… Social security has two main dimensions, namely “income security” and “availability of medical care…”.

Berdasarkan konsep tersebut nampak bahwa dimensi proteksi sosial memiliki karakteristik tertentu yakni berorientasi pada subjek dan keluarga atau komunitas terdekatnya. Karakteristik kedua adalah orientasi pada kelompok miskin maupun kelompok yang termarginalkan. Secara lebih spesifik konsep dari sistem social protection ini menopang perlindungan dari beberapa aspek, yakni kerentanan akan sakit, disabilitas, cedera/ kecelakaan, pemecatan, hingga kematian.

Dalam konteks permasalahan buruh migran hari ini sistem perlindugnan sosial ini memang telah mulai dirintis dengan pengelolaan asuransi oleh swasta pada beberapa aspek menyangkut kecelakaan, pemutusan hubungan kerja, hingga kematian. Namun sistem ini belum mencakup perlindungan atas keluarga buruh migran dan perlindungan pasca kepulangan (reintegrasi). Oleh karenanya perlu ada konsep yang lebih komperhensif untuk menampung beberapa aspek tersebut. Secara lebih terperinci skema perlindungan buruh migran dalam kesatuan social protection harus mencakup tiga aspek penting. Pertama menyangkut keselamatan dan kesehatan buruh migran, kedua menyangkut jaminan akan pekerjaan yang layak dan sesuai kontrak. Poin ketiga adalah perlindungan atas keluarga buruh migran. Dan terakhir adalah perlindungan pada masa reintegrasi baik sosial maupun ekonomi. Social Protection on migrant worker’s family Perlindungan terhadap keluarga buruh migran perlu ada terutama menyangkut keberlanjutan hak asuh anak dan pendidikan anak. Untuk itu perlu ada integrasi antara afirmasi kebijakan yang mendorong terciptanya sistem untuk mampu memastikan bahwa hak asuh anak dan pendidikan tetap berjalan ketika salah satu orang tua nya pergi sementara waktu ke luar negeri dengan dukungan komunitas serta sistem sosial yang menopang pengasuhan dan pendidikan anak. Perlindungan ini perlu dilakukan baik untuk anak buruh migran yang ada di negara asal maupun anak buruh migran yang ikut serta bekerja ke negara penempatan seperti buruh perkebunan di daerah Malaysia. Pengasuhan Anak berbasis komunitas Dampak negatif dari migrasi terhadap pengasuhan anak secepatnya harus ditindaklanjuti. Anak-anak dalam hal ini memiliki hak untuk memperoleh kasih sayang dan pengasuhan khususnya dari keluarga terdekatnya. Dalam praktiknya perlindungan terhadap anak menjadi tanggung jawab orang tua dan komunitas terdekatnya. Oleh karenanya dalam konteks keluarga buruh migran yang menyebabkan anak ditinggalkan oleh salah satu dari orang tuanya (ayah/ ibu) perlu dukungan khusus dari keluarga dan komunitas sekitar untuk turut memberikan perhatian dan perlindungan. Komunitas memiliki sistem untuk membangun sistem pengasuhan bagi anak BMI secara efektif karena berasal dari inisiatif masyarakat (bersifat bottom up) dan secara kontekstual disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan anak yang terabaikan yang ada di komunitas masing-masing (Marku, 2014). Peran komunitas untuk perlindungan anak telah diamanatkan dalam pasal 25 UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang secara gamblang menyatakan bahwa masyarakat wajib dan bertanggungjawab dalam perlindungan anak melalui kegiatan peran masyarakat dalam perlindunga anak. Kemudian pasal 73 (ayat 2) UU no 23 tahun 2002 menyebutkan tentang perlindungan anak dapat dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa. Gagasan pengasuhan anak berbasis komunitas ini sebenarnya telah dimulai salah satunya oleh Perempuan SERUNI dan Paguyuban Peduli Buruh Migran di Banyumas. Dalam buku pedoman Pengasuhan Anak BMI Berbasis Komunitas dipaparkan pentingnya memulai perlindungan dan pendidikan terhadap anak buruh migran dari level komunitas. Namun, sebagai sebuah rekomendasi kebijakan dan gerakan yang lebih masif, perlu ada tindakan yang lebih serius untuk memastikan

bahwa sistem perlindungan dan pengasuhan anak yang berbasis komunitas bisa dimulai di banyak daerah kantong-kantong buruh migran. Mengenai gagasan pengasuhan anak berbasis komunitas ini ada beberapa rekomendasi yang bisa dijalankan baik oleh pemerintah dan masyarakat terkait: 1. Pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah perlu memastikan berjalannya sistem pendataan bagi keluarga buruh migran khususnya yang telah berkeluarga dan meninggalkan anak. Pendataan ini penting untuk membuat kategorisasi, analisis, dan kebijakan perlindungan terhadap keluarga buruh migran. 2. Perlu dibentuknya sistem di level lokal yang mampu memantau perkembangan sekaligus menjalankan pengasuhan anak yang ditinggal oleh orang tua nya bekerja. Sistem ini bisa melibatkan komunitas terdekat dan terkecil di tingkat desa. Misalnya dengan menempatkan orang tua maupun guru asuh dan pelatihan maupun sosialisasi secara berkala kepada keluarga buruh migran. 3. Pelibatan organisasi keagamaan dan lembaga swadaya masyarakat untuk memantau dan memberikan dukungan terhadap kebijakan perlindungan dan pengasuhan kepada anak-anak buruh migran. 4. Khusus bagi buruh migran yang membawa anaknya ke negara tempat mereka bekerja seperti pekerja kebun di kawasan Sabah, Malaysia, maka dalam hal ini pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa ada jaminan infrastruktur dan kebijakan yang mampu mengcover jalannya pendidikan bagi anak-anak buruh migran. Hal tersebut bisa dimulai dengan meninjau kembali MoU antara Indonesia dan Malaysia agar pemerintah Malaysia melalui perusahaan pemakai jasa tenaga kerja Indonesia juga memberikan perlindungan dan pendidikan yang adil terhadap anak-anak BMI yang ikut serta bersama orang tuanya di tanah perantauan. Optimalisasi sistem asuransi yang menyeluruh (social security) Kerentanan yang dialami oleh buruh migran baik pada masa pra pemberangkatan hingga kepulangan tidak serta merta diikuti oleh kebijakan yang berpihak. Sistem asuransi yang selama ini meliputi ganti rugi, biaya kesehatan, kecelakaan, dan santunan masih menemui banyak kendala. Permen nomor 38 tahun 2007 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia yang dirubah dengan Permen nomor 1 tahun 2012 belum cukup menjawab kegelisahan hingga resiko yang dialami oleh jutaan tenaga kerja Indonesia yang mengalami masalah. Problem yang seringkali terjadi adalah persoalan sosialisasi dalam memanfaatkan jasa asuransi, kesulitan klaim, hingga penipuan dan pemerasan pihak ketiga yang memanfaatkan situasi buruh migran yang mengalami masalah. Permasalahan krusial lain adalah ketika sistem social security ini berbenturan dengan perjanjian bilateral atau MoU yang menjadi kesepakatan antara negara pengirim dan penerima, oleh karenanya mengkaji potensi dan optimalisasi social security ini perlu ada kajian komperhensif juga mengenai isi dan substansi MoU antara Indonesia dan negara penempatan. Faktanya hingga kini, sistem yang ada terutama di negara penempatan belum memberikan perlindungan sosial yang optimal kepada buruh migran Indonesia terlebih kepada pekerja migran yang tidak berdokumen. To study social protection for Indonesian migrants, it is critical to look in more detail than is possible here at social protection for migrant workers provided by host countries and bilateral cooperation on social protection for migrants. ... in general, migrants from Indonesia are vulnerable due to gaps in

protection in both the country of origin and destination. ..Indonesian social protection is very limited for irregular migrants and domestic workers anyway, and does not provide adequate assistance to migrants once they return to Indonesia and/or to family members of migrants (Hall, Andy: 2011). Kelemahan proteksi (social security system) di negara penempatan yang menjadi konsideran dari MoU antara Indonesia dan Malaysia misalnya, dijelaskan oleh Salma (dalam Hall, Andy:2011) sebagai berikut: The MOU has been criticized as legalizing commoditization practices and for making Indonesian female migrant workers, particularly domestic workers, more vulnerable. In addition, the MOU provides no information or guarantees for adequate rest, and prohibits marriage and bringing spouses into the country. Prohibitions are also placed on the employment of those who are identified as having certain diseases, gatherings with workers’ families, and for migrants to keep their own passports (Salma, 2006).

Rekomendasi Reintegrasi Dengan analisis problem tersebut, maka harus ada upaya serius untuk memperbaiki sistem perlindungan sosial (social security system) yang tidak hanya berbicara pada legalitas formal asuransi namun berkesinambungan dengan pola perlindungan sosial buruh migran pasca kepulangan ke daerah asal yang kurang lebih sebagai berikut: 1.

2.

3.

Perbaikan perlindungan sosial saat masa reintegrasi khusus bagi buruh migran yang menjadi korban kekerasan dan perdagangan manusia. Hingga hari ini upaya reintegrasi korban kekerasan hanya berhenti pada mekanisme santunan dan pendampingan konsultasi. Negara baik melalui pemerintah pusat maupun daerah perlu serius merancang mekanisme reintegrasi pada para buruh migran yang menjadi korban kekerasan yang lebih komperhensif. Bagi korban yang terpenting adalah bisa kembali dengan baik dan menjalin hubungan (sosialisasi) dengan baik baik dengan keluarga maupun komunitas. Artinya, aspek perlindungan sosial ini, bukan hanya korban yang diintervensi, namun keluarga dan komunitas, baik dalam bentuk sosialisasi maupun pendidikan/ training dengan tujuan bahwa keluarga dan komunitas tersebut mampu menerima dengan baik dan mendukung buruh migran yang menjadi korban. Pendampingan yang sistematis baik dalam bentuk pendampingan penguatan ekonomi maupun soft skill bagi buruh migran yang menjadi korban kekerasan dan perdagangan manusia. Hal tersebut menjadi penting untk memulihkan kemampuan psikis dan mental dan mampu kembali bekerja baik dengan berusaha atau melalui sektor yang lain. Pendampingan ini juga wajib dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan segenap elemen organisasi yang perduli terhadap kepentingan buruh migran agar negara tidak hanya melakukan recycling atau pemulangan terhadap buruh migran yang menjadi korban tersebut tanpa memberikan intervensi lain demi perbaikan nasib mereka atau minimal tidak kembali terulang kasus yang sama. Pendampingan perlindungan sosial berbasis komunitas. Yang menjadi penting disini adalah peran kelompok masyarakat seperti pemuka agama dan anggota komunitas untuk bersama sama melindungi warganya yang menjadi buruh migran dari cap dan sentimen negatif. Hal ini bisa mulai dibangun dengan memfungsikan simpul simpul kelompok keluarga buruh migran untuk turut serta dalam memberikan pendidikan. Oleh karenanya perlu ada satu sistem di setiap kantong kantong migran. Pemerintah perlu membuat skema migrant resource center yang di dalamnya memfungsikan pendidikan komunitas bagi buruh migran dan keluarganya. Selain itu perlu ada upaya sistematis agar menjalankan paradigma bahwa pilihan menjadi buruh migran adalah pilihan terakhir untuk bekerja diantara berbagai pilihan-pilihan lain.

Lihat lebih banyak...

Comentarios

Copyright © 2017 DATOSPDF Inc.