Pengaruh Great Depression 1930 Terhadap Produtivitas Ekspor Hasil Perkebunan Negara Kolonial.

June 14, 2017 | Autor: Amina Lanek | Categoría: The Great Depression of 1930s, Ekonomi, Sejarah Ekonomi
Share Embed


Descripción



Black Thursday dikenal sebagai peristiwa jatuhnya bursa saham New York pada tanggal 24 Oktober 1929 dan mencapai puncak terparahnya pada tanggal 29 Oktober 1929. (Menurut situs berita online: http://jaringnews.com/ekonomi/umum/6984/begini-cerita-depresi-global-tahun--an yang dilihat pada tanggal 21 Desember 2015 pukul 02:09).
M.C. Ricklefs, 2010, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, hal. 399
Ibid., hlm 402.
Ibid., hlm 400.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 2008, Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, Balai Pustaka, hlm 254.
Hiroyoshi Kano, 2008, Indonesian Exports, Peasant Agriculture and the World Economy 1850-2000: Economic Structures in a Southeast Asia State, Singaore: National University of Singapore Press, hlm 53.
Ibid., hlm 62.
M.C. Ricklefs, Op. Cit., hlm 400.
Suhartono, 1994, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 86.
Jeroen Touwen, Regional Inequalities in Indonesia in The Late Colonial Period, Lembaran Sejarah. Vol. 3. No. I. 2000, hlm 110-111.
Amina Lanek
347940
Tugas UAS Sejarah Ekonomi Indonesia

Pertanyaan: Bagaimana pengaruh great depression 1930 terhadap produtivitas ekspor hasil perkebunan negara kolonial?
Jawaban:
Perekonomian di Indonesia sebenarnya dapat menjanjikan sebuah perkembangan yang menguntungkan. Terutama dengan perekonomian di Jawa di akhir 1920-an yang berkembang pesat. Pada awal 1900-an perkebunan merupakan komuditas paling berharga bagi pemerintah kolonial karena merupakan penyumbang pajak terbesar bagi kas negara. Sayangnya, perkebunan rentan terkena dampak naik turunnya pasar dunia. Pada abad ke-19 penghasil ekspor terbesar adalah gula dan kopi. Tetapi pada abad ke-20, kopi mendapat saingan dari Brazil dan gula mendapat saingan dari Filipina dan Cuba. Selain itu penemuan baru yaitu gula bit dari Eropa menguasai pasar Inggris dan Jepang sehingga ekspor Indonesia mulai merosot.
The great depression (depresi ekonomi) atau malaise yang terjadi pada akhir 1929 menghantam perekonomian Indonesia pada tahun 1930. The great depression merupakan sebuah peristiwa dimana tingkat perekonomian menurun secara drastis atau bisa dikatakan berhentinya perputaran roda perekonomian di seluruh dunia. The great depression bermula dari Amerika pada tahun 1929 yang dikenal dengan peristiwa Black Tuesday yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Indonesia amat bergantung pada ekspornya, terutama produk minyak bumi dan pertanian. Maka ketika pasar eropa merosot, perekonomian Indonesia ikut merosot. Pada tahun 1930, sebanyak 52% dari produk-produk ini diekspor ke negara-negara industri Eropa dan Amerika Utara. Indonesia sangat sulit melakukan ekspor saat depresi karena pasar mereka sudah direbut oleh produk-produk negara lain yang lebih baik, baru dan murah. Hal itu dialami oleh ekspor produk perkebunan gula, teh, tembakau dan nila. Hasil bumi dari pedesaan juga tak luput dari depresi. Harga ketela, jagung dan padi menurun, sedangkan yang butuh pangan banyak. Ketersediaan bahan makanan untuk per kapita menurun dari tahun 1930 hingga tahun 1934. Sungguh, tidak diragukan lagi bahwa setidaknya hingga akhir tahun 1930-an, kesejahteraan Indonesia menurun. Jadi dapat disimpulkan bahwa depresi ekonomi sukses "menghajar" perekonomian di Indonesia.
Jeroen Touwen dalam tulisannya di Lembaran Sejarah yang berjudul Regional Inequalities in Indonesia in the Late Colonial Period menjelaskan bahwa depresi ekonomi 1930 menyebabkan jatuhnya GDP di Indonesia karena penurunan harga ekspor dan pemasokan uang. Di pasar dunia, permintaan berkurang dan harga menurun. Semua produsen ekspor mengalami penurunan hasil pendapatan yang drastis karena menurunnya harga. Industri gula di Jawa runtuh, kegiatan ekspor pada komoditas lainnya juga terkena parah. Bukti kualitatif menunjukkan depresi mengakibatkan angka kemiskinan yang bertambah di Jawa dan pulau-pulau pengekspor utama di luar Jawa. Tapi secara bersamaan, jumlah produksi padi dan tanaman pangan meningkat. Sebuah peristiwa yang mencolok dalam perekonomian Indonesia adalah tingginya deflasi, khususnya di daerah pedesaan. Kelompok masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk dan bekerja di industri gula terserang kemiskinan, sementara kelompok lain, seperti pegawai pemerintah dan pemilik real estate mengalami penaikan pendapatan selama depresi.
Fluktuasi harga tadinya telah menjadi fenomena umum, tetapi kini harga untuk seluruh ekspor utama Indonesia turun secara bersamaan dan menimbulkan bencana. Dimulai pada tahun 1929, harga rata-rata ekspor Indonesia menurun drastis. Pada tahun 1935, nilai ekspor Indonesia tinggal sekitar 32% dari nilai yang diperoleh tahun 1929. Volume ekspor juga turun karena menciutnya pasar dan diberlakukannya kebijakan proteksi. Dari tahun 1929 hingga 1930, rata-rata harga barang ekspor Hindia-Belanda menurun sebesar 28%. Tahun berikutnya harga itu kembali menurun sebesar 25%, yang disusul kejatuhan bertutur-turut sebesar 21% dan 11%. Harga gula merosot hingga 22 %, nila 10 %, kopra 18 %, teh 50 %, dan kopi 27 %. Dari tahun 1929 hingga 1930, rata-rata harga barang ekspor Hindia-Belanda menurun sebesar 28%. Tahun berikutnya harga itu kembali menurun sebesar 25%, yang disusul kejatuhan bertutur-turut sebesar 21% dan 11%. Pada tahun 1933, harga-harga itu hanya menjadi 35% dari keadaan tahun 1929 dan kurang dari 31% terhadap harga rata-rata masa 1923-1927. Volume ekspor tinggal 37% dari pendapatan rata-rata ekspor selama 5 tahun bagian kedua masa 1920-an. Angka pendapatan di tahun 1935 adalah kurang dari setengah yang diperoleh satu dekade sebelumnya.
Sebenarnya, yang terkena dampak dari depresi adalah semua komuditas ekspor. Hanya saja industri gula yang terkena dampak paling parah lalu runtuh. Sedangkan industri karet dan minyak bumi menjadi komuditas ekspor paling penting bagi Indonesia pada saat itu.
Akibat krisis hilang sudah peran gula sebagai produk ekspor terbesar dari Indonesia, dan ini juga berarti peran pulau Jawa sebagai pusat ekspor (gula, teh, kopi) tidak lagi berpengaruh di perdagangan dunia. Pulau luar Jawa atau Outer Islands-lah yang berperan penting dalam menyelamatkan perekonomian Indonesia.
Karet dan minyak bumi yang berkembang di awal abad ke-20 menjadi penyelamat perekonomian Indonesia. Saat itu, industri mobil berkembang pesat. Mobil membutuhkan ban yang terbuat dari karet serta bensin sebagai bahan bakar. Dengan demikian permintaan akan karet dan bumi tinggi sehingga produksi meningkat pesat. Perkebunan karet itu sendiri banyak terletak di luar Jawa; Sumatera dan Kalimantan. Sayangnya, harga karet jatuh dari f. 54 di tahun 1929, di tahun 1930 menjadi f. 30 ½ sen, di tahun 1931 semakin turun menjadi f. 15 dan di tahun 1932 menjadi f. 8 ½ sen (hanya 16 persen dari harga pada tahun 1929). Baru pada tahun 1933 harga karet naik lagi menjadi f. 11 karena persiapan Perang Dunia ke- II. Untuk menanggulangi harga yang jatuh, produksi ditingkatkan. Ini dilakukan agar dapat memperoleh jumlah uang yang sama seperti sebelum krisis, hanya saja hal ini tidak berhasil malah membuat harga karet semakin jatuh. Untuk menanggulangi hal ini pemerintah mengadakan perjanjian internasional dengan negara lain. Hasil perjanjiannya adalah setiap negara mendapatkan kuota tertentu dari pasaran karet, dan kuota ini dibagikan ke setiap perkebunan karet di Indonesia. Industri minyak bumi juga tidak luput dari penurunan harga. Seperti industri karet, minyak bumi menambah produksinya untuk mengatasi penurunan harga.
Yang paling parah adalah harga gula yang turun tajam. Karena itu lahan garapan tebu lantas dikurangi dengan cepat: pada tahun 1934 ada 200.000 hektar yang digarap, namun pada tahun 1939 hanya ada 90.000 hektar. Para pekerja diberhentikan dan akibatnya gaji yang dibayarkan dalam industri gula pun berkurang sampai 90%.
Akibat yang ditimbulkan dari depresi ini juga dirasakan oleh perusahaan Barat, perusahaan-perusahaan banyak yang mengalami penyusutan, dari 178 pabrik gula yang ada pada tahun 1928, tinggal 50 buah yang bekerja pada tahun 1934, demikian pula penyusutan pegawai dan buruh musiman dari 129.249 pada tahun 1928 menjadi 28.632 pada tahun 1934. Kesulitan semangkin kompleks di perkebunan tebu karena berkurangnya sewa tanah dan hal ini diakui Direktur perkebunan yang disampaikan didalam Volksraad. Harga barang kebutuhan hidup merosot, demikian pula harga beras turun dari f7,50 menjadi f2,50 setiap pikul. Dengan turunnya harga penjualan itu, penghasilan petani susut sekitar 60% sehingga ia harus melakukan penghematan untuk makan dan membeli pakaian.
Pada kenyataannya, setelah lebih dari satu abad berlangsung, depresi menyebabkan ekspor Indonesia tidak lagi didominasi oleh gula dan kopi. Orang-orang Jawa yang bekerja pada perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur mulai kembali lagi ke daerahnya karena kesempatan kerja sudah tidak ada lagi di sana. Pada tahun 1930 ada 336.000 pekerja kebun di Sumatra Timur; pada tahun 1934, angka ini menurun menjadi 160.000 saja.




The trend of Major Export Commodities (unit:million guilders)
Year
Natural rubber
Coffee
Copra
Sugar
Tobacco
Tea
Petroleum Products
Tin
Others
Total
1929
273,5
69,5
133,6
311,6
83,3
86,1
185,2
84,3
252,3
1,443.2
1930
172,8
35,7
101
254,3
58,6
69,5
190,1
62,6
212,7
1,157.2
1931
82,6
24,2
67,9
129,3
51,1
60
147,1
40,9
144,1
747.2
1932
34
35,2
63,4
99,3
46,8
32,5
98,5
21,1
110,6
541.4
1933
37,8
22
56,2
62,1
32
26,4
105
25,4
97,3
467.9
1934
88,8
22,5
29,5
45,5
37
44,9
99,8
35,2
84
487.3
1935
70
18,7
45,2
36
29,3
36,7
87,4
38,6
83,8
445.7
1936
87,8
15,9
70,8
34,1
37,9
42,9
97,5
49,9
101
537.7
1937
298,1
26
104,7
51,1
41,1
49,1
166,6
91,4
123,1
951.2
1938
135,4
13,7
65,8
45,2
38,8
56,2
164
39,4
99,2
657.8
Sumber: Hiroyoshi Kano, 2008, Indonesian Exports, Peasant Agriculture and the World Economy 1850-2000: Economic Structures in a Southeast Asia State, Singaore: National University of Singapore Press, hlm 52.

Penurunan ekspor terbesar terdapat pada tahun 1931, yaitu sebesar 35,4 % dengan selisih 410 ribu guilders dari tahun sebelumnya. Pada tahun 1930, ketika depresi terjadi hanya terjadi penurunan ekspor sebesar 24,7% dengan selisih sebesar 286 ribu guilders.Kemudian pada tahun 1932 dan 1933 terjadi penurunan ekspor sebesar 27,5 % dan 13, 6 %. Tahun 1934 mengalami penaikan ekspor sebesar 3,9% yang sayangnya di tahun 1935 mengalami penurunan sebesar 9,3 %. Pada tahun 1936 hingga 1938 mengalami penaikan yang cukup banyak yaitu 17,1 %, 43,5% dan 44,6%. Tapi dapat kita perhatikan di tabel bahwa kenaikan-kenaikan produksi ekspor di tiga tahun terakhir tidak bisa menyaingi hasil ekspor pada tahun 1929 hingga 1931.
Di tahun 1931, dimana persentase produksi ekspor paling menurun, karet dan minyak bumi menjadi penyelamat perekonomian. Seperti yang terlihat di tabel, produksi karet dan minyak bumi tetap mengalami penurunan, tetapi tidak begitu besar. Pada saat persiapan Perang Dunia ke II, yaitu 1933-an produksi karet, timah dan minyak bumi langsung meningkat. Ini merupakan awal perbaikan dalam perekonomian di bidang ekspor Indonesia. Tahun-tahun berikutnya perekonomian Indonesia masih naik-turun, tapi tidak separah tahun 1931.
Pemulihan produksi ekspor di Outer Island lebih cepat dibandingkan dengan yang di Jawa. Karena walaupun pendapatan menurun karena harga jatuh, tetapi ekspor tetap stabil. Tidak seperti di Jawa yang langsung hancur ketika ekspor gula jatuh. Perbedaan antara jawa dan pulau luar jawa terdiri dari 2 faktor yang berhubungan. Pertama, harga beberapa jenis produk ekspor dari pulau luar (minyak, kopi, dan karet, yang harganya kembali pulih setelah tahun 1934) lebih tinggi atau lebih cepat pulihnya dibandingkan harga gula, yang merupakan produk ekspor utama jawa. Kedua, jumlah ekspor dari luar pulau jawa bisa berkembang sampai batas tertentu sehingga bisa mengimbangi efek dari depresi.

Kesimpulan
The great depression yang melanda seluruh dunia ikut menghantam perekonomian Indonesia. Akibatnya adalah hancurnya ekspor di hampir semua bidang industri. Yang paling merasakan kehancuran adalah industri gula di Jawa yang mati karena kalah saing di pasar dunia. Pulau Jawa yang bergantung kepada industri gula mengalami depresi yang sangat parah, tapi tidak dengan Outer islands yang ekpornya tetap menurun tapi cenderung stabil.
Karet dan minyak bumi yang kebanyakan kebunnya ada di Outer Island muncul sebagai penyelamat perekonomian Indonesia. Pada tahun 1933, produksi karet dan minyak bumi meningkat drastis. Tahun-tahun berikutnya (1934-1938) ekspor karet dan minyak bumi tetap naik-turun tapi tidak drastis sehingga tidak begitu mengganggu perekonomian.
























Daftar Pustaka
Kano, Hiroyoshi, 2008, Indonesian Exports, Peasant Agriculture and the World Economy 1850-2000: Economic Structures in a Southeast Asia State, Singaore: National University of Singapore Press.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 2008, Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C., 2010, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi.
Suhartono, 1994, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Touwen,Jeroen, Regional Inequalities in Indonesia in The Late Colonial Period, Lembaran Sejarah. Vol. 3. No. I. 2000.
http://jaringnews.com/ekonomi/umum/6984/begini-cerita-depresi-global-tahun--an diakses pada 21 Desember 2015 pukul 02:09











Lihat lebih banyak...

Comentarios

Copyright © 2017 DATOSPDF Inc.