Laporan fistum

July 22, 2017 | Autor: Fadhilatul Laela | Categoría: Fisiology
Share Embed


Descripción

Pada praktikum kali ini, akan dibahas mengenai pengaruh perlakuan fisik dan kimia terhadap permeabilitas dari membran sel Beta vulgaris(Bit Gula) yang mengandung pigmen betalain. Berdasarkan hasil pengamatan, nilai absorband tertinggi untuk perlakuan fisik panas, diperoleh angka 0,390 pada temperatur 65°C. Dari grafik terlihat bahwa semakin tinggi temperatur yang diberikan pada bit gula, maka warna ungu yang terlarut dalam akuades akan semakin pekat dan nilai absorband semakin tinggi. Nilai absorband yang tinggi ini menunjukkan bahwa jumlah cahaya yang diserap oleh larutan pada panjang gelombang 525 nm cukup besar pula. Maka, semakin tinggi nilai absorband yang terbaca, mengindikasikan bahwa semakin pekat warna larutan yang terbentuk; serta semakin tinggi tingkat kerusakan yang dialami oleh membran sel dengan perlakuan tersebut (banyak pigmen yang keluar dari sel). Berdasarkan hasil penelitian, temperatur toleran optimum bagi membran sel bit gula adalah 30°C-40°C. Pada temperature yang lebih tinggi lagi, membrane sel akan mengalami denaturasi yang secara langsung mempengaruhi permeabilitasnya (Anonim,2010).
Perlakuan beku memberikan nilai absorband yang lebih besar lagi, yaitu : 3,182. Hal ini disebabkan oleh air di sekitar umbi yang berubah bentuk menjadi kristal-kristal es sewaktu perendaman. Kristal-kristal es ini memiliki permukaan yang tajam, sehingga merusak membran sel dan mengoyaknya. Tak hanya sekadar membuat membrane sel terdenaturasi seperti pada perlakuan panas. Akibatnya, pigmen yang terlepas/keluar dari membrane menuju air destilata semakin banyak, dan menimbulkan warna ungu pekat.
Sedangkan pada perlakuan dengan bahan kimia, absorbandsi terbesar adalah perlakuan dengan metanol. Metanol merupakan senyawa alkohol yang bersifat polar dan mudah berikatan dengan membran sel. Ikatan ini menyebabkan senyawa organic penyusun membrane sel menjadi larut (adhesi). Benzen memiliki nilai absorbandsi terendah. Hal tersebut dikarenakan oleh sifat dari benzen yang bertindak sebagai emulsifier dari fosfat dan membrane yang terlarut.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan pada praktikum kali ini, diperoleh kesimpulan bahwa perlakuan fisik pada Beta vulgaris berupa panas dan beku, dapat merusak struktur membran selnya. Semakin tinggi temperatur yang diberikan, maka akan semakin tinggi nilai absorband dan kerusakan yang dialami oleh membrane sel. Begitupula dengan perlakuan beku, yang memberikan nilai absorband jauh lebih tinggi daripada perlakuan panas 65°C. Pada perlakuan kimia, metanol memberikan nilai absorband tertinggi dan nilai absorband paling rendah dimiliki oleh benzene.
Daftar Pustaka
[Anonim] 2010. Factors Affecting the Rate of Permeability in a Cell Membrane [Terhubung berkala]. http://www.123helpme.com/view.asp?id=148801 (19 Maret 2010)
[Anonim] 2010. Membran Sel [Terhubung berkala]. http://id.wikipedia.org/wiki/Membran_sel (22 Maret 2010)
VII. Jawaban Pertanyaan
Perlakuan panas menyebabkan membrane sel menjadi rusak. Protein yang menyusun membran (fosfolipid maupun glikolipid) mengalami denaturasi, sehingga pigmen ungu yang berada di dalam Beta vulgaris dan isi sel lainnya keluar. Hal tersebut dapat teramati dari perubahan warna akuades yang telah direndam oleh Bit gula selama 40 menit. Pada suhu yang lebih tinggi (65°C), warna yang dihasilkan dari perendaman menjadi lebih pekat daripada perlakuan suhu rendah. Maka, sifat permeabilitas membran sel terhadap substrat yang masuk akan semakin tinggi bila nilai absorbandnya semakin tinggi pula.
Pembekuan menyebabkan permeabilitas sel menjadi tinggi. Karena air yang berada di sekitar membrane sel yang membeku berubah menjadi Kristal-kristal tajam. Kristal es ini kemudian mengoyak membrane sel, sehingga isi sel dan pigmen lainnya keluar. Menyebabkan munculnya warna ungu pekat pada air rendaman tersebut.
Metanol adalah senyawa alcohol yang bersifat polar, sehingga mampu melarutkan senyawa organic seperti membrane sel. Membran yang terlarut ini kemudian kehilangan turgiditasnya dan menyebabkan isi sel keluar. Aseton adalah pelarut yang sangat baik untuk berbagai senyawa organic, keluarnya isi sel hamper mirip dengan yang terjadi pada methanol. Benzene merupakan senyawa aromatic yang tidak larut dalam air dan berbentuk emulsi.
Membran sel terdiri dari fosfolipid bilayer yang memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik. Sifat hidrofilik merupakan sifat polar yang dimiliki oleh bagian kepala membrane (suka air). Sedangkan sifat hidrofobik adalah sifat non-polar yang dimiliki oleh bagian ekor membrane (tidak suka air). Sifat-sifat ini menyebabkan membrane sel menjadi suatu lapisan semi permeable, yang selektif dalam memilih zat-zat yang dapat masuk dari lingkungan luar ke dalam sel.
Setelah dilakukannya semua perlakuan untuk mengamati pengaruh fisik dan kimia terhadap sifat permeabilitas membran sel pada tanaman Beta vulgaris, kemudian dilakuknnya pengamatan, terdapat hasil yang menunjukan perbedaan adanya pengaruh perlakuan fisik dan kimia terhadap permeabilitas membran sel.
Pengamatan yang pertama yaitu pada potongan umbi Beta vulgaris yang diberi perlakuan dengan direndam didalam air dengan suhu 65oC, 60oC, 50oC, 45oC selama satu jam. Setelah dilakukan pengamatan terhadap kekeruhan air dengan mengukur absorbansinya, ternyata untuk umbi yang direndam didalam air bersuhu 65oC memiliki nilai absorbansi yang paling tinggi. Pada saat suhu semakin tinggi, maka permeabilitas membran akan semakin berkurang karena komponen membran akan mengalami kerusakan yang disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi. Suhu tinggi sangat mempengaruhi protein dan fosfolipid lemak penyusun membran. Akibatnya, sel mengalami difusi cairan sel ke luar membran sel. Semakin menurun suhunya maka nilai absorban yang berhasil teramati semakin rendah, namun terjadi penyimpangan untuk suhu 45oC. Pada suhu 45oC ternyata nilai absorban yang teramati sebesar 0,268. Hal itu menunjukan kenaikan kembali setelah terus turun dari suhu 65oC. Hal itu merupakan kesalahan yang mungkin disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya yaitu kesalahan saat merendam umbi pada suhu 70oC, kurangnya keahlian praktikan saat pengukuran nilai absorban, dan kesalahan pada saat pengukuran nilai absorban. Menurut Bonner (1961), perbedaan permeabilitas sangat bergantung pada besar kecilnya molekul yang lewat dan ditentukan oleh besar-kecilnya pori-pori membran. Tapi pada membran plasma sel hidup, besarnya molekul tidak berpengaruh, hal ini disebabkan oleh adanya kaitan antara kelarutan zat dalam salah satu komponen membran.
Percobaan selanjutnya, yaitu perlakuan umbi Beta vulgaris yang direndam didalam keadaan suhu air rendah atau dingin. Setelah dilakukannya pengamatan terhadap umbi dan penghitungan nilai absorbannya, didapatkan data bahwa nilai absorban yang tertera yaitu sebesar 3,299. Nilai absorban yang tinggi menunjukan bahwa perlakuan terhadap air dingin sangat mempengaruhi permeabilitas sel karena membran sel tidak tahan terhadap suhu yang terlalu ekstrim sehingga komponen penyusun membran menjadi rusak dan isi sel keluar sel. Hal tersebut menunjukan bahwa nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan perlakuan umbi dengan air panas. Grafik yang tertera diatas meunjukan penurunan garis saat umbi diperlakukan dengan air panas, kemudian naik secara signifikan saat umbi diperlakukan dengan air dingin.
Percobaan yang terakhir yaitu perlakuan umbi Beta vulgaris dengan zat-zat kimia, yaitu direndam dengan larutan metanol, aseton, dan benzena. Hasil yang didapatkan setelah melakukan pengamatan terhadap ketiga perlakuan tersebut, umbi yang direndam dengan metanol memperlihatkan bentuk umbi yang mengembung, sementara umbi yang direndam didalam benzena tidak memperlihatkan perubahan bentuk yang berarti, sementara umbi yang direndam didalam aseton menunjukan keadaan umbi yang mengkerut. Hal tersebut sangat berkaitan dengan nilai permeabilitas membran sel. Umbi yang direndam dalam larutan aseton ternyata memiliki kerusakan permeabilitas membran yang besar karena larutan aseton dapat merusak komponen membran sehingga larutan intra sel berdifusi keluar sel. Hal sebaliknya terjadi pada metanol, dimana membran sel menjadi sedikit berkurang daya permeabilitasnya sehingga ada cairan yang masuk kedalam sel yang mengakibatkan sel umbi menjadi mengembung. Nilai absorban yang berhasil diamati, yaitu untuk metanol sebesar 1,095, untuk benzen sebesar 0,093 dan untuk aseton sebesar 0,018. Hal itu menunjukan bahwa setiap pemberian zat kimia yang berbeda mempengaruhi tingkat permeabilitas yang berbeda pula. Pemberian metanol, mempengaruhi tingkat kerusakan membran sel yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan dengan menggunakan aseton maupun benzen.
KESIMPULAN
Membran sel akan mengalami kerusakan ataupun penurunan tingkat permeabilitas selnya jika ditahruh ataupun diberikan perlakuan pada suhu ekstrem (panas & dingin). Membran sel juga akan mengalami penurunan tingkat permeabilitas membran sel jika berada pada kondisi lingkungan yang terdapat zat-zat kimianya sehingga cairan dalam sel dapat keluar ataupun masuk kedalam sel secara bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Bonner, J.1961.Principle of Plant Physiology. Canada: Pasadena.
Prawinata, W. 1981. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan Jilid I. Bandung: ITB.
Tim Fisiologi Tumbuhan. 2008. Penuntun Praktikum Fisiologi Tumbuhan. Padang: Universitas Andalas.
Yatim,W. 2000. Embriologi. Semarang: CV.Tarsito.
VII.JAWABAN PERTANYAAN
Akibat dari perlakuan panas terhadap permeabilitas membran sel adalah komponen membran sel yang merupakan fosfolopid dan protein menjadi terdegradasi dan terurai yang mengakibatkan permeabilitas membran menjadi rusak.
Akibat yang ditimbulkan dari perlakuan pembekuan terhadap permeabilitas membran sel yaitu struktur dari komponen penyusun membran menjadi kaku dan rusak karena protein dan fosfolipid sangat rentan terhadap perlakuan suhu yang ekstrem seingga permeabilitas sel enjadi berkurang.
Pengaruh senyawa organik yang diberikan, yaitu komposisi membran yang terutama yaitu komposisi lipid menjadi terdegradasi oleh pemberian senyawa organik yang kemudian molekul polar dapat dengan mudah keluar –masuk sel karena struktur lipid dan protein telah dirusak.
Hubungan antara sifat-sifat molekul hidrofilik dibagian luar membran sel dan hidrofobik dibagian dalam membran terhadap permeabilitas membran yaitu membran enjadi bersifat selektif permeabel. Sifat ini yang menyebabkan hanya molekul-molekul tertentu dan kecil saja yang dapat masuk kedalam membran. Sifat itu pula yang membuat membran tidak dapat mudah ditembus oleh senyawa-senyawa polar.
About these ads
Alat yang digunakan dalam praktikum adalah spektrofotometer. Spektrofotometer adalah suatu instrumen yang mengukur porsi dari cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda yang diserap dan dihantarkan oleh suatu larutan berpigmen (Campbell, 2002). Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang (Puspa, 2011).
Terdapat tiga perlakuan yaitu perlakuan panas, perlakuan dingin, dan perlakuan kimia. Pada perlakuan panas, dari data yang di dapat semakin tinggi suhu yang diberikan kepada bahan percobaan maka semakin tinggi nilai absorban 525 nm dan semakin pekat pula warna yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi karena semakin tinggi suhu menyebabkan membran semakin rusak akibatnya semakin banyak pula isi sel yang ke luar. Komponen membran tersusun atas lipid dan protein, maka jika suhunya terlalu tinggi, protein akan mengalami denaturasi kemudian meyebabkan isi di dalam sel ke luar karena protein penyusun membran selnya rusak. Pada perlakuan beku, nilai absorban yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan perlakuan pada suhu 70o yaitu 3,318. Hal ini disebabkan oleh air di sekitar umbi yang berubah bentuk menjadi kristal-kristal es sewaktu perendaman. Kristal-kristal es ini memiliki permukaan yang tajam, sehingga merusak membran sel dan mengoyaknya. Tak hanya sekadar membuat membrane sel terdenaturasi seperti pada perlakuan panas. Akibatnya, pigmen yang terlepas/keluar dari membrane menuju air destilata semakin banyak, dan menimbulkan warna ungu pekat. Pada perlakuan kimia digunakan tiga larutan yaitu metanol (CH3OH), aseton ( CH3COCH3), dan benzen (C6H6). Dari data yang didapat metanol memiliki nilai absorban yang tinggi hal ini karena Metanol merupakan senyawa alkohol yang bersifat polar dan mudah berikatan dengan membran sel. Ikatan ini menyebabkan senyawa organic penyusun membrane sel menjadi larut (adhesi), metanol juga memilikipanjang rantai paling pendek sehingga dengan waktu yang sama pada methanol tidak memerlukan waktu yang banyak untuk pecahnya membran sel dan larut dalam senyawa kimia metanol tersebut. Sedangkan pada benzen memiliki ikatan rantai karbon paling panjang dan tidak mengandung gugus –OH sehingga untuk memecahkan membran sel butuh energi yang lebih besar dan benzena pun tidak dapat larut dalam cairan membran dibuktikan adanya butiran-butiran merah yang tak larut, benzen bertindak sebagai emulsifier dari fosfat dan membrane yang terlarut.

Jawaban Pertanyaan :
1. Perlakuan panas menyebabkan membran sel menjadi rusak karena protein yang menyusun mebran mengalami denaturasi sehingga pigmen ungu dan isi sel lainnya keluar, terbukti dari warna yang dihasilkan lebih pekat dan nilai absorban tinggi pada perlakuan panas 70o. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi nilai absorban dan semakit pekat.
2. Pembekuan menyebabkan permeabilitas membran sel tinggi. Karena air yang berada di sekeliling bit gula yg telah dibekukan berubah menjadi kristal-kristal tajam dan kristal-kristal tersebut mengoyak dinding membran sel sehingga menyebabkan pigmen dan isi sel lainnya keluar. Warna yang dihasilkan lebih pekat dibandingkan dengan warna yang dihasilkan pada suhu 70o.
3. Aseton memiliki rumus kimia CH3COCH3 , methanol memiliki rumus kimia CH3OH, sedangkan benzena memiliki rumus kimia C6H6. Jika dilihat dari rumus kimianya hanya aseton dan methanol yang memiliki gugus –OH, sedangkan penyusun utama membran sel adalah –OH, sehingga ketika Beta vulgaris dimasukan kedalam larutan tersebut cairan dalam membran sel larut dalam senyawa aseton dan metanol sedangkan pada benzena tidak larut dan terdapat butiran-butiran merah. Dan jika dilihat dari panjangnya ikatan rantai karbon metanol memiliki panjang rantai paling pendek sehingga dengan waktu yang sama pada methanol tidak memerlukan waktu yang banyak untuk pecahnya membran sel dan larut dalam senyawa kimia metanol tersebut. Sedangkan pada benzena memiliki ikatan rantai karbon paling panjang dan tidak mengandung gugus –OH sehingga untuk memecahkan membran sel butuh energi yang lebih besar dan benzena pun tidak dapat larut dalam cairan membran dibuktikan adanya butiran-butiran merah yang tak larut.
4. Sifat hidrofilik merupakan sifat polar yang dimiliki oleh bagian kepala membran (suka air). Sedangkan sifat hidrofobik adalah sifat non-polar yang dimiliki oleh bagian ekor membran (tidak suka air). Sifat-sifat ini menyebabkan membran sel menjadi suatu lapisan semi permeable, yang selektif dalam memilih zat-zat yang dapat masuk dari lingkungan luar ke dalam sel.

Kesimpulan :
Pengaruh permeabilitas membran berbeda-beda untuk setiap perlakuan panas, perlakuan dingin, dan perlakuan dengan senyawa kimia ditunjukan dengan perbedaan nilai absorban masing-masing perlakuan. Membran sel akan mengalami kerusakan yang parah jika diberi perlakuan suhu yang ekstrim, terlalu rendah ataupun terlalu tinggi. Semakin tinggi suhu yang diberikan maka semakin pekat warna yang dihasilkan dan semakin tinggi nilai absorbannya. Semakin panjang ikatan rantai karbon maka nilai absorbannya semakin rendah.
Daftar Pustaka :
Campbell, dkk. 2002 Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta : Erlangga.
Yatim, W. 2000. Embriologi. Semarang : CV. Tarsito.
Larasati, Puspa. 2011. Komposisi Kimia Membran Sel dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permeabilitas. (http://puspalarasati.wordpress.com)
DAFTAR PUSTAKA
Kutowy,O and S. Sourirajan. (1975). Cellulose
acetate ultrafiltration membranes.
Journal of Applied Polymers Science.
19. 1449- 1460.
Mulder, Marcel. (1996). Basic Principle of
Membrane Technology. Amsterdam :
Kluwer.
Wang, Y. et. al. (1994). Effect of pretreatments
on morphology and performance of
cellulose acetate membranes.
Desalination. 95. 155- 169.
Kesting. (1984). Sinthetic Polymeric Membrane.
New York: John Wiley & Sons.
Heru Pratomo. (2001). Pembuatan dan
Karakterisasi Membran Komposit
Polisulfon Selulosa Asetat untuk Proses
Ultrafiltrasi. Laporan Penelitian tidak
diterbitkan. Yogyakarta : FMIPA UNY.
Riley, R.L., H.K. Lonsdale and C.R. Lyons.
(1971). Composite membranes for
seawater desalination by reverse
osmosis. Journal of Applied Polymers
Science. 15. 1267 - 1276 .
Zendy, Corina (1997). Pengaruh Lapisan
Pendukung Polyester Terhadap
Karakteristik Membran Sellulosa Asetat.
Skripsi Tidak Diterbitkall. Ba
Pada perlakuan dengan aseton, absorban yang didapat cukup besar karena sel mengalami difusi ke luar sel. Terjadinya difusi dari dalam ke luar sel ini disebabkan karena membran sel mengalami kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kerusakan ini disebabkan karena membran sel tidak tahan terhadap aseton.
5. 1 Kesimpulan
Dari hasil percobaan yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Membran sel akan mengalami kerusakan jika diberikan perlakuan suhu yang ekstrim. Semakin tinggi suhu yang diberikan, maka kerusakan pada membran akan semakin parah karena membran sel tidak tahan terhadap keadaan yang terlalu panas ataupun terlalu dingin.
2. Pengaruh permeabilitas membran berbeda-beda untuk setiap perlakuan panas, perlakuan dingin, dan perlakuan dengan senyawa kimia
3. Zat terlarut ada yang dapat melewati membran, dan ada yang tidak tergantung dari sifat membran yang dilaluinya.

5.2 Saran
Dalam melakukan praktikum ini hendaknya praktikan lebih hati-hati dalam menggunakan alat-alat laboratorium terutama kuvet dan spektrofotometer karena alat tersebut cukup mahal dan sulit didapat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anonimous. 2008. Membran Plasma. http://ms.wikipedia.org/wiki/Membranplasma. 06 Februari 2008.
Anonimous. 2008. Permeabilitas. http://bima.ipb.ac.id/~tpb-ipb/materi/prak_biologi. 07 Maret 2008.
Bonner, J. 1961. Priciples of Plant Physiology. Canada : Pasadena.
Campbell, dkk. 2002 Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta : Erlangga.
Gelston, A. 1961. The Life of Green Plant. New Jessey : Prentice Hall.
Kimball, J.W. 2000. Biologi Jilid I. Jakarta : Erlangga.
Lovelles. 1991. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropika. Bandung : Gramedia Pustaka Utama.
Prawinata, W. 1981. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan Jilid I. Bandung : ITB.
Salisbury, J.W. dan Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid I. Bandung : ITB.
Subowo. 1995. Biologi Sel. Bandung : Angkasa.
Tim Fisiologi Tumbuhan. 2008. Penuntun Praktikum Fisiologi Tumbuhan. Padang : Universitas Andalas.
Willking. 1989. Fisiologi Tanaman II. Bandung : Bina Angkasa.
Yatim, W. 2000. Embriologi. Semarang : CV. Tarsito

Lihat lebih banyak...

Comentarios

Copyright © 2017 DATOSPDF Inc.