Jurnal ProblemFilsafat No.3/Tahun I/Februari 2010

July 6, 2017 | Autor: Berto Tukan | Categoría: Philosophy, Marxism
Share Embed


Descripción

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

bulletin AGITPROP

Dua Paragraf Pertama Kapital: Kesejahteraan, Komoditas, Kebutuhan

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

PROBLEMFILSAFAT

1

ESSEIEDITORIAL

D

alam Bulletin Problem Filsafat edisi ini telah kami kumpulkan dua naskah presentasi kawan Anom Astika pada kesempatan diskusi tanggal 4 dan 11 Februari 2010. Dua naskah ini telah kami olah menjadi satu artikel—“Yang Berdaya Beli atau Berdaya Jual?”— yang membahas relasi antara kesejahteraan (wealth), komoditas (commodity) dan kebutuhan (need). Relasi antar ketiga konsep ini mencerminkan wilayah kajian yang dibahas dalam dua kali diskusi tersebut, yakni pembacaan atas dua paragraf pertama Bab I Kapital. Dalam paragraf pertama dikatakan bahwa “bentuk elementer” dari kesejahteraan masyarakat yang bertumpu pada modus produksi kapitalis adalah komoditas. Pada paragraf kedua, komoditas ini dijelaskan sebagai objek eksternal yang memberikan pemenuhan atas kebutuhan. Melalui makalahnya, Anom berupaya mengolah kesaling-terkaitan ketiga konsep tersebut dalam perbandingannya dengan formulasi Marx tentang hal terkait dalam karya-karya sebelumnya. Pada artikel kedua, kawan Rangga Utomo mengulas diskusi tanggal 4 Februari—tentang kesejahteraan—melalui kisah Yunani tentang Raja Midas yang mengubah apapun yang disentuhnya menjadi emas. Melalui kisah ini Rangga memperlihatkan sejarah pengertian tentang kesejahteraan sejak era Antik hingga Modern-borjuis, yakni transisi historis dari konsepsi tentang kesejahteraan sebagai perkara eudaimonia menuju perkara pertukaran komoditas. Mengenai proses diskusi sendiri, ada beberapa pokok yang menarik untuk diangkat di sini. Pada diskusi tanggal 11 Februari sempat terjadi perdebatan yang cukup seru tentang relasi komoditas-kebutuhan, tentang apakah kebutuhan merupakan syarat kemungkinan bagi komoditas ataukah sebaliknya. Memang dikatakan oleh Marx bahwa komoditas ada untuk menjawab adanya kebutuhan—dengan demikian, kebutuhan merupakan syarat yang memungkinkan keberadaan komoditas. Di sini seolah terlihat sebuah determinasi searah: kebutuhan menentukan komoditas. Kendati demikian, apabila dilihat dalam perbandingannya dengan penjelasan Marx tentang transisi dari siklus komoditas-uang-komoditas (C-M-C) ke uangkomoditas-uang (M-C-M) yang dikupasnya pada Bagian 2 Bab I, intuisi tentang determinasi searah ini mendapatkan negasinya. Dalam siklus komoditas-uang-komoditas, uang di sini hanya berperan sebagai perpanjangan tangan dari prinsip barter—tujuan akhirnya tetaplah nilai guna (use val-

2

PROBLEMFILSAFAT

ue). Berbeda halnya dalam siklus uang-komoditas-uang, di sini tujuan yang hendak diperoleh dari proses pertukaran tak lain adalah pertukaran itu sendiri (sejauh uang adalah kodifikasi atas nilai tukar), atau lebih tepatnya, nilai tukar yang lebih besar (M’). Dalam arti inilah Marx menyebut siklus terakhir itu sebagai tautologi (Capital, hlm. 250-251). Uang seolah menjadi otonom dalam sirkulasinya sendiri, atau lebih tepat, dalam sirkulasi untuk mengakumulasidirinya secara lebih besar. Dalam siklus itu komoditas dan uang saling bertransformasi satu sama lain menuju kebalikannya, dalam sebuah siklus yang senantiasa mereproduksi-dirinya—dengan kata lain, siklus ini menjadi, seperti ditulis Marx, “sebuah subjek otomatis” (Capital, hlm. 255). Lantas bagaimana kaitannya dengan kebutuhan? Di sini Marx secara implisit menunjukkan sisi lain dari relasi antara komoditas dan kebutuhan: komoditas tidak hanya ditentukan oleh kebutuhan melainkan juga, pada tahapan tertentu, menentukan kebutuhan. Artinya, komoditas memproduksi kebutuhan yang diperlukan untuk kehadiran dirinya: komoditas mereproduksi syarat-syarat kemungkinannya sendiri, ia menjalankan reproduksi atas kondisikondisi produksinya sendiri. Diskusi menjadi kian menarik karena perdebatan tentang relasi antara komoditas dan kebutuhan, jika dilihat dari perspektif determinasi resiprokal di atas, mau tak mau merambah juga ke dalam diskusi tentang relasi antara basis dan superstruktur, tentang kritik atas ekonomisme, dan pada akhirnya tentang keperluan untuk memikirkan konsepsi sosialis tentang kebutuhan. Dalam bentuk kapitalisnya, kebutuhan menjadi produk yang dikonstitusikan oleh sirkulasi komoditas dan uang. Artinya, Ada-nya kebutuhan tidak semata bersifat alamiah, melainkan disebabkan secara struktural oleh konfigurasi nilai tukar (relasi komoditas dan uang) yang menjadi basis operasi kapitalisme. Dengan kata lain, pada alam kapitalisme, kebutuhan selalu berarti kebutuhan simbolik—inilah hasil fabrikasi spesifik dari modus produksi kapitalis yang tak ditemukan dalam modus produksi sebelumnya. Dalam ranah simbolik ini tak ada nilai guna yang sungguh bernilai tanpa adanya nilai tukar, atau dengan kata lain, tak ada nilai apapun tanpa nilai tukar—tak ada presentasi (alamiah) yang bernilai tanpa representasi (simbolik). Kebutuhan, sebagai rasa kekurangan, adalah pengandaian yang direproduksi terus-menerus oleh relasi daya-daya kapital dalam upaya untuk melanggeng-

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

ESSEIEDITORIAL

kan dirinya, sebagaimana pengagung-agungan atas konsepsi keterhinggaan manusia, kefanaan dan kedhaifannya, merupakan refleksi dari relasi daya-daya produksi Asiatik dan Eropa Abad Pertengahan yang menempatkan setiap manusia sebagai hamba yang sepenuhnya fana dan terhingga di hadapan Raja yang maha kuasa, Raja yang sekaligus menjadi Tuhan bagi rakyat sebagai budak-budak fananya. Di sini kawan Wilfried Ebiet (Stein) menajamkan intuisi tersebut dengan sebuah pertanyaan retoris: “Jika komoditas dan kebutuhan selalu tersituasikan dalam modus produksinya yang spesifik, maka apakah hasil produksi dari rohaniawan yang kerjanya hanya berdoa setiap hari dan berkhotbah di depan umat sambil menerima bayaran dari umat?” Kita tahu jawabnya: apa yang diproduksinya tak lain adalah kebutuhan, atau lebih tepat, kebutuhan sebagai komoditas: komoditas yang dihasilkannya adalah kebutuhan untuk percaya pada sebuah momen “neraca penyesuaian” yang penghabisan di mana yang lemah namun baik hati akan terselamatkan. (Sampai di sini ada sebuah perkara metodologis penting yang belum sempat disinggung dalam diskusi. Barangkali kita dapat bertanya: Bukankah sirkulasi komoditas dan uang yang menciptakan kebutuhan itu sendiri

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

diciptakan oleh manusia, oleh seorang manusia pemodal? Mengapa ditampilkan seolah-olah sirkulasi itu bergerak sendiri secara struktural tanpa agen manusia yang menjalankannya? Pertanyaan ini masuk akal. Namun asumsinya bermasalah. Apabila kita melokalisasi inti problematik dari kapitalisme pada manusia, maka keniscayaan logis akan mengarahkan kita untuk mengutuk-sumpahi sifatsifat dari manusia itu dan kualitas-kualitas personalnya. Jika kita hendak eksplisitkan asumsi yang mengeram di balik pertanyaan di atas, maka kita dapat menyatakan: kapitalisme bukanlah sesuatu yang buruk asalkan para pemodal dan pemilik pabriknya memiliki semangat kemanusiaan untuk membantu meringankan beban para buruhnya (melalui tunjangan, penyediaan rumah dan akses kesehatan). Persis inilah yang disarankan oleh kaum sosialis-utopis yang ditolak Marx. Dalam asumsi dasar dari pertanyaan itu, kapitalisme itu bermasalah karena ia jahat. Padahal kapitalisme itu jahat karena ia bermasalah, dan bukan sebaliknya. Artinya, jahat/baiknya kapitalisme itu tidak penting. Kejahatan kapitalisme hanyalah konsekuensi logis dari permasalahan yang inheren secara struktural di dalamnya. Mengatakan bahwa kapitalisme itu jahat, atau bahwa kapitalisme adalah suatu Kedurjanaan Radikal (Radical Evil) tidak akan membawa kita kemanapun selain berpusar-pusar dalam evaluasi dan putusan (judgement) moral. Padahal yang penting adalah merumuskan permasalahan kapitalisme dari sudut pandang ekstra-moral, dengan kata lain, membuktikan secara ilmiah bahwa kapitalisme itu memang problematis. Konsekuensinya, pendekatan struktural adalah sesuatu yang niscaya diperlukan dalam membaca kritik Marx atas kapitalisme. Di sinilah kita masih memerlukan metodologi Althusser: mendekati problem kapitalisme secara anti-humanis dan tidak secara humanis dengan bertumpu pada argumen-argumen moral yang non-saintifik.) Setelah sampai kepada pengertian tentang kebutuhan sebagai hasil produksi dari konfigurasi nilai tukar, diskusi berlanjut menuju sebuah pertanyaan—dari kawan Henry

PROBLEMFILSAFAT

3

ESSEIEDITORIAL

Stephen—yang menjadi konsekuensi logisnya: Bagaimana merumuskan konsepsi kebutuhan dalam kerangka sosialisme? Artinya, apabila dalam masyarakat kapitalis kebutuhan adalah hasil reproduksi ideologis atas kondisi-kondisi produksi, demikian pula kah yang terjadi dalam masyarakat sosialis? “Itulah yang terjadi,” demikian sambut kawan Rangga malam itu, “dalam pemikiran seorang Marxis seperti Lukacs: partai komunis mesti menanamkan ideologinya kepada rakyat untuk mengarahkan kebutuhan rakyat sehingga selaras dengan prinsip-prinsip sosialisme.” “Itu juga yang terjadi dalam Lenin,” tambah kawan Anom, “Partai sebagai vanguard [pelopor] kelas buruh yang akan mengarahkan mereka untuk mengenali apa yang mereka butuhkan dan apa yang tidak mereka butuhkan.” Problem dari pembacaan itu adalah konsepsi sosialis tentang kebutuhan cenderung menjadi identik dengan konsepsi borjuis tentangnya: kebutuhan adalah sesuatu yang direproduksi secara ideologis—“disuntikkan”—oleh segugus instansi tertentu (Partai, misalnya) ke dalam massa proletariat. Dengan kata lain, kebutuhan menjadi produk dari mekanisme reproduksi atas “deprivasi relatif ” (perasaan kesenjangan antara yang ada dan yang semestinya ada, antara das Sein dan das Sollen)—suatu produksi atas kekurangan (lack). Padahal justru kekurangan inilah yang difabrikasi dan dipertahankan oleh rezim kapitalis untuk menjalankan roda perekonomiannya: masyarakat sebagai konsumen yang dikondisikan—via teknologi iklan dan pemasaran—untuk terus membutuhkan komoditas (misalnya, pencitraan tentang i-pod sebagai media canggih untuk menikmati musik walaupun sudah ada telepon seluler yang memiliki teknologi yang sama). Terhadap kebuntuan mengenai konsepsi sosialis tentang kebutuhan, solusi alamiahnya adalah dengan mencari ke belakang, menuju suatu fase historis pra-kapitalis di mana kebutuhan belum berarti fabrikasi simbolik, ke suatu masa di mana manusia hanya memiliki “kebutuhankebutuhan alami”-nya saja. Ini adalah implikasi dari pernyataan bahwa kapitalisme itu bermasalah karena ia tidak alamiah. Posisi ini bisa menjadi problematis apabila ketidakalamiahan kapitalisme itu dimengerti sebagai sesuatu yang akan diselesaikan oleh sosialisme sebagai suatu gerak kembali kepada apa yang alamiah. Implikasi dari posisi ini akan mengarah pada asumsi tentang adanya suatu kondisi alamiah yang primordial, yang asali, di mana tak ada kebutuhan yang tak terfabrikasi, di mana yang ada hanyalah kebutuhan alami manusia—dan kondisi ini diandaikan ada di suatu awal sejarah, pada sebuah “masyarakat primitif ”. Artinya, argumen ini bersandar pada postulat yang problematis, yang pra-Marxis, yakni postulat tentang “Taman Eden” di mana Adam dan Hawa hidup secara alamiah sebelum ditipu oleh ular beludak. Apabila betul bahwa

Marxisme adalah kritik atas representasi atau logika mediasi, ini tidak berarti Marxisme menjadi upaya nostalgis untuk kembali kepada suatu presentasi murni atau imediasi asali di awal mula sejarah. Idealisasi tentang imediasi primitif hanya mungkin sebagai ilusi tentang imediasi. Jika benar bahwa apa yang diupayakan Marx adalah formulasi baru tentang imediasi atau presentasi, maka imediasi/ presentasi ini hanya dimungkinkan sebagai proyek yang mesti dikonstruksikan ke depan, dan bukan dicari-cari ke belakang sejarah. Apa yang dicarinya bukanlah sosialisme alamiah melainkan sosialisme yang ilmiah. Dalam arti inilah kita masih dapat mengartikan Marxisme sebagai filsafat masa depan, sebagai filsafat yang secara konseptual optimis pada progress, pada fajar merah sosialisme yang akan tiba. ia jang lahir dalam kantjah perdjuangan kini sudah besar dan mendjadi dewasa; dia jang dibesarkan dalam dadung pertempuran beribu-ribu gugur, namun berdjuta mengangkat pandjinja. orang-orang munafik dan kerdil pikiran sia sia mengintip rahasia: mengapa sedjarah berpihak kepada klas jang paling muda? mengapa komunisme kian merata, terudji, dan ditjinta? dan bagi rakyat pekerdja, pedjuang proletariat ubanan tetap remadja? siang bertukar malam dan malam berganti pagi ribuan tahun manusia terbenam di lumpur perbudakan dan di kegelapan pikiran itu marx dan engels memertjikkan api dan di tiap negeri berkumandanglah lagu kebangkitan. seorang egom mati di tiang-gantungan seorang aliarcham tewas di tanah-buangan; generasi baru datang, beladjar tentang keberanian dan kearifan satu demi satu musuh dikalahkan dan satu demi satu direbut kemenangan. marxisme-leninisme menemap perdjuangan kelas dan perdjuangan klas menjemai marxisme-leninisme; o, repolusi tjermelang, jang sedang disiapkan nasion-nasion tertindas dalam abad ini djuga kita punahkan imperialisme. —Agam Wispi (Kepada Partai: Kumpulan Sandjak; Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1965) Oleh Martin Suryajaya

4

PROBLEMFILSAFAT

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

ARTIKELDISKUSI

YANG BERDAYA BELI ATAU YANG BERDAYA JUAL? Oleh Anom Astika

I Setelah enam alinea pengantar, maka sekarang sebaiknya dari pengantar itu, atau dengan menggunakan kerangka yang mungkin dibangun melalui pengantar itu, kita mulai membaca kalimat-kalimat awal dari Bagian 1 Bab 1 buku Das Kapital. Kalimat 1 Alinea 1 Bab 1 Bagian 1 Das Kapital: Kesejahteraan/Kemakmuran dari semua masyarakat yang berada dalam lingkup mode produksi kapitalis, selalu menampilkan dirinya sebagai “akumulasi berbagai rupa komoditas secara besar besaran”, yang masing masingnya terbagi atas unit komoditas tunggal.

Pernyataan awal Marx ini seperti yang sudah saya tuliskan dalam “Enam Alinea Pengantar”, adalah sebuah perbaikan dari A Contribution to the Critique of Political Economy. Anggap saja, perbaikan tersebut adalah oleh karena perkembangan pemikiran Marx. Akan tetapi yang belum diubah dari struktur kebahasaannya adalah penggunaan

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

kata “wealth”, “accumulation”, dan “commodity”. Apabila dipelajari dari beberapa tulisan Marx sebelum Capital, pemaknaan kata ‘wealth’ –yang dalam bahasa Indonesia saya kira bisa saling dipertukarkan terjemahannya, apakah itu kesejahteraan, kemakmuran ataupun kekayaan-- dapat dielaborasi menurut problem-problem yang diajukannya pada masing masing tulisan. Di dalam Manuskrip Paris 1844, ‘wealth’ dipelajari oleh Marx sebagai sesuatu yang problematis, seperti yang terungkap dalam kutipan berikut:1 Tetapi tingkat keuntungan (kapital), tidak seperti sewa dan upah, yang tumbuh bersama kemakmuran dan hancur bersering dengan kemiskinan masyarakat. Sebaliknya, keuntungan itu justru rendah di negeri negeri yang kaya dan tinggi di negeri negeri miskin, selalu menjadi yang tertinggi di negeri ngeri yang segera akan mengalami kehancuran. Karenanya kepentingan klas ini tidak memiliki kaitan yang sama dengan kepentingan umum masyarakat.... (kepentingannya) sekedar memperluas pasar dan menyempitkan kompetisi di antara penjual … Inilah

PROBLEMFILSAFAT

5

ARTIKELDISKUSI klas dari orang orang yang kepentingannya tidak pernah sama persis dengan kepentingan masyarakat. Inilah klas dari orang orang yang umumnya berkepentingan untuk menipu dan menindas publik.

Ia problematis oleh karena kemakmuran dan atau kemiskinan masyarakat itu tidak pernah diberikan oleh kapital, oleh karena kapital tidak pernah berpikir tentang bagaimana membangun ekonomi masyarakat, melainkan lebih pada bagaimana memanfaatkan masyarakat untuk menciptakan keuntungan bagi dirinya. Sehingga di dalam Poverty of Philosophy Marx lalu melanjutkan pemahamannya tentang hal kesejahteraan:2 Masyarakat secara keseluruhan, memiliki hal yang sama dengan bagian dalam dari sebuah sanggar kerja, sehingga masyarakat pun memiliki pembagian kerjanya. Jika sesorang mengambil pembagian kerja dalam sanggar modern sebagai model, dalam rangka menerapkannya pada keseluruhan masyarakat, maka masyarakat paling baik diorganisasikan untuk produksi kesejahteraan, yang pastinya akan memiliki seorang kepala pekerja, yang mendistribusikan tugas tugas ke berbagai anggota dari komunitas menurut aturan yang sudah disepakati. Tapi inilah persoalannya. Ketika di dalam sanggar kerja modern pembagian kerja begitu rinci diatur oleh otoritas kepala pekerja, masyarakat modern tidak memiliki aturan yang lain, tidak ada otoritas lain untuk pembagian kerja, kecuali kompetisi bebas.

sampai satu orang hingga ribuan orang berpikir bahwa Marx sudah waktunya diabaikan dari dunia pemikiran karena optimismenya lebih serupa utopia. Baiklah, kalau memang bukan utopia, maka sebut saja namanya tiga kali, maka terjadilah sosialisme! Sebenarnya bukan seperti itu cara berpikir untuk mempelajari pemikiran Marx. Ada banyak hal yang perlu diperhatikan di dalam pemikiran Marx sehubungan dengan persoalan ‘wealth’ atau kesejahteraan di muka. Pertama, sebagaimana yang telah diungkap melalui penggalpenggal tulisannya, ‘wealth’ atau kesejahteraan adalah sebuah fenomena yang belum selalu melandasi keberadaan masyarakat, dan oleh karenanya juga merupakan sesuatu yang problematis. Adanya kesejahteraan adalah oleh karena perkembangan ekonomi, tetapi perkembangan ekonomi itu sendiri dikendalikan oleh kelompok sosial yang tidak perduli dengan adanya masyarakat, dan kepentingannya sejauh menciptakan keuntungan bagi dirinya sendiri. Oleh karenanya, realisasi dari kesejahteraan dan atau penciptaan kesejahteraan itu sendiri perlu diperhatikan dengan berbasis pada perspektif yang meletakkan manusia/masyarakat sebagai kekuatan-kekuatan produktif. Dalam hal ini, sebagai poin yang kedua, Marx coba menggambarkan kesejahteraan dalam bentuk yang paling sederhana yaitu upah dalam lingkup mode produksi kapitalis yang dapat diperhatikan

Problematik yang digambarkan oleh Marx dalam rangka melawan ide pembagian kerja Proudhon menjadi lebih rumit, oleh karena ‘wealth’ di sini sebagai aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan kerja anggota komunitas yang juga harus berhadapan dengan bangunan yang lebih besar yaitu kapitalisme dengan kompetisi bebasnya. Artinya, “kesejahteraan” sebagai bentuk pengharapan manusia akan penciptaan surga dunia tidak akan pernah mampu diwujudkan sepanjang realisasi dari surga dunia itu selalu dapat diperangi dan lalu dikalahkan oleh kapitalisme. Oleh sebab itu di dalam Preface to A Contribution to the Critique of Political Economy, Marx kemudian menyatakan:3 Dalam kerangka yang lebih luas, mode-mode produksi Asiatik, Antik, Feodal dan Borjuis modern mungkin dirancang sebagai epik yang menandai kemajuan di dalam perkembangan ekonomi masyarakat. Mode produksi borjuis adalah bentuk antagonistik yang terakhir dari proses produksi sosial –antagonistik tidak dalam pemikiran antagonisme individual tetapi antagonisme yang mengemanasi dari eksistensi kondisi sosial individu-- tetapi perkembangan kekuatan-kekuatan produktif di dalam masyarakat borjuis menciptakan juga kondisi material untuk solusi dari antagonisme ini.

Perspektif yang demikian itu boleh jadi optimistik dan belum selalu benar kejadiannya di kemudian hari. Sampai-

6

PROBLEMFILSAFAT

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

ARTIKELDISKUSI

melalui kutipan berikut:4 Naik-turunnya upah akan menyesuaikan dengan hubungan penawaran dan permintaan, menyesuaikan pada perubahan yang terjadi di dalam persaingan antara pembeli tenagakerja, yaitu kaum kapitalis, dengan penjual tenagakerja, yaitu kaum buruh. Turun-naiknya upah pada umumnya bersesuaian dengan turun-naiknya harga-harga barang-dagangan. Tetapi di dalam turun-naik ini harga kerja akan ditentukan oleh biaya produksi, oleh waktu kerja yang diperlukan untuk menghasilkan barang-dagangan ini–tenaga kerja.

Lalu perhatikan juga bagaimana Marx mendekati persoalan kelas-kelas sosial dalam kaitannya dengan kesejahteraan:5 Tetapi masih ada juga pertimbangan lain. Tuan-pabrik dalam menghitung biaya produksinya dan, sesuai dengan itu, harga baranghasil-baranghasil memperhitungkan pengausan perkakas- perkakas kerja. Jika, misalnya, suatu mesin baginya berharga 1000 mark dan akan aus dalam waktu sepuluh tahun, maka dia akan menambahkan 100 mark tiap-tiap tahunnya pada harga barangdaganganbarangdagangan, supaya dapat mengganti mesin- mesin yang sudah aus itu dengan mesin baru pada akhir sepuluh tahun. Dengan cara yang sama, dalam menghitung biaya produksi tenagakerja yang sederhana, harus dimasukkan biaya reproduksi yang memungkinkan ras buruh berbiak dan buruh yang sudah aus diganti dengan yang baru. Jadi penyusutan harga buruh diperhitungkan dengan cara yang sama seperti penyusutan harga mesin-mesin.

Apa yang disampaikan oleh Marx di dalam dua alinea di muka sebenarnya berdasar pada anggapan bahwa ‘kesejahteraan’ bukanlah sesuatu yang dibangun melalui konsep-konsep aritmetik dan bukan juga abstraksi dari sebuah keadaan yang dianggap sejahtera. Apakah lalu problem kesejahteraan ini lalu dapat dianggap sebagai bentuk kepedulian Marx terhadap kaum buruh, dan oleh karenanya ‘kesejahteraan’ disamaartikan dengan upah? Boleh jadi pendapat berupa pertanyaan barusan itu benar sepanjang ‘kesejahteraan’ itu sendiri dilepaskan dari konteks proses penciptaan kesejahteraan. Akan tetapi di dalam cuplikan teks di muka problem yang diajukan oleh Marx justru bukan pada bagaimana kesejahteraan didefinisikan, melainkan lebih pada bagaimana kesejahteraan –dalam pengertian fisiknya yang paling sederhana yaitu upah-- berlaku sebagai dasar bagi penentuan standar hidup para pekerja. Artinya di sini bukan upah sama dengan kesejahteraan, tetapi lebih pada bagaimana upah dijadikan dasar

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

untuk menentukan standar kesejahteraan lewat wacana permintaan dan penawaran yang berlaku sebagai hukum ekonomi liberal. Lebih jauh lagi, kesejahteraan di sini adalah gambaran tentang bagaimana kekuatan-kekuatan produktif nilainya ditentukan oleh hubungan industrial, hubungan jual beli antara pemilik pabrik dan penjual tenaga kerja. Oleh Stephen Shapiro, pemikiran Marx di dalam alinea awal buku Kapital disebut sebagai kritik terhadap pemikiran Adam Smith sehubungan dengan penggunaan frase ‘wealth of society’ sebagai lawan dari ‘wealth of nations’ . Tetapi bukan di sana letak soalnya bila melihat Adam Smith berpendapat:7 Harga jual dari kerja pada dasarnya diatur menurut dua situasi; permintaan akan (tenaga) kerja, dan harga untuk berbagai kebutuhan dan kenyamanan hidup. Permintaan akan tenaga kerja, menurut apa yang terjadi akan meningkat, tetap, atau menurun, atau menuntut peningkatan, kestabilan atau penurunan populasi, semuanya menentukan kuantitas berbagai kebutuhan dan kenyamanan hidup yang harus diberikan kepada pekerja; dan harga jual (tenaga) kerja ditentukan oleh apa yang disyaratkan untuk membeli kuantitas ini. Karenanya, walaupun harga jual (tenaga) kerja kadang kadang tinggi ketika harga bahan pangan rendah, harga jual itu tetap akan meningkat, dan permintaan akan tenaga kerja juga akan sama meningkat, kalaupun harga bahan pangan meninggi. …..Ini karena permintaan akan tenaga kerja meningkat ketika masa masa yang tiba-tiba berkelimpahan, dan menurun ketika masa masa serba kekurangan, sehingga harga jual tenaga kerja kadang naik, kadang turun.

Jadi perlu dipahami bahwa kritik Marx terhadap Adam Smith tidak sebatas penggunaan frasa di muka. Lebih jauh lagi, Marx menunjukkan problematik pemikiran Adam Smith yang tidak akan pernah mampu menjawab persoalan kesejahteraan yang diasalkan dari logika nasib “sekarang untung besok buntung”. Tidak ada kesejahteraan yang mungkin dihasilkan melalui perumpamaan-perumpamaan tentang nasib hidup yang tak menentu. Oleh karenanya juga, problematik kesejahteraan perlu diperhatikan dalam perspektif membangun kesejahteraan yang alternatif, yang bukan berangkat dari perspektif akumulasi komoditas, melainkan yang berasal dari berbagai persepsi tentang kebaikan publik dan kehendak mendistribusikan kebutuhan pokok masyarakat secara adil dan merata. Barangkali lalu dipertanyakan, memang apa salahnya dengan akumulasi komoditas kalaupun itu yang

PROBLEMFILSAFAT

7

ARTIKELDISKUSI

memang diperlukan untuk membangun atau menciptakan kesejahteraan? Apa lagi yang bisa dilakukan di tengah lingkup kehidupan yang sudah kadung sepenuhnya dimediasi oleh uang dan pasar? Oleh karena apa perlu mendistribusikan segala sesuatu secara adil dan merata? Pertanyaan-pertanyaan ini belum selalu dapat dijawab dengan baik oleh banyak dari penulis Marxis yang membahas buku Capital. Aku sendiri awalnya belum mampu menjawab semua pertanyaan di muka, selain argumen argumen etis yang melatarbelakangi adanya kebutuhan untuk berpikir tentang Sosialisme sebagai alternatif dari Kapitalisme. Tetapi aku lalu berupaya mempelajari beberapa karya Marx dalam perjalanannya membuat buku Capital. Pertama aku mencoba mempelajari kembali Wage Labour and Capital: Sang kapitalis menyediakan benang tenun dan perkakas tenun kepada si penenun. Ia mulai bekerja dan benang diubah menjadi pakaian. Sang kapitalis mengambilalih kepemilikan atas pakaian itu dan menjualnya seharga 20 Shilling, misalnya. Sekarang apakah upah dari si penenun adalah andil dari pakaian, dari 20 Shilling, dari produk kerja? Tidak sama sekali. Jauh sebelum pakaian itu dijual,

komoditas atau barang dagangan, yang diakumulasi secara besar besaran, yang dengan demikian melalui penjelasan tentang hal kesejahteraan di muka, praktek akumulasi itu mampu menyembunyikan realitas perdagangan di antara pekerja, atau penjual tenaga kerja, dan pemilik pabrik, atau pembeli tenaga kerja. Apa yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah bagaimana pemahaman tentang kesejahteraan itu berdialektika dengan proses produksi komoditas. Kalimat 1-3 Alinea 2 Bab 1 Bagian 1 Das Kapital:

Barang-dagangan/komoditas adalah, pertama-tama, suatu benda di luar kita, suatu barang yang dengan sifat-sifatnya memuaskan/memenuhi, dengan satu dan lain cara, kebutuhan manusia. Sifat kebutuhan ini, apakah misalnya timbul dari perut, atau dari khayalan, tidak mengubah soalnya. Juga tidak menjadi soal bagaimana barang itu memenuhi kebutuhan manusia, apakah secara langsung sebagai kebutuhan hidup, yaitu sebuah objek konsumsi, atau secara tidak langsung sebagai suatu alat produksi.

Adanya komoditas, seperti yang sudah dijelaskan oleh Marx, bermula dari pemahaman tentang kebergunaan se-

“Bagi Marx, ‘kesejahteraan’ dalam kondisi masyarakat yang kapitalistik adalah sesuatu yang menyembunyikan berbagai macam bentuk realitas penindasan dan penghisapan.” mungkin jauh sebelum pakaian itu ditenun, si penenun telah menerima upahnya. Sang kapitalis, lalu, tidak membayar upahnya dari uang yang dia akan dapatkan dari pakaian, tapi dari uang yang sudah ada di tangan. Sama sedikitnya dengan benang dan alat tenun yang disediakan oleh sang kapitalis untuk si penenun bekerja, maka sesedikit itu pula komoditas yang diterimanya sebagai pertukaran dari komoditasnya –tenaga kerja-- dengan produknya. Mungkin sekali sang kapitalis tidak mendapatkan pembeli bagi semua pakaiannya. Mungkin sekali ia bahkan tak mendapatkan jumlah uang yang sama dengan upah kerja melalui penjualan. Mungkin sekali kalau dia menjualnya sesuai dengan proporsi upah penenun. Tapi semuanya tidak ada hubungannya dengan penenun. Dengan sebagian kekayaannya, dari modalnya, sang kapitalis membeli tenaga kerja penenun dengan cara yang sama persis seperti ia membeli bahan mentah –benang-- dan alat kerja –alat tenun.

Bagi Marx, ‘kesejahteraan’ dalam kondisi masyarakat yang kapitalistik adalah sesuatu yang menyembunyikan berbagai macam bentuk realitas penindasan dan penghisapan. Bahkan dikemukakannya dengan begitu jelas bahwa Walaupun demikian, Marx berpendapat bahwa hal ‘kesejahteraan’ itu berasal dari sesuatu yang disebut dengan

8

PROBLEMFILSAFAT

buah barang, dan oleh sebab adanya pertukaran. Tetapi bukan berarti komoditas adalah langsung muncul dari pikiran manusia. Ia tetap merupakan hasil kerja manusia, hasil produksi masyarakat yang dalam tahap perkembangan sejarah tertentu dapat dipertukarkan seiring dengan yang di dalam hal ini berkait dengan dialektika diantara proses penciptaan barang dan proses-proses sosial yang memungkinkan terjadinya proses penciptaan tersebut. Selain itu keberadaan barang tersebut secara sosial juga turut menentukan kebergunaannya, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Adanya perbedaan sifat di antara barang yang satu dengan barang yang lain tidak mengandaikan adanya perbedaan kebergunaan dari sebuah barang. Ia berguna sejauh mampu memenuhi kebutuhan manusia, apapun sifat kepenuhan atau kepuasan yang didapat dari barang tersebut. Bahkan dalam perbandingan dengan barang-barang yang lain pun, kebergunaan dari sebuah barang dapat dipahami sebagai sesuatu yang dialektis. Dalam artian, bahwa kebergunaan barang tersebut berbeda bagi satu individu dengan individu yang lain, satu kelompok dengan kelompok yang lain dan itu semua merupakan sesuatu yang historis. Contohnya kayu jati. Bagi masyarakat Blora kayu jati adalah sekedar bahan untuk membuat per-

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

ARTIKELDISKUSI

lengkapan kebutuhan hidup. Ia mudah didapat karena Blora berada dalam kawasan hutan Jati. Tetapi bagi masyarakat Jakarta, kayu jati adalah sesuatu yang kualitatif, yang mengandaikan kemewahan, lepas dari kegunaannya secara sosial. Sehingga mungkin ini yang dimaksud oleh Marx dengan “...Demikian juga penetapan tolok-ukur yang diakui secara sosial bagi kuantitas-kuantitas barang-barang yang berguna ini”. Persoalannya lebih lanjut adalah pada bagaimana kita dapat berpikir atau memikirkan tentang kebergunaan sebuah barang? Apakah diskusi diskusi di berbagai jaringan sosial virtual menentukan apakah nasi itu berguna atau tidak, sama seperti ketika kita mendiskusikan keunggulan fitur-fitur dari perangkat komunikasi digital seri terbaru? Tentunya siapapun individu di dunia ini tidak perlu menarik abstraksi terlalu jauh untuk mengetahui arti penting makan dan minum sebagaimana juga berbahasa dan berpikir. II Setelah alinea pertama, aku mencoba kembali membahas alinea berikutnya. Seperti yang sudah ditegaskan di dalam diskusi pekan lalu, problematik kesejahteraan, kerja dan produksi barang dagangan merupakan tema-tema sentral di dalam pemikiran Marx. Pada kutipan berikut penting diperhatikan keberadaan dari komoditas sebagai bagian dari proses perkembangan peradaban manusia, dan sebagai bagian dari usaha penciptaan kesejahteraan dalam masyarakat kapitalis. Kalimat 1 Alinea 2 Bab 1 Bagian 1 Das Kapital:

Barang-dagangan/komoditas adalah, pertama-tama, suatu benda di luar kita, suatu barang yang dengan sifat-sifatnya memuaskan/memenuhi, dengan satu dan lain cara, kebutuhan manusia.

Per definisi Marx di sini menjelaskan tentang sifat asing dari komoditas, dan tentang hal ini diskusi pekan lalu sudah membahasnya. Tetapi coba perhatikan bahwa di dalam kalimat yang sama di muka Marx tidak menunjukkan adanya kesejarahan dari komoditas. Artinya apabila perspektif historis melandasi pemikiran Marx mengapa di dalam definisi sentral ini tidak tampil pencerminan dari proses penciptaan komoditas? Pertanyaan ini sudah pasti akan dapat dijawab secara serampangan dengan menyatakan bahwa itu adalah kalimat pengantar, sementara pada bagian 1 buku ini akan menjelaskan secara lebih rinci bagaimana proses penciptaan komoditas. Aku sebut serampangan, karena jawaban seperti itu tidak akan pernah menjawab apa yang aku tanyakan sebelumnya. Karenanya aku kan coba mengutip penjelasan yang diberikan oleh Marx di dalam Preface of Contribution to the Critique of Political Economy, sebagai acuan untuk menjawab pertanyaan di muka. Saya menyelidiki sistem ekonomi borjuis dalam uruturutan berikut: Kapital, Kepemilikan tanah, Kerja upa-

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

han: Negara, Perdagangan Asing, Pasar Dunia. Kondisi ekonomi yang melandasi keberadaan dari tiga kelas besar yang memilah-milah masyarakat borjuis modern dianalisa melalui tiga hal pertama di muka, sementara saling keterkaitan di antara tiga hal lainnya sudah terjadi dengan sendirinya. Bagian pertama dari buku pertama, sehubungan dengan buku Kapital, mencakup bab bab berikut: 1. Komoditas, 2. Uang atau Sirkulasi sederhana, 3. Kapital secara umum.

Berangkat dari acuan di muka, maka dapat dipikirkan lebih jauh bahwa komoditas di sini bukan sekedar obyek pembahasan yang sederhana dan ringkas. Akan tetapi, komoditas di sini lebih serupa basis pijakan untuk memperhatikan kesejahteraan yang diciptakan oleh kapitalisme. Bagaimana mungkin komoditas menjadi basis pijakan sementara per definisinya tidak mencerminkan konteks historis dari komoditas itu sendiri? Adanya komoditas di sini tidak sekedar sebagai produk atau hasil dari kapitalisme, akan tetapi komoditas juga dipahami sebagai sebuah cara berpikir, dan cara berproduksi sesuai dengan proses perkembangan kapitalisme. Artinya di sini diandaikan sudah oleh Marx bahwa problematik komoditas selalu berpangkal pada persoalanpersoalan historis. Ada baiknya kita memperhatikan pernyataan Marx dalam Grundrisse:8 1. Semua produksi adalah penyesuaian atas alam dimana individu berada di dalamnya, dan melalui bentuk spesifik masyarakat. Dalam kerangka ini adalah sebuah tautologi untuk mengatakan properti atau kepemilikan adalah prakondisi untuk produksi. Tapi juga sama tidak masuk akalnya untuk meloncat dari bentuk kepemilikan tersebut menjadi bentuk kepemilikan tertentu, yaitu kepemilikan pribadi. Sejarah lebih menunjukkan bahwa kepemilikan bersama adalah bentuk yang lebih asli sebuah bentuk yang kemudian memainkan peran penting di dalam pembentukan kepemilikan komunal. Persoalan apakah kesejahteraan berkembang lebih baik dalam bentuk kepemilikan komunal atau dalam bentuk yang lain adalah persoalan yang berbeda. Tetapi bahwa tidak mungkin terdapat produksi dan karenanya tidak ada masyarakat di mana beberapa pentuk kepemilikan tidak eksis adalah tautologi. Sebuah perampasan yang tidak membuat sesuatu menjadi kepemilikan adalah kontradisi dalam subyek.

Apabila memperhatikan penjelasan-penjelasan yang sudah diberikan di muka, terutama keterkaitan di antara kesejahteraan, pekerja, dan komoditas, maka akan menjadi jelas bahwa komoditas atau barang dagangan tidak dapat diandaikan sebagai sesuatu yang berlaku sebagai bagian dari kehidupan manusia. Ia sesuatu yang tidak lahir dari kesadaran manusia untuk memproduksi kebutuhan hidupnya, melainkan lahir sebagai upaya mereboisasi kepentingan politik kapitalisme di dalam melakukan pengorganisasian tenaga kerja demi penyelenggaraan produksi komoditas, dan akhirnya keuntungan maupun perputaran keuntungan finansial. Selain itu Marx juga mencoba memberikan pers-

PROBLEMFILSAFAT

9

ARTIKELDISKUSI

merupakan produk dari relasi-relasi sosial, dan artinya juga manusia selalu berada dalam lingkup ketersituasian. Lebih jauh lagi di dalam karya yang sama pada bab yang berbeda Marx menjelaskan:10 pektif bahwa setiap hubungan produksi ataupun bentuk produksi selalu menciptakan hubungan hukumnya sendiri, maupun bentuk pemerintahannya sendiri. Dan oleh karenanya, proses produksi komoditas tidak bisa dilihat sematamata sebagai upaya meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan biaya sekecil-kecilnya. Itu akan mengembalikan kita pada pemahaman Adam Smith tentang ‘uang dalam genggaman’, atau melihat hubungan-hubungan produksi sebagai sekedar persoalan perilaku manusia tanpa ada upaya untuk melihatnya lebih dalam lagi. Sehingga proses produksi komoditas, ataupun konsepsi tentang komoditas itu sendiri di dalam banyak hal adalah sesuatu yang historis. Bahkan di dalam Introduction to A Contribution to the Critique of Political Economy, Marx memberikan pendasaran epistemologisnya sebagai berikut:9 Individu-individu yang berproduksi di dalam masyarakat, dan karenanya produksi individu yang ditentukan secara sosial, adalah titik berangkatnya. Pemburu atau penangkap ikan yang menyendiri dan terisolasi, yang berlaku sebagai titik keberangkatan dari pemikiran Adam Smith dan Ricardo, adalah fantasi fantasi yang tidak imajinatif dari romansa abad ke 18 seumpama kisah Robinson Crusoe; ….. Mereka melihat individu ini bukan sebagai produk historis, tetapi sebagai titik keberangkatan sejarah; tidak sebagai sesuatu yang bergerak dalam bidang sejarah, tetapi ditempatkan oleh alam, karena bagi mereka individu ini sudah bersesuaian dengan alam, agar sesuai dengan pemikiran mereka tentang hakekat manusia. Manusia adalah “zoon politikon” [binatang sosial] dalam makna yang paling harafiah; manusia tidak hanya adalah binatang sosial, tetapi juga binatang yang dapat mengindividualisasikan dirinya hanya di dalam masyarakat. Produksi yang dilakukan oleh individu yang terisolasi di luar masyarakat –sebuah kejadian yang jarang, yang mungkin muncul ketika seorang yang beradap yang telah menyerap dinamika kekuatan kekuatan sosial secara tiba tiba diletakkan di dalam alam keliaran-- adalah sama tidak masuk akalnya dengan perkembangan kemampuan berbicara manusia yang dapat muncul tanpa ada alam hidup bersama dan perbincangan antara satu manusia dengan yang lainnya.

Penjelasan yang diberikan oleh Marx di muka dalam kaitannya dengan pembentukan konsep tentang komoditas lebih berkenaan dengan bagaimana sebuah sebuah pengetahuan, sebuah konsep, atau apapun yang tampak abstrak di hadapan manusia adalah produk sosial, dan lebih tepatnya produk dari relasi relasi sosial. Apapun yang berperan sebagai penghubung antara manusia dengan dunianya juga

10

PROBLEMFILSAFAT

Prosedur pertama mengecilkan gambaran-gambaran yang penuh makna pada definisi-definisi abstrak; prosedur kedua berangkat dari definisi definisi abstrak melalui olah pikir pada reproduksi terhadap situasi konkret. Hegel sebenarnya memahami gagasan yang tidak masuk akal bahwa dunia nyata adalah hasil pemikiran, yang menghasilkan sintesisnya sendiri, pendalamannya sendiri, dan gerakannya sendiri; di lain pihak, metode yang bergerak dari yang abstrak menuju ke yang konkret sekedar cara bagaimana berpikir ialah mengasimilasikan yang konkret dan mereproduksikannya sebagai kategori mental yang konkret. Namun hal ini sama sekali bukanlah proses evolusi dunia konkret itu sendiri ….. Sehingga bagi kesadaran –dan ini mencakup kesadaran filosofis-- yang mana berkaitan dengan pikiran yang memahami sebagaimana manusia nyata, dan karenanya dunia yang dipahami sebagaimana satu satunya dunia nyata; karenanya bagi kesadaran evolusi dari kategori kategori muncul sebagai proses aktual dari produksi – yang sayangnya diberikan rangsang dari luar-- yang hasilnya adalah dunia; dan ini (namun lagi lagi ini adalah ungkapan tautologis) adalah benar sepanjang totalitas konkret dipahami sebagai totalitas konseptual mental, sebagai sebuah fakta mental, yang sesungguhnya adalah produk berpikir, produk pemahaman; tapi ini sama sekali bukanlah produk dari gagasan yang berevolusi secara spontan dan siapapun yang berpikir bergerak di luar dan melampaui persepsi dan imajinasi, tetapi inilah hasil dari asimilasi dan transformasi atas persepsi dan gambar gambar ke dalam konsep. Totalitas sebagai sebuah entitas konseptual dilihat oleh kaum intelek sebagai produk dari intelek yang berpikir, yang mengasimilasikan dunia hanya dalam cara yang terbuka baginya, cara yang berbeda dari pemikiran artistik, religius, dan secara praktis mengasimilasikan dunia dengan pintarnya. Subjek konkret tetap berada di luar intelek dan independen darinya –ini sepanjang intelek mengadopsi sikap teoritik yang sungguh spekulatif, sungguh teoritis. Subjek, masyarakat, karenanya harus selalu dipahami sebagai prakondisi dari pemahaman, bahkan ketika metode teoritis diterapkan.

Penjelasan Marx di muka sungguh luar biasa! Dalam artian merevolusionerkan pemahaman yang berkembang sejak abad pertengahan hingga pada periode pemikiran Hegel. Jikalau kebenaran dalam abad pertengahan hanya bisa dicapai melalui misalnya pengenalan akan sifat sifat ke-Tuhan-an, dan pada periode Kant hingga Hegel sebagai bagian dari proses berpikir, maka Marx menyebut semua leluhur filsafatnya itu sekedar sebagai tukang patri realitas. Artinya bahwa reproduksi dari gambaran tentang dunia bukanlah sebuah pemikiran yang nyata atau yang benar tentang dunia yang sesungguhnya. Melainkan itu sekedar sebuah upaya mengasimilasikan segala hal yang konkret ke dalam dunia abstrak. Karenanya ketika Marx menyatakan bahwa subyek adalah masyarakat sebagai prakondisi dari

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

ARTIKELDISKUSI dari proses historis. Pada titik ini, menjadi mungkin untuk membeli kondisi tersebut dengan sendirinya. Proses historis bukanlah hasil dari kapital, tetapi syarat. Melalui proses ini kapitalis lalu menyatakan dirinya sebagai perantara (secara historis) di antara pemilik tanah dan pekerja....

pemahaman, maka tubuh atau badan atau totalitas dari kebenaran itu sendiri berada dalam relasi relasi sosial di dalam masyarakat, dan produk dari relasi sosial sebagai basis pemahaman atas realitas itu sendiri. Bahwa badan atau totalitas dari kebenaran itu berubah-ubah menurut ruang dan waktu, dan tidak kekal abadi sebagai sebuah kebenaran yang hakiki, pun tak berlaku sebagai azimat yang akan membawa individu ke dasar penyesalannya sebelum menuju alam baka, letak persoalannya justru pada bagaimana kebenaran itu dirumuskan dan sampai seberapa jauh kebenaran itu berada dalam genggaman hati dan pikiran sang subyek, yaitu masyarakat. Komoditas, secara historis tidak pernah dirumuskan oleh masyarakat sekalipun ia produk dari relasi relasi sosial dalam masyarakat, dan karenanya ia adalah sesuatu yang asing. Mungkin demikian penjelasan epistemik yang bisa diberikan atas kalimat pertama pada alinea kedua ini. Kalimat 2-3 Alinea 2 Bab 1 Bagian 1 Das Kapital:

Sifat kebutuhan ini, apakah misalnya timbul dari perut, atau dari khayalan, tidak mengubah soalnya. Juga tidak menjadi soal bagaimana barang itu memenuhi kebutuhan manusia, apakah secara langsung sebagai kebutuhan hidup, yaitu sebuah objek konsumsi, atau secara tidak langsung sebagai suatu alat produksi.

Berangkat dari penjelasan yang sudah diberikan sebelumnya, maupun dari penjelasan yang muncul dari diskusi pekan lalu, beban pemahaman terhadap dua kalimat Marx ini sebenarnya juga tidak terlalu mudah. Sifat kebutuhan, sebagai sebuah konsepsi dituangkan oleh Marx dalam tulisannya yang berjudul Pre-Capitalist Economic Formations. Menurutku, di sana ia menjelaskan bahwa perkembangan dari kebutuhan hidup manusia, berkurang ataupun bertambah semuanya dibentuk dan atau dipengaruhi oleh hubungan hubungan produksi yang berlaku menurut tahap tahap sejarahnya. Menarik jika kita perhatikan yang dituliskannya dalam kutipan berikut: Formasi kapital karenanya tidak lahir dari kepemilikan tanah (walaupun mungkin lahir dari pemilik sewa pertanian sepanjang ia juga pedagang produk pertanian), tidak dari gilda (walaupun mungkin ini memungkinkan) tetapi dari perdagangan dan kekayaan kreditur. Tetapi pedagang dan kreditur hanya mendorong kondisi yang memungkinkan pembelian pekerja bebas, dan ketika pekerja bebas dilepaskan dari kondisi eksistensinya sebagai hasil

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

Dalam kutipan di muka Marx berusaha menjelaskan bahwa persoalan kebutuhan manusia bukanlah sekedar subsistensi ataupun mencari kenikmatan berlipat-lipat sebagaimana hedonisme. Tetapi kebutuhan di sini lebih serupa hasil dari relasi-relasi sosial, dari hubungan hubungan produksi, yang menuntut adanya sesuatu yang baru yang dapat dipertukarkan, dan berpotensi menciptakan kekayaan yang lebih besar di tangan segelintir orang. Pada titik ini, pada pembahasan tentang kebutuhan ini, secara perlahan-lahan Marx mulai memasukkan gagasan tentang struktur sosial sebagai dasar pembentukan kebutuhan. Relasi sosial di sini bukanlah sekedar relasi yang setara di antara dua orang manusia, tetapi relasi disini berarti hubungan di antara dua kelompok sosial yang tidak setara yang menghasilkan produk-produk barang dagangan. Secara historis dari tahap tahap perkembangan masyarakat yang pernah ada, relasi-relasi ini selalu diperantarai oleh berbagai pihak yang mengambil keuntungan, dan pada pembentukan kapitalisme, adalah pedagang dan tukang kredit yang memanfaatkan ketersediaan pekerja lepas dari sistem ekonomi pra-kapitalis. Catatan Akhir:

1. Karl Marx, Economic and Philosophical Manuscript, bab Profit of Capital, seksi 3, The Rule of Capital over Labour and the Motives of the Capitalist, diambil dari situs web www.marxists.org 2. Karl Marx, Poverty of Philosophy, Chapter II, seksi Division of Labor and Machinery, diambil dari situs web www.marxists.org 3. Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, diambil dari situs web www.marxists.org 4. Karl Marx, Wage Labour and Capital, 1849, diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen dengan judul Kerja Upahan dan Kapital, Penerbit Hasta Mitra, h. 12 5. Ibid 6. Stephen Shapiro, How to Read Marx’s Capital, Pluto Press, 2008, h.1 7. Adam Smith, An Inquiry to the Nature and Causes of the Wealth of Nations, Book I, Liberty Classics, Indianapolis, 1981, h. 103 8. Marx, Grundrisse, dalam bab Production, Consumption, Distribution, Exchange (Circulation), $Externalization of historic relations of production – Production and distribution in general. – Property, diambil dari situs web www.marxists.org 9. Karl Marx, Introduction to A Contribution to the Critique of Political Economy, bab Production diambil dari situs web www.marxists.org 10. Ibid, bab Methods of Political Economy diambil dari situs web www.marxists.org

P R O B L E M F I L S A F A T 11

CATATANDISKUSI

MIDAS

CATATAN DISKUSI 4 FEBRUARI 2010 Oleh Rangga L. Utomo

Sejak lama dunia pemikiranpun sudah memiliki imaji yang mengagumkan soal nilai surgawi, yang hingga kini dikenal dengan kata kekayaan atau kemakmuran atau kesejahteran atau kebahagiaan. Peradaban Yunani klasik mengenal tokoh Midas. Midas dianggap setengah dewa dan diam-diam hingga kini diyakini setiap orang yang ingin berkuasa, sebagai tokoh yang kehebatannya melebihi Herakles, Perseos dan Theseos. Midas (Μίδας) adalah orang yang biasa-biasa saja dan mungkin malah terkesan bodoh. Sebagai yatim piatu dia diangkat anak oleh Raja Gordias dan Ratu Sebele. Sebele adalah seorang dewi yang diusir dari Olimpos. Oleh karena itu, sejak kecil Midas yang bodoh selalu diajari berbagai hal yang ditaburi dendam kesumat Sebele terhadap kekuasaan para dewa. Kemudian, Midas yang dewasa menjadi raja di Lidia. Suatu saat, Midas berjalan-jalan di suatu padang Lidia. Di sana, dia melihat, gerombolan Dionisios seperti Satir dan peri-peri sedang bercengkerama. Midas menyuruh mereka datang ke istananya dan menjamu mereka dengan sangat baik selama sepuluh hari. Dionisios yang kebingungan kehilangan gerombolannya menangis sedih sehingga dia diam-diam mengucapkan suatu sayembara yaitu, siapa yang dapat mengembalikan pengikutnya, maka akan dikabulkan seluruh permintannya. Midas yang mengetahui sayembara itu dari seorang cenayang mengembalikan Satir dan peri-peri kepada Di-

12

PROBLEMFILSAFAT

onisios. Dionisios ingin memenuhi janjinya. Yang diminta Midas adalah kemampuan untuk mengubah segala benda yang disentuhnya menjadi emas yang paling berharga. Itu membuat kuil dewa-dewa di dunia dikuasai dan diatur oleh Midas karena Segala perkakas berhaganya merupakan ciptaan dan milik Midas. Oleh karena itu, setiap orang di dunia Helenis percaya bahwa Midas adalah model orang yang paling berbahagia. Kesimpulannya sederhana, Midas dibutuhkan oleh para dewa dan manusia karena memiliki sentuhan emas. Dengan demikian, orang-orang lebih mengagumi Midas daripada para pahlawan otot semacam Herakles, Achiles dan Perseos. Jika Homeros mengatakan bahwa yang hebat dan patut diteladani adalah Achiles dan Hector, maka legenda Midas mengatakan bahwa model manusia yang harus diteladani adalah model pencipta nilai emas. Persoalan etika ala Midas ini tidak begitu disadari, bahkan oleh Platon yang menulis Politeia. Epikuros yang berusaha mendefinisikan ataraxia, sebenarnya sudah mulai berusaha memahami etika Midas tersebut. Pemikiran Epikuros tentang atomos dan gerak-geriknya dalam karya Natura, tidak membawanya untuk mengecap kebijaksanaan ideal Platonis atau rumusan komunitas ala Pithagoras, melainkan pada suatu konsep ‘kebutuhan’ yang hari ini sering digolongkan dalam hedonisme. Tetapi, hedonisme yang ditegas-

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

CATATANDISKUSI

kan jauh-jauh hari oleh Epikuros ini bukanlah hedonisme sempit psikologis. Hedonismenya bertumpu pada alam atomos yang material. Dengan kata lain, model Midas itu tidaklah irasional, tetapi justru rasional dan alamiah. Aristoteles yang merupakan murid cemerlang dari Akademia Platon pun suatu saat terkejut dengan temuan Epikuros ini. Aristoteles tua yang masih suka menentang prinsip-prinsip Platon, suatu saat menggariskan dengan lebih jelas dan matang mengenai hal-hal ataraxia atau etika Midas dalam karya Etika Nichomachea. Di situ, Aristoteles berbicara tentang eudamonia. Arti harafiahnya adalah kebahagiaan. Eudamonia yang berasal dari kata Eu (hidup baik) dan Daimon (semangat atau rohani) diartikan oleh Aristoteles sebagai suatu jalan etis (arete) menuju kebahagiaan dalam bentuk latihan kebijaksanaan yang memperhatikan kesehatan dan benda-benda di luar diri manusia. Aristoteles menegaskan bahwa kebijaksanaan tidak terletak pada dunia yang asing (ideal) dari manusia. Kebijaksanaan didapat oleh manusia dari dunia yang bertruktur formal dan material seperti kasih sayang dari keluarga dan kepemilikan atas benda-benda

sailles atau seperti gerombolan dari Paus Leo X yang berhasil membangun Basilika St. Petrus di Vatikan. Yang kaya, bahagia dan benar adalah Raja Louis atau Paus Leo yang mengambil pajak besar dari para petani dan rakyat jelata. Para kaum intelektual dan pengusaha semacam Voltaire, Denis Diderot, Jean-Jaques Rousseau, David Hume, Adam Smith dan David Ricardo adalah cecunguk-cecunguk yang saat itu tidak dapat berbuat banyak. Hal tersebut berlangsung hingga suatu peristiwa meledak yaitu, Revolusi Prancis tahun 1789. Penjara Bastille yang dijebol dan kepala Louis XVI- Marie Antoinette yang dipenggal oleh Maximillien Robespierre menandakan suatu era baru dari jalan ‘benar’ kekayaan sudah datang. Era kekuasaan politis Borjuis di Eropa datang bersamaan dengan bergeloranya Revolusi Industri di daratan Inggris. Alat temuan James Watt yang dipadukan dengan teori pembagian tenaga kerja dari Smith atau teori nilai dari Ricardo adalah sebuah juggernaut (raksasa mistis Hindu) yang mahadahsyat menggiling kecongkakan feodalisme. Jalan kekayaan yang ‘benar’ bukan lagi ditentukan oleh sentuhan ajaib

“Peradaban Renaissance yang ikut menghasilkan model produksi ala feodalisme menciptakan konsep bahwa model orang yang bahagia di dunia adalah model orang seperti Raja Louis XIV dan gerombolan bangsawan Bourbon di istana Versailles atau seperti gerombolan dari Paus Leo X yang berhasil membangun Basilika St. Petrus di Vatikan.” yang bermanfaat seperti, kuda, rumah dan baju-baju zirah. Menurut Aristoteles, letak dan tumbuhnya kebijaksanaan lahir dari sikap yang benar dalam mengatur hal-hal material-formal tersebut. Dengan kata lain, sikap-sikap dalam legenda Midas itu bukanlah mitos untuk Aristoteles. Apa yang diyakini oleh Aristoteles ini kemudian dimodifikasi oleh para filosof stoa seperti Zeno Citium, Cleanthes dan Chrisipos. Di kemudian hari, eudamonia Aristotelian ini menjadi pengawal (guide) manusia dalam hal prinsip-prinsip moral dan orientasinya. Singkatnya, banyak orang setelah zaman Yunani klasik percaya bahwa yang kaya secara ‘benar’ (arete dalam eudamonia) adalah yang bahagia. Artinya, jika kehidupan manusia diarahkan untuk mencapai kebahagiaan, maka kekayaan harus dicari manusia secara ‘benar’. Arti dari jalan pencarian yang ‘benar’ dari kekayaan tersebut pernah dirumuskan dalam konsep-konsep humanistik Renaissance oleh tokoh-tokoh seperti, Desiderius Erasmus, Niccolo Machiavelli dan Thomas Hobbes. Peradaban Renaissance yang ikut menghasilkan model produksi ala feodalisme menciptakan konsep bahwa model orang yang bahagia di dunia adalah model orang seperti Raja Louis XIV dan gerombolan bangsawan Bourbon di istana Ver-

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

ala Midas atau nasihat bijak Aristotelian atau frustasi antropologis Machiavelli-Hobbes melainkan oleh suatu gaya positivistis yang tidak peduli romansa puitis zaman Rennaissance. Gaya positivistis itu berkelebat dalam ungkapan invisible hand (tangan yang tidak kelihatan) sebagai hukum pasar yang mengatur ranah sosial atau ungkapan Die List der Vernunft (muslihat akal budi) sebagai tonggak filsafat idealisme yang meledak di Prusia. Ajaran ekonomi-politik dari orang-orang seperti Smith, Ricardo dan Bastiat-Carey menjadi landasan yang dianggap ilmiah, legitim, rasional dan abadi dari kehidupan pasar masyarakat modern. Pemikiran Aristoteles tentang Chremistike (emas dan kekayaan) ditegaskan sebagai hakikat yang rasional dari manusia modern. Masyarakat setelah Revolusi Prancis dan selama Revolusi Industri bukan hanya sebentuk mahkluk politis (zoon politikon) melainkan juga para manusia rumah tangga (homo economicus). Jika momen Revolusi Prancis dianggap sebagai momen dialektis sejarah dan Revolusi Industri dianggap sebagai warna utama dari model produksi masyarakat borjuis, maka filsafat idealisme dari Immanuel Kant, Gotlieb Fichte, Friederich Schelling dan yang memuncak pada Georg Willhelm Friederich Hegel, dianggap sebagai teori

P R O B L E M F I L S A F A T 13

CATATANDISKUSI

dari Revolusi Prancis dan Revolusi Industri. Semua gerak dan teori itu bergulung menjadi satu dalam zaman yang disebut sebagai kapitalisme. Dalam zaman itu, segala corak budaya, politik dan agama ditentukan oleh corak proses produksi yang berlainan dari zaman feodalisme dan zaman masyarakat primitif. Dengan kata lain, corak etika, budaya, kesenian, agama dan politiknya pun berbeda dari corak milik masyarakat primitif dan masyarakat feodal. Yang dianggap bahagia bukan lagi manusia bijak-ugahari Sokrates dan manusia suci-kaya seperti Paus Leo tetapi manusia rasional-kaya-sekular seperti kaum industriawan. Dalam paragraf pertama dari volume pertama karya Kapital, Karl Marx mendefinisikan bentuk masyarakat kapitalis itu, “Der Reichtum der Gesellschaften, in welchen kapitalistische Produktionsweise herrscht, erscheint als eine “ungeheure Warensammlung”, die einzelne Ware als seine Elementarform. Unsere Untersuchung beginnt daher mit der Analyse der Ware.” [Kekayaan masyarakat di mana cara produksi kapitalis berkuasa, tercermin dari adanya “pengakumulasian komoditas yang sangat besar,” sedangkan satuannya dihitung berdasarkan setiap komoditas. Oleh karena itu penyelidikan kita terhadap masyarakat ini harus mulai dengan analisa terhadap komoditas.] Marx mengatakan bahwa kunci atau hakikat dari kekayaan dan kebahagiaan, atau dengan kata lain, kunci dan hakikat masyarakat canggih pasca-Revolusi Prancis adalah suatu benda sekaligus konsep yang disebut sebagai komoditas. Menurut Marx, komoditas itulah yang menentukan eudamonia masyarakat penggerak Revolusi Industri. Seseorang dari masyarakat jenis ini akan disebut ‘yang berbahagia’ jika mampu menimbun sebanyak mungkin benda-benda komoditas. Lalu apa sebenarnya komoditas dan apa perbendaannya dengan benda biasa saja yang sudah dikenal oleh manusia dari zaman produksi primitif ? Suatu benda dari alam di luar diri manusia seperti sebongkah batu, adalah benda yang masih asing bagi manusia. Ketika si manusia membelah bongkahan itu lalu dijadikannya segenggam kapak beliung untuk memotong daging Mamoth, maka benda batu tadi tidak asing lagi bagi manusia. Manusia telah ‘memanusiakan’ bongkahan batu itu. Dengan kata lain, suatu benda yang berguna bagi manusia adalah benda yang telah menjadi obyek aktualisasi diri manusia itu. Oleh karena itu, alam di sekitar manusia adalah obyek sekaligus saksi sejarah dan peradaban manusia. Secara sederhana, dalam kehidupan sehari-hari, benda-benda yang telah ‘dimanusiakan’ atau telah menjadi obyek aktualisasi manusia adalah benda-benda yang memiliki kegunaan untuk manusia. Sejak zaman primitif hingga hari ini, manusia dengan kerjanya selalu bertujuan menciptakan benda-benda seperti piring, garpu, sendok, gelas, senjata, dan lain seb-

14

PROBLEMFILSAFAT

againya untuk mendapatkan suatu manfaat dari benda itu. Kegunaan dari benda-benda itu dapat membuat manusia hidup bahagia karena aktual. Tetapi, hakikat benda produksi manusia yang semacam itu mengalami perubahan arti dan hakikat pada zaman masyarakat kapitalis. Masyarakat kapitalis memproduksi benda-benda yang disebut sebagai komoditas. Secara sederhana, komoditas tampak dan hadir sebagai benda-benda produksi yang memiliki nilai guna; contohnya, sebungkus detergen di toko kelontong berguna untuk mencuci baju, sekarung beras di pasar berguna untuk mengenyangkan perut dan sebuah pisau berguna untuk memotong wortel. Tetapi, kegunaan dari benda-benda komoditas itu hanya dapat teraktualisasi pada seseorang, jika seseorang ini mengeluarkan sejumlah uang untuk membelinya kemudian memakainya di rumah. Seorang gelandangan atau pengemis yang tidak memiliki sejumlah uang tidak akan dapat menikmati nilai guna dari roti-roti mewah yang disimpan di rak supermarket. Meskipun, suatu saat roti-roti itu dibiarkan berjamur hingga harus dibuang, seorang pengemis yang tidak memiliki uang, tidak akan mampu menikmatinya. Dengan kata lain, dalam diri sebuah komoditas terkandung ‘penguasa’ yang mengatur aktualisasi nilai guna dari komoditas tersebut. Marx menyebut ‘penguasa’ itu sebagai nilai tukar. Jadi, dalam sebuah komoditas terkandung nilai ganda yaitu, nilai tukar dan nilai guna. Jika pada dasarnya suatu benda diciptakan manusia demi nilai gunanya; maka yang disebut komoditas ini, nilai tukarnya bersifat superior dibanding nilai gunanya. Oleh karena itu, komoditas disebut sebagai benda pembawa nilai tukar (wertkoper). Karena komoditas adalah benda produksi istimewa dari jenis masyarakat kapitalis, maka letak kepuasan (hakikat eudamonia) masyarakat kapitalis, bukan pertama-tama pada nilai guna suatu benda melainkan ada pada nilai tukarnya. Mengingat pemikiran Epikuros maupun Aristoteles bahwa hakikat eudamonia pasti berakar secara alamiah, maka Marx juga menguji sisi alamiah dan rasional dari nilai tukar komoditas. Pengujian atau penyelidikan itu pertama-tama berhulu pada suatu aturan dalam masyarakat kapitalis, yang disebut sebagai aturan tentang kepemilikan pribadi atas alat produksi. Aturan ini ditetapkan sebagai pencegah terjadinya bellum omnium contra omnes (perang semua antar semua) antara individu-individu manusia yang egois. Aturan tersebut mencegah suatu masyarakat hancur dalam perang-perang egoistis individu-individunya. Tetapi, konsekuensi dari adanya aturan tersebut adalah pembagian masyarakat dalam kelas-kelas struktural pemilik alat produksi. Dalam masyarakat kapitalis, dikenal dua besar kelas masyarakat. Yang memiliki tenaga kerja dan mesin-mesin disebut sebagai kelas kapitalis-golongan borjuis dan yang hanya memiliki tenaga kerja saja sebagai alat produksinya disebut sebagai kelas

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

CATATANDISKUSI

buruh-golongan proletar. Kedua kelas ini memiliki kepentingan yang saling berlawanan. Tetapi, hanya karena pertemuan dua kelas inilah, suatu komoditas dapat diciptakan dan masyarakat kapitalis dapat diatur-dirawat. Oleh karena itu, yang menjadi titik utama penyelidikan Marx berikutnya adalah struktur kerja dari dua kelas ini. Marx menemukan bahwa sistem pembagian kerja antara kapitalis dan buruh menjadi corak dasar struktur kerja masyarakat kapitalis. Yang bekerja untuk menciptakan komoditas adalah mesinmesin kapitalis bersama tenaga-tenaga kerja buruh. Dengan menciptakan komoditas, kapitalis mendapatkan keuntungan dari penjualannya dan buruh mendapatkan upah untuk nafkah hidupnya. Karena alat produksi berupa mesin dimiliki oleh kapitalis, maka komoditas-komoditas yang dikerjakan buruh bukanlah milik buruh, melainkan milik kapitalis. Buruh hanya memiliki upah yang diberikan oleh kapitalis. Kemudian, Marx menyelidiki bagaimana upah buruh ditentukan. Marx menemukan bahwa masyarakat kapitalis memberlakukan adanya waktu kerja rata-rata yang berlaku umum. Waktu kerja tersebut akan mengukur sejauh apa tenaga kerja buruh tercurah dalam sebuah komoditas. Hasil curahan kerja buruh yang nantinya dimiliki oleh kapitalis dalam suatu komoditas itu disebut sebagai nilai tukar. Dengan kata lain, nilai tukar adalah ‘alat yang menyetarakan’ (equivalent) antara curahan tenaga kerja buruh dengan nilai ekonomis upahnya. Oleh karena nilai upah itu adalah ekonomis (abstrak) berarti nilai tukar adalah sesuatu yang abstrak (karena dimiliki oleh kapitalis bukan buruh). Dengan kata lain, kerja buruh untuk menciptakan komoditas (yang mengandung nilai tukar) adalah jenis kerja ‘abstrak’ manusia. Marx sementara menyimpulkan bahwa pekerja dalam masyarakat kapitalis memiliki hakikat kerja yang berbeda dari jenis masyarakat lainnya. Masyarakat jenis lain menciptakan benda demi kegunaannya (konkret) sedangkan masyarakat kapitalis menciptakan benda (komoditas) demi sesuatu yang abstrak. Yang abstrak itu tidak alamiah. Ketidakalamiahan itu semakin nyata, ketika dalam penyelidikan berikutnya, Marx menemukan bahwa nilai tukar (nilai ekonomis yang abstrak) komoditas adalah hakikat yang mampu diakumulasikan dalam rupa nilai lebih. Masyarakat kapitalis memiliki skema ekonomi-politik yang berbeda dari jenis-jenis masyarakat sebelumnya. Masyarakat sebelumnya membuat benda kemudian dinilai dengan alat tukar (uang) agar dapat ditukar dengan benda produksi yang lain [BP (benda produksi) - U (uang-alat tukar) - BP (Benda Produksi)]. Sedangkan, masyarakat kapitalis berusaha memiliki uang sebagai kapital agar dapat membeli suatu komoditas yang akan dijual supaya mendatangkan lebih banyak kapital [K (kapital) - (komoditas) - K’ (kapital yang lebih besar)] .

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

Jadi, penyelidikan Marx itu sesungguhnya adalah kritik atau dalam bahasa sosiologis adalah teori revolusioner. Kritik dari Marx menunjukkan bahwa komoditas sebagai hakikat masyarakat adalah hakikat yang abstrak, tidak alamiah dan tidak rasional. Oleh karena itu, seturut logika dialektika sejarah, maka seharusnya masyarakat kapitalis akan digantikan oleh masyarakat yang memiliki hakikat eudamonia yang lebih konkret, alamiah dan rasional. Menurut Marx, aktor revolusioner itu adalah kelas buruh-golongan proletar, karena secara rasional proses produksi masyarakat terpatok baku dalam mekanisme pencurahan tenaga kerjanya. Dengan kata lain, mesin-mesin milik kapitalis itu sifatnya lebih abstrak daripada tenaga kerja buruh. Jadi, komoditas seharusnya bukanlah hakikat paling rasional, alamiah dan abadi dari masyarakat. Yang lebih rasional, alamiah dan konkret adalah daya kerja manusia seperti yang dilakukan oleh para buruh. Oleh karena itu, komoditas tidak lain adalah hasil alienasi kerja manusia. Manusia harus mendapatkan kembali hakikatnya yang sudah teralienasi itu. Berdasar kritik yang berskema dialektika itu, banyak orang di abad ke-20 dan 21 ini tidak berhenti mempertanyakan hasil ‘ramalan’ Marx. Yang lebih percaya pada hakikat komoditas, akan mengolok-olok pemikiran Marx. Sedangkan, yang percaya pada dialektika pemikiran material Marx terhadap sejarah, sedang terjebak dalam tegangan antara kenyataan dan impian utopis. Perdebatan itu masih berlangsung. Tetapi, setidaknya dapat ditarik kembali suatu ajaran dalam legenda Midas. Seperti yang diceritakan Ovid dalam karya Metamorphose, sentuhan ajaib Midas tidak memberikan kebahagiaan yang permanen padanya. Suatu kegilaan terjadi, Midas membuat dirinya asing di tengah dunia: makanan yang disentuhnya menjadi emas, putri semata wayang yang dipeluknya juga menjadi emas dan angsa-angsa kesayangannya juga menjadi emas. Midas tersiksa dan suatu saat pergi menemui Dionisios dan meminta agar rahmat luar biasa itu dicabut saja. Midas sadar bahwa sentuhan emas itu bukan dirinya, itu adalah sesuatu yang asing, semacam dendam kesumat dari ibunya. Jika sentuhan emas itu dapat dimetaforkan sebagai nilai tukar komoditas hasil curahan ajaib para buruh, maka seharusnya Midas-Midas masyarakat modern ini tidak perlu malu-malu melepaskannya.

P R O B L E M F I L S A F A T 15

DAFTAR ISI :

1. ESSEIEDITORIAL OLEH MARTIN SURYAJAYA …………………………………………….. 2 2. ARTIKEL DISKUSI – YANG BERDAYA BELI ATAU YANG BERDAYA JUAL OLEH ANOM ASTIKA …………………………………………….. 5 3. CATATANDISKSI – MIDAS OLEH RANGGA L. UTOMO …………………………………………….. 12

Bulletin Problem Filsafat adalah terbitan berkala dari Komunitas Marx STF Driyarkara. Bulletin ini bermaksud menjadi media publikasi wacana Marxisme. Bulletin Problem Filsafat mencakup makalah presentasi dalam diskusi, resensi buku, film, juga karya-karya sastra. Bulletin Problem Filsafat membuka ruang bagi perdebatan seputar wacana Marxisme. e-mail : [email protected] 16

PROBLEMFILSAFAT

NO.3 / TAHUN I /FEBRUARI 2010

Lihat lebih banyak...

Comentarios

Copyright © 2017 DATOSPDF Inc.