Jurnal Al-Mizan Tahun 2015

July 19, 2017 | Autor: Mukhlisuddin Marzuki | Categoría: Islamic Law, Islamic Studies, Syariah and Law, Ahwal Asy-Syakhshiyyah, IAI Al-Aziziyah Samalanga
Share Embed


Descripción

Jurnal Al-Mizan Media Syariah Dalam Mata Tinta

Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam (IAI) AL-Aziziyah Samalanga

Susunan Pengurus Jurnal Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam (IAI) AL-Aziziyah Samalanga 2013-2018 Penanggung Jawab : Abdullah, SHI, MA Ketua Penyunting : Mukhlisuddin, SHI, MA Sekretaris Penyunting : Karimuddin, SHI, MA Penyunting Pelaksana : Nainunis, SHI, MA : Mustafa Kamal, SHI, MA : Munadi, SHI, MA : Agustinawati, S.Pd Penyunting Ahli : Prof. Dr. H. Syahrizal Abbas, MA : Dr. Tgk. Muntasir A. Kadir, MA : H. Helmi, SHI, MA

i |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya, jurnal “Al-Mizan” Media syariah dalam mata tinta, ini dapat diselesaikan dengan harapan dapat bermanfaat dalam menguraikan kajian ilmiah hukum islam dari kalangan citivitas akademika. Jurnal ilmiah yang hadir ini, merupakan hasil kerja dewan redaksi jurnal “Al-Mizan” Media Syariah Dalam Mata Tinta, Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam (IAI) AL-Aziziyah Samalanga berkat kerjasama dengan civitas akademika dan dosen baik di kalangan kampus IAI Al-Aziziyah maupun pihak perguruan tinggi lain yang ikut berpartisipasi dalam jurnal ini. Kehadiran jurnal “Al-Mizan” Media Syariah Dalam Mata Tinta, mudah-mudahan jurnal ini dapat memenuhi kebutuhan dan harapan, bagi semua pihak dan juga dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran hukum syariah dalam perkembangan hukum islam di era kontemporer. Kami mengucapkan terimakasih kepada para penulis yang telah menyumbang tulisannya, semoga ke depan jurnal “Al-Mizan” Media Syariah Dalam Mata Tinta, lebih maju dan dapat menjadi referensi bagi perkembangan media syariah.

Samalanga, 13 April 2015 Tgk. Mukhlisuddin, SHI, MA Ketua Penyunting

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| ii

kata pengantar Kami sangat menghargai sekali terhadap Jurnal Ilmiah “Al-Mizan” Media Syariah Dalam Mata Tinta sebagai ulasan ilmiah dalam bidang ilmu syariah yang dipublikasikan oleh Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam (IAI) AL-Aziziyah Samalanga.\ Kehadiran jurnal ilmiah “Al-Mizan” Media Syariah Dalam Mata Tinta ini menjadi rujukan ilmiah terhadap hukum syariah baik secara teoritis maupun dalam tataran aplikatif. Kami atas nama Ketua Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam (IAI) AL-Aziziyah Samalanga mengucapkan terimakasih kepada semua penulis yang telah menyumbangkan tulisannya untuk jurnal ini, senantiasa Allah membalas kebaikan penulis dengan curahan rahmat-Nya. Akhirnya, kami berharap kehadiran jurnal ilmiah “Al-Mizan” Media Syariah Dalam Mata Tinta, ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca secara khusus serta bagi masyarakat pada umumnya terutama dalam menjaga kajian ilmiah profesional sebagai referensi bagi masyarakat. Dan kami juga berharap jurnal ini dapat menjadi motivasi bagi penulis yang lain dalam mengembangkan ide ilmiah untuk langkah lebih maju di masa mendatang.

Samalanga, 13 April 2015

Tgk. Abdullah, SHI, MA Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

iii |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KETUA PENYUNTING ... II KATA PENGANTAR DEKAN FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM...III DAFTAR ISI...IV H. HELMI - KRITERIA FI SABILILLAH SEBAGAI MUSTAHIK ZAKAT....1 MUHAMMAD BASYIR SYAR’IYAH LANGSA...20

ANALISIS

PUTUSAN

MAHKAMAH

HAIKAL - KERANGKA DASAR BERUMAH TANGGA DALAM ISLAM...42 NAINUNIS - PERLINDUNGAN KONSUMEN (HAK KHIYAR) DALAM JUAL-BELI...60 IMRAN - NUSYUZD DALAM NASH, FIQH, DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM...72 SAFRIADI- PERUMUSAN HARTA BERSAMA...89 AFRIZAL, SHI, MHI- AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN DI INDONESIA...104 MUSTAFA KAMAL, SHI, MA - PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM...117 SYAMSUL BAHRI, SH, MH - KEKUATAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMAKZULAN PRESIDEN MENURUT UUD 1945...139 MUKHLISUDDIN, SHI, MA - KEDUDUKAN PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM...154

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| iv

Jurnal Al-Mizan KRITERIA FI SABILILLAH SEBAGAI MUSTAHIK ZAKAT Oleh: H. Helmi Imran, MA ABSTRAK Zakat is one of interesting discussion to be analyzed and understood conceptually and dynamic. Zakat often mentioned sequentially with prayer, because zakat not only serves as a mahdhah worship or ta`abbudi (dogmatic), but it also related with the property and civil society (Maliyah ijtima`iyah worship) or ta`aquli (rational). Zakat has a very important role, strategic and decisive for the moral, economic and social development. One of the most urgent and raised in the zakat issues is about mustahik zakat, beside the property which must be given in zakat. Normative nash which underlying theoretical concept about mustahik zakat group (zakat recipients) has limited mustahik zakat with a limited group. However, in the present context the significance limit has been renewed or extended to more general meaning and a wider scope (muthlaq and compherehensive). Basically, the fiqh law is a dynamic law, in accordance with the times as long as the law was exhumed at the time of publishing by considering a particular situation or a benefit. But in updating it must necessarily follow the istinbath rules which has been established. Therefore, when a law is updated, it is not necessarily have the truth and authenticity, because they have to be measured for compliance with istinbath method. In connection with the renewal and meaning extension of the nash relating to the mustahik zakat, especially senif fi sabilillah need to be investigated deeply and comprehensively if  it is accordance with the istinbath rules or not. This aspect needs to be clarified in this writing. Kata Kunci: Sabilillah, Mustahik, Zakat

1 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan PENDAHULUAN Dalam permasalahan zakat, fi sabilillah merupakan salah satu bagian (senif) yang berhak menerima zakat (mustahik). Hal ini dapat dipahami secara jelas dalam al-Qur`an surat al-taubah ayat ke-60 yang berbunyi:

‫إمنا الصدقات للفقراء واملساكني والعاملني عليها واملؤلفة قلوهبم وىف الرقاب والغارمني وىف سبيل‬ )60:‫اهلل وابن السبيل فريضة من اهلل واهلل عليم حكيم (التوبة‬ Artinya: Zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu`allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk orang-orang yang berperang dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Hukum ini merupakan suatu ketetapan yang diwajibkan oleh Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. (Q.S. al-Taubah: 60). Kata “fi sabilillah” yang tertera dalam firman Allah di atas, umumnya didefinisikan oleh para ulama dalam berbagai literatur klasik sebagai para relawan perang yang tidak tercatat dalam anggaran belanja negara (al-ghuzāt al-mutathawwi’ah). Namun di era modern ini telah muncul penafsiran yang lebih luas mengenai bagian fi sabilillah yang diartikan oleh sebagian intelektual Muslim dengan fī sabīl-al-khair (jalan kebaikan), sehingga apa saja kegiatan yang dipandang sebagai jalan kebaikan dalam agama dianggap fi sabilillah. Konsekwensinya tentu saja untuk kegiatan tersebut boleh disalurkan zakat atas nama senif fi sabilillah. Beranjak dari permasalahan tersebut, maka tulisan ini berusaha mengupas sedikit tentang kriteria senif fi sabillah sebagai mustahik zakat dengan mengacu kepada kitab-kitab karya para ulama terdahulu secara umum, dan khususnya ulama Syāfi’iyyah, kemudian membandingkannya dengan pendapat-pendapat ulama kontemporer serta berusaha menemukan mana yang lebih sesuai dengan kaidah-kaidah istinbāth yang telah dirumuskan oleh para ulama. KRITERIA FI SABILILLAH MENURUT MAZHAB EMPAT Secara lughawi, kata “sabil” berarti jalan. Jadi, sabilillah berarti jalan yang menyampaikan kepada ridha Allah. Dengan demikian, sabilillah merupakan segala bentuk amal dan perbuatan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Adapun dalam istilah fikih, khususnya dalam konteks penerima zakat, sabilillah diartikan oleh para ulama dari lintas mazhab empat (Hanafī, Mālikī, Syāfi’ī, dan Hanbalī) dengan orang yang berperang untuk menegakkan agama Allah. Secara lebih rinci, berikut ini penulis menjelaskan definisi sabilillah menurut mazhab empat secara singkat. Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





|2

Jurnal Al-Mizan Menurut Mazhab Hanafī Mazhab Hanafī mendefinisikan sabilillah dengan relawan perang yang terputus bekalnya. Hal ini dapat dipahami dari dua kitab berikut ini. Al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Arba’ah: 1

...‫ وىف سبيل اهلل هم الفقراء املنقطعون للغزو ىف سبيل اهلل على األصح‬...‫احلنفيّة قالوا‬

Artinya: Berkata ulama mazhab Hanafī, dan sabilillah adalah orang-orang fakir yang terputus bekal mereka untuk berperang pada jalan Allah menurut pendapat kuat. Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh: 2

.‫وقال أبو حنيفة اليعطى الغازي ىف سبيل اهلل إال إذا كان فقريا‬

Artinya: Dan berkata Abū Hanīfah, tidak boleh diberikan zakat kepada orang yang berperang pada jalan Allah kecuali ia fakir. Dua teks kitab di atas secara tegas menyatakan bahwa menurut mazhab Hanafī, yang dimaksudkan dengan senif fi sabilillah adalah orang yang berperang, hanya saja untuk dapat menerima zakat, orang tersebut disyaratkan fakir. Menurut Mazhab Mālikī Mazhab Mālikī mendefinisikan sabilillah dengan orang yang berperang sekalipun ia kaya. Hal ini dapat dipahami dari dua kitab berikut ini. Bidāyah al-mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid: 3

.‫وأما ىف سبيل اهلل فقال مالك سبيل اهلل مواضع اجلهاد والرباط‬

Artinya: Adapun fi sabilillah, maka berkatalah Imam Mālik bahwa sabilillah merupakan tempat-tempat peperangan dan pengintaian.

1 ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Jazīrī, Al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Arba’ah, Cet. I, (al-Manshūrah: Dār al-Ghad al-Jadīd, 2005), h. 350 2 Wahbah al-Zuhaylī, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, Jld. III, Cet. IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr, 2004), h. 1957 3 Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad, Bidāyah al-mujtahid wa Nihāyah alMuqtashid, Jld. I, Cet. I, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyāt al-Azhariyyah, 1989), h. 466

3 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Arba’ah:

‫ واجملاهد يعطى من الزكاة إن كان حرا مسلما غري هامشي ولو غنيّا ويلحق به‬...‫املالكيّة قالوا‬ 4 ...‫اجلسوس ولو كافرا‬ Artinya: Ulama mazhab Mālikī berpendapat, dan orang yang berperang diberikan zakat kepadanya sekalipun ia kaya asalkan ia merdeka, muslim dan bukan keturunan Bani Hasyim. Intel disamakan juga dengan orang yang berperang, maka diberikan zakat kepadanya sekalipun ia kafir. Dua teks kitab di atas menegaskan bahwa menurut mazhab Mālikī, sabilillah merupakan orang yang berperang, namun berbeda dengan mazhab Hanafī dari segi membolehkan penyaluran zakat kepada orang berperang meskipun ia kaya, dan juga membolehkan penyalurannya kepada intel, sekalipun ia kafir. Menurut Mazhab Syāfi’ī Dalam mazhab Syāfi’ī, dapat dikatakan semua ulama Syāfi’iyyah mengartikan fi sabilillah dengan para relawan perang yang tidak tercatat dalam anggaran belanja negara (al-ghuzāt al-mutathawwi’ah) meskipun kaya. Hal ini bisa dilihat dari sekian banyak redaksi kitab karya ulama Syāfi’iyyah sebagaimana berikut ini: Al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab

‫وسهم يف سبيل اهلل وهم الغزاة إذا نشطوا غزوا واما من كان مرتبا يف ديوان السلطان من جيوش‬ ‫املسلمني فاهنم ال يعطون من الصدقة بسهم الغزاة الهنم يأخذون أرزاقهم وكفايتهم من الفئ‬ 5 .‫ويعطى الغازى مع الفقر والغىن للخرب الذى ذكرناه يف الغارم ويعطى ما يستعني به على الغزو‬ Artinya: Dan satu bagian untuk sabilillah, mereka adalah para relawan perang. Adapun tentara yang mendapatkan anggaran belanja dari pemerintah, mereka tidak diberikan harta zakat dari bagian fi sabilillah karena gaji dan kebutuhan mereka diambil dari harta fay`. Para relawan perang diberikan harta zakat meskipun kaya karena berdasarkan hadis yang telah kami sebutkan pada pembahasan ghārim. Mereka diberikan segala sesuatu kebutuhan untuk berperang. 4 Al-Jazīrī, Al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Arba’ah…, 351 5 Al-Nawawī, Yahyā ibn Syarf, al-Majmū’ ‘alā Syarh al-Muhadzdzab, Jld. VI, (Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010), h. 211.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





|4

Jurnal Al-Mizan Al-Tanbīh:

‫والسابع يف سبيل اهلل وهم الغزاة الذين ال حق هلم يف الديون فيدفع اليهم ما يستعينون به يف‬ 6 .‫غزوهم مع الغين‬ Artinya : Mustahik yang ketujuh yaitu fi sabilillah. Mereka adalah para pejuang perang yang tidak ada bagian dari buku stambuk negara. Diberikan kepada mereka sesuatu yang dapat menolongnya dalam berperang meskipun kaya. Raudhah al-Thālibīn :

‫الصنف السابع يف سبيل اهلل وهم الغزاة الذين ال رزق هلم يف الفىيء وال يصرف شىء من‬ ‫الصدقات إىل الغزاة املرتزقة كما ال يصرف شىء من الفىيء إىل املطوعة فإن مل يكن مع اإلمام‬ ‫شىء للمرتزقة واحتاج املسلمون إىل من يكفيهم شر الكفار فهل يعطى املرتزقة من الزكاة من‬ ‫سهم سبيل اهلل فيه قوالن أظهرمها ال بل جتب إعانتهم على أغنياء املسلمني ويعطى الغازي‬ 7 . ‫غنيا كان أو فقريا‬

Artinya: Bagian yang ketujuh yaitu fi sabilillah. Mereka adalah para pejuang perang yang tidak ada jatah dari harta fay`. Adapun tentara yang terdaftar dalam buku stambuk negara tidak boleh diberikan harta zakat, sebagaimana para relawan perang juga tidak diberikan sedikitpun bagian dari harta fay``. Maka jika pemerintah kehabisan dana untuk para tentara terdaftar, sedangkan kaum muslim memerlukan orang-orang yang bisa menghilangkan kebejatan orang kafir, apakah mereka boleh diberikan harta zakat dari bagian fi sabilillah? Hal tersebut ada dua pendapat. Pendapat yang kuat tidak boleh tetapi wajib terhadap orang-orang kaya di kalangan Islam untuk membiayai mereka. Para relawan perang tersebut diberikan harta zakat, baik kaya ataupun fakir. Dari redaksi beberapa kitab di atas, di samping menjelaskan sasaran zakat bagian fi sabilillah yakni relawan perang, juga menyatakan bahwa tentara militer tidak boleh diberikan harta zakat meskipun pemerintah kehabisan dana untuk membiayai mereka. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa fi sabilillah tidak boleh diartikan kepada segala hal yang bisa mempertahankan dan memperjuangkan agama Islam, karena tentara militer juga bertugas memperjuangkan Islam dan mereka tetap tidak boleh diberikan harta zakat.

6 Al-Syairāzī, Ibrāhīm ibn ‘Alī, al-Tanbīh, (Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010), h. 64. 7 Al-Nawawī, Yahyā ibn Syarf, Raudhat al-Thālibīn, Jld. II, (Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010), h. 321.

5 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Al-Muharrar fī Fiqh al-Syāfi’ī: 8

.‫واملراد من سبيل اهلل ىف اآلية الغزاة الذين ال يأخذون شيأ من الفيء ويعطون وإن كانوا أغنياء‬

Artinya: Dan yang dimaksudkan dengan sabilillah dalam ayat adalah para relawan perang yang tidak mengambil sedikitpun dari harta fay`, mereka diberikan zakat meskipun mereka orang kaya. Dari beberapa teks kitab yang penulis kutip di atas, bisa dipastikan bahwa fi sabilillah dalam konteks zakat menurut fiqh Syāfi’iyyah adalah para pejuang perang yang tidak terdaftar dalam buku stambuk negara. Selanjutnya, al-Bājūrī juga mengatakan bahwa para relawan perang yang sudah menerima harta zakat namun tidak jadi berperang atau harta yang diberikan masih tersisa setelah selesainya peperangan, maka harta zakat tersebut wajib dikembalikan.9 Al-Māwaridī menambahkan, harta zakat tidak boleh dipakai untuk membeli senjata perang dan semacamnya agar kemudian diberikan kepada para relawan perang yang masih belum jelas, karena zakat mesti diberikan kepada pemiliknya (mustahik) dalam bentuk yang utuh, artinya tidak boleh menyerahkan harga.10 Menurut Mazhab Hanbalī Pada dasarnya, mazhab Hanbalī juga mendefinisikan sabilillah dengan relawan perang, tetapi di samping itu, mazhab ini memperluas sedikit makna sabilillah, sehingga orang menunaikan haji dianggap bagian dari sabilillah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi kitab berikut ini. Al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Arba’ah: 11

.‫ وىف سبيل اهلل هو الغازي إن مل يكن هناك ديوان ينفق منه عليه‬...‫احلنابلة قالوا‬

Artinya: Ulama mazhab Hanbalī berpendapat bahwa fi sabilillah adalah orang yang berperang jika tidak diperdapatkan anggaran negara yang diberikan kepadanya. Rahmah al-Ummah fī Ikhtilāf al-A`immah: 12

.‫وىف سبيل اهلل الغزاة وقال أمحد ىف أظهر الروايتني احلج من سبيل اهلل‬

8 Al-Rāfi’ī, ‘Abd al-Karīm ibn Muhammad, al-Muharrar fī Fiqh al-Syāfi’ī, Cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 285 9 Ibrahim al-Bājūrī, Hāsyiat al-Bājūrī ‘ala Ibn Qāsim al-Ghazī, Jld. I, (Indonesia: Haramain, t.t), h. 284. 10 Al-Māwaridī, ‘Alī ibn Muhammad, al-Hāwī al-Kabīr, Jld. VIII, (Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010),h. 1395-1396. 11 Al-Jazīrī, Al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Arba’ah…, 351 12 Al-Dimsyiqī, Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman, Rahmah al-Ummah fī Ikhtilāf al-A`immah, (Beirut: Dār al-Fikr, 2000), h. 64

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





|6

Jurnal Al-Mizan Artinya: Dan sabilillah adalah orang-orang yang berperang, dan pendapat yang kuat dari Imam Ahmad bahwasanya haji termasuk dalam kategori sabilillah. Dari berbagai data yang telah penulis sebutkan di atas dapatlah di pahami bahwa mazhab Hanafī, Mālikī, dan Syāfi’ī mambatasi makna sabilillah sebagai mustahik zakat hanya pada orang yang berperang. Adapun mazhab Hanbalī, di samping mamaknai sabilillah sebagai orang yang berperang juga melebarkan sedikit makna sabilillah sehingga orang berhaji dianggap bagian dari sabilillah, tetapi tidak lebih luas dari itu. Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang berperang merupakan makna yang disepakati dari kata sabilillah oleh mazhab empat, hanya saja para ulama ini masih berbeda pendapat mengenai haji apakah termasuk sabilillah atau tidak. Menurut tiga mazhab pertama tidak termasuk, sedangkan mazhab terakhir memasukkannya. Di samping itu, mereka juga berbeda pendapat mengenai persyaratan-persyaratan menyangkut sifat orang berperang tersebut. Meski demikian, para ulama dari empat mazhab sepakat juga bahwa senif sabilillah tidak boleh disalurkan kepada kemaslahatan umum atau segala bentuk kebaikan. Artinya, kata sabilillah dipersempit maknanya sesuai dengan istilah yang dipakai dalam ‘urf syara’, tidak memaknai kata ini menurut arti lughawī-nya. Penafsiran ulama dari empat mazhab terhadap makna fi sabilillah sebagaimana tersebut di atas, ternyata mendapat dukungan dari berbagai penafsiran ulama-ulama tafsir dalam berbagai karya mereka seperti berikut ini : Al-Muharrar al-Wajīz:

‫وأما « يف سبيل اهلل « فهو اجملاهد جيوز أن يأخذ من الصدقة لينفقها يف غزوه وإن كان غنيا‬ ‫قال ابن حبيب وال يعطى منها احلاج إال أن يكون فقريا فيعطى لفقره وقال ابن عباس وابن‬ ‫عمر وأمحد وإسحاق يعطى منها احلاج وإن كان غنيا واحلج سبيل اهلل وال يعطى منها يف بناء‬ 13 .‫مسجد وال قنطرة وال شراء مصحف وحنو هذا‬

Artinya : Fi sabilillah adalah para pejuang perang. Mereka boleh mengambil harta zakat untuk digunakan dalam peperangannya meskipun kaya. Ibn Habīb mengatakan harta zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang melakukan haji kecuali mereka fakir, maka mereka diberikan harta zakat karena kefakirannya. Menurut Ibn ‘Abbās, Ibn ‘Umar, Ahmad dan Ishāq, mereka juga diberikan harta zakat meskipun kaya karena haji adalah termasuk fi sabilillah. Adapun pembangunan mesjid, jembatan, pembelian mushaf dan 13 ‘Abd al-Haq ibn Ghālib, al-Muharrar al-Wajīz, Jld. III, (Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010), h. 55.

7 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan semacamnya tidak boleh diambil dari harta zakat. Tafsīr al-Munīr:

‫ يعطون‬،‫ وهم يف رأي اجلمهور الغزاة اجملاهدون الذين ال حق هلم يف ديوان اجلند‬: ‫ويف سبيل اللّه‬ ‫ وهو املستعمل‬،‫ كانوا أغنياء أو فقراء ألن السبيل عند اإلطالق هو الغزو‬،‫ما ينفقون يف غزوهم‬ 14 .‫يف القرآن والسنة‬ Artinya: Fi sabilillah menurut mayoritas ulama adalah para pejuang perang yang tidak ada bagian dalam buku daftar tentara. Mereka diberikan harta zakat untuk digunakan pada peperangannya, baik mereka fakir ataupun kaya. Karena fi sabilillah ketika ithlāq (disebutkan secara global) artinya perang. Makna tersebut digunakan dalam al-qur`an dan hadis. Mafātīh al-Ghaib:

‫ قال الشافعي‬. ‫ يعين الغزاة‬: ‫ { وىف سبيل اهلل } قال املفسرون‬:‫ قوله تعاىل‬: ‫الصنف السابع‬ .‫ جيوز له أن يأخذ من مال الزكاة وإن كان غنيا وهو مذهب مالك وإسحق وأيب عبيد‬:‫رمحه اهلل‬ ‫ واعلم أن ظاهر‬.‫ ال يعطى الغازي إال إذا كان حمتاجا‬:‫وقال أبو حنيفة وصاحباه رمحهم اهلل‬ ‫ فلهذا املعىن نقل القفال‬،‫ { وىف سبيل اهلل } ال يوجب القصر على كل الغزاة‬:‫اللفظ يف قوله‬ ‫يف «تفسريه» عن بعض الفقهاء أهنم أجازوا صرف الصدقات إىل مجيع وجوه اخلري من تكفني‬ 15 .‫ { وىف سبيل اهلل } عام يف الكل‬:‫ ألن قوله‬،‫املوتى وبناء احلصون وعمارة املساجد‬

Artinya: Mustahik yang ketujuh adalah Fi Sabilillah. Para mufassir mengartikannya dengan orang-orang yang berperang. Imam Syāfi’i berpendapat bahwa mereka boleh mengambil harta zakat meskipun kaya. Begitu pula pendapat dalam mazhab Mālik, Ishaq dan Abī ‘Ubaid. Sedangkan Abū Hanīfah dan kedua muridnya berpendapat mereka boleh diberikan harta zakat apabila fakir atau miskin. Ketahuilah!, secara zhāhir kata fi sabilillah dalam firman Allah tersebut tidak dibatasi kepada orang-orang yang berperang saja. Oleh karena itu, Al-Qaffāl menukilkan dari sebagian fuqahā` bahwa mereka membolehkan harta zakat disalurkan kepada segala bentuk kebaikan, seperti mengkafani jenazah, membangun benteng dan mendirikan mesjid. Karena fi sabilillah dalam firman Allah itu mencakupi kepada seluruh amal kebajikan. Dari teks kitab tersebut dijelaskan bahwa fi sabilillah artinya juga 14 Wahbah Al-Zuhailī, al-Tafsīr al-Munīr, Jld. X,(Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010), h. 273 15 Al-Rāzī, Fakhr al-Dīn Muhammad ibn ‘Umar, Mafātīh al-Ghaib, Jld. VIII, (Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010), h. 76.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





|8

Jurnal Al-Mizan para pejuang perang. Di samping itu, juga dijelaskan mengenai perselisihan antara empat mazhab yang pernah penulis uraikan sebelumnya. Dalam teks kitab tersebut, juga dinyatakan tentang adanya pendapat sebagian ulama yang dinukilkan oleh al-Qaffāl (ulama senior dalam mazhab Syāfi’ī) yang memperbolehkan harta zakat dari bagian fi sabilillah untuk segala bentuk kebaikan. Akan tetapi, bila ditelaah lebih dalam, nukilan tersebut terdapat beberapa kelemahan. Salah satunya yaitu, sebagian fuqahā` yang berpendapat demikian masih tergolong majhul (tidak terlacak). Artinya, fuqahā` tersebut apakah termasuk dalam madzāhib arba’ah atau tidak, termasuk ulama yang pendapatnya mu’tabar atau bukan, bahkan dalam kitab al-Mausū’at alFiqhiyyah secara tegas dinyatakan bahwa tidak ada pendapat mu’tabar yang memperbolehkan zakat diberikan untuk sabīl al-khair.16 Apalagi al-Khāzin juga mengatakan pendapat sebagian ulama tersebut dha’īf karena bertentangan dengan kesepakatan mayoritas ulama.17 Kemudian, al-Zuhailī juga mengatakan bahwa mayoritas ulama sepakat harta zakat tidak boleh disalurkan untuk pembangunan mesjid, jembatan, mengkafani jenazah dan semacamnya karena tidak ada unsur tamlīk.18 Oleh karena itu, nukilan al-Qaffāl jelas bertentangan dengan jumhur ulama. Bahkan Al-Sya’rānī secara tersirat menyatakan hal tersebut menyalahi ijmak.19 Selain itu, jikapun al-Qaffāl sendiri yang berpendapat demikian, tetap saja pendapat itu lemah dan tidak boleh diikuti, karena alQaffāl merupakan salah seorang pengikut mazhab Syāfi’ī. Dalam ketentuan bermazhab disebutkan, jika pendapat seorang ulama pengikut mazhab tertentu berbeda dengan pendapat imam mazhabnya, maka yang menjadi pendapat untuk diikuti dan diamalkan oleh pengikut mazhab tersebut adalah pendapat imam mazhab. Oleh karenanya, pendapat al-Qaffāl dalam konteks ini tidak boleh diikuti. Dari berbagai redaksi kitab-kitab tafsir di atas, lebih memperkuat lagi pendapat ulama dari mazhab empat yang menyatakan bahwa fi sabilillah artinya adalah para relawan perang yang tidak mendapat anggaran belanja dari negara (al-ghuzāt al-mutathawwi’ah). Para ulama mazhab empat tentu mempunyai alasan dan landasan 16 Wizārat al-Auqāf wa al-Syū’ūn, al-Mausū’at al-Fiqhiyyah, Jld. XXIII, (Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010), h. 329-330. 17 Al-Khāzin, lubāb al-Ta`wīl fī Ma’ānī al-Tanzīl, Jld. III, (Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010), h. 295 18 Al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī ..., h. 303. 19 Al-Sya’rānī, ‘Abdu al-Wahhāb ibn Ahmad, al-Mīzān al-Kubrā, Jld. II, (Semarang : Toha Putra, t.t), h. 13.

9 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan hukum serta metode istinbāth-nya tersendiri mengapa fi sabilillah dalam persoalan zakat hanya bisa diartikan kepada para relawan perang. Menurut mereka, fi sabilillah secara bahasa (lughah) adalah jalan yang menuju kepada Allah, kemudian kata fi sabilillah sering dipakai pada ‘urf dan syara’ kepada makna jihad. Oleh karena itu, ketika diucapkan kata fi sabilillah secara muthlāq maka makna yang langsung terbesit dan ditangkap oleh pikiran adalah jihad. Metode seperti diistilahkan dengan metode lafzhi. Artinya, untuk menggali hukum-hukum dari al-qur`an dan hadis, terlebih dulu meninjau makna kata yang sering dipakai dalam istilah syara’ ataupun ‘urf. Dengan kata lain, metode lafzi adalah upaya menggali hukum syara’ dengan menerapkan kaidah-kaidah kebahasaan. Metode istinbāth ulama mazhab empat terkait hal ini dapat ditemukan antara lain dalam penjelasan al-Bujairimī sebagai berikut :

‫ مث كثر استعماله يف اجلهاد؛ ألنه سبب الشهادة‬،‫سبيل اهلل وضعا الطريق املوصلة له تعاىل‬ ‫ مث وضع على هؤالء؛ ألهنم جاهدوا ال يف مقابلة شيء فكانوا أفضل من‬،‫املوصلة إىل اهلل تعاىل‬ ‫غريهم شرح م ر وعبارة ز ي فسر سبيل اهلل بالغزاة؛ ألن استعماله يف اجلهاد غلب عرفا وشرعا‬ ‫] ومسي الغزو سبيل اهلل؛ ألن اجلهاد طريق‬۷٦ :‫قال اهلل تعاىل {يقاتلون يف سبيل اهلل} [النساء‬ 20 .‫للشهادة املوصلة هلل تعاىل فلذلك كان الغزو أحق بإطالق اسم سبيل اهلل عليه‬

Artinya: Fi sabilillah secara bahasa (lughah) adalah jalan yang menuju kepada Allah, kemudian kata fi sabilillah sering dipakai kepada makna jihad, karena jihad merupakan sebab syahidnya seseorang yang bisa menuju kepada Allah. Setelah itu, fi sabilillah diartikan kepada para relawan perang karena mereka berperang tanpa imbalan apapun. Maka para relawan perang lebih utama dari selain mereka (syarh Muhammad Ramlī). Adapun redaksi dari kitab karya al-Ziyadī, fi sabilillah ditafsirkan dengan orang-orang yang berperang. Karena pada syara’ dan ‘urf fi sabilillah sering dipakai dengan makna jihad (perang) sebagaimana kata fi sabilillah yang terdapat dalam surat al-Nisā` : 76. Adapun orang berperang dinamakan dengan fi sabilillah karena berperang adalah jalan untuk menuju kepada Allah, maka karena itu fi sabilillah lebih pantas pemakaiannya kepada para tentara perang. Jadi, Interpretasi ini muncul karena melihat kepada penggunaaan pada ‘urf dan al-qur`an bahwa fi sabilillah sering diartikan dengan orang yang berperang. Dalam al-qur`an, istilah kata-kata fi sabililah terdapat sebanyak lima puluh kali. Tiga puluh delapan di antaranya muncul bersama perang (qitāl) dan jihad atau tindakan-tindakan yang menunjukkan makna qitāl dan 20 Al-Bujairimī, Sulaimān ibn Muhammad, Hāsyiat al-Bujairimī ‘ala al-Minhāj, Jld. V, (Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010), h. 311-312.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 10

Jurnal Al-Mizan jihad, dan delapan di antaranya muncul bersama kata anfaqa (memberi infaq). Sedangkan empat sisanya muncul bersamaan dengan hijrah.21 Hal ini membuktikan bahwa dalam al-qur`an, istilah fi sabilillah lebih banyak diartikan dengan jihad (perang). Bahkan, dalam kitab Asrār al-Bayān disebutkan bahwa fi sabilillah dalam surat al-Taubah maksudnya adalah jihad, karena kebanyakan kata fi sabilillah dalam surat tersebut diiringi dengan kata qitāl (perang),22 ditambah lagi dengan salah satu alasan dimakruhkan membaca basmalah ketika membaca surat al-Taubah karena diturunkan ketika perang.23 Maka dari uraian di atas dapatlah mengokohkan makna fi sabilillah dalam surat al-Taubah ayat ke-60 untuk diartikan dengan orang yang berperang. Di samping itu, senif fi sabilillah tidak boleh disalurkan kepada selain relawan perang juga dapat pahami melakui penggantian kata lam dengan kata fi di dalam ayat, sebagaimana dikemukakan oleh al-Razī berikut ini:

‫ { ويف الرقاب } فال بد هلذا الفرق من فائدة‬:‫وملا ذكر الرقاب أبدل حرف الالم حبرف يف فقال‬ ‫ وتلك الفائدة هي أن تلك األصناف األربعة املتقدمة يدفع إليهم نصيبهم من الصدقات حىت‬، ‫ وال‬، ‫يتصرفوا فيها كما شاؤوا وأما { ىف الرقاب } فيوضع نصيبهم يف ختليص رقبتهم عن الرق‬ ‫ بل يوضع يف الرقاب بأن‬، ‫يدفع إليهم وال ميكنوا من التصرف يف ذلك النصيب كيف شاؤوا‬ ‫ ويف الغزاة يصرف املال‬، ‫ وكذا القول يف الغارمني يصرف املال يف قضاء ديوهنم‬، ‫يؤدي عنهم‬ ‫ أن يف األصناف األربعة‬: ‫ واحلاصل‬. ‫إىل إعداد ما حيتاجون إليه يف الغزو وابن السبيل كذلك‬ ‫ ويف األربعة األخرية ال يصرف املال‬، ‫ يصرف املال إليهم حىت يتصرفوا فيه كما شاؤوا‬، ‫األول‬ ‫ بل يصرف إىل جهات احلاجات املعتربة يف الصفات اليت ألجلها استحقوا سهم الزكاة‬، ‫إليهم‬ 24 .

Artinya: Tatkala menyebutkan kata riqāb, digantikan huruf lam dengan huruf fī, maka hal ini mengandung suatu faedah, yaitu empat mustahik yang pertama diberikan harta zakat dan mereka boleh menggunakan untuk apa saja yang mereka inginkan. Sedangkan empat mustahik yang terakhir hanya boleh menggunakan harta zakat untuk kepentingan yang sesuai dengan sifatnya masing-masing, yakni riqāb hanya boleh menggunakan harta zakat untuk melepaskan perbudakannya, ghārim untuk membayar hutangnya, pejuang perang untuk keperluan peperangannya, begitupula ibnu sabil.

21 Muslim Ibrahim, Konsep Senif Fi Sabilillah Dalam Perspektif Fiqh Muqarran, (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2012), h. 89-90. 22 Fādhil Shālih al-Sāmirā`īh, Asrāral-Bayān fi ta’bīr al-qur`ānī, Jld. I, (Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010), h. 48. 23 Al-Bujairimī,Hāsyiat al-Bujairimī..., h. 23. 24 Al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib…, h.75. Lihat juga, al-Khāzin, Lubāb al-Ta`wīl h. 294-295.

11 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Dari teks kitab tersebut jelaslah bahwa penggantian kata lam dengan kata fi memiliki tujuan tersendiri, yakni tatkala kata fi menggantikan kata lam pada empat senif terakhir, maka empat senif tersebut hanya boleh menggunakan zakat pada kepentingan yang terikat dengan sifatnya. Seandainya senif fi sabilillah boleh disalurkan kepada selain relawan perang maka hilanglah faedah dari penggantian kata lam dangan kata fi, yang mengakibatkan kepada hilangnya rahasia dibalik penggantian tersebut, yakni pengantian tersebut menjadi tanpa makna. Hal ini tidaklah layak terjadi pada kalam yang mu’jiz. KRITERIA FI SABILILLAH MENURUT ULAMA KONTEMPORER Berbeda dengan ulama dalam mazhab empat, para ulama kontemporer tidak membatasi makna sabilillah hanya pada relawan perang, tetapi mereka mengartikannya dengan makna yang lebih luas yaitu semua hal yang mencakup kemaslahatan dan perbuatan-perbuatan baik sesuai dengan penerapan asal dari kalimat tersebut. Hal ini dapat dilihat dari berbagai ungkapan dan komentar mereka terkait permasalahan ini. Berikut penulis mengutip beberapa komentar mereka. Menurut Jamāl al-Dīn al-Qāsimī:

‫فسر به الفقهاء قوله تعاىل (وىف سبيل اهلل) فجعلوا هذا الصنف للغزاة اجملاهدين خاصة‬ ّ ‫هذا مما‬ ‫ وعندى أن هذ القصر من حصر العام ىف أهم أفراده‬.‫وقوفا مع آثار ىف ذلك رويت عن السلف‬ ‫ال من حصره ىف مدلوله وموضوعه اللغوى ألن سبيل اهلل كما قال ابن األثري ىف النهاية كل عمل‬ ‫خالص سلك به طريق التقرب اىل اهلل تعاىل بأنواع التطوعات والقربات على أن سبيل اهلل ليس‬ ‫نصا ىف اجلهاد وال ظاهرا فيه كما ال خيفى على من له املام باألصول وال يقدر أحد أن يأتى‬ ‫بنص من كتاب أو سنة أن سبيل اهلل هو اإلنفاق على على اجملاهدين دون غريهم أبدا إال من‬ ‫آثار موقوفة على السلف مما ليس حبجة وال قاطع وقد تقرر أن العام جيب إبقاؤه على عمومه‬ ‫حىت يرد ما خيصصه وإذ ال خمصص فهو عام ىف كل ما يتقرب به اىل اهلل ويؤيد دينه وشرعه‬ 25 .‫كبناء مدرسة وشراء كتب للعلماء وإعانة ىف مشروع خري وموضوع بر مما ال حتصى أفراده‬

Artinya: Ini (membatasi sabilillah kepada jihad) merupakan penafsiran para fuqahā` terhadap firman Allah “wa fi sabilillah”, mereka mengkhususkan senif ini hanya untuk orang yang berperang karena berpijak pada atsar yang diriwayatkan dari ulama salaf. Menurut saya, pembatasan ini merupakan sebagian dari bentuk pembatasan lafaz umum kepada yang terpenting dari segala satuannya, bukan pembatasan kepada makna aslinya, karena sabilillah seperti yang dikemukakan oleh Ibn al-Atsīr dalam kitab al-Nihāyah adalah setiap amalan ikhlas yang dijadikan sarana untuk mendekatkan 25 Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, Mauzhi’ah al-Mu`minīn min Ihyā` ‘Ulūm al-Dīn, (Ttp: Dār al-‘Ahd al-Jadīd, tt), h. 53

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 12

Jurnal Al-Mizan diri kepada Allah yang terdiri dari berbagai bentuk perbuatan sunnat dan ibadat. Lebih-lebih lagi, kata sabilillah tidak menunjukkan kepada makna jihad, baik secara nash (tegas) maupun secara lebih kuat (zhahir), dan hal ini bukanlah sesuatu yang samar-samar bagi orang yang menguasai ilmu ushul fiqh. Kapan saja tidak ada seorangpun mampu membuktikan ada dalil ayat atau hadis yang menunjukkan kepada bahwa makna sabilillah adalah hanya infaq kepada para relawan perang dengan mengabaikan yang lainnya, kecuali berpijak pada atsar yang terhenti pada ulama salaf, di mana atsar tersebut tidak dapat dijadikan hujjah dan juga tidak menunjukkan kepada hukum yang meyakinkan. Sudah menjadi ketetapan bahwa suatu lafaz umum wajib dipahami menurut keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Karena di sini tidak diperdapatkan dalil yang mengkhususkannya maka sabilillah mencakup apa saja perbuatan yang menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah dan menguatkan agama serta syari’atnya seperti membangun madrasah, membeli kitab untuk ulama, dan membantu jalan kebaikan yang tidak terhingga bentuknya. Menurut al-Shan’anī:

:‫ قال الشارح‬.‫وكذلك الغازى حيل له أن يتجهز من الزكاة وإن كان غنيّا ألنه ساع ىف سبيل اهلل‬ ‫ويلحق به من كان قائما مبصلحة عامة من مصاحل املسلمني كالقضاء واإلفتاء والتدريس وإن‬ 26 .‫كان غنيّا‬

Artinya: Demikian juga relawan perang, halal baginya mengambil harta zakat sekalipun ia kaya, karena ia merupakan orang yang berjalan pada jalan Allah. berkatalah pensyarah, dan diqiaskan kepada relawan perang, orangorang yang mengurus kepentingan umum umat Islam seperti memutuskan perkara dalam persengketaan, memberi jawaban hukum dan mengajar, mereka diberikan zakat meskipun mereka kaya. Menurut Yūsuf al-Qaradhawī: Pada dasarnya, Yūsuf al-Qaradhawī mengartikan sabilillah dalam ayat tentang mustahik zakat dengan jihad, namun ia tidak membatasi makna jihad itu hanya pada bentuk konfrontasi senjata, tetapi segala bentuk upaya dan perbuatan yang bertujuan membela agama Allah dianggap sebagai jihad. Hal jelas tergambarkan dari pernyataannya berikut ini. “Sesungguhnya jihad itu kadangkala dilakukan dengan tulisan dan ucapan sebagaimana bisa dilakukan pula dengan pedang dan pisau. Kadangkala jihad itu dilakukan dalam bidang pemikiran, pendidikan, sosial,

26 Al-Shan’anī, Muhammad ibn Ismā’īl, Subul al-Salām Syarh Bulūgh alMarām, Jld. II, Cet. IV, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), h. 155

13 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan ekonomi, politik sebagaimana dilakukan dengan kekuatan bala tentara. Yang paling penting, terwujudnya syarat utama pada semuanya itu, yaitu hendaknya sabilillah itu dimaksudkan untuk membela dan menegakkan kalimat Islam di muka bumi ini. Setiap jihad yang dimaksudkan untuk menegakkan kalimat Allah, termasuk sabilillah, bagaimanapun keadaan bentuk dan senjatanya”. Selanjutnya, Yūsuf al-Qaradhawī menjelaskan: Alasan kami dalam memperluas arti jihad ini sebagai berikut: pertama, bahwa jihad dalam Islam tidak hanya terbatas pada peperangan dan pertempuran dengan senjata saja, sebab telah shahih riwayat dari Nabi SAW ketika beliau ditanya jihad apakah yang paling utama?, ia menjawab “menyatakan kalimah yang hak pada penguasa yang zalim”… Kedua, apa yang kami sebutkan atas bermacam jihad dan kebangkitan Islam, kalau tidak termasuk ke dalam jihad dengan nash, maka wajib menyertakannya dengan qias. Keduanya adalah perbuatan yang bertujuan untuk membela Islam, menghancurkan musuh-musuhnya dan menegakkan kalimah Allah di muka bumi.27 Dari komentar tiga ulama kontemporer di atas dapat dipahami bahwa mereka tidak membatasi makna sabilillah sebagai penerima zakat hanya kepada relawan yang berperang secara fisik dan senjata saja, tetapi segala bentuk kebaikan dan kegiatan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, atau menegakkan agama Islam, juga termasuk sabilillah. Di antara kegiatan tersebut adalah mengajar, memberi jawaban hukum, menyediakan kitab untuk ulama, mendirikan madrasah, melangsungkan pendidikan, menulis, dan lain sebagainya. Dasar yang dijadikan sebagai pijakan mereka dan metode penalaran hukum yang digunakan terlihat beragam. al-Qāsimī mengembalikan arti kata sabilillah kepada arti asli, dan juga menurutnya tidak ada nash dari alqur`an dan hadis yang mengarahkan arti sabilillah kepada jihad. Karenanya, kata sabilillah tetap bermakna umum disebabkan tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Sedangkan Yūsuf al-Qaradhawī memperluas arti dari kata jihad dengan sebab adanya hadis yang mengartikan kata jihad tidak hanya berperang dengan senjata. Di samping itu, ia juga mengqiaskan seluruh kebaikan dan kegiatan yang bertujuan menegakkan agama Islam, kepada jihad yang berarti perang dengan fisik dan senjata, sama seperti yang ditempuh oleh al-Shan’anī. Dari uraian ini, terlihatlah bahwa metode yang digunakan oleh ulama kontemporer adalah penggabungan antara metode lafzi dan maknawi. ANALISIS Menurut hemat penulis, jika diukur dengan aturan-aturan dan metode 27 Yūsuf al-Qaradhawī, Hukum Zakat, (Terjm: Salman Harun dkk), Judul Asli: Fiqh al-Zakāt, Cet. II, (Jakarta: Intermasa, 1991), h. 632-634

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 14

Jurnal Al-Mizan istinbāth hukum yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu, terlihat bahwa pijakan dan metode yang digunakan oleh ulama kontemporer dalam konteks ini tidak terlepas dari berbagai kelemahan, bahkan kerancuan. Berikut ini penjelasannya: 1. Pernyataan al-Qāsimī bahwa tidak terdapat satupun nash al-qur`an atau hadis yang dapat mengkhususkan makna sabilillah kepada relawan perang patut dipertanyakan. Sebab bila ditelusuri lebih jauh ternyata ada satu hadis yang bersumber dari Abī Sa’īd al-Khudrī yang secara tegas menyebutkan kata-kata yang menunjukkan kepada arti relawan perang. Hadis tersebut adalah:

‫ قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم ال حتل الصدقة‬:‫عن أيب سعيد اخلدرى رضي اهلل عنه قال‬ ‫لغين إال خلمسة لعامل عليها أو رجل اشرتاها مباله أو غارم أو غاز ىف سبيل اهلل أو مسكني‬ ّ 28 .)‫لغين (رواه أمحد وأبو داود وابن ماجه وصححه احلاكم‬ ‫منها‬ ‫فأهدى‬ ‫منها‬ ‫عليه‬ ‫تصدق‬ ّ

Artinya: Diriwayatkan dari Abī Sa’īd al-Khudrī RA, berkata ia “berkatalah Rasulullah SAW, zakat itu tidak halal untuk orang kaya kecuali untuk lima orang dari mereka, pengurus zakat, seseorang yang membeli harta zakat dengan hartanya, orang yang memiliki hutang, orang yang berperang di jalan Allah, dan orang miskin yang diberikan zakat kepadanya, lantas ia menghadiahkan kepada orang kaya. (H.R. Ahmad, Abū Dāwud, Ibnu Mājah, dan di-tashhih oleh al-Hākim). Dalam hadis tersebut secara tegas dinyatakan bahwa salah satu dari orang kaya yang boleh mengambil zakat adalah relawan perang. Kalimat yang digunakan untuk menunjukkan kepada makna relawan perang cukup jelas yaitu ‫غاز‬, di mana kalimat ini tidak memiliki kemungkinan arti yang lain. Karena itu, hadis tersebut dapat menjadi dalil yang mengkhususkan keumuman makna kata sabilillah yang ada dalam ayat. Dengan demikian, kata sabilillah dalam ayat tidak boleh pahami lagi bermakna umum karena sudah ada mukhashshish-nya. Berkaitan dengan keotentikannya, sejauh ini penulis belum menemukan pernyataan ulama yang menolak ber-istidlāl dengan hadis tersebut. Bahkan dalam beberapa kitab, hadis ini justeru dijadikan hujjah untuk membolehkan penerimaan zakat oleh relawan perang yang kaya. Dengan temuan ini, terbantahlah pernyataan al-Qāsimī di atas. 2. Metode penalaran hukum yang dipakai al-Qāsimī, yaitu mengembalikan kata sabilillah kepada makna lughawi-nya tidak sesuai dengan aturan istinbāth yang telah ditetapkan ulama Ushul Fiqh. Dalam Ushul Fiqh disebutkan sebuah kaidah yaitu, “apa bila suatu lafaz memiliki arti menurut lughawi dan arti menurut istilah syara’, maka yang 28 Ibnu Hajar al-‘Asqālanī, Bulūgh al-Marām min adillah al-Ahkām, Cet. I, (Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 2002), h. 115

15 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan dimaksudkan dari lafaz tersebut jika diperdapatkan dalam al-qur`an atau hadis adalah makna menurut istilah syara’, kecuali ada indikasi yang memalingkannya kepada arti lughawi”.29 Berkaitan dengan lafaz sabillah, tidak diperdapatkan indikasi yang memalingkannya kepada arti lughawi, bahkan yang diperdapatkan justeru indikasi yang menguatkannya untuk diartikan secara istilah syara’ yaitu hadis Abī Sa’īd al-Khudrī RA, maka lafaz ini mesti diartikan sesuai makna syar’i-nya, yaitu relawan perang. 3. Metode yang dipakai oleh Yūsuf al-Qaradhawī dengan memperluas arti jihad kepada selain peperangan dengan senjata perlu ditinjau kembali. Karena jihad yang disebutkan oleh Nabi SAW dalam hadis yang dijadikan sumber oleh Yūsuf al-Qaradhawī bisa saja jihad dalam pengertian lughawi, yaitu bersungguh melakukan sesuatu/mencurahkan segenap kemampuan. Sedangkan jihad dalam konteks zakat mempunyai arti khusus secara istilah syara’. Selain itu, bisa saja yang dimaksudkan oleh Nabi dengan jihad tersebut adalah memperoleh pahala sama seperti berjihad dalam arti berperang. Maksud seperti ini diperdapatkan juga dalam hadis-hadis yang lain, seperti ketika sebagian perempuan mengadu kepada Nabi bahwa mereka kekurangan pahala karena tidak dibebankan jihad, lantas Nabi menjawab bahwa kegiatan mengurus rumah tangga itulah jihad bagi perempuan. Di samping itu, perluasan arti jihad juga bertentangan pentakhshīsh-an makna sabilillah oleh hadis Abī Sa’īd al-Khudrī RA di atas. 4. Mengqiaskan segala kebaikan atau kegiatan yang bertujuan menegakkan agama Allah kepada peperangan tidaklah tepat karena ilat hukum pada permasalahan jihad tidak diperdapatkan pada kegiatan lainnya. Yang menjadi ilat hukum pada jihad adalah membantu relawan perang dalam menghadapi peperangannya. Ilat ini tidak diperdapatkan pada perbuatan yang lain. Ketika sebuah ilat hanya berdiri pada hukum tertentu dan tidak dapat dikembangkan kepada kasus lain, maka peluang melakukan qias di situ menjadi tertutup, karena yang dapat diberlakukan qias hanya bila ilatnya muta’addiyyah. Sedangkan pada permasalahan jihad ilatnya qāshirah. 5. Dalam ketentuan ber-istinbāth disyaratkan bahwa pendapat yang dihasilkan tidak boleh bertentangan dengan ijma’ ulama. Dalam kaitan ini, sabilillah bermakna relawan perang merupakan sesuatu yang telah di-ijma’-kan oleh mazhab empat. Dengan demikian, pendapat ulama kontemporer dalam memperluas makna sabilillah merupakan pendapat yang bertentangan dengan ijma’. Karenanya, pendapat tersebut tidak dianggap pendapat yang mu’tabar. Apalagi secara tidak langsung, pendapat tersebut telah menyalahkan ijma’ yang sudah terbentuk selama 29 Wahbah al-Zuhailī, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, Jld. I, Cet. III, Ed. XIV, (Damsyiq: Dār al-Fikr, 2006), h. 277

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 16

Jurnal Al-Mizan berabad-abad, padahal Nabi sendiri memberikan jaminan bahwa apa yang di-ijma’-kan oleh para mujtahid dari umatnya tidak akan pernah salah. 6. Mengartikan sabilillah dengan jalan kebaikan bertentangan dengan kaidah lughawiyyah terkait dengan ‘athaf. Kaidah menyebutkan bahwa hubungan antara ma’thūf dan ma’thūf ‘alaih adalah berlainan (mughāyarah). Jika sabilillah diartikan dengan jalan kebaikan maka tidak akan ada mughāyarah pada ‘athaf dalam ayat tersebut karena memberikan zakat kepada para mustahik yang disebutkan sebelum kata fi sabilillah juga merupakan jalan kebaikan. Seandainya dimaksudkan dengan ‘athaf di sini berbentuk ‘athaf kalimat ‘āmm atas kalimat khāsh yang bertujuan untuk ta’mīm, seharusnya kalimat fi sabilillah letaknya pada bagian akhir dari delapan senif mustahik agar mencakup juga kepada ibnu sabil karena memberikan kepada ibnu sabil pun merupakan jalan kebaikan. Oleh karena itu, mengartikan sabilillah dengan jalan kebaikan merupakan pentafsiran yang rancu dan kontradiksi dengan kaidah di sana-sini. Dari berbagai uraian ini terlihatlah secara jelas bahwa pendapat ulama kontemporer yang mengartikan sabilillah dengan segala kebaikan atau kegiatan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah atau menegakkan agama Allah merupakan pendapat yang menyimpang dari aturan istinbāth hukum yang ditetapkan para ulama, baik dari segi sumber pijakannya maupun metode penalarannya. KESIMPULAN Senif fi sabilillah sebagai mustahik zakat adalah para relawan perang yang tidak mendapatkan bagian dari harta fay`. Inilah pendapat yang sah, mu’tabar, dan wajib diikuti oleh umat Islam dalam hal ini, karena pendapat ini merupakan kesepakatan para ulama dalam lingkup mazhab empat. Sesuai dengan kaidah yang telah baku bahwa mazhab yang boleh diikuti dalam bidang fikih hanyalah salah satu dari mazhab empat, maka pendapat ulama kontemporer yang membolehkan penyaluran senif fi sabilillah kepada segala bentuk kebaikan dan kemaslahatan, bukanlah pendapat yang boleh diikuti karena bertentangan dengan ijma’ mazhab empat. Berdasarkan kesimpulan ini, diharapkan kepada pemerintah untuk meluruskan pola penyaluran zakat di instansi Baitul Mal, baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota ke arah yang lebih sesuai dengan aturan hukum syar’i.

‫واهلل أعلم بالصواب‬

17 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan DAFTAR PUSTAKA

Al-Bujairimī, Sulaimān ibn Muhammad, Hāsyiat al-Bujairimī ‘ala alMinhāj, Jld. V, Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010; Al-Dimsyiqī, Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman, Rahmah al-Ummah fī Ikhtilāf al-A`immah, Beirut: Dār al-Fikr, 2000; Al-Khāzin, lubāb al-Ta`wīl fī Ma’ānī al-Tanzīl, Jld. III, Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010; Al-Māwaridī, ‘Alī ibn Muhammad, al-Hāwī al-Kabīr, Jld. VIII, Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010; Al-Nawawī, Yahyā ibn Syarf, al-Majmū’ ‘alā Syarh al-Muhadzdzab, Jld. VI, Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010; Raudhat al-Thālibīn, Jld. II, Sofware: Maktabah Syami� , ______ ;lah, Versi 4,37, 2010 Al-Rāfi’ī, ‘Abd al-Karīm ibn Muhammad, al-Muharrar fī Fiqh ;al-Syāfi’ī, Cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005 Al-Rāzī, Fakhr al-Dīn Muhammad ibn ‘Umar, Mafātīh al-Ghaib, Jld. VIII, Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010; Al-Shan’anī, Muhammad ibn Ismā’īl, Subul al-Salām Syarh Bulūgh al-Marām, Jld. II, Cet. IV, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmi;yyah, 2006 Al-Syairāzī, Ibrāhīm ibn ‘Alī, al-Tanbīh, Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010; Al-Sya’rānī, ‘Abd al-Wahhāb ibn Ahmad, al-Mīzān al-Kubrā, Jld. II, Semarang : Toha Putra, t.t; ‘Abd al-Haq ibn Ghālib, al-Muharrar al-Wajīz, Jld. III, (Sofware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010; ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Jazīrī, Al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Arba’ah, Cet. I, al-Manshūrah: Dār al-Ghad al-Jadīd, 2005; Fādhil Shālih al-Sāmirā`ih, Asrār al-Bayān fi ta’bīr al-qur`ānī, Jld. I, Sof-

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 18

Jurnal Al-Mizan ware: Maktabah Syamilah, Versi 4,37, 2010; Ibnu Hajar al-‘Asqālanī, Bulūgh al-Marām min adillah al-Ah;kām, Cet. I, Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 2002 Ibnu Rusyd, Muhammad ibn Ahmad, Bidāyah al-mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid, Jld. I, Cet. I, Kairo: Maktabah al-Kulliyyāt ;al-Azhariyyah, 1989 Ibrahim al-Bājūrī, Hāsyiat al-Bājūrī ‘ala Ibn Qāsim al-Ghazī, Jld. I, Indonesia: Haramain, t.t; Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, Mauzhi’ah al-Mu`minīn min Ihyā` ‘Ulūm al-Dīn, Ttp: Dār al-‘Ahd al-Jadīd, tt; Muslim Ibrahim, Konsep Senif Fi Sabilillah Dalam Perspektif Fiqh Muqarran, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2012; Wahbah al-Zuhaylī, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, Jld. III, Cet. ;IV, Damsyiq: Dār al-Fikr, 2004

19 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH SYAR’IYAH LANGSA (Nomor 20/JN/2012/MS-Lgs TENTANG ‘UQUBAT CAMBUK) Oleh: Muhammad Bashir, shi, ma ABSTRAK In the criminal justice system in addition to material law also exists a formal law, these formal law as a rule of law that the material can be applied. With the formal law enforcement officers are authorized to arrest a person, held their, seize an object, the prosecutor may prosecute, indict and others. Therefore, a formal law is very important because it determines the fate of the accused person. In Langsa Syar’iyah Court Decision No. 20 / JN / 2012 / MS-LGS decided by the judges are judges negligence in providing legal considerations. Then moved to these problems is needed there is a study of what the legal considerations given judge, whether the decision in accordance with the principles of the law and how the legal consequences of the decision. This study was designed with the qualitative pattern, using regulatory approach. Data collection techniques using documentation and interview techniques. The research proves that consideration Langsa Syar`iyah Court judges in deciding ‘uqubat whip khalwat in case No.20 / JN / 2012 / MS-LGS, first Qanun No. 14 of 2003 concerning the seclusion, the Qur’an Surat Allsraa ‘paragraph 32 on the prohibition of adultery. Langsa Syar`iyah Court judge’s ruling on the case No.20 / JN / 2012 / MS-LGS does not take into consideration the demands of the public prosecutor. The legal consequences Syar’iyah Court decision 20 / JN / 2012 / MS-LGS is a judgment decision must perform in accordance with the decision of the judges deliberation execution. Keywords: Punishment System, Positive Law, Islamic Law, Court Decision Syar’iyah Langsa. ‌

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 20

Jurnal Al-Mizan A. Pendahuluan Peradilan Syari’at Islam merupakan bagian dari sistem peradilan nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Aceh, diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pada tanggal 4 Maret 2003. Kemudian pada bulan Oktober 2004 Ketua Mahkamah Agung melimpahkan sebagian kewenanganmengadili di bidang perdata dan pidana dari Pengadilan Negeri ke Mahkamah Syar’iyah.1 Berdasarkan Keppres Nomor 11 Tahun 2003 tersebut, kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Jadi pembentukan Mahkamah Syar’iyah menggantikan peran Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, bahwa peradilan Syari’at Islam di Provinsi Aceh merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.2 Kewenangan Mahkamah Syar’iyah ditetapkan dengan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. Berdasarkan Qanun tersebut, Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pada tingkat pertama, dalam bidang ahwal alsyakhshiyah, mu’amalah, dan jinayah (Pasal 49). Dalam Penjelasan Pasal 49, disebutkan bahwa: 1. Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang ahwal alsyakhshiyahmeliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelasan dari pasal tersebut, kecuali waqaf, hibah, dan sadaqah. 2. Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang mu’amalah meliputi hukum kebendaan dan perikatan, seperti jual beli, hutang piutang; qiradh (permodalan); musaqah, muzara’ah, mukhabarah (bagi hasil pertanian); wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian); ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syuf’ah (hak langgeh), rahnu (gadai); 1 Al Yasa’ Abubakar, Sekilas Syari’at Islam di Aceh. , (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh. Darussalam), h. 6 2 Lihat Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004tentang Kekuasaan Kehakiman.

21 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan 3. Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang jinayat adalah hudud yang meliputi zina, menuduh berzina (qadhaf), mencuri, merampok, minuman keras dan NAPZA, murtad, pemberontakan (bughat); qishash/diat yang meliputi pembunuhan dan penganiayaan; ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syari’at selain hudud dan qishash/diat seperti judi, khalwat, meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan. Pelaksanaan Syariat Islam lainnya yang sangat spesifik di Provinsi Aceh adalah pelaksanaan hukuman cambuk. Bagi mereka yang terbukti melanggar Qanun tentang judi, minuman keras, dan berduaan dengan pasangan lain jenis (bukan suami isteri) dikenakan hukuman cambuk. Semua itu telah diatur dalam Qanun Nomor 12 Tahun 2003, Qanun Nomor 13 Tahun 2003, Qanun Nomor 14 Tahun 2003, dan Qanun Nomor 7 Tahun 2004. Hukum Pidana Materiil, yang dalam sistem hukum termasuk dalam elemen substansi hukum, adalah berkaitan dengan peraturan dan norma yang ada. Secara nasional peraturan yang memuat perbuatan pidana yang diancam dengan sanksi dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Penerapan Hukum (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP) dan peraturan pidana lainnya di luar KUHP, Hukum materiil yang akan digunakan dalam menyelesaikan perkara dalam bidang jinayah adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syari’at Islam yang akan diatur dengan Qanun. Dalam Qanun ketentuan pidana terhadap perbuatan pidana disebut dengan ketentuan uqubah/uqubat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menegaskan bahwa Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syari’ah dan akhlak (Pasal 125 ayat (1). Syariat Islam tersebut meliputi ibadah, ahwalal-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Ketentuan mengenai pelaksanaan Syariat Islam diatur dengan Qanun. Adapun yang dimaksud dengan Qanun, dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 18 Tahun 2001, dikatakan bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Jadi, Qanun adalah peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Qanun dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat legegeneralis dan MA berwenang melakukan uji materil terhadap Qanun.3 3 Lihat Penjelasan umum Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Daerah Aceh

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 22

Jurnal Al-Mizan Dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 disebutkan beberapa perbuatan yang dapat dikenakan sanksi, antara lain yaitu: 1. menyebarkan paham atau aliran sesat; 2. keluar dari aqidah Islam dan/atau menghina atau melecehkan agama Islam; 3. tidak melaksanakan shalat jum’at tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar’i; 4. makan atau minum (oleh orang yang wajib puasa) di tempat/di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan; dan tidak berbusana islami. Sedangkan empat Qanun Provinsi NAD lainnya menyangkut perbuatan pidana mengenai: a. larangan mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya (Qanun No. 12 Tahun 2003); b. larangan melakukan perbuatan maisir (perjudian) (Qanun No. 13 Tahun 2003); c. larangan melakukan khalwat (mesum) (Qanun No. 14 Tahun 2003); dan tidak membayar zakat atau tidak membayar zakat menurut sebenarnya (Qanun No. 7 Tahun 2004). Jika diperhatikan perbuatan pidana dalam Qanun No. 11 Tahun 2002 yang menyangkut aqidah, ibadah dan syiar Islam dan Qanun No. 7 Tahun 2004 merupakan hal yang bersifat pribadi, termasuk dalam perbuatan yang diwajibkan/dilarang dalam agama Islam. Sedangkan tiga perbuatan lainnya yang telah dimuat dalam Qanun merupakan perbuatan pidana yang telah dimuat dalam KUHP. Mahkamah Syar’iyah selain melaksanakan tugas dan kewenangan yang diatur dengan Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam juga melaksanakan Tugas Pokok dan kewenangan Peradilan Agama. Berdasarkan pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Jo. Undang-undang No 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, tugas pokok dan kewenangan Peradilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya diantara orang yang beragama Islam dibidang: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibbah, wakaf, Imfaq, Shadaqah dan ekonomi Syariat.4 Disamping tugas pokok sebagaimana tersebut di atas, Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah juga mempunyai tugas-tugas lain yaitu bertugas memberikan istbat kesaksian rukyah hilal dalam penentuan awal 4 A. Hamid Sarong dan Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah. Syar`iyah Aceh : Lintas Sejarah. dan Eksistensinya, Cet. I, (Banda Aceh : Global Education Institute, 2012), h. 76

23 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan bulan pada rahun Hijriyah (Pasal 52A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006). Kewenangan Mahkamah Syar’iyah diatur dalam Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam Pasal 49 yaitu: Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang: aḥwal al-syakhshiyah; muʻāmalah; dan jināyah. Dalam Pasal 50 dijelaskan (1) Mahkamah Syar’iyah Provinsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam tingkat banding. (2) Mahkamah Syar’iyah Provinsi juga bertugas dan berwenang mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam.5 Peradilan Syariat Islam di Provinsi Aceh adalah merupakan peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan Agama, pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh lebih luas dibanding kewenangan Peradilan Agama di Provinsi lain pada umumnya dan mempunyai wewenang dalam menyelesaikan perkara jināyah. Dalam pasal 51 Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dijelaskan ”Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50, Mahkamah dapat diserahi tugas dan kewenangan lain yang diatur dengan Qanun”. Kendatipun tugas dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah telah bertambah, namun masih dalam batas tertentu sesuai dengan yang diatur dalam Qanun Provinsi Aceh, untuk saat ini perkara jinayat yang telah diberlakukan di Mahkamah Syar’iyah dalam Provinsi Aceh adalah: a). Tentang Pelaksanaan Syari`at Islam (Qanun Prov. Aceh. No. 11 Tahun 2002). b). Tentang Minuman Khamar dan sejenisnya (Qanun Prov. Aceh. No. 12 Tahun 2003); c). Tentang Maisir atau penjudian (Qanun Prov. Aceh. No. 13 Tahun 2003); d). Tentang Khalwat atau Mesum (Qanun Prov. Aceh. No. 14 Tahun 2003); e). Tentang Pelaksanaan Zakat (Qanun Prov. Aceh. No. 7 Tahun 2004).6 Kewenangan tersebut terus bertambah seiring dengan lahirnya Qanun-qanun baru tentang kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Namun demikian Syari`at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah sebagai peradilan Syari`at Islam, tetap dibatasi yakni harus dalam bingkai hukum nasional, sekalipun dalam penjelasan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Daerah Aceh dinyatakan bahwa qanun daerah dapat menge 123.

5

A. Hamid Sarong dan Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah. Syar`iyah. …, h.

6

A. Basiq Djalil, Pengadilan Agama…, h. 194.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 24

Jurnal Al-Mizan nyampingkan peraturan perundang-undangan.7 B. Profil Mahkamah Syar’iyah Langsa Gedung Mahkamah Syar’iyah Langsa beralamat di Jln. Prof. A. Majid Ibrahim Gampong Matang Seulimeng Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa. Sementara Gedung Mahkamah Syar’iyah Langsa yang baru dengan konstruksi bangunan masih dalam pengerjaan, beralamat di Jln. TM. Bahrum Gampong Paya Bujok Teungoh Kecamatan Langsa Barat Kota Langsa. Letak Astronomis Gedung Kantor 04° 24’ 35,68’’ – 04° 33’ 47,03” Lintang Utara dan 97° 53’ 14,59’’ – 98° 04’ 42,16’’ Bujur Timur.8 Mayoritas penduduk Kota Langsa adalah suku Aceh, selain itu juga ada suku Tionghoa, suku Melayu, suku Batak, dan suku Jawa. Bahasa yang digunakan oleh mayoritas masyarakat adalah bahasa Aceh, di samping itu juga digunakan bahasa Indonesia tetapi sebagai bahasa bisnis, sekolah, pemerintah, universitas, dan kantor. Bahasa Melayu juga digunakan dalam percakapan sehari-hari, tetapi hanya oleh sebagian masyarakat saja, karena penggunaan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia hanya sedikit berbeda antara kata dan maknanya. Visi Mahkamah Syar’iyah Langsa adalah“Terwujudnya Badan Peradilan Yang Agung”. Sementara misinya adalah: 1. Menjaga Kemandirian Badan Peradilan; 2. Memberikan Pelayanan Hukum Yang Berkeadilan Kepada Pencari Keadilan; 3. Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Badan Peradilan; 4. Meningkatkan Kredibilitas dan Transparansi Badan Peradilan; 5. Tupoksi. 9 Mahkamah Syar’iyah Langsa sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh luar lainnya.Mahkamah Syar’iyah Langsa bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama sebagaimana tertuang dalam Pasal 49 Undang-Undang  Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) Perkawinan, (b) Kewarisan, 7 Lihat Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Kh. usus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 8 Profil Mahkamah Syar`iyah Langsa tahun 2014. 9 Profil Mahkamah Syar`iyah Langsa tahun 2014

25 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan (c) Wasiat, (d) Hibah, (e) Wakaf, (f) Zakat, (g) Infaq, (h) Shadaqah dan (i)  Ekonomi Syari’ah. Kekuasaan sebuah pengadilan mencakup kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut. Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan pula. Kekuasaan relatif juga lebih dikenal dengan wilayah hukumnya (distributie van rechtsmacht). Hal ini diatur secara umum dalam pasal 142 R.Bg/118 HIR. Mahkamah Syar’iyah Langsa adalah Mahkamah/Pengadilan yang berwenang menerima, memeriksa dan memutus perkara tingkat pertama dan bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan untuk menjaga agar semua hukum dan undang-undang pada seluruh hakim Mahkamah Syar’iyah Langsa diterapkan secara adil, tepat dan benar. Mahkamah Syar’iyah Langsa melakukan pengawasan agar Mahkamah/peradilan yang dilakukan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada asas peradilan yang sederhara, cepat, dan biaya ringan tanpa mengurangi kebebasan dalam memeriksa dan memutus perkara. Wewenangnya mengatur  tugas dan tanggung jawab serta susunan organisasi  dan tata kerja di Mahkamah Syar’iyah Langsa agar dapat melaksanakan tugasnya secara berdayaguna dan berhasilguna, membina dan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan urusan kepegawaian, keuangan, peralatan dan kelengkapan serta urusan ketatausahaan lainnya yang ditentukan Ketua Mahkamah Syar’iyah Langsa.Mahkamah Syar’iyah Langsa juga mempunyai wewenang untuk memberi nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Pemerintah Kota Langsa.10 Mengenai dengan struktur Mahkamah Syar’iyah Langsa bisa dilihat di bawah ini:



10

Profil Mahkamah Syar`iyah Langsa tahun 2014.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 26

Jurnal Al-Mizan

Struktur dalam bentuk tabel juga bisa dilihat di bawah ini: Nama

Jabatan

Drs.H.Zulkarnain Lubis, M.H

Ketua

Drs.Ahmad Sobardi, S.H., M.M

Wakil Ketua

Drs.H.Ilyas Amin

Hakim

Dra.Hj.Nur Ismi

Hakim

Azwida, S.H.I

Hakim

Sarifuddin, S.H.I

Hakim

Salamat Nasution, S.H.I., M.A

Hakim

H.Abu Jahid Darso Atmojo., LC.LL.M.,Ph.D

Hakim

Muhammad Azhar Hasibuan, S.H.I., M.A

Hakim

Nawawi, S.H., M.H Khalidah, S.Ag Drs. Anwar Fuadi Ir. Athiatun Zakiah, SH

27 |

Panitera/Sekretaris Wakil Panitra Wakil Sekretaris Panitra Muda Gugatan

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan A. Rahman

Panitra Muda Permohonan

Rasyadi, SH

Panitra Muda Hukum

Yarvis Luthfi.SH

Kaur.Umum

Ilyas, S.Ag, MH

Kaur.Keuangan

Laely Nur Hidayah, SHI

Kaur. Kepegawaian

Sumber data: Profil Mahkamah Syar`iyah Langsa tahun 2014.

C. Tuntutan dan Putusan Mahkamah Syar`iyah Langsa yang memeriksa dan mengadili perkara Jinayat pada tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa dalam persidangan, Majelis Hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa perkara pidana tentang khalwat (mesum). Adapun para pihak dalam kasus khalwat (mesum) perkara yang ditangani oleh Mahkamah Syar`iyah Langsa, nomor perkara 20/JN/2012/ MS-Lgs adalah Buyung Sudrajad bin Lukman, Tempat lahir Padang, Umur/ tanggal lahir 21 Tahun / 19 Januari 1991, Jenis kelamin laki-laki, Agama Islam, Pendidikan SD tidak tamat, Kebangsaan Indonesia, Pekerjaan Pengamen Jalanan, Tempat tinggal Dusun Lubuk Damar Gampong Sawah Desa Seruuway Kabupatan Aceh Tamiang, sebagai terdakwa I. Selanjutnya pihak ke dua nama lengkap Nadira binti Muslem M Nur, Tempat lahir Kuala Simpang, Umur/ tanggal lahir 20 Tahun /31 Januari 1992, Jenis kelamin Perempuan, Agama Islam, Pendidikan SMA, Kebangsaan Indonesia, Pekerjaan Pengamen Jalanan, Tempat tinggal : Gampong Blang Kecamatan Langsa Kota-Kota Langsa, sebagai terdakwa II. Bahwa pada tanggal 20 April 2012 Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan surat dakwaan kepada Ketua Mahkamah Syar`iyah Langsa dengan nomor PDM-55/LNGSA/04.12. Dalam surat dakwaan tersebut jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa I dan terdakwa II bahwa mereka terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur pada hari Selasa tanggal 03 April 2012 sekira pukul 00.30 Wib atau setidaktidaknya pada suatu waktu lain dalam tahun 2012 bertempat di Lapangan Tenis dekat Taman Bambu Runcing Gampong Jawa Muka Kecamatan Langsa Kota, Kota Langsa atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain dimana Mahkamah Syar`iyah Kota Langsa berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, melakukan khalwat/mesum yang hukumnya haram. Secaradetailnya Jaksa Penuntut Umum menuntut agar majelis hakim Mahkamah Syar`iyah Langsa menjatuhkan putusan terhadap terdakwa I dan terdakwa II yang amarnya sebagai berikut:

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 28

Jurnal Al-Mizan 1. Menyatakan mereka terdakwa I Buyung Sudrajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan khalwat/mesum yang hukumnya haram sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 4 Jo Pasal 22 ayat (1) Qanun Np. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). 2. Menjatuhkan pidana terhadap mereka terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur dengan Uqubat Cambuk masing-masingsebanyak 6 (enam) kali di muka umum. 3. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah celana dalam warna hitam dan 1 (satu) buah celana dalam warna merah jambu dikembalikan kepada mereka terdakwa. 4. Menetapkan mereka terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur membayar biaya masingmasing sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). Berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, terdakwa I dan terdakwa IImelakukan perbuatan khalwat/mesum dengan cara sebagai berikut: 1. Bahwa antara mereka terdakwa telah terjalin hubungan asmara selama lebih kurang I (satu) tahun dan mereka terdakwa mempunyai pekerjaan sebagai pengamen jalanan (anak punk) yang hidup di jalanan Kota Langsa. 2. Bahwa bermula pada hari Senin tanggal 02 April 2012 sekira pukul 22.00 Wib bertempat di pinggir jalan di depan Pendopo Bupati Aceh Timur di jalan Darussalam Kota Langsa, mereka terdakwa duduk-duduk dengan anak-anak punk lainnya selesai mengamen di seputaran kota Langsa dan kemudian sambil melepas lelah mereka terdakwa bersamasama dengan anak-anak punk lainnya meminum minuman keras jenis Stepmension dan kemudian sekira pukul 00.00 Wib, dikarenakan hari telah larut malam kemudian satu persatu anak-anak punk membubarkan diri. 3. Bahwa kemudian dikarenakan masih terpengaruh minuman keras dan diantara mereka terdakwa memang terjalin hubungan asmara dan telah sering melakukan hubungan layaknya suami istri kemudian terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman mengajak terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur untuk melakukan hubungan layaknya suami istri dan atas ajakan tersebut, terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur langsung menyetujuinya. 4. Bahwa kemudian pada waktu dan tempat yang sebagaimana tersebut diatas, dikarenakan sudah terangsang tanpa melihat kiri kanan dan pikir panjang lagi, terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman Iangsung membuka seluruh pakaiannya sehingga bugil/telanjang

29 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan bulat dan melihat terdakwa 1. Buyung Suderajat bin Lukman sudah bugil/telanjang bulat tanpa pikir panjang juga terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur Iangsung membuka celana panjang dan celana dalamnya berwarna merah jambu sehingga tubuh bagian bawahnya menjadi telanjang dan segera terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur merebahkan tubuhnya di Lapangan Tenis dan membuka lebar kedua kakinya sehingga terlihatlah kemaluannya dan melihat itu tanpa pikir panjang terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman yang sudah telanjang bulat dengan alat kelaminnya yang sudah panjang dan keras segera menimpa tubuh terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur dan Iangsung memasukkan kemaluannya yang sudah panjanig dan keras kedalam kemaluan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur dan seteah masuk kemudian terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman menanik tuwnkan kemaluannya kedalam kemaluan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur tetapi belum mencapai klimaksnya tiba-tiba mereka terdakwa ditangkap masyarakat sekitarnya. 5. Bahwa, perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II tersebut telah melanggar aturan sebagaimana diatur dalam pasal 5 Jo pasal 22 ayat (1)Qanun Provinsi Aceh Nomor 14 tahun 2003 tentag Khalwat (mesum). Untuk membuktikan dalil dakwaannya,Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan saksi-saksi sebagal berikut: 1. T. Nazri bin Yakup, di bawah sumpah menurut agama Islam di depan persidangan yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: a. Benar saksi adalah anggota Wilayatul Hisbah (WH) pada Dinas Syari’at Islam Kota Langsa yang sedang piketljaga; b. Benar saksi yang melakukan penangkapan terhadap mereka terdakwa bersama-sama dengan anggota WH lainnya diantaranya Edwin Mahzi bin Tarmizi; c. Benar penangkapan dilakukan pada hari Selasa tanggal 03 April 2012 sekira pukul 01.00 Wib di lapangan tenis dekat Taman Bambu Runcing Gampong Jawa Muka Kecamatan Langsa Kota, Kota Langsa; d. Benar mereka terdakwa ditangkap karena diduga melakukan perbuatan khalwat (mesum) berdasarkan informasi/telepon dari masyarakat; e. Benar berdasarkan inforrnasi dari masyarakat yang melakukan penangkapan, bahwa mereka terdakwa sedang malakukan hubungan suami istri; f. Benar pada saat ditangkap ditemukan pada para terdakwa berupa (satu) buah celana dalam warna hitam dan satu buah celana dalam warna merah jambu; g. Benar menurut pengakuannya, terdakwa-terdakwa melakukan perbuatan Khalwat/Mesum berdasarkan suka sama suka karena mereka

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 30

Jurnal Al-Mizan terdakwa berpacaran; h. Benar setelah dilakukan interogasi, sekira pukul 09.00 Wib, mereka terdakwa diserahkan ke Polres Langsa untuk proses lebih lanjut; i. Benar menurut keterangan mereka terdakwa adalah pengamen jalanan/ anak-anak punk. 2. Irwansyah bin Burhanullah, di bawah sumpah menurut agama Islam di depan persidangan yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: a. Benar telah tejadi perbuatan Khalwat/Mesum yang dilakukan oleh mereka terdakwa pada hari Selasa tanggal 03 April 2012 sekira pukul 00.30 Wib di Lapangan Tenis dekat Taman Bambu Runcing Gampong Jawa Muka Kecamatan Langsa Kota, Kota Langsa; b. Benar saksi adalah salah seorang yang melakukan penangkapan terhadap mereka terdakwa yang melakukan khatwat tersebut; c. Benar berawal saat saksi sedang menelepon tiba-tiba saksi melihat seorang wanita masuk ke dalam lapangan tenis sendirian; d. Benar saksi merasa curiga kenapa ada seorang wanita masuk ke dalam lapangan tenis malam-malam dan sendirian; e. Benar setelah menelepon dan penasaran lalu saksi mengikuti wanita tersebut masuk ke dalam lapangan tenis; f. Benar kemudian saksi melihat wanita tersebut bersama dengan seorang laki-laki sedang melakukan hubungan suami istri di lantai lapangan tenis tersebut; g. Benar kemudian saksi mengambil pakaian dalam mereka terdakwa kemudian keluar lapangan tenis dan memberitahu kepada masyarakat sekitamya agar melakukan penangkapan terhadap mereka terdakwa; h. Benar kemudian saksi bersama-sama dengan masyarakat lainnya melakukan penangkapan terhadap mereka terdakwa yang sedang melakukan hubungan suami istri dan kemudian menyerahkannya kepada WH Kota Langsa; i. Benar berdasarkan keterangan mereka terdakwa bahwa mereka berpacaran dan belum terikat pemikahan; j. Benar berdasarkan keterangan mereka terdakwa adalah pengamen jalanan/anak-anak punk yang sering berkeliaran di seputaran Kota Langsa. Setelah memperoleh keterangan saksi-saksi tersebut, jaksa juga mengajukan barang bukti berupa 1 (satu) buah celana dalam warna hitam dan 1 (satu) buah celana dalam warna merah jambu. Dan barang bukti tersebut ketika diperlihatkan di persidangan dan dibenarkan oleh para saksi dan para terdakwa. Terdakwa I dan Terdakwa II membenarkan keterangan yang termuat dalam Berita Acara Pemeriksaan dan Penyidik dan mengakui telah

31 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan tersebut. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, barang bukti serta keterangan Terdakwa yang saling bersesuaian diperoleh fakta hukum sebagai berikut: 1. Bahwa pada hari Selasa tanggal 03 April 2012 sekira pukul 00.30 WIB bertempat di Lapangan Tenis dekat taman Bambu Runcing Gampong Jawa Muka Kecamatan Langsa Kota, Kota Langsa para saksi telah melakukan penangkapan terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II karena Terdakwa I dan Terdakwa II melakukan hubungan suami isteri. 2. Bahwa Terdakwa I dan Terdakwa IIbukan suami istri dan masih berstatus pacaran; 3. Bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II ditangkap di tempat gelap dan sunyi hanya mereka berdua saja; 4. Bahwa dari Terdakwa disita barang bukti berupa 1 (satu) buah celana dalam Warna hitam dan 1 (satu) buah celana dalam berwarna merah jambu. Dari perolehan fakta hukum tersebut ternyata bersesuaian dengan dakwan Jaksa Penuntut Umum yaitu pasal 4 jo pasal 22 ayat (1) Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum) yang unsur-unsurnya sebagai berikut: 1. Setiap orang Yang dimaksud dengan setiap orang dalam unsur mi adalah ditujukan kepada siapa saja tanpa terkecuali yang menjadi subjek hukum, yaitu beragama Islam, mukallaf (yang dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatannya) dan melakukan perbuatan tersebut atas dasar kehendak sendiri bukan karena paksaan dan orang lain atau diancam, baik ianya laki-laki maupun perempuan. Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi serta keterangan para Terdakwa terbukti pula yang dimaksud dengan subjek hukum disini adalah Terdakwa I Buyung Sudrajad bin Lukman dan Terdakwa II Nadira binti Muslem M. Nur, dimana Terdakwa I dan Terdakwa II telah melakukan hubungan suami istri atas dasar suka sama suka dan selama persidangan bertingkah laku normal dapat menjawab dengan baik pertanyaan yang diajukan kepadanya, baik pertanyaan Majelis Hakim maupun Jaksa Penuntut Umum, dapat dimengerti dan memberikan jawaban dengan baik atas keterangan para saksi serta mengakui dan membenarkan identitasnya yang tertera dalam berkas perkara maupun dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah benar sebagai identitas dirinya. Oleh karena itu unsur setiap orang telah terpenuhi/terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; 2. Melakukan khalwat/mesum yang hukumnya haram Bahwa yang dimaksud dengan khalwat disini adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang atau lebih mukallaf yang berlainan jenis yang bukan muhrimnya atau tanpa ikatan perkawinan yang mengarah kepada

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 32

Jurnal Al-Mizan zina. Bahwa, yang dimasud haram adalah perbuatan yang dilarang oleh agama yang apabila dilakukan berdosa dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Bahwa dari keterangan para saksi, alat bukti serta diperkuat oleh pengakuan Terdakwa I dan Terdakwa II bahwa benar Terdakwa I dan Terdakwa II telah melakukan hubungan suami istri. Perbuatan Terwakwa I dan Terdakwa II tersebut dilakukan dengan sengaja atas dasar suka sama suka, di tempat yang sunyi dan terbuka, bukan hanya sekedar berkhalwat bahkan Terdakwa I dan Terdakwa II sudah melakukan hubungan suami istri dengan cara memasukkan alat kelamin Terdakwa I ke alat kelamin Terdakwa II tanpa ikatan perkawinan yang sah. Dari uraian di atas unsur melakukan khalwat yang hukumnya haram sangat terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum. Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa I dan Terdakwa II, perlu pula dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan hukuman atas terdakwa, sebagai berikut: 1. Hal-hal yang memberatkan Ditemukan fakta perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II melebihi dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu bukan sekedar berkhalwat saja tetapi telah melakukan hubungan suami istri tanpa ikatan suami istri yang sah. Bahwa perbuatan terdakwa selaku pemeluk agama Islam yang telah mukallaf dapat meresahkan masyarakat dan dilarang oleh agama dan Qanun Provinsi Aceh. Perbuatan terdakwa tidak menjunjung tinggi nilai-nilai syari’at Islam yang sedang digalakkan oleh masyarakat dan Pemerintah Aceh. 2. Hal-hal yang meringankan Terdakwa bersikap sopan dan mengaku terus terang dipersidangan serta tidak mempersulit jalannya pemeriksaan. Bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II sangat menyesali perbuatan yang telah dilakukan dan berjanji akan segera menikah, sehingga masih bisa diharapkan untuk memperbaiki diri di kemudian hari. Selanjutnya majelis hakim menimbang, bahwa oleh karena perbuatan terdakwa I dan Terdakwa II bukan hanya sekedar berkhalwat akan tetapi sudah melakukan hubungan suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah sehingga Majelis berpendapat sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi anggota masyarakat lainnya untuk tidak melakukan perbuatan haram tersebut, dengan memperhatikan tidak ditemukan adanya alasan pembenaran maupun pemaafan dalam diri Terdakwa I dan Terdakwa II, maka Majelis rnenjatuhkan hukuman maksimalmasing-masing 9 kali cambuk di depan umum sebagaimana tertera dalam pasal 22 ayat (1) Qanun nomor 14tahun 2003 tentang khalwat. Menimbang, bahwa barang bukti dalam perkara mi berupa 1 (satu) buah celana dalam warna hitam dan I (satu) celana dalam warna merah jambu,

33 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan demi kemaslahatan akan ditetapkan dalam amar putusan ini. Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa I dan Terdakwa II telah terbukti bersalah maka kepada Terdakwa I dan Terdakwa II harus pula dihukum untuk membayar biaya dalam perkara ini. Mengingat segala ketetuan syara’ khususnya firman Allah dalam AlQur`an Surat Al-lsraa’ ayat 32 yang berbunyi:

ِ َ‫الزنَا إِنَّه َكا َن ف‬ ‫اح َشةً َو َساءَ َسبِ ًيل‬ ُ ِّ ‫َوَل تـَْقَربُوا‬ Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Al-Israa: 32) Memperhatikan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Mahkamah Syar’iyah dan yang berhubungan dengan perkara ini khususnya Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat. Mahkamah Syar’iyah Langsa setelah membaca berkas perkara yang bersangkutan, mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum tertanggal 20 April 2012 yang pada pokoknya sebagaimana tersebut di atas, mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa dipersidangan; setelah memperhatikan barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, mempertimbangkan segala hal-hal yang memberatkan terdakwa dan yang meringankan terdakwa, kemudian mengadili dan menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut: 1. Menyatakan mereka terdakwa I Buyung Sudrajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan khalwat/mesum. 2. Menjatuhkan pidana terhadap mereka terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur dengan Uqubat Cambuk masing-masingsebanyak 9 (enam) kali di depan umum. 3. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah celana dalam warna hitam dan 1 (satu) buah celana dalam warna merah jambu dirampas untuk dimusnahkan. 4. Menghukum terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur untuk membayar biaya perkara masingmasing sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). Putusan diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah di Langsa pada hari Jum’at tanggal 20 April 2012M bertepatan dengan tanggal 28 Jumadil Awal 1433H. oleh majelis hakim yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah tersebut, Drs. H. Ilyas Amin sebagai Ketua Majelis, Drs. A, Aziz, SH., MH dan Azwida, S.H.I., masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 34

Jurnal Al-Mizan sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis tersebut, dengan didampingi oleh para Hakim Anggota yang turut bersidang yang dibantu oleh A. Rahman sebagai Panitera Pengganti dan Meutya sebagai Jaksa Penuntut Umum, serta dihadiri Terdakwa I dan Terdakwa II D. Analisis Dasar Pertimbangan Majelis Hakim 1. Dasar PertimbanganMajelis Hakim Putusan hakim haruslah memuat dasar hukum untuk mengadili, dan alasanya (pertimbangan hakim), sehingga putusan itu dijatuhkan dengan keadilan dan mempunyai acuan hukum yang tepat. Adapun pertimbangan hakim dalam perkara No.20/JN/2012/MS-Lgs tentang perkara khalwat antara lain: Menimbang, bahwa maksud dan tujuan tuntutan Jaksa Penuntut Umum adalah sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan dengan nomor PDM-55/LNGSA/04.12 tertanggal 20 April 2012. Menimbang, bahwa atas pertanyaan Majelis, Terwakwa I dan Terdakwa II menyatakan mengerti atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut dan tidak mengajukan eksepsi dan menerima serta membenarkan apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil-dalil dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan saksi-saksi: T. Nazn bin Yakup selaku anggota Wilayatul Hisbah (WH) pada Dinas Syari’at Islam Kota Langsa, saksi yang melakukan penangkapan terhadap mereka terdakwa bersamasama dengan anggota WH lainnya diantaranya Edwin Mahzi bin Tarmizi. Saksi selanjutnya Irwansyah bin Burhanullah, salah seorang yang melakukan penangkapan terhadap mereka terdakwa yang melakukan khatwat tersebut, kesaksiannya berawal saat saksi sedang menelepon tiba-tiba saksi melihat seorang wanita masuk ke dalam lapangan tenis sendirian, saksi merasa curiga kenapa ada seorang wanita masuk ke dalam lapangan tenis malam-malam dan sendirian, setelah menelepon dan penasaran lalu saksi mengikuti wanita tersebut masuk ke dalam lapangan tenis, kemudian saksi melihat wanita tersebut bersama dengan seorang laki-laki sedang melakukan hubungan suami istri di lantai lapangan tenis tersebut. Menimbang, bahwa di persidangan telah diajukan barang bukti berupa 1 (satu) buah celana dalam warna hitam dan 1 (satu) buah celana dalam warna merah jambu. Barang bukti tersebut ketika diperlihatkan di persidangan dan dibenarkan oleh para saksi dan terdakwa. Menimbang, bahwa dari fakta tersebut ternyata bersesuaian dengan dakwaan Penuntut Umum yaitu pasal 4 jo pasal 22 ayat (1) Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum), yang intinya khalwat/Mesum hukumnya haram, setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

35 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).Dari penjelasan ini sangat jelas unsur melakukan khalwat yang hukumnya haram sangat terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum. Menimbang, hal-hal yang memberatkan: ditemukan fakta perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II melebihi dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu bukan sekedar berkhalwat saja tetapi telah melakukan hubungan suami istri tanpa ikatan suami istri yang sah.Bahwa perbuatan terdakwa selaku pemeluk agama Islam yang telah mukallaf dapat meresahkan masyarakat dan dilarang oleh agama dan Qanun Provinsi Aceh. Perbuatan terdakwa tidak menjunjung tinggi nilai-nilai syari’at Islam yang sedang digalakkan oleh masyarakat dan Pemerintah Aceh. Menimbang, hal-hal yang meringankan: terdakwa bersikap sopan dan mengaku terus terang dipersidangan serta tidak mempersulit jalannya pemeriksaan. Bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II sangat menyesali perbuatan yang telah dilakukan dan berjanji akan segera menikah, sehingga masih bisa diharapkan untuk memperbaiki diri di kemudian hari. Mengingat segala ketetuan syara’ khususnya firman Allah dalam AlQur`an Surat Al-Isra` ayat 32 Memperhatikan semua peraturan perundangundangan yang berlaku bagi Mahkamah Syar’iyah dan yang berhubungan dengan perkara ini khususnya Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14tahun 2003 tentang Khalwat. 2. Analisis Dasar PertimbanganMajelis Hakim Menurut Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14tahun 2003 tentang Khalwat, Jaksa Penuntut Umum telah mempunyai cukup alasan untuk menuntut terdakwa I dan terdakwa II karena keduanya telah melakukan khalwat atau mesum yang perbuatan tersebut haram dan sangat dilarang oleh agama. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Khalwat/Mesum hukumnya haram dan dalam pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan khalwat/mesum. Dari keseluruhan dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh Mejelis Hakim dalam menyelesaikan perkara nomor 20/JN/2012/MS-Lgs dapat diketahui bahwa yang dijadikan dasar hukum secara khususnya adalah pasal 22 ayat (1) Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum) yang bunyinya “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,(dua juta lima ratus ribu rupiah)”. Di samping itu juga mempertimbangkan

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 36

Jurnal Al-Mizan ketetuan syara’ khususnya firman Allah dalam Al-Qur`an Surat Al-lsraa’ ayat 32 tentang larangan mendekati zina. Dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam satu sisi putusan yang diberikan telah sesuai dan masih dalam koridor hukum sebagaimana yang diatur dalam hukum acara Peradilan Agama. Karena dasar hukum yang digunakan harus dua macam yaitu hukum Islam dan hukum positif. Yaitu dalam Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat, setiap orang yang melakukan khalwat maka diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali. Dan dalam Al-Qur`an Surat Al-lsraa’ ayat 32 ditegaskan tentang larangan atau haram melakukan suatu perbuatan yang perbuatan tersebut mengarahkan pelakukan untuk berbuat zina. Sementara di sisi lain putusan nomor 20/JN/2012/MS-Lgs tentang perkara khalwat tersebut bertentangan dengan ketentuan penerapan Pasal 197 KUHAP dan ketentuan Qanun Acara Jinayat Nomor 7 Tahun 2013, termuat dalam pasal 200 Ayat (1), yang mengharuskan sebuah putusan itu tidak boleh melebihi dari tuntutan. Dalam surat dakwaan jaksa menuntut terdakwa dengan pidana cambuk sebanyak 6 kali, sementara dalam putusan hakim menuntut terdakwa dengan pidana cambuk sebanyak 9 kali. Di sinilah letak kejanggalan putusan nomor 20/JN/2012/MS-Lgs tentang perkara khalwat karena tidak mengindahkan aturan yang berlaku terhadap sebuah putusan. Mengenai kebebasan hakim dalam memutuskan sebuah perkara, penulis juga tidak menafikan adanya kebebasan bagi hakim dalam menjalankan tugas mulianya. Namun kebebasan ini juga tidak terlepas dari aturan perundangundangan yang berlaku. Kebebasan hakim dalam pemberian putusan melebihi dari tuntutan, itu dibenarkan kalau memang ditemukan fakta-fakta yang memberatkan terdakwa, misalnya mempersulit proses pemeriksaan, menghilangkan barang bukti dan lainnya. Sementara dalam kasus ini terdakwa bahkan mengakui sendiri kesalahannya dan insaf terhadap perbuatan yang telah dilakukannya, serta membenarkan apa yang didakwa oleh Jaksa dan pernyataan para saksi. Jadi yang seharusnya dengan ditemukan hal-hal yang meringankan terdakwa, majelis hakim mempertimbangkan untuk mengurangi pidana yang dijatuhkan dibawah pidana yang dituntut oleh jaksa. E. Analisis Kesesuaian Putusan dan Akibat Hukumnya Sesuai dengan ketentuan pasal 178 HIR, apabila pemeriksaan perkara selesai, majelis hakim karena jabatanya, melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Agar putusan tidak dianggap cacat karena hukum maka dalam pertimbangan hukum hakim harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar hukum putusan serta mencantumkan pasalpasal peraturan perundang-undangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputuskan atau berdasarkan hukum yang tidak tertulis maupun

37 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan yurisprudensi atau doktrin hukum. Bahkan menurut pasal 178 ayat 3 HIR, hakim karena jabatanya wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak yang berperkara. 11 Dalam putusan hakim Mahkamah Syar`iyah Langsa perkara No.20/ JN/2012/MS-Lgs tentang perkara khalwat, hakim telah memutuskan perkara denganmenjatuhkan pidana terhadap terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur dengan Uqubat Cambuk masing-masing sebanyak 9 (enam) kali di depan umum. Dalam KUHAP Pasal 197 huruf c memuat ketentuan “Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan”; dalam poin e juga memuat ketentuan “Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan”.12 Dalam Qanun Acara Jinayat Provinsi Aceh Nomor 7 Tahun 2013, juga termuat dalam pasal 200 Ayat (1) poin d Putusan penjatuhan ‘Uqubatmemuat ketentuan: “dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan atau permohonan”; dalam poin f juga termuat “tuntutan uqubat, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan, kecuali dalam hal perkara atas dasar permohonan”.13 Berdasarkan penjelasan ketentuan KUHAP dan Qanun Acara Jinayat Provinsi Aceh Nomor 7 Tahun 2013 di atas, terjadi penyelewengan penetapan putusan terhadap kasus Buyung Sudrajat bin Lukman sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Syar’iyah Langsa Nomor 20/JN/2012/MS-Lgs yang diputuskan oleh majelis hakim berdasarkan hasil musyawarahnya pada tanggal 20 April 2012. Dalam putusan tersebut hakim memutuskan 9 kali cambuk terhadap pelaku karena terbukti melakukan khalwat, sementara Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya menuntut pelaku dengan uqubat 6 kali cambuk. Dalam perkara yang penulis teliti yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Langsa hakim menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan ketentuan KUHAP dan Qanun Acara Jinayat Provinsi Aceh Nomor 7 Tahun 2013, yakni perkara dengan nomor register 20/JN/2012/MS-Lgstentang khalwat yang isi putusannya melebihi dari apa yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan kata lain seharusnya isi petitum dengan isi putusan harus sesuai, namun dalam putusan ini isi putusan melebihi dari petitumnya. Adapun tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara No. 20/ JN/2012/MS-Lgstentang khalwatadalah: 1. Menyatakan mereka terdakwa I Buyung Sudrajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan khalwat/mesum yang

Lihat H. et H. erziene Inlandsch. e Reglement (H. IR) pasal 178 ayat 1-3. Soesilo, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Buana Press, 2008), h. 246 13 Lihat Qanun Acara Jinayat Nomor 7 Tahun 2013, pasal 200 Ayat (1). 11

12

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 38

Jurnal Al-Mizan hukumnya haram sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 4 Jo Pasal 22 ayat (1) Qanun Np. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). 2. Menjatuhkan pidana terhadap mereka terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur dengan Uqubat Cambuk masing-masing sebanyak 6 (enam) kali di muka umum. 3. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah celana dalam warna hitam dan 1 (satu) buah celana dalam warna merah jambu dikembalikan kepada mereka terdakwa. 4. Menetapkan mereka terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur membayar biaya masingmasing sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). Untuk mengetahui bahwa isi putusan melebihi dari petitumnya berikut akan dikemukakan isi putusannya sebagai berikut : 1. Menyatakan mereka terdakwa I Buyung Sudrajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan khalwat/mesum. 2. Menjatuhkan pidana terhadap mereka terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur dengan Uqubat Cambuk masing-masing sebanyak 9 (enam) kali di depan umum. 3. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah celana dalam warna hitam dan 1 (satu) buah celana dalam warna merah jambu dirampas untuk dimusnahkan. 4. Menghukum terdakwa I Buyung Suderajat bin Lukman dan terdakwa II Nadira binti Muslem M Nur untuk membayar biaya perkara masingmasing sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). Dengan melihat isi putusannya, sangatlah jelas bahwa isi keputusan melebihi dari isi petitum dari penuntut. Untuk lebih jelasnya dalam isi putusan angka 2 yang isinya pidana Uqubat Cambuk masing-masing sebanyak 9 (enam) kali di depan umum, tidak sesuai dengan apa yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum yang tercantum dalam petitumpoint ke 2 dengan Uqubat Cambuk masing-masing sebanyak 6 (enam) kali di muka umum. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui bahwa putusan hakim Mahkamah Syar`iyah Langsa perkara No.20/JN/2012/MS-Lgs tidak sesuai dengan prinsip hukum, baik menurut tinjauan KUHAP maupun menurut Qanun Acara Jinayat Provinsi Aceh Nomor 7 Tahun 2013. Dengan demikian akibat hukum dari putusan Mahkamah Syar’iyah No.20/JN/2012/MS-Lgs terhadap pelaku khalwat yaitu harus menjalani dan menerima eksekusi putusan terhadap masing-masing pelaku dengan cambuk sebanyak 9 kali di depan umum. Bila dilihat dari sikap pelaku yang sopan dan tidak mempersulit jalannya proses pemeriksaan serta sikap pelaku yang terbuka terhadap kasus yang di-

39 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan dakwakan kepadanya, maka seharusnya penambahan uqubat dari 6 kali cambuk menjadi 9 kali cambuk ini tidak bisa terjadi.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 40

Jurnal Al-Mizan DAFTAR PUSTAKA Al Yasa’ Abubakar, Sekilas Syari’at Islam di Aceh. , (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh. Darussalam), Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penjelasan umum Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Daerah Aceh. A. Hamid Sarong dan Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah. Syar`iyah Aceh : Lintas Sejarah. dan Eksistensinya, Cet. I, (Banda Aceh : Global Education Institute, 2012), Lihat Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Profil Mahkamah Syar`iyah Langsa tahun 2014. Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Bandung: Penerbit Diponegoro, 1995), h. 546. Het Herziene Inlandsch. e Reglement (H. IR) Soesilo, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Buana Press, 2008) Lihat Qanun Acara Jinayat Nomor 7 Tahun 2013, pasal 200 Ayat (1).

41 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan KERANGKA DASAR BERUMAH TANGGA DALAM ISLAM Oleh:

Muhammad Haikal, M. H. I ABSTRAK The harmony of the household is very important to ensure the welfare of the family realized and the formation of good behavior towards children , because good or bad behavior of children outside the family is very dependent on the behavior of children in the family . Every parent should be able to create a harmonious atmosphere in the family so that the child can see and receive exemplary example of his parents . But in reality , not all families can create an atmosphere that is so fine . The result is that the behavior of children in the family is not running properly and less as expected Keyword; harmony of the household, Islam, Nikah

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 42

Jurnal Al-Mizan A. Landasan dan Tujuan Berumah Tangga Dalam Islam Islam sebagai Agama yang terakhir telah membawa dunia menuju revolusi besar dalam berbagai aspek kehidupan. Di antara revolusi terbesarnya adalah tentang landasan dan aturan-aturan dalam hubungan antara manusia dengan manusia. Landasan dan aturan ini diramu sedemikian rupa sehingga orang yang patuh pada aturan yang di buat itu akan menemukan suatu kebahagiaan dan kedamaian. Allah menetapkan pernikahan sebagai hukum yang paling pokok di antara sunnah para Rasul adalah nikmat untuk hamba-Nya sejak Nabi Adam As. Allah juga telah mewariskan bumi ini kepada umat manusia untuk tinggal dan berkembang biak di dalamnya. Allah berfirman dalam Surat ar-Ra’d ayat 38 yaitu:

ِ ) ۳۸ :‫ ( الر عد‬... ً‫اجا َوذُِّريَّة‬ َ ‫َولََق ْد أ َْر َس ْلنَا ُر ُس ًل ِم ْن قـَْبل‬ ً ‫ك َو َج َع ْلنَا َلُ ْم أ َْزَو‬

Artinya: Dan Sesungguhnya Kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. (QS. al-Ra’d/13: 38). Islam telah menata hidup pernikahan di dalam Alquran dan Hadis dengan sempurna, dan hal ini menjadi sebuah landasan dalam berumahtangga, karena melalui pernikahan manusia dapat saling mengisi, menjalin hubungan kekeluargaan dan meneruskan keturunan. Untuk itu, Allah menganjurkan kepada hamba-Nya untuk menyukai pernikahan, dan pernikahan merupakan sebuah nikmat agung yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32.

ِِ َّ ‫وأَنْ ِكحوا ْالَيامى ِمْن ُكم و‬ ‫ني ِم ْن ِعبَ ِاد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم إِ ْن يَ ُكونُوا فـَُقَراءَ يـُْغنِ ِه ُم اللَّهُ ِم ْن‬ َ ‫الصال‬ َ ْ ِ ََ ُ ِ َ ِ ِ ْ َ‫ف‬ ) ۳۲ :‫يم ( النور‬ ٌ ‫ضله َواللَّهُ َواس ٌع َعل‬

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Nur/24: 32). Tahap pembentukan keluarga dalam Islam itu dimulai ketika seorang lelaki merasa membutuhkan istri yang menyertai dalam hidupnya dan turut memikul beban serta bekerjasama dengannya untuk mewujudkan misi yang menjadi latar belakang diciptakannya. Ini berdasarkan Sabda Rasulullah Saw:

‫ ومن‬، ‫ فإنه اغض للبصر واحصن للفرج‬، ‫يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج‬ .1)‫مل يستطع فعليه بالصوم فإن الصوم له وجاء ( متفق عليه‬ 1 Adib Bisri Musthofa, Terjemahan Shahih Muslem Jilid II, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993), hal. 743.

43 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Artinya: Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang tiada mampu, maka dia harus berpuasa, sebab puasa itu merupakan obat yang menghalangi nafsu (HR. Muttafaqun `Alih). Tahap ini dipandang sebagai salah satu tahapan terpenting. Oleh karena itu, Islam tidak membiarkan manusia seorang diri, namun dibekali pula dengan petunjuk dan nasihat-nasihat, serta menuntun untuk mengikuti parameter dalam memilih istri. Sebagai imbangan ia juga meletakkan caracara dan patokan yang dijadikan pertimbangan bagi seorang wanita dalam mengukur kelayakan suaminya. Oleh karena itu, penting untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup. Sebab membangun rumahtangga bukanlah untuk kepentingan beberapa hari, beberapa bulan atau beberapa tahun saja, akan tetapi yang diharapkan agar kehidupan rumahtangga berlangsung hingga ajal datang menjemput. Dan diharapkan agar jangan tergesa-gesa dalam menetapkan seseorang sebagai calon istri atau suami, tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan dengan matang berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam, karena “tergesa-gesa dalam menentukan pasangan hidup tanpa meneliti terlebih dahulu, merupakan problem yang akan berakibat kepada bencana”.2 Islam menekankan perhatian di dalam masalah pasangan ini. Oleh karenanya, Islam menganjurkan bagi umat untuk meneliti calon pasangan terlebih dahulu dari berbagai segi, baik akhlak, agama, maupun perilaku kesehariannya. Pertimbangan-pertimbangan lahiriah dan material yang mendasari penilaian terhadap seseorang yang hendak dipilih dan dijadikan istri atau suami adalah hal yang wajar dan lumrah saja. Oleh sebab itu agama tidak melarang sama sekali untuk hal tersebut. Dengan kata lain, agama pun memberikan kebolehan kepada kita untuk menikahi seorang karena kecantikan, harta dan Kebangsawanan, tetapi yang paling utama menurut agama adalah Aqidah, agama dan akhlak sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw:

‫ ملاهلا‬:‫ تنكح املرأة ألربع‬:‫ قال‬.‫يب صلى اهلل عليه و سلم‬ ّ ّ‫عن أيب هريرة رضي اهلل عنه عن الن‬ 3 ‫وحلسبها وجلماهلا ولدينها فظفر بذات ال ّدين تربت يداك‬ Artinya : Wanita dinikahi karena empat alasan karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, karena agamanya. Maka pandanglah 2 Rusli Amin, Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman (Jakarta: AlMawardi Prima, 2003), h. 19 3 Muhammad Ismail, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 44

Jurnal Al-Mizan dari segi agamanya niscaya engkau akan beruntung. (HR. Bukhari). Karena itulah, Allah dan Rasul telah memberi tuntunan kepada kita agar dalam memilih calon istri atau suami itu hendaklah memperhatikan atau mengutamakan agama dan akhlak, karena agama dan akhlak itu akan menjadi pengendali dan penuntun bagi seseorang. Rusli Amin dalam bukunya mengemukakan sebagai berikut: Sesungguhnya agama merupakan hal yang sangat penting di dalam membina kehidupan berumah tangga. Sebab suami yang senantiasa taat kepada perintah agama dan menjauhi larangan agama, akan menjadi suami yang baik bagi istri dan dapat dipercaya. Begitu juga dengan seorang istri yang shalihah, dimana ia akan selalu menjaga kehormatannya, sangat besar perhatiannya terhadap rumah tangga, pendidikan anaknya serta menjaga hak suaminya. Karena agama merupakan penegah diantara dua kekuatan, yaitu amarah dan syahwat. Dengan agama, segala kejahatan serta kerusakan moral akan dapat terobati... Sesungguhnya agama merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan. Sebab suami atau istri yang baik agamanya, dapat membantu melaksanakan pendidikan terhadap anak-anaknya. Jika tidak, maka keduanya bisa mencelakakan kehidupan rumah tangga mereka sendiri...4 Dalam Islam pernikahan merupakan suatu `Aqad (perjanjian) yaitu serah terima antara orangtua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria. Penyerahan dan penerimaan tanggungjawab dalam arti yang luas, telah terjadi pada saat `Aqad nikah itu, disamping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami istri. Ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 25.

ِ )۲۵:‫وه َّن بِِإ ْذ ِن أ َْهلِ ِه َّن …( النساء‬ ُ ‫ فَانْك ُح‬.... Artinya: “Karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka” (QS. AlNisa’/4: 25). Adapun yang menjadi tujuan dari pernikahan sedikitnya ada 4 (empat) yaitu:5 1. Menenteramkan jiwa Pernikahan merupakan hubungan jiwa dengan jiwa yang sangat erat, dimana keduanya akan mendapatkan ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan dalam rumah tangga yang penuh keharmonisan dan kasih sayang yang tulus. 2. Mewujudkan (melestarikan) turunan Setiap pasangan pasti mendambakan anak keturunan untuk meneruskan kelangsungan hidup. Anak ini diharapkan dapat mengambil alih Amin, Kunci Sukses. .., h. 25. M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Cet I (Jakarta: Siraja), h. 13. 4 5

45 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan tugas, perjuangan dan ide-ide yang pernah tertanam di dalam jiwa suami istri. Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya:

ِ ِ ِ ِ ِ ... ‫ني َو َح َف َد ًة َوَرَزقَ ُك ْم ِم َن‬ َ ‫اجا َو َج َع َل لَ ُك ْم م ْن أ َْزَواج ُك ْم بَن‬ ً ‫َواللَّهُ َج َع َل لَ ُك ْم م ْن أَنـُْفس ُك ْم أ َْزَو‬ )72(

Artinya : Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. (QS. al-Nahl/16:72). 3. Memenuhi kebutuhan biologis Pemenuhan kebutuhan biologis harus diatur melalui lembaga perkawinan, supaya tidak terjadi penyimpangan, tidak lepas begitu saja sehingga norma-norma adat-istiadat dan agama dilanggar. Dalam hal ini jumhur ulama mengatakan hukum perkawinan itu ditetapkan dengan melihat kondisi orang-orang tertentu sebagai berikut: a. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, ia khawatir akan terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin. b. Sunat bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan dia tidak mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan pernikahan. c. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan perkawinan, atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’, sedangkan ia meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya. d. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. e. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin, dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudharatan apa-apa kepada siapa pun.6 4. Latihan memikul tanggung jawab Sesuai dengan maksud penciptaan manusia dengan segala keistimewaannya berkarya, maka manusia itu tidak pantas bebas dari tanggungjawab. Manusia bertanggungjawab dalam keluarga, masyarakat dan negara. Latihan itu dimulai dari ruang lingkup yang terkecil lebih dahulu (keluarga), kemudian baru meningkat kepada yang lebih luas lagi. Keempat faktor di atas merupakan tujuan perkawinan perlu mendapat Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fikih )Bogor: Prenada Media, 2003), h.

6

79.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 46

Jurnal Al-Mizan perhatian dan direnungkan matang-matang, agar kelangsungan hidup berumah tangga dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keharmonisan Rumah Tangga Allah Swt menjadikan makhluk manusia berkembang biak sebagai makhluk dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Untuk melanjutkan keturunan manusia saling membutuhkan, dan karena saling membutuhkan itulah terjadinya hubungan yang kokoh melalui ikatan nikah, yang disebut dengan keluarga. Keluarga adalah susunan terkecil dari masyarakat, terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama dengan ikatan nikah, kemudian berkembang dengan lahirnya anak.....7 dan membangun rumah tangga yang akan memberikan kepada mereka kesenangan dan ketenangan disebut dengan “Sakinah”, seperti firman Allah yang berbunyi:

ِ ِ ِِ ِ ‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَيـَْها َو َج َع َل بـَيـْنَ ُك ْم َم َوَّد ًة َوَر ْحَةً إِ َّن ِف‬ ً ‫َوم ْن آيَاته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنـُْفس ُك ْم أ َْزَو‬ ِ ٍ ‫ك َلي‬ ‫ات لَِق ْوٍم يـَتـََف َّك ُرو َن‬ َ َ ‫ذل‬ Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah diciptakan-Nya untuk istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu merasa “sakinah” dan dijadikan-Nya diantara kamu “Mawaddah” dan “rahmah” sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir. (QS. Al-Rum/30: 21). Dengan memahami ayat tersebut di atas, ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mewujudkan keluarga bahagia dan harmonis yaitu : 1. Sakinah yaitu dimana anggota keluarga hidup dalam keadaan tenang dan tenteram, seiya sekata dan seayun langkah. 2. Mawaddah yaitu kehidupan keluarga dalam suasana kasih mengasihi, butuh membutuhkan dan hormat menghormati satu sama lainnya. 3. Rahmah yaitu pergaulan anggota keluarga dengan sesamanya saling menyayangi, cinta mencintai, sehingga kehidupannya diliputi rasa kasih sayang.8 Menurut Ny. Hasniah Hasan ada empat hal yang harus mendapat perhatian dalam mewujudkan rumah tangga (keluarga) yang tenteram dan bahagia, yaitu:9 1. Pendekatan suami istri, yaitu: a. Suami istri berusaha saling mengerti Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih (Jakarta: Pustaka Anatara, 1980),h.14. Maftuh Ahnan, Rumahku Syurgaku, (Gresik: Bintang Remaja, t.t.), h. 12. 9 Hasniah Hasan, Mewujudkan Keluarga Bahagia Sejahtera, (Surabaya; Amin, 1987), h. 59. 7 8

47 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan b. Suami istri menerima pasangannya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. c. Suami istri berusaha saling menjaga perasaan dan saling menghargai. Hubungan antara Suami istri atau kedua orang tua adalah hubungan kasih sayang. Hubungan ini dapat menciptakan ketenteraman hati, ketenangan pikiran, kebahagiaan jiwa dan kesenangan jasmaniah. Hubungan kasih sayang ini dapat memperkuat rasa kebersamaan antara anggota keluarga, kekokohan pondasi keluarga dan menjaga keutuhannya. Cinta dan kasih sayang dapat menciptakan rasa saling bekerja sama, bahu membahu dalam menyelesaikan setiap problem yang datang mengundang perjalanan kehidupan mereka. 2. Memahami hak dan kewajiban masing-masing, yakni: a. Kewajiban Suami 1) Memberi nafkah keluarga sesuai dengan kemampuan. 2) Menjaga keselamatan keluarga 3) Bergaul dengan keluarga secara baik 4) Kewajiban Istri 5) Menyenangkan hati suami 6) Setia kepada suami dan memelihara kehormatan diri 7) Menyediakan keperluan suami dan anak Dalam membina rumahtangga, sebagai kelangsungan hidup berkeluarga dan bertanggungjawab membinanya serta mengurus dan mendidik anak-anaknya, peran wanita sebagai istri sangat besar dan menentukan tugas dan kewajibannya. Rumah tangga itu tak ubahnya seperti kerajaan dalam bentuk kecil, yang dikendalikan oleh suami istri. Masing-masing suami istri mempunyai hak dan kewajiban serta tugas-tugas tertentu dengan kekuasaan dan tanggungjawab yang penuh dalam bidangnya masing-masing, sebab kalau tidak demikian tentu akan menimbulkan keadaan yang tidak diinginkan. Dalam konsep keluarga Islam telah ditentukan hak-hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak suami dan istri. Konsep ini jika benar-benar dijalankan akan menjamin ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarga. Jika suami dan istri konsisten dalam kewajiban dan hak mereka, hal itu dapat memperkuat tali cinta dan kasih antar mereka. Selain itu, hal ini dapat menjauhkan segala kemungkinan timbulnya perselisihan dan pertengkaran yang mengancam keutuhan rumah tangga yang sendirinya berdampak negatif pada kejiwaan anak. 3. Pemeliharaan dan pendidikan anak Rumah tangga merupakan lembaga pendidikan yang paling dominan dalam pembinaan pendidikan agama anak. Dalam lingkungan ini orang tualah yang memegang peranan penting dalam membina dan mendidik

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 48

Jurnal Al-Mizan anak menjalankan ajaran agama. Kelahiran anak dalam suatu keluarga berarti menimbulkan suatu tugas baru orang tua, tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pendidikannya. Dalam Islam dijelaskan anak adalah amanah Allah kepada orang tua yang harus dipelihara dengan baik. Dalam hal ini Allah memperingatkan dalam surat al-Nisa’ ayat 9 yang berbunyi:

ِ َّ ‫ولْيخ‬ ‫يدا‬ ً ‫ين لَ ْو تـََرُكوا ِم ْن َخ ْل ِف ِه ْم ذُِّريَّةً ِض َعافًا َخافُوا َعلَْي ِه ْم فـَْليَتـَُّقوا اللَّهَ َولْيـَُقولُوا قـَْوًل َس ِد‬ َ ْ ََ َ ‫ش الذ‬ Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS.al-Nisa/4: 9). Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa orang tua harus waspada terhadap keselamatan anak-anak yang ditinggalkan dalam keadaan lemah. Oleh karena itu untuk menyelamatkan mereka adalah dengan jalan membina aqidah, pendidikan agama dan diiringi dengan pendidikan akhlak dengan baik dalam seluruh aspek kehidupannya, sehingga mereka tidak mudah dipengaruhi oleh kondisi dan situasi apapun. Tanggungjawab ini yang utama dipundakkan kepada orang tua untuk memberikan pendidikan agama. 4. Penghayatan dan pengamalan ajaran agama Orang tua merupakan penanggungjawab pendidikan agama terhadap anak-anaknya, karena orang tua menjadi sasaran pertama dari hal-hal yang baik maupun yang buruk, semua itu bergantung cara orang tua memberikan pendidikan agama terhadap anaknya. Maka agama telah memberikan jalan atau cara untuk memberikan pendidikan kepada anak, terutama sekali ditanamkan aqidah atau tentang ketauhidan, dengan aqidah anak-anak dapat membentengi diri dari ancaman-ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam seperti adanya misi kristenisasi yang dapat mempengaruhi aqidah anak. Pendidikan akidah suatu hal sangat penting dibina pada anak. Akidah merupakan landasan pokok setiap amal orang muslim, aqidah yang benar dan kuat akan melahirkan amal yang sesuai menurut tuntunan dan ajaran agama Islam. Mahmout Syaltout memberikan pengertian sebagai berikut “akidah adalah segi teoritis yang dituntut pertama sekali dari segala sesuatu agar manusia meyakini seyakin-yakinnya dalam hati dan tidak ada keragu-raguan sedikit pun di dalamnya”.10 Pembinaan aqidah pada anak seharusnya dimulai sejak anak dalam 10 Mahmout Syaltout, Al-Islam Aqidah Wa Syari’ah (Mesir; Dar al- Qalam, 1996), h. 11.

49 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan kandungan, sejalan dengan pertumbuhan kepribadian. Berbagai hasil pengamatan pakar kejiwaan menunjukkan bahwa janin yang berada dalam kandungan telah mendapat pengaruh dari keadaan sikap dan emosi ibu yang mengandungnya. Hal tersebut tampak dalam perawatan kejiwaan, dimana keadaan keluarga ketika si anak tersebut berada dalam kandungan mempunyai pengaruh terhadap kesehatan mental si anak di kemudian hari. Jelaslah bahwa rumah tangga tempat mendatangkan ketenangan dan ketenteraman bagi anggota keluarga. Akan tetapi tidak jarang terjadi sebaliknya, rumah tangga bagai neraka dunia, tidak dapat memberikan kebahagiaan. Rumah tangga Broken home, pintu penceraian selalu terbuka, sering terjadi pertengkaran dan percekcokan, anak-anak terlantar, nakal, durhaka, serakah, mengejar rezeki dan sebagainya. Semua itu memerlukan kesabaran dan semua itu merupakan permasalahan dalam keluarga yang harus dipecahkan. Maftuh Ahnan dalam bukunya Rumahku surgaku mengatakan: Untuk mencapai kebahagiaan dan ketenteraman dalam keluarga maka diperlukan kesabaran, seorang suami harus berlaku sabar terhadap istrinya, jika ada sesuatu pelayanan istri yang kurang menyenangkan, sedangkan ia telah mengetahui kelemahan istrinya sebagai seorang perempuan dimana ia sebagai manusia biasa tidak luput dari kekurangan. Sedangkan dibalik kesalahan dan kekurangan itu, istri juga mempunyai kebaikan-kebaikan dan kelebihan-kelebihan.11 Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa dalam menciptakan kebahagiaan hidup keluarga sangat diperlukan kesabaran. Karena tanpa kesabaran hidupnya tidak tenteram, tidak ada persesuaian antara sesama anggota keluarga. Ayah berkiblat ke Barat dan ibu berkiblat ke Timur, sedangkan anak-anaknya selalu diliputi kebingungan dan frustrasi. Dalam rangka mewujudkan keluarga yang bahagia dan harmonis seharusnya kita perlu menghindari lima hal, yaitu: 1. Lupa mengingat Allah dan tidak mengamalkan ajaran agama menyebabkan rumah tangga itu akan kehilangan pegangan hidup. 2. Menjadikan kehidupan sehari-hari menuntut kesenangan lahiriah saja. Hal itu akan menyebabkan semakin hari semakin longgarnya hubungan batin antara ayah dan ibu bahkan juga si anak. Masing-masing asyik mencari yang sesuai dengan keinginannya. Mereka akan tetap merasa kekurangan dan tidak akan merasa puas. 3. Dalam membelanjakan harta sangat boros, menuruti kesenangannya belaka tanpa dipikir terlebih dahulu apakah barang tersebut akan mendatangkan mudarat atau manfaat. 4. Sekalipun pintu rezekinya terbuka lebar, mereka masih kekurangan dan 11

Ahnan, Rumahku…., h. 31.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 50

Jurnal Al-Mizan tidak ada rasa syukur dari mulutnya. 5. Bila salah satu pihak bersalah tidak mau bertaubat, ia akan dihinggapi penyakit ria dan takabur.12 Kalau kelima hal itu menimpa suatu rumah tangga, niscaya keluarga tersebut akan hancur, tidak mempunyai pegangan hidup. Suami istri hendaknya harus memiliki sikap sabar dalam menghadapi tantangan hidup dalam rumah tangga. Orang tua sebagai penanggungjawab di rumah tangganya harus memahami dan mengamalkan cara-cara mendidik dan mengajar yang tepat dan efektif untuk pendidikan anak. Jika orang tua pandai mendidik, maka anak-anaknya akan tumbuh menjadi manusia yang berguna dalam masyarakat kelak. Akan tetapi, amatlah kita sayangkan andaikata orang tua tidak memiliki kepandaian dalam mendidik anaknya, sebagaimana Zakiah Darajat mengatakan: “Akan tetapi sangatlah kita sayangkan melihat kenyataan banyak orang tua yang tidak mengerti ajaran agama yang dianutnya, bahkan banyak pula yang memandang rendah ajaran agama itu, sehingga pendidikan agama praktis tidak pernah dilaksanakan dalam banyak keluarga”.13 Berdasarkan uraian di atas, orang tua dituntut untuk mendidik dan membimbing anaknya dengan penuh tanggungjawab, sehingga terciptalah keluarga yang bahagia yang diliputi dengan keharmonisan. Hal ini ditegaskan oleh sebuah hadits nabi Saw yang berbunyi: 14

) ‫ وانا خريكم الهلي ( رواه ابن ماجه‬.‫خريكم الهله‬

Artinya: Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik membimbing keluarganya dan saya (kata nabi) adalah orang yang paling baik mengurus dan membimbing keluargaku”. (HR. Ibnu Majah). Berdasarkan hadis di atas, bahwa seorang suami harus bertanggungjawab terhadap keluarganya serta memberi pendidikan terhadap anak-anaknya. C. Pengaruh Keharmonisan Rumah Tangga Terhadap Prilaku Anak Hubungan antara individu dalam lingkungan keluarga sangat mempengaruhi kejiwaan anak dan dampaknya akan terlihat sampai kelak ketika ia menginjak usia dewasa. Suasana yang penuh dengan kasih sayang dan kondusif bagi pengembangan intelektual yang berhasil dibangun dalam Ahnan, Rumahku...., hal, 34 Zakiah Darajat, Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1969), h. 144. 14 Muhammad Bin Abdullah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut:Dar Al-Fikr, 1977), jld. I, h. 636. 12 13

51 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan sebuah keluarga akan membuat seorang anak mampu beradaptasi dengan dirinya sendiri, dengan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, dalam proses pembentukan sebuah keluarga diperlukan adanya sebuah program pendidikan yang terpadu dan terarah. Program pendidikan dalam keluarga ini harus pula mampu memberikan deskripsi kerja yang jelas bagi setiap individu dalam keluarga sehingga masing-masing dapat melakukan peran yang berkesinambungan demi tercapainya sebuah lingkungan keluarga yang kondusif untuk mendidik anak secara maksimal. Keberadaan sebuah program yang jelas dalam menjalani kehidupan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap prilaku seseorang. Suami istri harus bersepakat untuk menentukan sebuah program yang dengan jelas menerangkan hak-hak dan kewajiban masing-masing dalam keluarga. Islam dengan keterpaduan ajaran-ajarannya menawarkan sebuah konsep dalam membangun keluarga muslim. Konsep keluarga Islami memberikan prinsip-prinsip dasar yang secara umum menjelaskan hubungan antara anggota keluarga dan tugastugas masing-masing. Sementara itu, cara pengaplikasian prinsip-prinsip dasar ini bersifat kondisional. Artinya, sangat bergantung pada kondisi dan situasi dalam sebuah keluarga dan dapat berubah sesuai dengan keadaan. Oleh karena itu, kedua orang tua harus bersepakat dalam merumuskan detail pengaplikasian konsep dan program pendidikan yang ingin mereka terapkan sesuai dengan garis-garis besar konsep keluarga Islami. Kesepakatan antara kedua orang tua dalam perumusan ini akan menciptakan keselarasan dalam pola membangun antara mereka dan antara mereka dengan anak-anak. Keselarasan ini menjadi sangat penting karena akan menghindari ketidakjelasan arah yang mesti diikuti oleh anak dalam pendidikannya. Jika ketidakjelasan arah itu terjadi, anak akan berusaha untuk memuaskan hati ayah dengan sesuatu yang terkadang bertentangan dengan kehendak ibu atau sebaliknya. Anak akan memiliki dua tindakan yang berbeda dalam satu waktu. Hal itu dapat membuahkan ketidakstabilan mental, perasaan dan tingkah laku. Oleh karena itu, cinta dan kasih sayang kedua orangtua sangat berperan dalam menciptakan keseimbangan mental anak. Spok berpendapat bahwa “Keseimbangan mental anak dipengaruhi oleh keakraban hubungan kedua orang tua dan kebersamaan mereka dalam menyelesaikan setiap masalah kehidupan yang mereka hadapi”.15 Selain itu, kunci keharmonisan rumah tangga Islam lainnya adalah adanya dialog yang intensif dan sehat antara suami istri. Pada banyak keluarga muslim sekarang ini, suami istri sering kali berdialog atau bermusyawarah diantara keduanya. Diantara mereka ada yang beralasan dengan kesibukan kerja, bisnis dan lain-lain. Bahkan, saking sibuknya, ada yang bertatap muka 15

Al-Shia. org/html/id/books/ Pendidikan% 20 Anak/ 04.htm-68 K.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 52

Jurnal Al-Mizan pun tidak sempat. Dialog yang hambar biasanya mengakibatkan hubungan kemesraan menjadi berkurang. Bahkan tidak jarang kemesraan menjadi hilang, timbul ketegangan dan terjadilah perselisihan. Kalau sudah begini, kedua suami istri akan mengalami penderitaan. Sangat disayangkan apabila hubungan yang hambar seperti ini terjadi pada keluarga muslim yang dibangun dalam rangka beribadah kepada Allah. Diperlukan pengertian yang mendalam dari kedua suami istri agar dialog dapat berjalan secara kontinu dan menyenangkan. Suami istri hendaknya memiliki kesamaan persepsi tentang betapa pentingnya membangun hubungan harmonis antara keduanya. Dalam rumah tangga Islam, hubungan harmonis memberi dampak yang sangat banyak, antara lain bahwa hubungan harmonis : 1. Membahagiakan kedua pihak, karena keduanya akan semakin menyadari fungsi dan peranan rumah tangga dalam ibadah kepada Allah. 2. Memungkinkan kedua suami istri mendidik anak secara lebih konsentrasi. Sebab kerukunan kedua orang tua merupakan modal utama bagi pembentukan generasi muslim yang kuat. 3. Dapat melahirkan produktivitas keluarga yang sangat mengguntungkan. Usaha keluarga yang sukses biasanya hanya tumbuh dari rumah tangga yang harmonis. 4. Merupakan syarat utama dalam membentuk keluarga yang berorientasi taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). 5. Dapat menjadi pendorong suami istri dalam meningkatkan peranannya dalam dakwah Islam di tengah masyarakat. Karena sesungguhnya kerukunan rumah tangga merupakan satu basis dakwah pada da’i dan da’iyah. 16 Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa dalam rumah tangga diperlukan keharmonisan. Jadi, diharapkan kepada suami istri hendaknya selalu menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga yang harmonis yang dapat memberikan kebahagiaan dan ketenteraman bagi anggota keluarganya. D. Metode Pembinaan Rumah Tangga Dalam Islam Maha suci Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasangpasangan. Salah satu harta peninggalan Rasulullah Saw yang patut kita teladani adalah cara beliau membangun rumah tangga. Rasulullah Saw adalah pribadi yang sangat sukses dalam bidang ini. Beliau merupakan seorang suami yang sangat bertanggungjawab terhadap istri dan anak-anaknya, baik dalam bidang nafkah lahir maupun nafkah batin. Terlebih lagi dalam hal memberi pembinaan ilmu agama yang membawa keluarganya begitu mempesona dan 16

http://mitglied. Iycos.de/adjie/ article/dialog_suami_istri.htm

53 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan penuh berkah Ilahi. Pendek kata, keluarga Rasulullah adalah cermin keluarga islami yang benar-benar sakinah, mawaddah, warahmah. Memang, setiap orang pasti merindukan hidup bahagia dalam sebuah jalinan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Akan tetapi, untuk mencapai keluarga atau rumah tangga yang diberkahi Allah seperti itu, tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk mewujudkannya diperlukan persiapan mental dan ilmu yang cukup. Lebih dari itu, setiap insan juga harus memiliki kesungguhan untuk membangun keluarga yang dapat memuliakan orang tua serta membina keluarga yang produktif dan bermanfaat bagi lingkungannya. Rasulullah Saw pernah berpesan: “jika kita ingin meraih kebahagiaan dunia harus dengan ilmu, dan ingin meraih kebahagiaan akhirat pun harus dengan ilmu, dan jika ingin meraih keduanya pun harus dengan ilmu.17 Dengan demikian, maka persiapan ilmu adalah hal yang mutlak bagi mereka yang hendak membangun dan membina rumah tangga. Didalam membina sebuah rumah tangga setidaknya ada 4 (empat) syarat yang harus kita ketahui dan kita lakukan, yaitu : 1. Syarat mutlak yang pertama untuk mendirikan gedung perkawinan yang kokoh dan kuat ialah, usaha bersama, saling membantu dengan ikhlas dari kedua pihak (suami-istri). Baik suami maupun istri hendaklah sama-sama menyadari bahwa usaha bersama yang menjadi sendi kehidupan berumah tangga itu tidak akan ada jika masing-masing hanya mementingkan dirinya sendiri. 2. Syarat kedua yang harus diperhatikan oleh setiap pasangan yang sedang memasuki kehidupan rumah tangga adalah pengertian yang mendalam bahwa mereka kawin dengan manusia, bukan dengan bidadari atau malaikat yang tiada cacat, dan juga bukan dengan hewan yang tiada berakal dan perasaan. Haruslah disadari bahwa tiap-tiap manusia mempunyai kebutuhan atau keinginan, sekurang-kurangnya keinginan untuk diperlakukan sebagai manusia. 3. Syarat yang ketiga yang harus diperhatikan dan diingat oleh suami istri ialah, sejak semula memulai kehidupan berumah tangga hendaklah mereka berhati-hati memelihara ketenteraman hati dan pikiran pasangannya, janganlah bersikap takabur dan jangan bersikap tahasul atau alpa. Kepandaian merawat kasih sayang yang merupakan seni cinta dalam hubungan antara suami istri serta ketangkasan memelihara dan menyelamatkan perkawinan dari berbagai bahaya pada hakikatnya adalah suatu keahlian tersendiri dalam lapangan kehidupan. 4. Syarat yang keempat yang menjadi sendi keberuntungan rumah tangga adalah, masing-masing harus berlaku jujur dalam segala hal. Satu sama 17

Abdullah Gymnastiar, Keluarga Kaya Hati, Cet I (Bandung: Khas MQ), hal. 9

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 54

Jurnal Al-Mizan lain harus memandang pasangannya sebagai teman hidup yang paling akrab tempat berunding dan bermusyawarah dengan sejujurnya serta memecahkan kesukaran-kesukaran yang menjadi kepentingan bersama.

18

Selain syarat di atas yang harus kita ketahui dalam pembinaan rumah tangga, salah satu metode yang harus kita terapkan adalah: Membangun Komunikasi Antara Keluarga.19 Saling “berkomunikasi” antar anggota keluarga adalah sangat penting dan mendasar dalam kehidupan keluarga. Setiap saat suami atau istri bisa bertanya atau menyampaikan keluh kesahnya kepada pasangannya. Begitu juga antara orang tua dan anak bisa saling menyampaikan atau menanyakan sesuatu. Membangun komunikasi antar anggota keluarga sebenarnya sangat sederhana dan mudah, namun kenyataannya, sering terjadi ketidakharmonisan didalam rumah tangga yang disebabkan kurang adanya komunikasi antara anggota keluarga. Kemandekan komunikasi seperti ini bisa menimbulkan persoalan-persoalan di kemudian hari. Dengan demikian, walaupun membangun komunikasi antar anggota keluarga itu kedengarannya sederhana dan mudah, dan memang seharusnya demikian, namun tidak jarang kita menemukan kendala atau hambatan yang membuat komunikasi itu tidak berjalan baik atau tidak harmonis. Penyebab utamanya adalah faktor kepribadian, misalnya kebiasaan suka membesarbesarkan masalah yang kecil. Untuk itulah, sedapat mungkin setiap anggota keluarga, terutama pasangan suami istri atau orang tua senantiasa berupaya dengan sungguhsungguh untuk melakukan langkah positif bagi terwujudnya komunikasi antar keluarga, tidak hanya mengganggu hubungan yang harmonis yang mesti dipelihara, bahkan lebih dari itu bisa mengancam eksistensi dari sebuah keluarga, yaitu terputusnya hubungan yang harmonis antar anggota keluarga. Pada putunya hubungannya kekeluargaan berarti terputusnya “silaturrahmi”, sedangkan menurut tuntunan Allah Swt dan Rasul-Nya menyambung silaturrahmi itu merupakan kewajiban yang mesti dilaksanakan oleh setiap Muslim, seperti firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 1 berikut ini:

ِ َّ ِ‫سو‬ ِ ‫ث ِمنـْ ُه َما ِر َج ًال‬ َّ َ‫اح َد ٍة َو َخلَ َق ِمنـَْها َزْو َج َها َوب‬ َ ٍ ‫َّاس اتـَُّقوا َربَّ ُك ُم الذي َخلَ َق ُك ْم م ْن نـَْف‬ ُ ‫يَا أَيـَُّها الن‬ ِ ِ ِ ) ١ : ‫َكثِ ًريا َونِ َساءً َواتـَُّقوا اللَّهَ الَّذي تَ َساءَلُو َن بِه َو ْال َْر َح َام إِ َّن اللَّهَ َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقيبًا ( النساء‬ Artinya: Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan 18 Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan, Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hal. 40. 19 Amin, Kunci Sukses Membangun Keluarga Idama,…, hal, 144.

55 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (QS. al-Nisa’/4: 1). Diantara langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai upaya mewujudkan komunikasi yang baik antara anggota keluarga adalah Mengenal dan memahami perbedaan model komunikasi masing-masing. Ada empat pola dalam komunikasi yaitu: “pasif, agresif, pasif-agresif dan luwes”. Kebanyakan orang cenderung melakukan komunikasi dengan menerapkan satu dari empat pola tersebut. Tapi tidak ada seorang pun dari kita yang didalam berkomunikasi menerapkan suatu pola secara konsisten, cenderung kita berpindah-pindah dari satu pola ke pola atau model yang lain. 1. Pasif, orang yang bersifat pasif ini tidak mau mengutarakan perasaannya secara terbuka, akibatnya, sering kali mereka mengabaikan kebutuhannya sendiri dan lebih mementingkan kebutuhan orang lain. 2. Agresif, orang yang bersifat agresif sering kali bersikap bermusuhan atau bersikap kasar dalam mempertahankan minatnya. Perasaannya selalu harus nomor satu dan mereka akan bertindak berlebihan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. 3. Pasif-Agresif, orang ini suka memanipulasi dan kadang-kadang tidak bertanggungjawab. Mereka tidak mau mengemukakan perasaannya secara terus terang, namun berharap segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginannya. 4. Luwes, orang ini menyatakan perasaan dan kebutuhannya secara jelas dan langsung tanpa menyerang atau mengabaikan pandangan pasangannya. Tujuan utamanya tidak mendominasi, tetapi membuka peluang bagi perundingan.20 Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa model atau pola komunikasi yang ideal adalah menjadi orang yang luwes. 1. Jadilah orang yang mau mendengar Diantara manusia, ada orang yang hanya ingin didengar oleh orang lain apabila ia berbicara, ia tidak suka mendengar orang lain. Jadi, untuk mewujudkan komunikasi yang harmonis antar anggota keluarga maka sikap seperti itu harus dihindari. Jadilah suami atau istri yang mau mendengarkan pasangannya, dan jadilah orang tua yang mau mendengarkan anak-anaknya atau sebaliknya. 2. Memulai atau membuka pembicaraan Jadilah orang yang suka memulai atau membuka pembicaraan atau dialog, dan itu bisa dilakukan dengan hal-hal yang sederhana. Maka diharapkan dalam keluarga, kita menjadi orang yang suka memulai atau membuka pembicaraan, dan hal ini dan sangat berguna untuk mewujudkan komunikasi yang harmonis dalam keluarga. 20

Amin, Kunci Sukses…, hal. 147.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 56

Jurnal Al-Mizan 3. Menghargai perbedaan pendapat Ketika kita telah bersedia hidup bersama orang lain, walaupun dalam sebuah lingkungan kecil yang bernama “keluarga”, maka kita harus siap untuk menghadapi adanya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat itu lumrah, wajar, asalkan satu sama yang lain saling menghargai. 4. Menjadi orang yang suka memaafkan Keinginan untuk membangun komunikasi dengan orang-orang di sekitar kita, termasuk dengan keluarga kita sendiri, sering kali terganggu oleh berbagai hal. Oleh karena itu, kita harus membiasakan diri menjadi orang yang suka memaafkan, bahkan yang terbaik adalah dengan tidak menunggu orang yang bersalah meminta maaf. Menurut tuntunan AlQur’an, “Orang yang suka memaafkan adalah orang yang bertaqwa kepada Allah Swt”. 5. Memberi perhatian Setiap orang ingin mendapatkan perhatian ketika ia sedang berbicara atau berdialog dengan orang lain. Itu adalah wajar, dan hal itu berlaku bagi siapa saja. Betapa tidak enaknya sesuatu yang kita rasakan apabila kita berbicara dengan seseorang tapi orang itu tidak memperhatikan kita. Untuk itu, marilah kita menjadi orang yang memberi perhatian kepada orang yang sedang berbicara kepada kita. 6. Menjadi orang yang rendah hati Jika ingin terwujud komunikasi yang harmonis antar anggota keluarga atau bahkan dengan siapa pun, maka kita harus menjadi orang yang “Rendah hati”. Rendah hati adalah pangkal dari semua langkah yang telah disebutkan, yang merupakan prinsip-prinsip penting didalam upaya membangun hubungan yang baik dengan setiap orang. Disamping metode di atas yang telah dijelaskan, sebagai upaya pembinaan rumah tangga, keluarga Rasulullah Saw telah membuktikan bahwa tidak ada kebahagiaan dan ketentraman yang melebihi keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah yang menjadikan Iman dan Islam sebagai sumber kekuatan untuk terus meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. Keluarga Rasulullah Saw telah membuktikan bahwa tidak ada kebahagiaan dan ketenteraman yang melebihi keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah yang dibangun oleh suami istri yang saleh dan shalehah. Suami istri yang menjadikan iman dan Islam sebagai sumber kekuatan untuk terus meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. Oleh karena itu, Surga dunia hanya dapat diwujudkan oleh pasangan suami istri saleh dan salehah yang memahami betul kewajiban masing-masing untuk saling berbagi, mengokohkan kelebihan, dan menutupi segala kekurangan masing-masing. Maka dari itu, sangat diperlukan keikhlasan untuk menerima pasangan kita apa adanya, baik itu fisik, intelektual, ekonomi, keturunan, dan sebagainya.

57 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Kita hanyalah manusia biasa yang berusaha memadukan dua unsur menjadi sebuah kekuatan, yang dengannya kita mengharapkan keridaan dari Allah, mengikuti sunnah Rasulullah, serta meneguhkan langkah di jalan-Nya.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 58

Jurnal Al-Mizan DAFTAR PUSTAKA Abdullah Muhammad, Sunan Ibnu Majah, Beirut:Dar Al-Fikr, Jilid I, 1977. Akbar Ali, Merawat Cinta Kasih, Jakarta : Pustaka Anatara, 1980. Ali M. Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Cet I , Jakarta: Siraja, tt. Amin Rusli, Kunci Sukses Memnbangun Keluarga Idaman .Jakarta: AlMawardi Prima, 2003. Bisri Adib Musthofa, Terjemahan Shahih Muslem Jilid II, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993 Hasan Hasniah, Mewujudkan Keluarga Bahagia Sejahtera, Surabaya, CV. Amin, 1987. Ismail Muhammad, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah. Latif Nasaruddin, Ilmu Perkawinan, Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Cet. I, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001. Syarifuddin Amir, Garis-Garis Besar Fikih, Bogor: Prenada Media, 2003. Syaltout Mahmout, Al-Islam Aqidah Wa Syari’ah, Mesir, Dar al- Qalam, 1996. Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1969.

59 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan PERLINDUNGAN KONSUMEN (HAK KHIYAR) DALAM JUALBELI Oleh: Nainunis, MA ABSTRAK Consumer Protection or hak Khiyar is something that is allowed in the buying and selling and also is a matter that can not be separated in selling is also hak kyiar was done for a satisfaction for sellers and buyers. Hak khiyar is the right to vote for one or both parties to carry out the transaction to establish or cancel the transaction. The type khiyar namely : khiyar syarat, khiyar ta’yin, khiyar ‘aib, khiyar rukyah and khiyar majlis. The benefits of the implementation of the concept of mutual hak khiyar is pleased with the purchase and sale transactions with equally gets satisfaction and profit between sellers and buyers key word : Hak Khiyar, Jual beli

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 60

Jurnal Al-Mizan A. Pendahuluan Jual beli merupakan sarana tolong menolong antar sesama manusia. Jadi, orang yang melakukan transaksi jual beli tidak dilihat sebagai orang yang mencari keuntungan semata, akan tetapi juga dipandang sebagai orang yang sedang membantu saudaranya. Bagi penjual, ia sedang memenuhi kebutuhan barang yang dibutuhkan pembeli. Sedang bagi pembeli, ia sedang memenuhi kebutuhan akan keuntungan yang sedang dicari oleh penjual. Atas asumsi ini aktifitas jual beli merupakan aktifitas mulia, dan Islam memperkenankannya. Akan tetapi, agar dalam transaksi jual beli tersebut sejalan dengan aturan syara’ dan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak atau lebih. Maka dalam jual terdapat istilah perlindungan konsumen atau dalam ilmu fiqh sering disebut hak khiyar (hak memilih). Hak khiyar merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah. Terlebih jika produk yang dihasilkan oleh produsen merupakan jenis produk yang terbatas, produsen dapat memanipulasi produknya. Hal semacam itu tentu saja akan merugikan konsumen.1 Kerugian yang dialami oleh konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen. Perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak tidak selamanya dapat berjalan mulus, dalam arti masing-masing pihak puas, karena kadang-kadang pihak penerima tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya. Apabila pembeli, yang dalam hal ini konsumen, tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan perjanjian, maka konsumen mengalami kerugian. Kerugian salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat yang tercantum dalam perjanjian. Hal ini biasanya banyak dialami oleh pihak yang lemah/memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lainnya. Karena persyaratan tersebut berat sebelah/ lebih memberatkan kepada pihak yang lemah yang biasanya telah dituangkan ke dalam perjanjian ketika melakukan akad.2 Berdasarkan dari hal itu, satu-satunya solusi untuk mencegah hal tersebut terjadi maka disyariatkanlah hukum perlindungan konsumen / hak khiyar. Hak khiyar merupakan salah satu bagian terpenting dalam jual beli untuk memberikan kebebasan, keadilan dan kemaslahatan bagi masingmasing pihak yang sedang melakukan transaksi. 1 Ahmad Miru, Prinsip-prisnip Perlindungan Hukum bagi Konsumen Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011 ), h. 1. 2 Ahmad Miru, Prinsip-prisnip Perlindungan..., h. 2.

61 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Hak Khiyar ditetapkan syariat islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebik-baiknya. Dengan kata lain, diadakannya khiyar oleh syara’ agar kedua belah pihak dapat memikirkan lebih jauh kemaslahatan masing-masing dari akad jual-belinya, supaya tidak menyesal di kemudian hari, dan tidak merasa tertipu. Jadi, hak khiyar itu ditetapkan dalam islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual-beli. Dari satu segi memang khiyar (opsi) ini tidak praktis karena mengandung arti ketidakpastian suatu transaksi, tetapi untuk menjaga kepuasan konsumen, khiyar ini yaitu jalan terbaik.   B.

Pengertian Khiyar

Secara bahasa khiyar berasal dari ‫ خيارة‬,‫ خريا‬,‫ خيري‬,‫ خار‬berarti pilihan,3 sedangkan secara istilah terdapat beberapa pengertian, diantaranya khiyar adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi jual-beli untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati, disebabkan hal-hal tertentu yang membuat masing-masing atau salah satu pihak melakukan pilihan tersebut. Pilihan ini dapat dilakukan dalam berbagai macam sebab dan keadaan yang berbeda-beda.4 Pendapat lain mengemukakan bahwa, Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang ter-baik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi. Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.5 Sulaiman Rasjid mendefinisikan Khiyar artinya “boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurugkan (menarik kembali, tidak jadi dijula beli)”. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang tadi yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan tejadi penyesalan dikemudaian hari lantaran merasa tertipu.6 Dalam ensiklopedi hukum islam7 dijelaskan bahwa pembahasan khiyar menyangkut transaksi bidang perdata, khususnya transaksi ekonomi. Ahmat Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2010), h. 215. Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), h. 75. 5 Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Penerbit Darul Haq, 2002), h. 47. 6 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), h. 286. 7 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), h. 914 3 4

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 62

Jurnal Al-Mizan C. Sumber Hukum Khiyar Sabda Rasulullah SAW:

‫ فكل‬,‫ ( اذا تبع الرجالن‬: ‫عن ابن عمر رضي اهلل عنه عن رسول اهلل صلي اهلل عليه وسلم قال‬ ‫خي احدمها االخر‬ ّ ‫ فا ن‬,‫واحد منهما بااخليا ر مامل يتفرقا وكا ن مجيعا او خيري احدمها االخر‬ ‫تفرقا بعد ان تبايعا ومل يرتك وحد منهما البيع فقد وجب‬ ّ ‫فتبايعا علي ذلك فقد وجب البيع وان‬ ‫البيع ) متفق عليه واللفظ ملسلم‬ Artinya : Dari Ibnu Umar, dari Rasulullah SAW. Ia bersabda : “Apabila dua orang berjual beli, maka tiap-tiap seseorang dari mereka (berhaq) khiyar selama mereka tidak berpisah dan adalah mereka bersama-sama atau selama seorang dari mereka tidak menentukan khiyar kepada yang lainnya. Jika seorang dari mereka tetapkan khiyar kepada yang lainnya, lalu mereka berjual beli atas (ketetapan) tersebut, maka jadilah jual beli itu; dan jika mereka berpisah sesuadah jual beli dan seorang dari mereka tidak tinggalkan benda yang dijual belikan itu, maka jadilah jual beli itu”. Muttafaq ‘alaih, tetapi lafazh itu bagi Muslim.8 Dalam hadis yang lain

‫ البائع واملبتا ع باخليار مامل‬: ‫وعن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن النيب صعلم قال‬ ‫ رواه اخلمسة – إال‬.‫ والحيل له أن يفارقه خشية أن يستقيله‬،‫ إال أن تكون صفقة خيار‬،‫يفرتقا‬ .‫ حىت يتفرقا من مكاهنما‬: ‫ ويف رواية‬.‫ابن ماجه – والدارقطعي وابن خزمية وابن اجلارود‬

Artinya: Dari Amir bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya RA bahwa Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual beli dibatalkan.” (H.R Al-Khamsah kecuali ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Al-Jarud Dalam suatu riwayat, “Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka.”).9 Dalam hadis lain.

)‫البيعان باخليار مامل يتفرقا (رواه البخارى مسلم‬

Artinya: Pembeli dan penjual boleh khiyar selama belum berpisah (HR Bukhari dan Muslim).10 8 http:///sofi-pai.blogspot.com201106khiyar.html. (diunduh pada tanggal 20 Januari 2015) 9 http://galiyao.blogspot.com201203hak-khiyar-dalam-jual-beli.html. (diunduh pada tanggal 20 januari 2015) 10 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 82.

63 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Dan masih banyak dalil-dalil yang lain yang tidak penulis cantumkan dalam makalah ini. D. Hukum Khiyar Dalam Jual beli Hak Khiyar (memilih) dalam jual beli, menurut Islam dibolehkan, apakah akan meneruskan jual beli atau membatalkannya, tergantung keadaan (kondisi) barang yang diperjual belikan. Menurut Abdurrahman  alJaziri, status Khiyar dalam pandangan ulama fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan, karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi. Di abad modern ini yang serba canggih, di mana sistem jual beli semakin mudah dan praktis, masalah khiyar ini tetap diperlukan, hanya tidak menggunakan kata-kata Khiyar dalam mempromosikan barang-barang yang dijualnya, tetapi dengan ungkapan  singkat dan menarik, misalnya : “ Teliti sebelum membeli “. Ini berarti bahwa pembeli diberi hak khiyar (memilih) dengan hati-hati dan cermat dalam menjatuhkan pilihannya untuk membeli, sehingga ia merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan.11 E. Jenis Khiyar Dalam pembahasan tentang khiyar, dibedakan antara khiyar yang bersumber dari kedua belah pihak yang berakad, seperti khiyar syarat, khiyar ta’yin, dan khiyar yang bersumber dari syara’, seperti khiyar al-‘aib, khiyar ru’yah, dan khiyar majlis. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Khiyar Syarat Khiyar Syarat; adalah hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama tenggang waktu yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan, “saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau membatalkan akad selama tiga hari”.12 Khiyar syarat hanya berlaku bagi akad yang mengikat kedua belah pihak dan muncul atas kesepatakan kedua belah pihak. Sedangkan tenggang waktu khiyar syarat ada perbedaan pendapat, yaitu: a. Madzhab Hanafi dan Imam Syafi’i; bahwa waktu khiyar syarat tidak lebih dari tiga hari.13 Hal ini sejalan dengan hadis yang berbicara tentang khiyar syarat, yaitu hadis tentang kasus Habbab bin Munqiz yang melakukan penipuan dalam jual beli, sehingga para konsumen

84.

11

Abrur Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010),h.

12

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam..., h. 914. Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah..., h. 77.

13

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 64

Jurnal Al-Mizan mengadu kepada Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah Saw bersabda: “Apabila seseorang membeli satu barang, maka katakanlah jangan ada tipuan dan saya berhak memilih dalam waktu tiga hari”. (HR. alBukhari, Muslim, al-Baihaki, al-Nasa’i, al-Hakim, dan Abu Dawud dari Abdullah bin Umar).14 b. Imam Abi Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, madzhab Hanbali berpendapat; bahwa tenggang waktu khiyar syarat diserahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli, sebab khiyar disyari’atkan untuk kelegahan hati kedua belah pihak dan bisa dimusyawarhkan antara keduanya.15 Adapun hadis Habban tersebut di atas, menurut mereka khusus untuk kasus Habban tersebut Rasulullah SAW menganggap bahwa untuk Habban, tenggang waktu yang diberikan cukup tiga hari; sedangkan untuk orang lain belum tentu cukup tiga hari.16 c. Madzhab Maliki berpendapat bahwa tenggang waktu itu ditentukan sesuai dengan kebutuhan. Karenanya, bisa berbeda setiap obyek akad, misalnya untuk buah-buahan, khiyar tidak boleh lebih dari satu hari; sementara untuk obyek lainnya, seperti tanah dan rumah diperlukan waktu lebih lama. Dengan demikian, tenggang waktu amat tergantung pada obyek yang diperjualbelikan.17 Terkait dengan khiyar syarat, disini Ulama fiqh sepakat bahwa akad yang dilakukan yang disertai khiyar syarat bersifat tidak mengikat bagi pihak-pihak yang melakukan. Jika tenggang waktu habis, secara otomatis akad tersebut mengikat meskipun tanpa ada pernyataan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak. Hal ini menegaskan bahwa pihak-pihak yang berakad sudah terikat dengan akad yang disepakatinya.18 2. Khiyar Ta’yin Khiyar Ta’yin; hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli. Terkadang obyek jual beli memilih kualitas yang berbeda, sedangkan pembeli tidak mampu untuk mengidentifikasi kualitas tersebut. Dalam kondisi seperti ini pembeli minta bantuan untuk menganalisa kualitasnya.19 Misalnya, dalam pembelian keramik ada yang berkualitas super dan sedang. Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super dan mana keramik yang berkualitas sedang. Untuk menentukan pilihan tersebut ia memerlukan bantuan ahli keramik Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 915. Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah..., h. 77. 16 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 915. 17 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 915. 18 Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah..., h. 78. 19 Yazid Afandi, Fiqh Mualamala..., h. 79. 14

15

65 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan atau arsitek. Khiyar seperti ini menurut Madzhab Hanafi dibolehkan, karena produk sejenis yang berbeda kualitas sangat banyak dan tidak diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan seorang ahli. Khiyar ini ditujukan agar pembeli tidak tertipu dan sesuai dengan kebutuhannya.20 Sedangkan jumhur ulama tidak membolehkan, sebab jual beli seperti di atas mengandung ketidak jelasan yang masuk dalam jual beli al-ma’dum.21 Contoh dalam kasus jual beli mobil. Seseorang ingin membeli sebuah mobil bekas. Sementara ia tidak tahu kualitas mobil yang akan dibelinya. Untuk memastikan kualitas mobil yang akan dibeli, ia meminta bantuan orang lain untuk menganalisanya. Jadi dan tidaknya pembeli tersebut atas barang yang akan ia beli, ia lakukan atas rekomendasi orang yang diminta bantuan tersebut. Khiyar ini disebut sebagai khiyar ta’yin.22 3. Khiyar ‘Aib Khiyar ‘Aib; adalah hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang diperjual belikan, dan cacat tersebut tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung, meskipun tidak ada kesepakatan khiyar23 Misalnya, seseorang membeli telur ayam sepuluh butir, namun ternyata satu butir di antaranya sudah busuk, tanpa diketahui oleh penjual maupun pembeli sebelumnya. Dalam kasus seperti ini, menurut para ahli fiqh ditetapkan hak khiyar bagi pembeli. Menurut kesepakatan ulama fiqh khiyar ‘aib ini berlaku sejak diketahuinya cacat pada barang yang diperjualbelikan dan dapat diwarisi oleh ahli waris pemilik hak khiyar.24 Cacat yang menyebabkan adanya hak khiyar, menurut ulama madzhab Hanafi dan Hambali adalah seluruh unsur yang merusak obyek jual beli tersebut dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang. Sedangkan cacat menurut ulama madzhab Maliki dan Syafi’i adalah seluruh cacat yang menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsur yang diinginkan daripadanya.25 Adapun khiyar ini memiliki syarat-syarat tertentu agar dapat berlaku, yaitu:26 a. Pembeli tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika berlangsung akad. Jika sejak awal pembeli sudah tahu cacat yang ada pada barang yang akan dibeli, maka padanya tidak ada khiyar ‘aib. b. Ketika akad berlangsung, penjual tidak mensyaratkan bahwa apabila 20 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 916. 21 Yazid Afandi, Fiqh Mualamala..., h. 79. 22 Yazid Afandi, Fiqh Mualamala..., h. 79. 23 Ahmat Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, h. 232. 24 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 917. 25 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 917. 26 Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, h. 79.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 66

Jurnal Al-Mizan ada cacat tidak bisa dikembalikan. Artinya sudah ada kesepakatan dari pembeli tentang cacat yang ada pada barang yang akan dibeli. Jika penjual membuat kesepakatan kepada pembeli, bahwa barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan dalam kondisi apapun dan pembeli menyepakatinya, maka sudah tidak ada lagi khiyar ‘aib. c. Cacat tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad. Cacat yang ada pada benda yang akan dibeli bukan akibat dari tindakan pembeli. Demikian juga pembeli tidak boleh berusaha untuk merubah atau menghilangkan cacat yang ada pada benda yang akan dibeli jika ditemukan cacat. Jika hal tersebut dilakukan, khiyar ‘aib batal.27 Sedangkan dalam khiyar ‘aib, pengembalian barang bisa terhalang apabila: a. Pemilik hak khiyar rela dengan cacat yang ada pada barang tersebut. Jika sejak awal seorang pembeli mengetahui ada cacat, dan atas cacat tersebut ia merelakannya, maka ia tidak bisa mengembalikan barang yang sudah dibelinya. b. Hak khiyar digugurkan oleh pemiliknya. Jika sejak awal pemilik barang sudah memberitahukan kepada pembeli untuk tidak mau menerima resiko cacat yang ada pada barang dan pembeli menyepakatinya, maka jika pembeli kemudian menemukan cacat, barang tersebut tidak bisa dikembalikan. c. Benda yang menjadi obyek hilang atau muncul cacat baru akibat perbuatan pemilik hak khiyar. Benda obyek jual beli sudah tidak lagi seperti semula. Termasuk dalam hal ini jika pada barang tersebut terdapat penambahan materi barang dari pemilik hak khiyar.28 4. Khiyar Ru’yah Khiyar Ru’yah: Hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlangsung atau batalnya jual beli yang dilakukannya terhadap suatu obyek yang belum dilihatnya ketika akad berlangsung. Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan az-Zahiri menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyari’atkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

‫من اشرتى شيئا مل يره فهو باخليار اذا أراَه‬

Artinya:”siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu” (HR. Daruquthni dari Abu Hurairah). Menurut mereka akad seperti ini bisa terjadi disebabkan objek yang akan dibeli itu tidak ada ditempat berlangsungnya akad atau karena sulit dilihat (seperti ikan kaleng). Khiyar ru’yah ini menurut mereka mulai berlaku 27 28

Ahmat Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, h. 235. Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah..., h. 80.

67 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan sejak pembeli melihat barang yang akan ia beli. Akan tetapi, ulama Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa jual beli barang yang ghaib tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu menurut mereka khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsur penipuan yang bisa membawa kepada perselisihan; dan rasulullah melarang jual beli yang mengandung penipuan. Misalnya, ketika suatu saat, seorang pembeli ingin membeli barang, sementara ia belum bisa melihat barang tersebut. Kemudian ia menyifatinya terhadap barang yang diinginkan dan penjual siap menghadirkan barang tersebut di lain waktu. Saat barang tersebut dihadirkan pembeli memiliki kesempatan untuk melakukan pilihan antara melangsungkan atau membatalkan jual beli tersebut. Inilah yang disebut khiyar ru’yah.29 Jumhur ulama mengemukakan beberapa syarat berlakunya khiyar ru’yah, yaitu: a. Obyek jual beli pembeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung. Barang tersebut masih menjadi tanggungan penjual saat pembeli menyatakan kehendaknya. b. Obyek akad berupa materi. Ia adalah benda yang dapat dilihat dan disifati. c. Akad itu sendiri mempunyai alternatif untuk dibatalkan. Tidak ada persyaratan yang ditetapkan oleh penjual dan kemudian disepakati oleh pembeli bahwa obyek jual beli tidak bisa dibatalkan.30 Akad jual beli yang didalamnya berlaku Khiyar Ru’yah dapat batal atau fasakh apabila: a. Adanya pernyataan yang tegas yang isinya membatalkan akat jual beli. b. Rusak objek jual beli sebelum diterima oleh pembeli.31 5. Khiyar Majlis Khiyar Majlis: hak pilih dari pihak yang melangsungkan akad untuk membatalkan (mem-fasakh) transaksi selama mereka masih berada di tempat diadakannya transaksi (majlis akad) dan belum berpisah secara fisik. Khiyar ini terbatas hanya pada akad-akad yang diselenggarakan oleh dua pihak seperti akad jual beli dan sewamenyewa.32 Artinya, suatu transaksi baru di anggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan/ tempat atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan/atau membeli.33 Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah..., h. 81. Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah..., h. 81. 31 Ahmat Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, h. 239. 32 http://baheis.islam.gov.my/web/musykil_new.nsf (diunduh pada tanggal 12 Januari 2015) 33 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 918. 29 30

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 68

Jurnal Al-Mizan Disyariatkannya hak pilih macam (khiyar majlis) ini guna menutup atau memperkecil pintu-pintu penyesalan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi jual-beli. Sebab sering kali seseorang terlalu tertarik atau juga terpengaruh terhadap suatu hal sehingga ia terburu-buru dalam memutuskan untuk membeli atau menjual sesuatu tanpa mepertimbangkan manfaat atau kerugiannya, sehingga setelah transaksi terjadi ada pihak yang merasa kurang diutungkan, dan kemudian menimbulkan rasa kebencian terhadap saudaranya atau hal yang serupa.34 Terkait dengan khiyar majlis ini, ulama berbeda pendapat tentang keabsahannya, yaitu: 1. Madzhab Syafi’i dan Hambali: Bahwa masing-masing pihak yang melakukan akad berhak mempunyai khiyar majlis, selama mereka masih berada dalam majlis akad, sekalipun akad telah sah dengan adanya ijab dan kabul. Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) masih memiliki hak pilih untuk melangsungkan jual belinya atau membatalkannya, selama mereka masih belum berpisah dalam tempat jual beli.35 2. Hanafi dan Maliki: suatu akad sudah sempurna dengan adanya ijab dan kabul. Setelah ijab kabul terjadi, tidak ada lagi peluang untuk membatalkan meskipun mesih berada dalam satu majlis.36 F. Manfaat Khiyar Menurut ulama fiqh, khiyar disyari’atkan atau dibolehkan dalam islam didasarkan pada suatu kebutuhan yang mendesak dengan mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi. Dengan demikian, hak khiyar merupakan ruang yang ditawarkan oleh fiqh muamalah untuk berfikir ulang, merenung dan saling mengkoreksi antara pihak terkait dengan obyek dan transaksi yang telah mereka lakukan. Dengan hak khiyar ini para pihak diharapkan terhindar dari munculnya rasa penyesalan setelah transaksi selesai dilakukan.37 Maka dari itu, diantara manfaat atau hikmah disyariatkan Khiyar adalah: 1. Khiyar dapat mebuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-prinsip Islam, yaitu suka sama suka antara penjual dan pembeli. 2. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dlam melakukan akad jual beli, sehingga pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik atau benarbenar disukainya. 3. Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan 34 http//blog.uin-malang.ac.idsolehhasan20110326khiyar.htm (diunduh pada tanggal 12 Januari 2015) 35 Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah..., h. 82. 36 Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah..., h. 82. 37 Yazid Afandi, Fiqh Mualamala..., h. 75-76.

69 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan mendidiknya agar bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan barangnya. 4. Terhindar dari unsur-unsur penipuan, baik dari pihak penjual maupun pembeli, karena ada kehati-hatian dalam proses jual beli. 5. Khiyar dapat memlihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih antar sesama. Adapun ketidak jujuran atau kecurangan pada akhirnya akan berakibat dengan penyesalan di salah satu pihak biasanya dapat mengarah kepada kemarahan, kedengkian, dendam, dan akibat buruk lainnya.38 6. Untuk menghilangkan perdawaan dan permusuhan diantara penjual dan pembeli.39 7. Supaya kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan lebih lanjut mengenai dampak positif atau negatifnya bagi mereka masing-masing. Dengan demikian diantara kedua belah pihak tidak akan terjadi penyesalan di belakang hari karena adanya penipuan, kesalahan, dan paksaan.40

38 http///lailabadriyah82.blogspot.com201206khiyar.html. (diunduh pada tanggal 12 Januari 2015) 39 Ali Ahmah al-Jarjawi, Hikmah at-Tayri’ wa Falsafatuhu, (Bairut: Dar alFikri, 2007), h. 128. 40 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), h. 407.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 70

Jurnal Al-Mizan DAFTAR PUSTAKA Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001. Abrur Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah, Jakarta : Kencana, 2010. Ahmad

Miru, Prinsip-prisnip Perlindungan Hukum bagi Konsumen Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011

Ahmat Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: AMZAH, 2010. Ali Ahmah al-Jarjawi, Hikmah at-Tayri’ wa Falsafatuhu, Bairut: Dar al-Fikri, 2007. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Penerbit Darul Haq, 2002. Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002. Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009. http://baheis.islam.gov.my/web/musykil_new.nsf http///lailabadriyah82.blogspot.com201206khiyar.html. http:///sofi-pai.blogspot.com201106khiyar.html. http://galiyao.blogspot.com201203hak-khiyar-dalam-jual-beli.html.

71 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan NUSYUZD DALAM NASH, FIQH, DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Oleh : Imran, S.HI., M. Sy ABSTRAK Nusyuzd is one issue of ahwalshakhsiyyah that is always warm to discuss. Nusyuzdoften the beginning of a problem in a household. Cracks in the household, initially often used as an excuse Nusyuzd. Understanding crippled by men against Nusyuzd concept has an impact on the spirit of superiority over women. And in the end this spirit has spawned a culture of women in the column position of concern. On the one hand, it is sometimes feared the emergence of defiance on the part of the wife, if too broad freedom given to him that might be expected of many women who would ignore her, but it is also important to be seen in reality, not a few husbands who abandoned his wife. Even arbitrariness husband on the wife is much more going on. Reality is often the case, due to the husband’s contention that his wife had Nusyuzd, and it also is often a reason for abandoning his wife. The right to terminate the grant husband and wife as a result of disobedience also not perfectly regulated by law, because it is only based on the evidence from husband recognition alone, there is no specific mechanism of proof Nusyuzd. In this case will lead to easy Nusyuzd wife accuses husband and simultaneously release the husband of his responsibilities. Along with that understanding about concept of Nusyuzd that tend to harm the woman, also has become a matter of concern for sustainability and domestic harmony. The emergence of inequality understanding perhaps influenced by the dominance of understanding of concept Nusyuzd in jurisprudence that is reinforced by positive law still requires new construction for the sake of improvement. Key word : Nuyuzd, Nash, Fiqh, Kompilasi Hukum Islam

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 72

Jurnal Al-Mizan A. Pendahuluan Tulisan ini penulis mulai dengan ungkapan dari arti sebuah teks India abad ketujuh-belas: Laki-laki dan Perempuan secara bersama-sama membentuk manusia. (Dabistan –I-Mazahib). umah Tangga merupakan wadah pembinaan kehidupan komponen terkecil dari suatu masyarakat. Kehidupan di tingkat rumah tangga menjadi manifestasi dari kehidupan suatu masyarakat dalam ranah yang lebih luas. Perbaikan taraf hidup di tingkat keluarga dapat mempercepat perbaikan taraf hidup masyarakat secara umum. Kehidupan rumah tangga sering tak dapat dikendali, karena terjadinya pecah kongsi atau ketidak harmonisan antara kedua tulang punggung keluarga yang sering disebut dengan “Suami dan Isteri”. Perselisihan mereka sering mengakibatkan lumpuhnya roda kehidupan rumah tangga, dan akan berdampak pada kegagalan,serta menimbulkan persoalan baru bagi anggota keluarga yang lain, seperti : anak dan semua orang yang berada dalam wilayah dan wewenang mereka. Perselisihan dalam rumah tangga, biasanya berawal dari kelemahan kedua belah pihak (suami dan isteri) dalam menjaga haknya masing-masing terhadap yang lain. Pengabaian hak oleh masing-masing pihak terhadap pihak yang lain, menjadi pemicu terjadinya permusuhan dalam rumah tangga. Setiap suami dan isterisetelah selesai akad nikah, dengan serta-merta akan menimbulkan hak dan kewajiban masing masing pihak terhadap yang lain. Hak dan kewajiban ini timbul akibat adanya akad nikah dan selama tali ikatan nikah masih tetap terjalin. Faktor terjadinya kekacauan dalam rumah tangga dapat disebabkan oleh suami, dan juga mungkin disebabkan oleh Isteri. Pengabaian hak dan kewajiban oleh isteri sering disebut dengan “Nusyudz”.1 Sedangkan penggunaan istilah “Nusyuzd” untuk pengabaian hak dan kewajiban oleh suami, tidak semasyhur sebagaimana yang dilekatkan kepada isteri, baik dalam praktik, dokumen hukum, maupun dalam literatur fiqh.2 Akibat majunya pelekatan konsep Nusyuzdbagi pihak isteri, sehingga mayoritas ulama memberikan perhatian besar terhadap persoalan ini, dan akhirnya isteri menjadi objek hukum (al-mahkum ‘alaiha) yang tiada hentihentinya. Adapun kelalaian suami menjadi bagian masalah yang terlupakan. Realitas ini dapat dilihat pada kebanyakan dokumen-dokumen hukum Islam, baik berupa undang –undang pemerintah yang ada di negara-negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia, maupun kitab-kitab fiqh, dimana pembahasan Nusyuzd selalu identik dengan tindakan isteri. 1 Istilah ini dipakai untuk menyebutkan isteri yang enggan menunaikan kewajibannya terhadap suami. 2 Istilah yang digunakan untuk menyebutkan kesewenang-wenang suami terhadap isteri kalah tenar dengan istilah Nusyudzd yang dipakai kepada isteri yang tidak menjaga haknya suami dan kewajibannya terhadap suami.

73 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Dalam buku Kompilasi Hukum Islam,3 istilah “Nusyuzd” disebutkan pada beberapa pasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami isteri. Sepintas juga terlihat, bahwa konsep Nusyuzd dalam kompilasi hukum Islam juga masih terkesan “ women oriented”,sehingga, kalau membangun logika kecenderungan seperti demikian, maka akan muncul kesan, dalam ranah fiqh perempuan dihukum dengan fatwa-fatwa, sedangkan dalam kompilasi hukum Islam perempuan dihukum dengan pasal-pasal. Berdasarkan latar belakang di atas, Makalah ini dihadirkan untuk mengkaji Pertama,perbandingan formulasi konsep Nusyuzd antara Formulasi yang terdapat dalam nash (Al-Quran dan hadist), formulasi Nusyuzd dalam konsep para ulama dan Formulasi Nusyuzd dalam Kompilasi Hukum Islam. Adapun fokus analisis yang ingin dipertajam oleh penulis adalah aspek keseimbangan dan keserasian formulasi Nusyuzddalam tataran teori bukan dalam tataran praktis. Karena kajian ini merupakan kajian normatif, disamping itu juga, formulasi dalam tataran praktis selalu bersinggungan dengan kondisi real budaya masyarakat setempat. Sehingga dengan demikian konsep, akan menjadi limited dan tidak menjadi fleksibel. Penggunaan konsep yang limited dengan semangat unifikasi akan menimbulkan ketimpangan. Gejolak dan polemik suatu masalah selalu muncul disebabkan oleh pemaksaan konsep. Konsep yang bersifat lokal harus dibaca dan dipahami secara lokal demikian pula sebaliknya. Kedua, Bentuk-bentuk tindakan yang dianggap dapat menjadi sebab Nusyuzd yang terdapat dalam fiqh. B. KonsepNusyudz Dalam Nash 1. Istilah Nusyuzd dalam Al-Quran Kosa kata Nusyuzd merupakan salah satu kata yang disebut dalam AlQuran.4Kosa kata tersebut telah disebut dalam Al-Quran di beberapa tempat seperti, dalam surat an-Nisa, ayat 34.

ِ ‫اللِت َتافُو َن نُشوزه َّن فَعِظُوه َّن واهجروه َّن ِف الْم‬ ‫وه َّن فَِإ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَ َل تـَبـْغُوا‬ ْ ‫ضاج ِع َو‬ َ َّ ‫َو‬ َ َ ُ ُ‫اض ِرب‬ ُ ُُ ْ َ ُ َُ ُ ‫َعلَْي ِه َّن َسبِ ًيل إِ َّن اللَّهَ َكا َن َعلِيًّا َكبِ ًريا‬ 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan salah satu buku pedoman dalam menyelesaikan perkara perkawinan, perwakafan dan kewarisan. Lihat! Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. 4 Al-Quran merupakan sumber hukum pertama dalam hirarki sumber-sumber hukum Islam. Secara detil sumber hukum Islam itu adalah : Al-Quran, hadist dan Sunnah, Ijma, Qiyas. Keempat ini merupakan sumber hukum yang disepakati oleh semua ulama dalam agama Islam. Adapun beberapa yang lain seperti Maslahah mursalah, istihsan, Qaul Shahabi, Istishhab dan lain-lain bukan sumber hukum Islam yang disepakati oleh mayoritas ulama.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 74

Jurnal Al-Mizan Artinya: Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan Nusyuzd5 hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya, sungguh Allah maha tinggi, maha besar.(Qs. An-Nisa; 34). Ayat di atas menerangkan tentang tata cara mendidik isteri-isteri yang Nusyuzd terhadap suaminya. Kosa kata Nusyuzd juga ditemukan dalam Surat an-Nisa, ayat 128.

ِ ‫وإِ ِن امرأَةٌ خافَت ِمن بـعلِها نُشوزا أَو إِعراضا فَ َل جناح علَي ِهما أَ ْن ي‬ ‫ص ْل ًحا‬ ً َ ْ ْ ً ُ َ َْ ْ ْ َ َ ْ َ ُْ ُ ‫صل َحا بـَيـْنـَُه َما‬ َ ْ َ َ َُ ِ ِ ‫الص ْلح خيـر وأ‬ ِ ِ ِ ِ َّ َّ ‫ُّح َوإِ ْن ُْتسنُوا َوتـَتـَُّقوا فَإن اللهَ َكا َن بَا تـَْع َملُو َن َخب ًريا‬ َّ ‫س الش‬ ْ َ ٌْ َ ُ ُّ ‫َو‬ ُ ‫ُحضَرت ْالَنـُْف‬

Artinya: dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan Nusyuzd6 atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walapun manusia itu menurut tabi’atnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan isterimu) dan memelihara dirimu (dari Nusyuzd dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah maha tetilit terhadap apa yang kamu kerjakan. Ayat di atas menerangkan tentang “ Nusyuzd” yang terjadi di pihak suami. Dan penyelesaiannya hendaknya menempuh jalan damai, karena jalan damai itu lebih baik dalam menjaga kemaslahatan untuk semua pihak. Kosa kata “Nusyuzd” dalam alquran hanya terdapat pada dua tempat,dalam bentuk “masdar”,yaitu ayat 34 dan 128 surat an-Nisa. Pada ayat 34 disebut dalam bentuk “mudhaaf” kepada dhamir “hunna”. Sedangkan dalam ayat 128disebut secara mandiri. Kosa kata “Nusyuzd” tidak ditemukan dalam Al-Quran selain dalam bentuk “masdar”, baik dalam bentuk fi’il, Isim Fa’il, isim maf’ul atau lainnya. Maka dari kedua ayat di atas, dapat menjadi indikasi bahwa konsep “Nusyuzd” dalam Al-Quran sangat seimbang, artinya Nusyuzd bukan hanya dipakai untuk sebuah tindakan salah dari pihak isteri tetapi juga dipakai untuk tindakan salah yang dilakukan oleh pihak suami. Dengan demikian, konsep Nusyuzd dalam Al-Quran tidak memberi peluang terjadi bias kedisharmonisan jender. Adapun Persepsi orang barat terhadap realitas persoalan wanita yang terus dieksploitasi oleh laki-laki karena pengaruh teks–teks wahyu, tidak dapat dibenarkan, karena itu muncul dari pemahaman keliru terhadap teks5 Dalam Al-Quran dan terjemahnya yang diterbitkan oleh Diponegoro, disebutkan bahwa maksud nusyuzd dalam ayat ini adalah meninggalkan kewajiban selaku isteri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. 6 Nusyuzd dari pihak suami ialah bersikap keras kepada isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Lihat Al-Quran dan terjemahnya, Penerbit Diponegoro.

75 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan teks wahyu, kekeliruan itu dapat saja terjadi, akibat keterbatasan waktu dan referensi mereka serta subyektifitas yang ada pada mereka. Kritik terhadap Islam seperti yang dilontarkan oleh orang barat, seperti pernyataan tentang “tidak memberi pelayanan seksual” (sebuah hadist yang patut dipertanyakan tetapi sering dikutip mengatakan, bahwa “jika seorang wanita menolak untuk tidur dengan suaminya, para malaikat akan mengutuknya sampai pagi hari,”7 mesti dipertimbangkan dan dikaji ulang, karena dalam kedudukan wanita jisteru terangkat dengan sebab datangnya Islam. Oleh karena itu, teks-teks Al-Quran8 harus dibaca secara benar dan interpretasinya juga tidak boleh sembarangan. Menurut Prof. Dr. Nazaruddin Umar yang ditulis dalam pengantar buku Fikih Perempuan karya Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Apabila ditemukan norma atau nilai-nilai yang tidak sejalan dengan keadilan dalam teks-teks kitab suci (Al-Quran), maka hal itu harus segera diselesaikan dengan dua hal. Pertama, membaca ulang kitab suci itu secara komprehensif. Kalau ternyata jelas dan tegas, maka unsur Kedua, perlu diperhatikan, yakni boleh jadi yang keliru adalah persepsi manusia dalam mendefinisikan sebuah konsep keadilan.9 Konsep “Nusyuzd” merupakan konsep yang dikembangkan dari Al-Quran. Al-Quran menyebutkan Nusyuzd secara adil dan berimbang. Idealnya pengembangan konsep Nusyuzd dalam fiqh juga harus merujuk kepada semangat Al-Quran. Sehingga tidak memunculkan bias dan rasa ketidak adilan antara suami dan isteri. Dalam kitab-kitab fiqh,Nusyuzd sering dicontohkan dengan tindakan pembangkangan isteri terhadap suaminya. Adapun pembangkangan suami terhadap hak isteri jarang disebut dengan Nusyuzd, hanya beberapa litaratur fiqh saja yang menyebutkannya.10Semangat yang janggal ini mempengaruhi paradigma dan mestream setiap orang dalam memandang masalah Nusyuzd. Akhirnya perasaan superior dan sikap diktator semakin menjadi-jadi bagi suami sedangkan perasaan pesimisme semakin mengungkung isteri. Tujuan membangun kehidupan rumah tangga adalah menciptakan keharmonisan dan kenyamanan. Apabila ada satu pihak yang merasa tertekan, maka tujuan rumah tangga belum dicapai. Islam menganjurkan untuk membangun rumah tangga supaya dapat meraih kehidupan yang mawaddah 7 Arvin Sharma (Editor), Perempuan dalam agama-agama dunia, Terj. Direktorat Peguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI, keja sama dengan CIDA-McGill, Jakarta, 2002, h. 294 8 Al-Quran merupakan sumber hukum utama dan tertinggi dalam hirarki sumber hukum dalam agama Islam. Semua dalil yang lain tidak dapat digunakan apabila dianggap bertentangan dengan Al-Quran. 9 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), h. v. 10 Salah satunya kitab fiqhul Islami wa adillatuhu, karya Wahbah Zuhaily.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 76

Jurnal Al-Mizan wa rahmah. Tujuan berumah tangga yang digariskan oleh Al-Quran dan diajarkan oleh Rasulullah Saw., tidak mungkin diwujudkan jika masih ada sisa-sisa dan benih ketidak adilan. Maksud Keseimbangan dalam urusan membina rumah tangga, bukan memaksa suami dan isteri untuk memerankan satu pekerjaan secara bersama. Tetapi yang dianjurkan adalah keseimbangan secara fungsional.Suami dan isteri sama-sama memahami hak dan tanggung jawab masing-masing. Maka peran konsep Nusyuzd dalam bidang ini adalah mengawasi tindakan-tindakan “out the road” yang dilakukan oleh masing-masing keduanya. 2. Istilah Nusyuzd dalam Hadist Selain dalam Al-Quran, Istilah Nusyuzd juga terdapat dalam hadist. Seperti hadist ‘Aisyah yang menceritakan tentang Saudah binti Zam’ah,11ketika memberikan gilirannnya12 kepada ‘Aisyah binti Abu Bakar.

‫ َع ْن ِه َش ِام بْ ِن عُْرَوَة َع ْن‬- ‫الزنَ ِاد‬ ِّ ‫ يـَْع ِن ابْ َن أَِب‬- ‫الر ْحَ ِن‬ ْ ‫ َح َّدثـَنَا أ‬َّ ‫س َح َّدثـَنَا َعْب ُد‬ ُ‫َحَ ُد بْ ُن يُون‬ َ ِ ‫ضنَا‬ ِّ ‫ الَ يـَُف‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬ ُ ‫ُخ ِت َكا َن َر ُس‬ َ َ‫أَبِ ِيه ق‬ َ ‫ض ُل بـَْع‬ ْ َ‫ال قَال‬ ْ ‫ت َعائ َشةُ يَا ابْ َن أ‬ ِ ِِ ِ َِ ‫وف علَيـنَا‬ ٍ ‫َعلَى بـَْع‬ ‫ج ًيعا فـَيَ ْدنُو ِم ْن ُك ِّل‬ ْ َ ُ ُ‫ض ِف الْ َق ْس ِم م ْن ُمكْثه عْن َدنَا َوَكا َن قَ َّل يـَْوٌم إِالَّ َوُه َو يَط‬ ٍِ ِ ِ‫يس ح َّت يـبـلُ َغ إِ َل الَِّت هو يـومها فـيب‬ ِ َ‫ت َزْم َعة‬ ْ َ‫يت عْن َد َها َولْ َق ْد قَال‬ ُ ‫ت َس ْوَدةُ بِْن‬ ُ ََ َ ُ َْ َ ُ ْ َ َ ٍ ‫ْامَرأَة م ْن َغ ِْي َمس‬ ِ .َ‫ول اللَّ ِه يـَْوِمى لِ َعائِ َشة‬ َ ‫ يَا َر ُس‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬ ُ ‫ت أَ ْن يـَُفا ِرقـََها َر ُس‬ ْ َ‫َّت َوفَ ِرق‬ ْ ‫َسن‬ َ‫ح‬ َ ‫ني أ‬ ِ ُ ‫ ِمنـها قَالَت نـ ُق‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬ ِ ‫ك أَنـَْزَل اللَّهُ تـََع َال َوِف‬ ُ ‫ك َر ُس‬ َ ‫ول ِف َذل‬ َ ‫فـََقبِ َل َذل‬ َ ْ َْ ِ ‫أَ ْشب‬ .13) ‫ت ِم ْن بـَْعلِ َها نُ ُش ًوزا‬ َ َ‫اه َها أ َُراهُ ق‬ ْ َ‫(وإِ ِن ْامَرأَةٌ َخاف‬ َ َ ‫ال‬ Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman yakni Anak Abu ziyad, dari Hisyam bin ‘Urwah. Dari Bapaknya, beliau berkata, “ telah berkata ‘Aisyah, “ Wahai anak kakak saya,14 Rasulullah saw tidak pernah melebihkan bagian kami di atas bagian yang lain dalam membagikan jatahnya (Jatah tinggal 11 Ketika Saudah binti Zam’ah merasa sudah tua, dan merasa khawatir dicerai oleh Rasulullah. Sedangkan Saudah masih ingin hidup bersama Rasulullah. Maka saudah memberikan jatah gilirannya kepada ‘Aisyah (maksudnya beliau tidak ada masalah meskipun Rasulullah jarang pulang kepadanya asalkan Rasulullah tidak menceraikannya). 12 Dalam bahasa arab disebut dengan istilah “ al-qismu”, artinya, jatah menginap bersama isteri bagi suami yang memiliki isteri lebih dari satu orang. Dan keadilan dalam memberikan “ al-qismu” merupakan salah satu syarat bagi seorang yang ingin menikah beberapa orang isteri. 13 Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats as-Sajatany, Sunan Abu Daud, (Beirut : Darl kitab al’Arabiy, Maktabah Syamilah, TT). J. 2,, h. 208 14 Menurut Abu Daud, sesungguhnya ‘Aisyah berkata kepada ‘Urwah bin Zubir bin ‘awwam, sedangkan ‘Aisyah adalah bibiknya Urwah bin Zubir. Lihat dalam: Abdul Muhsin al’Ubad, Syarah Sunan Abu Daud,(Maktabah Syamilah), J. 12, h.106.

77 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan dan bermalam).15 Rasululullah tiap hari menjenguk setiap isterinya bukan untuk berjima’, tetapi untuk bermesra (hanya untuk isteri yang memiliki jatah hari dan malam yang mungkin untuk berjima’). Dan sungguh Saudah telah berkata ketika merasa tua dirinya dan khawatir ditinggalkan Rasulullah, “ Wahai Rasulullah ! Jatah hari untuk ku telah aku berikan untuk ‘Aisyah.” Maka Rasulullah menerimanya, lalu kata ‘Aisyah, kami berkata “ Allah telah menurunkan ayat tentang masalah demikian dan yang serupa dengan demikian” yaitu, artinya “Dan jika seorang perempuan takut akan Nusyuzd suaminya”. Hadits di atas, sebagaimana kita rujuk kepada Syarah ‘Abdu al-Hasan al’Ubad dalam kitab Syarah Sunan abu Daud, sangat jelas menunjukkan tentang bagaimana kisah seorang isteri yang takut terhadap tindakan Nusyuzd dari seorang suaminya. Penggalan ayat yang terdapat dalam hadist itu, diungkapkan oleh siti ‘Aisyah. Kalau hadist ini dianalisis dengan ilmu musthalah hadist, hadist ini tergolong ke dalam hadist “ Marfu’16, Dengan demikian, maka dapat disimpulkan istilah Nusyuzd tidak asing dalam hadits. Dalam hadist yang lain juga ditemukan istilah Nusyuzd, seperti hadist di bawah ini.

‫أخربنا أبو علي الروذباري أنا أبو بكر بن داسه نا أبو داود نا موسى بن إمساعيل نا محاد عن‬ ‫ فإن خفتم‬: ‫علي بن زيد عن أيب حرة الرقاشي عن عمه أن النيب صلى اهلل عليه و سلم قال‬ 17 ‫نشوزهن فاهجروهن يف املضاجع‬

Artinya: Telah memberi tahu kepada kami oleh Ali ar-Ruzabary, telah memberi tahu kepada kami oleh Abu Bakar bin Dasih, telah memberi tahu kepada kami oleh Abu Daud, telah memberitahu kepada kami Musa bin Ismail, telah memberi tahu kepada kami Hammad dari Ali bin zaid dari abu Hurrah arraqasyi dari Pamannya “ bahwa sungguh Nabi Muhammad Saw bersabda : artinya : maka jika kalian takut akan Nusyuzdnya perempuan-perempuan kalian, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidur”. Hadist di atas terdapat dalam kitab Sunan al-Baihaqiy al-Kubra, dalam hadist tersebut Nusyuzd dipakai untuk tindakan isteri yang tidak menjalankan 15 Setiap satu orang isteri Rasullullah memberikan waktu satu hari dan satu malam, yang diberikan secara bergilir. Meskipun demikian, pada hari itu, Rasulullah tetap menjenguk setiap isterinya yang lain untuk membuat mereka senang dan memperhatikan kondisi mereka, tetapi tidak untuk berjima’. Lihat dalam: Abdul Muhsin al’Ubad, Syarah Sunan Abu Daud,Maktabah Syamilah, J. 12, h. 106 16 Hadist marfu’ adalah hadist yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa ucapan, perbuatan atau pengakuan. Yang menyandarkannya baik Sahabat atau lainnya. Lihat, Fatchur Ramhan, Ikhtishar Musthalah Hadits, (Bandung : Almaarif, 1974), h. 160. 17 Ahmad bin Husain Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqiy, Sunan al-Baihaqiy al-kubra, (Mekkah : Matbaa Darl Baaz, 1994). J. 3, h. 303

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 78

Jurnal Al-Mizan tugasnya sebagai isteri. Fungsi isteri disamping sebagai ibu dalam rumah tangga juga mengurus hak-hak suami. C. Konsep Nusyuzd menurut Fiqh Sebelum memulai pembahasan, penulis menuliskan sebuah kaidah umum sebagai gambaran relasi suami dan isteri dalam Islam.

‫ وهي تلتزم‬،‫ فلها مثل ما له وعليها مثل ما عليه‬،‫إن املرأة تساوي الرجل يف احلقوق والواجبات‬ ‫ وكل حق‬،‫ فكل حق هلا على الرجل يقابله واجب عليها للرجل‬،‫للرجل مبا يقابل التزاماته هلا‬ 18 .‫للرجل عليها يقابله واجب على الرجل هلا‬

Artinya: Sesungguhnya perempuan menyamai laki –laki pada segala hak dan kewajiban, maka bagi isteri ada hak dari suami dan bagi suami ada hak dari isteri, demikian juga dalam masalah kewajiban. Maka setiap hak isteri menjadi kewajiban bagi pihak suami dan setiap hak suami mejadi kewajiban isteri. Dari ungkapan qaidah di atas menunjukkan bahwa tidak dapat dibayangkan apabila ada hak isteri tetapi bukan merupakan kewajiban suami begitu pula sebaliknya. 1. Konsep Nusyuzd menurut para Ulama Masalah Nusyuzd merupakan salah satu masalah yang banyak dibahas oleh para ulama. Hampir setiap membahas fiqh munakahat obyekNusyuzd merupakan aspek yang tidak pernah dilupakan, baik oleh ulama klasik maupun ulama kontemporer. Mayoritas ulama fiqh menulis fiqh karena dorongan fakta lapangan. Faktalah yang mengusik intelektual mereka, sehingga terinspirasi untuk mengungkap sisi ilmiyahnya terhadap fakta yang berkembang. Biasanya setelah fakta itu berakhir, berakhirlah keampuhan suatu teori yang di dalamnya tidak terkecuali teori fiqh tentang Nusyuzd. Berikut akan penulis beberapa konsep Nusyuzd yang telah diformulasikan oleh para ulama. a. Nusyuzd menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaily dalam Kitab al-Fiqh alIslam wa adillatuhu.

‫ معصيتها اياه فيماجيب عليها وكراهة كل من الزوجني صاحبه واخلروج من املنزل بغري‬: ‫والنشوز‬ 19 .‫اذن الزوج ال ايل القاضي لطلب احلق‬

Artinya : Nusyuzd adalah tindakan pembangkangan seorang isteri terhadap suami dalam melaksanakan kewajibannya untuk suami, dan keengganan 18 Abdul qadir Audah, at-Tasyri’ al-janaa’iy al-Islami Muqaranan bi alQanun al-Wadh’iy, Maktabah Syamilah, Darl Kutub al-Imiyyah. J. 1,h. 29 19 Wahbah az-Zuhaily, al-Fqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus-Suriah: Darl Fikri Al-Mu’ashirah, 2004), h. 6855.

79 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan kedua belah pihak (suami-Isteri) terhadap pasangannya, dan keluar rumah tanpa izin suami, bukan untuk pergi ke tempat qadhi untuk mencari keadilan atau kebenaran. b. Nusyuzd menurut Imam Nawawy20 dalam kitab Syarah al-Muhazzab.

‫فإذا ظهر من الزوج النشوز بأن منعها ما جيب هلا من نفقة وكسوة وقسم وغري ذلك أسكنها‬ 21 ،‫احلاكم إىل جنب ثقة عدل ليستوىف هلا حقها‬

Artinya: Apabila muncul dari suami Nusyuzd yaitu enggan memberi nafaqah (makanan, pakaian, qismun dan lain-lain) yang wajib untuk isteri, niscaya hendaklah hakim menenpatkan Isteri laki-laki itu dalam pengawasan seseorang yang adil dan terpercaya.... Dari ungkapan Imam Nawawy di atas, terlihat bawha beliau cenderung mengunakan istilah Nusyuzd hanya untuk istri, tetapi beliau juga mengunakannya untuk suami. c. Nusyuzd menurut Syaikh zainuddin al-Malibary dalam Kitabnya Fathul Mu’in. 22

‫وليس من النشوز شتمه وإيذاؤه باللسان وإن استحقت التأديب‬

Artinya: Tidak termasuk Nusyuzd tindakan isteri mencerca suami dan menyakiti suami dengan kata-kata, meskipun isteri memiliki hak mendapatkan pendidikan dari suami(suami menjadi pendidik bagi isteri). Pernyataan Syaikh zainuddin al-Malibary di atas menunjukkan bahwa tidak semua bentuk pembangkangan isteri termasuk dalam kategori Nusyuzd. Yang menyebabkanNusyuzdhanyaapabilaisteritidakmenunaikanh ak-haknya suami yang bersifat khusus.23Adapunhak-hak yang bersifatumum, sepertilemah-lembutdalamberbicara, atauberdebatdengansuamibukantentang masalahhakkhususbagi suami,mencercasuamibukanmerupakantindakanNusy uzd. d. Nusyuzd dalam Fiqh mazhab Imam Ahmad bin Hambal

‫وإن خافت امرأة نشوز زوجها وإعراضه عنها لكرب أو غريه فوضعت عنه بعض حقوقها أو كلها‬ 20

Nawawy

Nama Lengkapanya adalah Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-

21 Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawy, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, J. 16, h. 453 22 Zainuddin bin Abdul Azizi al-Malibary, Fathul Mu’in, (Beirut : Darl Fikri, Maktabah Syamilah, T.T), J. 4, h. 83 23 Hak-hak suami yang khusus, seperti istimta’, jima’, tetap di rumah atau tidak keluar rumah tanpa izin suami (kalau rumah milik suami). Adapun hak memperoleh sapaan yang santun dan indah bukan hak khusus suami yang dapat menyebabkan isteri menjadi nusyuzd kalau isteri tidak menunaikannya.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 80

Jurnal Al-Mizan 24

.‫تسرتضيه بذلك جاز وإن شاءت رجعت يف ذلك يف املستقبل ال املاضي‬

Artinya : dan jika seorang perempuan takut terhadap Nusyuzd suaminya dan berpaling darinya karena sudah tua atau lainnya, kemudian dia menyerahkan sebagian haknya atau semuanya untuk mencari ridha dengan itu, niscya boleh. Kalau suatu waktu dia ingin ruju’ untuk masa yang akan datang, tidak untuk masa yang lalu. Konsep Nusyuzd dalam fiqh, memiliki dasar pemikiran untuk mengembangkan konsep Nusyuzd yang tidak hanya women oriented, tetapi juga balanced between men and women. Ketika membahas problema Nusyuzd idealnya bukan hanya dipandang sebagai masalah isteri, namun juga merupakan masalah suami. Tindakan-tindakan Nusyuzd yang dilakukan oleh suami juga harus sering dikemukakan, supaya ada keseimbangan informasi yang akan berakhir lahirnya paradigma Nusyuzd yang berimbang. Karena perilaku merupakan bentukan dari cara berpikir. Ketika cara berpikir keliru, maka akan melahirkan tindakan yang keliru. e. Dalam pandangan Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin 25

.،‫ ويكون من الزوجة‬،‫والنشوز يكون من الزوج‬

Artinya : dan Nusyuzd itu terjadi dari pihak suami dan dari pihak isteri. Al-Utsamin dalam kitabnya mengatakan bahwa Nusyuzd terjadi dari pihak Isteri dan juga suami, beliau secara jelas merujuk ke surat an-Nisa ayat 34 dan surat an-nisa ayat 128. Namun dalam menguraikan masalah Nusyuzd secara detail, tetap saja terjebak dalam formulasi yang terkesan Nusyuzd hanya untuk pihak isteri. Karena beliau hanya mencontohkan tindakan-tindakan Nusyuzd penyebabnya adalah isteri. Dan hanya tata cara mengajarkan isteri Nusyuzd. Adapun pembahasan Nusyuzd suami, apa saja tindakan suami yang dianggap Nusyuzd tidak dijelaskan. Dalam kitab fiqh Mazhab Hambali seperti, al-Kafifi Fiqh alHambly,26Ibnu Qudamah membagi Nusyuzd secara kategoris yaitu Nusyuzd dari pihak isteri dan Nusyuzd dari Pihak suami. Pembahasannya ikut menyertakan contoh-contoh, tetapi masih terbatas. Dalam pembahasannya juga tidak menjelaskan konsekswensi hukum akibat nusyuz yang terjadi di pihak suami. Berbeda dengan Nusyuzd dari pihak isteri yang jelas konsekwensinya berupa 24 Syarafuddin Musa bin Ahmad bin Musa Abu an-Naja al-Hajawy, al-Iqna’ fi Fiqh Ahmad Ibnu Hambal, (Beirut : Darl Ma’rifah, tt), J. 3, h. 252. 25 Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, as-Syarah al-Mumti’ ‘ala Zaadi al-Mustaqni’, Maktabah Syamilah, T.T., J. 12, h. 166 26 Abdullah Ibnu Qudamah al-Muqaddasy, al-Kaafi fi Fiqh al-Hambaly, Makatabah Syamilah, T.T., J.3, h. 92

81 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan tidak mendapatkan nafkah. 2. Bentuk-bentuk perbuatan yang dianggap “Nusyuzd” menurut Fqih Para ulama, baik klasik maupun kontemporer telah banyak menulis tentang masalah “Nusyuzd” baik secara khusus atau nebeng dalam pembahasan lain. Secara umum beberapa pendapat ulama klasik tentang Nusyuzd, contohcontohnya masih tradisional. Ini dapat dimaklumi karena kondisi sosial dan budaya masa itu yang cenderung tidak terbuka seperti sekarang ini. Menggunakan konsep “Nusyuzd” klasik dalam dunia modern sekarang dapat menuai masalah, karena cenderung mengasingkan kedudukan wanita. Karena budaya interaksi yang semakin terbuka. Para ulama klasik sering memberikan contoh tindakan yang dapat menyebabkan“Nusyuzd” yaitu keluar rumah tanpa izin dan enggan berjima’.27 Isteri diperintahkan untuk taat kepada suami. Wujud taat isteri kepada suami biasanya diformulasikan dalam tiga bentuk yaitu : 1), menetap di rumah suami yang telah disediakan untuknya, 2) menjunjung tinggi perintah suami kecuali pada hal yang dianggap telah dilarang oleh Allah, 3) menetap di rumah dan tidak keluar kecuali dengan izin suami, dan 4) hendaknya tidak mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya tanpa izin suami.28 Secara lebih detail, berikut akan kami sebutkan beberapa bentuk tindakan istri terhadap suami yang dianggap Nusyuzd menurut fiqh 1. Enggan melakukan istimta’29

‫وج لِغَ ِْي عُ ْذ ٍر‬ ٍ ‫وز ) َك َمْن ِع َتَتُّ ٍع َو ُخ ُر‬ ٌ ‫َّق نُ ُش‬ َ ‫( فَِإ ْن َتَق‬

30

Artinya : maka jika telah pasti Nusyuzd seperti tidak mau bermesra-mesra dan keluar rumah bukan karena ada keperluan. Keengganan bermesra-mesra dengan suami dapat menyebakan Nusyuzd, apabila keengganan tersebut tidak ada alasan yang syar’i. Keluar rumah tanpa izin suami.31 27 Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfat al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, Mkatabah Syamilah, J. 32, h. 58 28 Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, al-Ahwal as-Sykhshiyyah fi as-syari’at al-Islamiyyah, 9Beirut : Al-Maktabah Al’ilmiyyah, 2007), h. 123. 29 Istimta’atau tamattu’ adalah bersenang-senang dalam waktu yang agak lama. Dapat pula dilihat dalam Qamus Al-Munjid. (Beirut: Darl Masyriq. 2003) 30 bnu Hajar al-Haitamy, Tuhfatul Muhtaj Fi Syarhi al-Minhaji, Maktabah Syamilah, T.T, j. 32, h. 58 31 Terkait masalah keluar rumah tanpa izin, terdapat dua pendapat. Pertama : meskipun rumah yang didiami itu milik isteri atau milik ayahnya isteri, apalagi kalau rumah itu miliknya suami. Semua itu dapat menyebabkan nusyuzd. Kedua, tidak dikatakan nusyuzd kalau rumah yang didiami itu bukan miliknya isteri atau bapaknya isteri.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 82

Jurnal Al-Mizan

ِ ‫ ولَو بِبـيتِها أَو بـي‬، ‫ ِمن الْمح ِّل الَّ ِذي ر ِضي بِِإقَامتِها فِ ِيه‬: ‫الُروج ِمن بـيتِ ِه ) أَي‬ ‫ت أَبِ َيها َك َما‬ َْ ْ َ َْ ْ َ َْ ْ ُ ُ ْ ‫( َو‬ ََ َ َ ََ ْ ْ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ‫صيَا ٌن‬ َ ‫ َوإِ ْن َكا َن َغائبًا بِتـَْفصيله ْالِت ( بِ َل إ ْذن ) مْنهُ َوَل ظَ ِّن ِر‬، ‫ َولَ ْو لعبَ َادة‬، ‫ُه َو ظَاهٌر‬ ْ ‫ضاهُ ع‬ ِ ‫الَْب‬ ‫س ِف ُم َقابـَلَ ِة الْ ُم َؤ ِن‬ ْ ‫وز ) إ ْذ لَهُ َعلَيـَْها َح ُّق‬ ٌ ‫َو ( نُ ُش‬ 32

Artinya : Dan keluar dari rumah (tempat yang diizinkan suami untuk ditempati, meskipun rumah milik isterinya atau rumah bapaknya isteri, meskipun untuk ibadah, meskipun suaminya tidak ada di tempat dengan tanpa izin suami dan tidak ada asumsi izin, niscaya dia dapat dianggap berbuat maksiat dan Nusyuzd, karena hak kekang isteri di rumah merupakan konsekwensi terhadap kewajiban nafaqah terhadap suami. 2. Enggan ikut suami dalam bermusafir 33

.‫وامتناعها من السفر مع الزوج نشوز ما مل تكن معذورة مبرض وحنوه‬

Artinya : dan enggannya isteri untuk bermusafir bersama suami merupakan tindakan Nusyuzd, selama tidak ada “ uzur” seperti sakit atau seumpamanya.

ِ ِ ‫ُّشوِز أَي‬ ِ ِ ‫ لَ ِكن بِ َشر ِطٌ أَم ِن الطَّ ِر ِيق والْم ْق‬.... ، ‫الس َف ِر معه‬ .‫ص ِد‬ ً ْ ُ ‫َوم ْن الن‬ ْ ْ ْ ُ َ َ َّ ‫ضا ْامتنَاعُ َها م ْن‬ َ َ

34

Artinya : dan sebahagian dari Nusyuzd pula, enggannya isteri bermusafir ....tetapi dengan syarat terjamin aman dalam perjalanan dan juga tempat tujuan. 3. Melakukan ihram untuk haji atau umrah tanpa izin suami 35

.) ‫وز‬ ٌ ‫ أ َْو ُمطْلَ ًقا ( بِ َل إ ْذ ٍن ) ِمْنهُ ( نُ ُش‬، ) ‫ أ َْو عُ ْمَرٍة‬، ‫َوإِ ْحَر ُام َها ِبَ ٍّج‬

Dalam Mazhab –mazhab yang lain juga sama, seperti dalam mazhab Maliki, contoh-contoh tindakan Nusyuzd juga masih bersifat women oriented. 36

‫من موانع النفقة النشوز ومنع الوطء واالستمتاع نشوز واخلروج بغري إذنه نشوز‬

Artinya: sebahagain dari yang menghalang nafkah adalah Nusyuzd, tidak mau diwatha’ Nusyuzd, tidak mau istimta’ Nusyuzd, keluar tanpa izin Nusyuzd.

‫يعين أن املرأة إذا خرجت من حمل طاعة زوجها بغري إذنه ومل يقدر على عودها إىل حمل طاعته‬ Tuhfatu al-Muhtaj, h. 460 Ibnu Syihabuddin ar-Ramly (dikenal juga dengan Syafi’i Shaghir), Nihayatu al-Muhtaji, Beirut: Darl Fikri, 1984, J. 6, h. 387 34 Ibnu Syihabuddin ar-Ramly,Nihayatu al-Muhtaji, ...J. 35, h. 461 35 Tuhfatu al-Muhtaj, J. 35, h. 487 36 Muhammad bin Yusuf bin Abi Qasim, al-‘Abdary, at-Taaju wal-Iklilu, Beirut : Darl Fikri, 1938, J.4, h. 188. 32 33

83 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan 37

.‫ال بنفسه وال باحلاكم فإن ذلك يكون أشد النشوز فتسقط به نفقتها وتستحق حينئذ التعزير‬

Artinya : yakni, bahwa sungguh perempuan apabila keluar dari tempat taat suaminya tanpa izin suami, dan tidak sanggup kembali kepada tempat suami baik sendiri atau dengan perantara hakim, maka sesungguhnya yang demikian itu, merupakan Nusyuzd yang paling tinggi, niscya dapat menggugurkan nafkahnya dan berhak diberikan ta’zir. D. Konsep Nusyuzd dalam Kompilasi Hukum Islam 1. Formulasi Konsep relasi suami dan isteri dalam KHI Buku kompilasi hukum Islam merupakan buku pedoman yang diperuntukkan untuk instansi dan masyarakat dalam menyelesaikan hukum perkawinan, perwakafan dan kewarisan, maka isi buku Kompilasi Hukum Islam hanya terbatas pada tiga masalah di atas. Adapun masalah Nusyuzd,disebutkan dalam hukum perkawinan pada bagian ketiga tentang kewajiban suami dan bagian keenam tentang kewajiban isteri. Istilah Nusyuzd dalam buku kompilasi hukum Islam disebut di beberapa tempat yaitu : (1), Pasal 80 ayat 7, Bagian Ketiga, Kewajiban Suami. (2), Pasal 84, ayat 1, 2,3,4,Bagian keenam, Kewajiban Isteri. Konsep relasi suami -isteri dalam kompilasi hukum Islam, sebenarnya sangat jelas, pasal-pasalnya sangat jelas, tidak ada hal yang harus dipertentangkan. Para perumus telah memikirkan kerugian-kerugian wanita seandainya KHI masih mengandung pasal-pasal yang bisa menjadi bias munculnya ketidak adilan jender. Tetapi dalam konteks Nusyuzd . Kompilasi Hukum Islam belum memuat masalah tindakan Nusyuzd yang dilakukan oleh suami. Inilah yang menurut penulis, belum nampak semangat equality antara isteri dan suami dalam rumusan Nusyuzdyang terdapat dalam Kompilasi hukum Islam. Bukan karena ada pasal yang merugikan isteri, tetapi karena tidak ada pasal tentang Nusyuzd yang dapat mengendalikan suami dari tindakan Nusyuzd. Di bawah ini Berikut ini dapat dilihat beberapa hal yang terdapat dalam KHI sebagai bukti bahwa perhatian terhadap relasi suami dan isteri dalam rumah tangga telah kuat dalam Kompilasi Hukum Islam. a. Pasal 77 ayat (1) ; Terwujudnya cita-cita sakinah, mawaddah dan rahmah menjadi kewajiban tanggung jawab bersama. b. Pasal 77 ayat (3);Penghapusan diskriminasi katagoris atas pemeliharaan dan pendidikan anak dengan asa tanggung jawab bersama. c. Pasal 77 ayat (5) ; Menghapuskan diskriminasi normatif dalam pelaksanaan 37 Al-Kharsy ala Mukhtashar saydi al-Khalil al-Maliki, Syarah Mukhtashar Khalil, Beirut : Darl Fikri, j. 4, h.. 191.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 84

Jurnal Al-Mizan hak dan kewajiban berdasarkan asas persamaan hak. - Suami atau isteri mempunyai hak yang sama untuk mengajukan gugat ke PA atas tindakan “kelalaian” (negligence) “ penolakan” (refuse) atau “ ketidakmampuan” (failure) melaksanakan kewajiban - Sama-sama berhak secara musyawarah menentukan tempat kediaman d. Pasal 79 ayat (3)Sama-sama berhak melaksanakan perbuatan hukum e. Menyeimbangkan harkat derajat suami isteri secara “fungsional” berdasar atas kodrat alamiah dan biologis dalam acuan. - Suami sebagai kepala Keluarga - Isteri sebagai Ibu rumah Tangga f. Mempunyai hak dan derajat yang sama dalam kehidupan masyarakat dalam acuan, - Sama-sama bebas aktif dalam kehidupan bermasyarakat, - Sama berhak mengembangkan profesi dan karier 2. Tindakan -tindakan isteri yang dianggap “Nusyuzd” menurut KHI. Dalam pasal 84 ayat (1), Bagian Keenam tentang kewajiban isteri disebutkan: isteri dapat dianggap Nusyuzd jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. Sedangkan Pasal 83 ayat (1) disebutkan: kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Selanjutnya dalam pasal 84 ayat (4), disebutkan: ketentuan tentang ada atau tidak adanya Nusyuzd dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. Dari pasal-pasal yang membahas mengenai Nusyuzd belum ada istilah Nusyuzd yang dipakai untuk tindakan yang dilakukan oleh suami. Maka menurut penulis, formulasi Nusyuzd dalam Buku kompilasi hukum Islam masih menganut women oriented. Berkaitan dengan buku KIH (kompilasi Hukum Islam ). Buku ini, bukan merupakan karya yang sudah final, tetapi masih merupakan langkah awal. Oleh karena itu, sangat dimaklumi KHI masih banyak kekurangan dan kelemahannyayang masih membutuhkan masukan. Bahkan beberapa orang yang terlibat langsung dalam perumusan KHI., tetap menyatakannnya sebagai langkah awal, seperti Prof. Dr. Muslim Ibrahim yang menyatakan,“adanya pasal seludupan dalam KHI”.38 Senada dengan itu juga dikemukan oleh Yahya Harahap, salah seorang peserta yang juga terlibat langsung dalam proses 38 Pernyataan ini penulis dengar ketika mengikuti kuliah bersama Prof. Muslim Ibrahim tahun 2013, di kelas Program Doktor Fiqh Modern, Pps UIN Ar-Raniry, hari Jum’at setelah ashar.. Pasal seludupan yang disebutkan oleh Prof. Muslem Ibrahim, bukanlah pasal-pasal tentang nusyuzd, melainkan satu pasal tentang masalah kewarisan.

85 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan perumusan KHI. Beliau menyatakan bahwa KHI dengan serba kekurangan dan ketidaksempurnaan merupakan langkah awal, karena pengkaji dan perumusnya adalah manusia, maka mesti dijadikan sebagai warisan generasi sekarang untuk ditingkatkan.39 E. Penutup Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis menyimpulkan 2 (dua) hal: Pertama, Konsep Nusyuzd yang terdapat dalam Nash (Al-Quran dan Hadist) memiliki keseimbangan, dimana istilah Nusyuzd bukan hanya dipakai untuk tindakan isteri, tetapi juga disebutkan sebagai nama bagi tindakan dari pihak suami.Adapun konsep Nusyuzd dalam kitab fikih masih terkesan bahwa tidak ada Nusyuzd dari pihak suami, karena sangat terbatas pembahasannya dan amat sedikit contoh-contoh tindakan suami yang dapat dinyatakan Nusyuzdbahkan jarang diberikan identifikasi. Sedangkan dalam Buku KHI (Kompilasi Hukum Islam) tidak ada pasal yang menerangkan tentang Nusyuzd dari pihak suami, Nusyuzd dalam Kompilasi Hukum Islam identik dengan tindakan isteri semata. Kedua, sekarang ini, perlu memperluas konsep Nusyuzd, agar konsep Nusyuzd tidak terkesan timpang dan tidak berimbang. Disamping itu juga mebutuhkan gagasan baru untuk formulasi konsep baru tentang pelanggaran yang dilakukan suami terhadap kewajiban-kewajibannya. Misalnya kalau suami tidak melakukan tanggung jawabnya, apa yang bisa dilakukan oleh wanita sebelum perkara disampaikan ke pengadilan. Apakah isteri boleh menghentikan khidmatnya untuk suami. Apakah isteri dapat dikatakan Nusyuzd kalau tidak memberikan hak suami karena membalas kewajiban suami yang tidak dituntaskan. Semua ini merupakan persoalan yang masih membutuhkan jawaban dan penjelasan yang lebih konkrit. Akhirnya kepada semua pembaca, penulis mengharapkan kritikan dan masukan demi kesempurnaan tulisan ini. Wallahu a’lam bis Shawab.

39 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradailan Agama, UU No. 7 Tahun 1989. (Jakarta : Sinar Grafika, 2007). h. 54.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 86

Jurnal Al-Mizan DAFTAR RUJUKAN Al-Quran dan Terjemahnya, Diponegoro. Buku Kompilasi Hukum Islam (KHI), Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Arvin sharma (Editor), Perempuan dalam agama-agama dunia, Terj. Direktorat Peguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI, keja sama dengan CIDA-McGill, Jakarta, 2002. Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Bogor : Ghalia Indonesia, 2010 Wahbah Zuhaily, Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats as-Sajatany, Sunan Abu Daud, Beirut : Darl kitab al’Arabiy, Maktabah Syamilah Abdul Muhsin al’Ubad, Syarah Sunan Abu Daud,Maktabah Syamilah Fatchur Ramhan, Ikhtishar Musthalah Hadits, Bandung : Almaarif, 1974. Ahmad bin Husain Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqiy, Sunan al-Baihaqiy al-kubra, Mekkah : Matbaha Darl Baaz, 1994. J. 3, Hlm 303 Abdul qadir Audah, at-Tasyri’ al-janaa’iy al-Islami Muqaranan bi alQanun al-Wadh’iy, Maktabah Syamilah, Darl Kutub al-Imiyyah. J. 1, Hlm. 29 Wahbah az-Zuhaily, al-Fqh al-Islam Wa Adillatuhu, Damaskus-Suriah: Darl fikri al-mu’ashirah, 2004, Hlm. 6855 Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawy, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah. Zainuddin bin Abdul Azizi al-Malibary, Fathul Mu’in, Beirut : Darl Fikri, Maktabah Syamilah, T.T, Syarafuddin Musa bin Ahmad bin Musa Abu an-Naja al-Hajawy, al-Iqna’ fi Fiqh Ahmad Ibnu Hambal, Beirut : Darl Ma’rifah. Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, as-Syarah al-Mumti’ ‘ala Zaadi al-Mustaqni’, Maktabah Syamilah, T.T. Abdullah Ibnu Qudamah al-Muqaddasy, al-Kaafi fi Fiqh al-Hambaly,

87 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Makatabah Syamilah, T.T. Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfat al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, Mkatabah Syamilah. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, al-Ahwal as-Sykhshiyyah fi assyari’at al-Islamiyyah, Beirut : al-maktabah al’ilmiyyah. Lois ma’luf, qamus al-munjid. Beirut: DarlMasyriq. 2003 Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhafatul Muhtaj Fi Syarhi al-Minhaji, Maktabah Syamilah, T.T. Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, Beirut : Darl-fikri, maktabah syamilah, T.T. Ibnu Syihabuddin ar-Ramly (dikenal juga dengan Syafi’i Shaghir), Nihayatu al-Muhtaji, Beirut: Darl Fikri, 1984. Muhammad bin Yusuf bin Abi Qasim, al-‘Abdary, at-Taaju wal-Iklilu, Beirut: Darl Fikri, 1938. Al-Kharsy ala Mukhtashar saydi al-Khalil al-Maliki, Syarah Mukhtashar Khalil, Beirut : Darl Fikri. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989. Jakarta : Sinar Grafika, 2007.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 88

Jurnal Al-Mizan PERUMUSAN HARTA BERSAMA (Analisis Fiqh Dan Perundang-Undangan Di Indonesia) Oleh: Tgk. Safriadi, MA AbstraK This study raised about the formulation of the Joint Property (Fiqh Analysis and Legislation in Indonesia). In this study, the authors use the research library (library research), and data collection is done by reviewing books and books of fiqh as well as the laws and regulations in force in Indonesia as a primary ingredient, and other books related to the discussion of this research as a material secondary, so this pattern qualitative form. In addition, analysis by the writer is descriptive analysis. From the results of this study concluded that the formulation of the treasure found together in marriage law in Indonesia is one manifestation of a new formulation of the legal character of Indonesia. Institutionalization allegedly as a reflection responsive to the laws of life in the midst of Indonesian society (al-Adat alMuhakkamat). The formulation of joint property in fiqh can be known through analogy into shirkah Amlak. This is based on several reasons, the first is that no form through contract. Secondly when there is a desire to share the treasure union, then divided equally between the unionized. In addition, the lack of capital in the incorporation of the property will be divided. According to the Indonesian marriage law, that property generated during the marriage become the joint property of husband and wife. Marriage law also does not provide a concrete explanation of the division of joint property if the marriage broke up, either because of divorce divorce, contested divorce or one dies. In the case of marriages break up because divorce is only determined that the joint property is set according to its own laws. While the definition of the respective legal explanation is that the religious law, customary laws, and other laws. This means that any applicable law is in accordance with the agreement of the parties concerned. It is given that in Indonesia there are various family system affects the joint property ownership Key Word; Joint Property, Fiqh, Regulation

89 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan

A. Pendahuluan Menentukan status pemilikan harta bersama selama perkawinan itu penting untuk memperoleh kejelasan bagaimana kedudukan harta itu jika terjadi kematian salah satu suami istri atau jika terjadi perceraian.1Namun untuk menentukan status harta bersama dalam perkawinan perlu kajian yang mendalam karena persoalan ini masih terdapat kesimpangsiuran, menurut fiqh disatu sisi dan menurut hukum perkawinan Indonesia disisi yang lain. Dalam hukum perkawinan Indonesia,2 menganut azas bahwa kedudukan suami isteri adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup di masyarakat.3Sebagai perwujudan azas keseimbangan ini, masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum4. Lebih dari itu ditentukan bahwa harta benda5 yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Jika suami atau istri membawa harta ke dalam perkawinan, atau dalam perkawinan itu masing-masing memperoleh harta karena hadiah atau warisan, maka harta tersebut menjadi milik masingmasing, kecuali jika ditentukan untuk dijadikan harta bersama. Terhadap harta bersama ini baik suami maupun istri dapat mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya atas harta masing-masing.6 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), harta benda dalam perkawinan ini mendapatkan perhatian yang besar dan lebih lengkap. Harta benda dalam perkawinan tertuang dalam bab XIII pasal 85-97, disamping pasal-pasal lain yang terkait. Peraturan harta perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam ini pada prinsipnya tidak berbeda dengan apa yang tercantum dalam Undangundang perkawinan. Harta bersama menurut KHI meliputi benda-benda berwujud, seperti benda-benda tidak bergerak, benda bergerak, dan termasuk surat-surat berharga, dan benda-benda tidak berwujud, yang dapat berupa 1 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 3, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2010), h.112 2 Yang dimaksud dengan hukum perkawinan Indonesia adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaannya, dan petunjuk pelaksanaan yang lain, seperti petunjuk Mahkamah Agung dan petunjuk Menteri Agama. Sebagai tambahan juga termasuk Intruksi Presiden RI, Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya baca K. Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. VII, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h. 1 3 Ahmad Ichsan, Hukum perkawinan bagi yang beragama Islam, suatu tinjauan dan ulasan secara Sosiologi Hukum, cet. 1, (Jakarta: Pramida Paramita, 1986), h. 104 4 Pasal. 31 UU Nomor 1 tahun 1974 5 Benda adalah segala sesuatu yang dapat dilihat oleh orang. Subekti, Pokokpokok  Hukum Perdata, cet. ke-26 (Jakarta: Intermasa, 1994), h. 60 6 Pasal. 36 UU Nomor 1 tahun 1974

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 90

Jurnal Al-Mizan hak dan kewajiban. Juga dijelaskan tentang pembagian harta bersama jika perkawinan putus. Jika putus karena cerai mati, maka seperdua harta dari harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup. Demikian juga jika putus karena peceraian, maka masing-masing dari suami istri berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan hal lain. Meskipun harta bersama tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqh, tetapi merupakan alternative yang baik dalam penyelesaian harta-harta yang diperoleh selama perkawinan. Kebolehan harta bersama ini secara metodologis (istidlal) didasarkan atas ‘Urf dan atau maslahah. Jadi apa yang tidak pernah dibicarakan oleh fiqh, tidak bisa disimpulkan sebagai hal yang bertentangan dengan ajaran islam (syari’ah). Fiqh sendiri tidak seluruhnya mencerminkan syari’ah, karena sebagai hasil pemikiran, ia sangat dipengaruhi oleh setting social di mana fiqh itu di susun.7 Ada beberapa ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang harta suami isteri dalam perkawinan, antara lain terdapat dalam surat An Nisa ayat 32 (4: 32) yang artinya : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.8 Memang pada tataran yang sangat dasar, al-Qur’an dan Hadits tidak membicarakan harta bersama suami istri. Oleh karena itu, persoalan tersebut diserahkan kepada lembaga ijtihad atau kepada hukum adat, sejalan dengan kaidah al-Adat al-Muhkamah (kebiasaan dapat dipakai atau punya otoritas untuk menentukan hukum atau kebiasaan dipandang sebagai hukum). Oleh karena beragam pendapat tentang harta bersama suami isteri dalam perkawinan, dan tidak ditemukannya pandangan ulama terdahulu yang membahas hal ini secara spesifik, maka pembahasan masalah harta bersama suami isteri dalam perkawinna terus menjadi isu menarik. Kenyataan hari ini secara umum, harta suami isteri dalam masa perkawinan pada masyarakat Aceh khususnya berada di tangan suami, dan pembagian harta bersama pada saat terjadi perceraian sangat sulit dan rumit serta banyak menimbulkan banyak masalah. Ketidak tegasan ayat dan hadits serta tidak ditemukannya pendapat imam mazhab tentang harta bersama pada sebuah perkawinan, juga menimbulkan multi tafsir, sehingga sebagian suami tidak mengakui adanya 50 % hak istri dalam harta bersama, akibatnya banyak suami yang menguasai Nurkhairin, Kepemilikan Harta...,h. viii. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjamahnya Departemen Agama RI, Edisi Tahun 2002, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), h. 108. 7 8

91 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan harta bersama, dan tidak sedikit suami yang menghabiskan harta bersama dengan alasan bayar utang, dan ada pula suami yang mengalihkan (menjual) harta bersama dalam mas tunggu putusan pengadilan, disamping itu banyak suami yang melakukan banding terhadap putusan Mahkamah, dan banyak pula suami yang mmpertahankan dan menguasai harta bersama tanpa rasa bersalah. Meskipun pendefinisian harta bersama dalam hukum perkawinan di Indonesia telah berlangsung lama, namun pada tataran penegakan hukum di pengadilan masih membutuhkan pengkajian yang komprehensif, terutama ditinjau dari pembagian yang memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Atas latar demikian, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih luas tentang konsep harta bersama dalam tinjauan fiqh dan undang-undang. B. Konsep Harta Bersama dalam Perkawinan Menurut Fiqh Dalam ilmu fiqh, tidak  dijelaskan pembagian harta bersama setelah perceraian, karena jika terjadi perceraian atau talak, maka suami hanya diwajibkan untuk membayar mut’ah, nafaqah, biaya pengasuhan anak dan juga membayar mahar yang belum dilunasi.9 Fiqh yang menjelaskan tentang kewajiban seorang mantan suami tersebut adalah lahir di Negara Arab, Negara dimana kultur istri harus di rumah sedang suami bekerja, hal ini tentu saja berbeda dengan Negara Indonesia yang mempunyai kultur perempuan dapat bekerja dan berkarir sesuai dengan kemampuannya, dan banyak dari istri-istri yang mendapat penghasilan lebih banyak dari pada suami. Tentang harta bersama dalam Islam menurut Ismail Muhammad Syah sebagaimana dikutip oleh Yahya Harahap bahwa harta bersama suami istri seyogianya masuk dalam rub’ul mu’amalah. Tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan, menurutnya hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah orang Arab, sedang adat orang Arab tidak mengenal adanya adat mengenai pencarian bersama suami istri itu. Tetapi di sana ada dibicarakan mengenai perkongsian (syirkah).10 9 Muhammad Khatib Syarbaini, Iqna’ fi Hilli Alfa̅dhi Abi̅ Syuja̅’, Juz. II, (Indonesia: Maktabah Toha Putra, t.t), h. 177. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia harta bersama secara hukum artinya adalah harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami istri. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang dimaksud harta bersama adalah harta perolehan bersama selama bersuami istri. Lihat Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, (Jakarta: Visimedia, 2008), h. 2. 10 Syirkah menurut etimologi adalah percampuran, sedang menurut terminologi adalah jaminan hak terhadap sesuatu yang dialakukan oleh dua orang  atau lebih secara  umum, atau bisa juga dikatakan  akad yang menunjukkan hak terhadap sesuatu yang dilakukan oleh dua orang  atau lebih sesuai pandangan  umum. Dalam kitab

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 92

Jurnal Al-Mizan Perkataan syirkah dalam bahasa Indonesia sekarang itu berasal dari bahasa Arab. Seterusnya ia mengatakan, oleh karena masalah pencaraian bersama suami istri ini adalah termasuk perkongsian (syirkah). Dalam hal syirkah, ia katakan bahwa harta bersama masuk pada pembahasan  syirkah mufāwaḏah  dan abdān.11 Pada dasarnya hukum syirkah menurut Islam boleh. Kebolehan melakukan akad syirkah adalah tergantung dari macam-macam syirkah yang telah ditetapkan para ulama. Menurut Sayyid Sabiq, syirkah itu ada dua macam yakni syirkah amlāk dan syirkah uqūd.12 Hal ini juga sama dengan pendapat ulama madzab Hanafiyah syirkah ada dua yaitu syirkah amlāk dan  syirkah uqūd.  a. Syirkah Amlāk. Syirkah amlāk menurut ulama Hanafiyah adalah ungkapan kepemilikan dua orang atau lebih terhadap suatu benda tanpa adanya akad. Contoh syirkah amlāk yang secara otomatis, kepemilikan orang banyak yang didapat dari satu orang dengan cara otomatis seperti halnya perserikatan harta warisan oleh ahli waris.13 b. Syirkah Uqūd. Syirkah uqūd adalah kesepakatan dua orang atau lebih terhadap perkongsian harta benda, yang tujuannya adalah laba. Lebih lanjut Sayyid Sabiq membaginya atas empat bagian:14 1) Syirkah ‘inān. 2) Syirkah Mufāwaḏah . 3) Syirkah Abdān. 4) Syirkah Wujūh. Dalam hal  syirkah uqūd,  Sayyid Sabiq memberikan beberapa rukun sebagai hal yang harus ada dalam transaksi  syirkah ini, ia mengatakan bahwa rukun  syirkah uqūd berupa ījāb dan qabūl. Seperti “Saya beserikat denganmu dalam hal harta ini, dengan cara seperti ini, kemudian pihak serikatnya mengatakan saya terima”.15 Ini menunjukkan dalam syirkah uqūd mengharuskan adany ījāb dan qabūl di dalamnya, dan tanpa kedunya tidak sah. fiqh Madzahibul Arba’ah, syirkah  adalah perkongsian dua harta yang dilakukan seorang dengan orang lain, sehingga dalam perkongsian itu tidak dapat dibedakan lagi hartanya. Selanjutnya lihat Muhammad Abu Zahrah. Usul Fiqh. Terj. Saefullah, Cet  10, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h. 255. Dan Abd ar-Rahman al-Jazari, Fiqh Madzahibul Arba’ah, Jld.III, (Bairut: Darul Fikr, 1999). H. 50 11 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU. No. 7 Tahun 1989, Cet. V, (Jakarta: Sinar Grafika 2009), h. 270-271 12 Abd ar-Rahman al-Jazari, Fiqh Madzahibul..., h. 50 13 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jld.III, (Bairut: Al-Asriyah, 2011)  h. 111 14 Sayyid Sabiq, Fiqh.., h. 111 15 Sayyid Sabiq, Fiqh.., h. 111

93 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Dari beberapa bentuk syirkah yang telah disebutkan di atas, maka penulis hanya akan membahas tentang syirkah mufāwaḏah  dan syirkah abdān. Karena dalam masalah harta bersama para ahli hukum kontemporer menganggap bahwa syirkah mufāwaḏah  dan syirkah abdān yang dapat di-qiyas-kan kepada harta bersama suami istri. Maka, pembahasannya di khususkan kepada dua macam syirkah saja. a) Syirkah Mufāwaḏah  Syirkah mufāwaḏah  adalah kesepakatan di antara dua orang atau lebih untuk berserikat dalam hal pekerjaannya saja.16 Sedang menurut ulama hanafiyah syirkah mufāwaḏah adalah kesepakatan dua orang atau lebih terhadap  suatu pekerjaan. Dalam prakteknya menurut imam Maliki, masingmasing pihak telah menjual sebagian dari sebagian harta dari pihak lain. Kemudian masing-masing pihak mengusahakan kepada pihak lain untuk memikirkan bagian yang masih tersisah di tangannya.17 Hukum  syirkah mufāwaḏah  menurut  Imam Maliki dan juga Abu Hanifah mengatakan perbolehannya. Mereka hanya berselisih pendapat tentang adanya modal yang harus sama. Sebab menurut Abu Hanifah dalam syirkah mufāwaḏah  harus adanya kesamaan modal, sedang menurut Imam Maliki kesamaan modal adalah tidak menjadi Syarat, karena disamakan dengan dengan syirkah ‘inān.18 b). Syirkah Abdān. Syirkah abdān adalah kesepakatan dua orang untuk saling menerima pekerjaan dari bermacam-macam pekerjaan, agar upah dari pekerjaan tersebut adalah menjadi milik berdua sesuai dengan kesepakatan. Hal ini seperti dua orang pedagang saling sepakat untuk berserikat dengan pedagang lainya, seorang pandi besi berserikat kepada pandi besi yang lain, pengangkut barang berserikat dengan pengangkut yang lain atau pandi besi berserikat dengan pengangkut barang dan lain sebagainya.19 Ulama malikiyyah berpegangan pada kesamaan pembagian hasil orangorang yang menerima ghanimah. Mereka berhak memperoleh ghanimah itu hanya karena kerja. Hal ini seperti akad mudharabah, dengan demikian usaha itu dapat dijadikan dasar bagi terjadinya serikat dagang.20 Dalam hal syirkah abdān ini Imam Maliki mensyaratkan adanya pekerjaan sejenis dan tempat yang sama. Sementara itu Abu Hanifah memperbolehkan walau jenis pekerjaannya berbeda, beliau mencontohkan seperti perserikatan orang yang menyamak kulit dengan orang yang membuat Sayyid Sabiq, Fiqh.., h. 212 Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashad, Terj. Imam Ghazali Said, Ahmad Zaidun, Jld.II, Cet. 3, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 149 18 Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid..., h. 149 19 Sayyid Sabiq, Fiqh.., h. 213 20 Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid..., h. 151 16 17

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 94

Jurnal Al-Mizan sepatu. Dari uraian di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika syirkah mufāwaḏah  dan abdān dijadikan subyek qiyas bagi ketetapan hukum harta bersama. Hal-hal tersebut adalah tentang harus adanya akad yang di dalamnya ada ījāb dan qabūl dan harus adanya  modal bagi syirkah mufāwaḏah. Dalam praktek akad pernikahan yang sering di lihat, akad atau perjanjian tentang penggabungan harta tidak lah kita ketemui, jika ada maka itupun sedikit adanya. Dari situ perlu kita ingat, dalam asas hukum tentang norma-norma yang berlaku di masyarakat dapat digunakan jika norma tersebut berlaku secara umum dan menyeluruh. Maka dalam hal ini,jika sy irkah abdān dan mufāwaḏah dijadikan sandaran hukum  perserikatan harta dalam pernikahan, maka dapat di simpulkan yang melakukan akad serikat sangatlah sedikit. Dalam hal syirkah sebagai landasan ketetapan hukum perserikatan harta bersama, adalah syirkah amlāk, sebagaimana yang diungkapkan di atas tentang syirkah amlāk. Bahwa syirkah amlāk adalah perserikatan dua orang atau lebih dengan tanpa adanya akad, baik terjalinnya syirkah itu melalui usaha (ikhtiyārī) atau pun dangan tanpa usaha (ijbārī), sebagaiamana dijelaskan di atas bahwasyirkah ini dicontohkan seperti halnya konsep waris, dimana antara ahli waris satu dan yang lain berserikat terhadap harta waris pewaris yang belum dibagi (bentuk ijbārī), dan dua orang atau lebih yang mendapat hadiah karena ikut lomba dimana mereka memperolehnya atas usaha semua pihak. Menurut hemat penulis, dalam syirkah amlāk dan praktek harta bersama dalam perkawinan terdapat beberapa kesamaan. Pertama adalah bentuk peserikatannya yang tidak dengan melalui akad. Kedua ketika ada keinginan untuk membagi harta perserikatan, maka dibagi rata antara orang yang berserikat. Selain itu, tidak adanya modal dalam penggabungan harta yang akan dibagi. Maka pantas jika perserikatan harta bersama dianalogikan kepada syirkah amlāk.  KH. Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat mengatakan, harta bersama dapat disamakan atau digolongkan ke dalam harta syirkah, yaitu harta yang terkumpul selama menikah harus dibagi secara proporsional jika terjadi perceraian. Harta bersama dapat di-qiyas-kan dengan syirkah karena dipahami istri juga dapat dihitung sebagai pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Maksudnya, istri yang bekerja dalam pengertian mengurus rumah tangga, seperti memasak, mencuci pakaian, mengasuh anak, membereskan rumah tangga, dan pekerjaan domestik lainnya, juga dianggap sebagai aktivitas kerja

95 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan yang peranannya tidak bisa dipandang sebelah mata21. Jika kita mengikuti definisi yang dikemukakan oleh Taqiyuddin An- Nabhani dalam kitab al-Nizham al-Iqtisha̅di fi Al-Islam, syirkah mufawadhah adalah suatu bentuk perkongsian dua belah pihak yang melakukan kegiatan usaha, sedangkan pihak ketiga sebagai pemodal. Sedangkan syirkah abda̅n adalah suatu bentuk perkongsian dua pihak atau lebih yang masing-masing anggotanya hanya melakukan kegiatan usaha, namun tidak memberikan modal.22 Dari penjelasan tersebut di atas, jika harta bersama di-qiyas-kan dengan syirkah sangatlah masuk akal karena sama-sama mengandung pengertian sebagai suatu bentuk perkongsian atau kerja sama antara suami dan istri. Hanya saja dalam konsep syirkah pada umumnya lebih bersifat bisnis atau kerja sama dalam kegiatan usaha, sedangkan syirkah dalam harta bersama sifatnya hanya kerja sama dalam membangun sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, meskipun juga meliputi hal-hal yang berkaitan dengan harta dalam perkawinan. Peng-qiyas-an antara harta bersama dengan syirkah dapat pula dipahami melalui argumentasi sebagai berikut. Bahwa persatuan atau percampuran harta kekayaan suami dan istri dapat dipahami sebagai harta kekayaan tambahan karena adanya usaha bersama antara mereka berdua. Logikanya, jika terjadi pemutusan hubungan (perceraian) di antara mereka, maka persatuan harta bersama itu harus dibagi dua. Pembagiannya bisa ditentukan atas dasar mana pihak yang lebih banyak berinvestasi dalam kerja sama itu, apakah suami atau istri. Atau juga dapat dibagai secara merata, yaitu masing-masing pihak mendapatkan sebagian. 6 Jadi dari uraian di atas, kajian tentang harta bersama dalam fiqh tidak terlepas dari pembahasan tentang konsep syirkah dalam perkawinan. Banyak Ulama yang berpendapat bahwa harta bersama termasuk dalam konsep syirkah. Mengingat konsep tentang harta bersama tidak ditemukan dalam rujukan teks Al-Quran dan Hadis, maka sesungguhnya kita dapat melakukan qiyas (perbandingan) dengan konsep fiqh yang sudah ada, yaitu tentang syirkah itu sendiri. Menurut Ismuha bahwa pencaharian bersama suami isteri dapat digolongkan dalam syirkah abdaan wa syarikah mufawadhah, yaitu perkongsian tenaga dan perkongsian tak terhingga. Hukumnya mubah menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali. Akan tetapi tidak boleh menurut menurut mazhab Syafi’i. Dalam hal ini Ismuha cenderung kepada pendapat bahwa syirkah abdaan wa syarikah mufawadhah itu boleh hukumnya. Oleh karena itu, maka pencaharian bersama suami-isteri yang disebut hareuta 21 22

Majalah Anggun, Edisi No. 22 Vol. 2, Maret 2007. Taqiyuddin Al-Nabhani, Al-Nizham al-Iqtisha̅di fi Al-Islam, (ttp:tp, tt), h. 67

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 96

Jurnal Al-Mizan sihareukat di Aceh, Harta Suarang di Minangkabau, Guna Kaya di Sunda, Druwe Gabro di Bali, Barang Berpantangan di Kalimantan, dan Ghuna Ghana di Madura adalah sah hukumnya ditinjau dari sudut hukum Islam.23 Ismuha menguraikan bahwa suami isteri mempunyai dua macam harta yaitu harta bawaan yang disebut hareuta tuha dan harta bersama yang dinamakan hareuta sihareukat itu dibagi seandainya perkawinan suami isteri terputus karena perceraian; atau salah seorang diantara keduanya meninggal dunia. Dikatakan syirkah abdaan wa syarikah mufawadhah karena memang perkongsian suami isteri dalam gono-gini itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama dalam perkawinan mereka, termasuk harta gonogini, selain dari warisan dan pemberian yang tegas-tegas dikhususkan untuk salah seorang dari kedua suami isteri itu.24 Dalam kitab fiqh memang tidak ditemukan pembahasan khusus tentang harta perkawinan, hanya saja pembahasan mengenai tentang kepemilikan mahar yang menjadi hak mutlak isteri, sebagai akibat dari perkawinan yang sah, suami berhak memberi nafkah kepada isteri sebagai kewajiban pokoknya.25 Berbeda dengan suami isteri di Indonesia sama-sama bekerja dalam mencari sandang-pangan. Hanya karena berbeda fisik, maka dalam pembagian pekerjaan antara mereka berdua, biasanya masing-masing dipilih pekerjaan yang sesuai. Kecendrungan memilih pendapat yang membolehkan perkongsian tersebut berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Semua Ulama sependapat bahwa perkongsian pada umumnya boleh hukumnya dalam syari’at Islam. Hal ini didasarkan pada hadits qudsi yang diriwayatkan Abu Daud dan al-Hakim dari Abu Hurairah: Allah berfirman, “Aku kongsi ketiga dari dua orang yang berkongsi, selama salah satu dari mereka tidak mengkhianati kongsi yang lain”. Hadits ini menunjukkan perkongsian hukumnya boleh. 2. Pada perkongsian suami istri yang disebut pencaharian bersama tidak ada penipuan, meskipun pada perkongsian lain ada kemungkinan terjadinya penipuan. Sebab perkongsian antara suami dan isteri senantiasa bercitacita dengan usaha bersama untuk mendapat income tambahan keluarga yang kemudian menjadi harta yang dapat diberikan kepada anak-anak mereka. 3. Tidak ada satu nash pun yang menunjukkan bahwa perkongsian semacam itu tidak diperbolehkan dalam Islam. Satu-satunya alasan yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyyah ialah penipuan. Alasan ini 23 Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 320 24 Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-undang..., h. 78-79 25 Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Jld. III, (Dimsyiq: Dark al-Fikr, 1989), h. 786

97 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan sudah tertolak dengan alasan poin yang kedua di atas. 4. Qaidah Ushul Fiqh “al-‘Adatu Muhakkamah” dapat berlaku di sini, karena sudah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Pencaharian bersama suami isteri merupakan adat kebiasaan yang diterima dengan baik oleh masyarakat; sedangkan nash mengenai hal ini tidak ada. Di samping itu, pencaharian bersama suami isteri tidak termasuk aspek ibadah, melainkan bidang mu’amalah, sehingga Islam membenarkan masyarakat mengatur sendiri. Ini mengacu kepada hadits riwayat Muslim dari Anas dan ‘Aisyah “kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu”. Mengenai hukum Adat, lebih jauh Ismuha menjelaskan bahwa tidak semua adat istiadat dapat menjadi hukum menurut Islam, salah satunya yaitu tidak bertentangan dengan nash, baik al-qur’an maupun hadits, karena nash adalah lebih kuat daripada adat kebiasaan. 5. Kalau ada yang mengatakan bahwa perkongsian gono-gini tidak ada sighat, maka Ismuha menyatakan ulama fiqh berpendapat bahwa sighat merupakan lafadh yang memberi pengertian izin kepada kongsinya untuk bertindak atas namanya serta sama dengan lafadh yaitu tulisan, jika sudah ada izin serupa meskipun tidak ada lafadh dianggap cukup. Menurut adat kebiasaan di Indonesia dengan terjadinya perkawinan, maka masing-masing pihak sudah memberi izin kepada pihak lainnya untuk bertindak atas namanya dalam menempuh hidup berumah tangga. Ini juga berlaku qaidah al-‘adatu muhakkamah. 6. Perubahan hukum karena perubahan suasana juga sudah pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw. dan masa sahabat, misalnya hukum potong tangan (al-Maidah:38); tetapi nabi melarang potong tangan dalam peperangan karena dikhawatirkan pencuri itu bergabung dengan musuh; begitu juga dengan larangan pemberian zakat kepada muallaf pada masa Umar ibn Khattab.26 Ismuha, agaknya sepakat bahwa sumber-sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Namun Ismuha menegaskan bahwa dalam kasus-kasus tertentu ijtihad juga diperlukan. Tentu saja ijtihad ini terikat dengan syarat-syarat yang telah ditetap oleh para ulama. Ismuha menyatakan pintu ijtihad masih terbuka bagi mereka yang memenuhi syarat yang telah ditentukan. Namun, ijtihad itu terbatas pada masalah-masalah mu’amalah yang sama sekali tidak tegas dalalah-nya. Menurut Ismuha, penutupan pintu ijtihad oleh sebahagian ulama merupakan suatu ijtihad pula yang disamping ada akibat negatif, ada juga akibat positifnya, yaitu untuk menghindari semua orang melakukan ijtihad, sesuai dengan suasana pada masa itu. Bagi mereka 26 Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-undang..., h. 320

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 98

Jurnal Al-Mizan yang sudah memenuhi syarat, berijtihad sekarang lebih mudah daripada masa lalu pada waktu hadits-hadits belum terkodifikasi.27 C. Perumusan Harta Bersama Menurut Undang-undang Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 28 Di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun dalam pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1985 maupun pasal 85 KHI, terhadap harta suami istri yang berada dalam masa ikatan perkawinan telah diberi nama “Harta bersama”. Dalam masyarakat Aceh dikenal dengan “Harta seharkat”. Dalam masyarakat Melayu dikenal dengan nama ”Harta serikat”. Dan dalam masyarakat Jawa-Madura dikenal dengan “Harta gono-gini”. Sampai sekarang penggunaan nama-nama tersebut masih mewarnai praktek peradilan.29 Sejak perkawinan dimulai, dengan sendirinya terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. Hal ini merupakan ketentuan umum apabila tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan demikian berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan berlangsung. Jika seseorang ingin menyimpang dari ketentuan tersebut maka ia harus melakukan perjanjian perkawinan. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Vollmar bahwa akibat-akibat perkawinan terhadap kekayaan dan penghasilan suami-istri tergantung dari ada atau tidak adanya perjanjian perkawinan.30 Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh suami istri selama 27 Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-undang..., h. 280 28 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjayati, Hukum Perdata Islam:Kompetensi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Waqaf, dan Shadaqah, (Bandung: Mandar Maju, 1997), h. 33 29 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 272 30 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali, 1992), h. 77

99 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama. Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan.31 Dalam hukum perkawinan Islam istri mempunyai hak nafkah yang wajib dipenuhi oleh suami. Harta yang menjadi hak istri dalam perkawinan tersebut adalah nafkah yang diperoleh dari suami untuk keperluan hidupnya. Namun apabila keperluan rumah tangga diperoleh karena usaha bersama antara suami istri, maka dengan sendirinya harta tersebut menjadi harta bersama. Besar atau kecilnya harta yang menjadi bagian masing-masing tergantung pada banyak atau sedikitnya usaha yang mereka lakukan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apabila usahanya sama-sama besar maka harta yang dimiliki dari perolehan tersebut seimbang. Akan tetapi apabila suami lebih besar usahanya daripada istri maka hak suami harus lebih besar daripada istri, begitu juga sebaliknya. Disamping berlakunya ketentuan umum di atas dapat pula dimungkinkan adanya percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami istri dalam bentuk suatu perjanjian atas usaha suami istri dengan cara suami dan dengan cara bersama.32 Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui UndangUndang dan peraturan berikut: a. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta bersama. b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 119, disebutkan bahwa “Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri”. c. Kompilasi Hukum Islam pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”. Di dalam pasal ini disebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak 31 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 109 32 Umar Said, Hukum Islam di Indonesia Tentang Perkawinan,(Surabaya: Cempaka, 2000), h. 163

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 100

Jurnal Al-Mizan menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-istri. Jadi, dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, masalah harta bersama hanya diatur secara singkat dan umum dalam Bab VII terdiri dari pasal 35 sampai pasal 37. Kemudian diperjelas oleh Kompilasi Hukum Islam dalam Bab XIII mulai dari pasal 85 sampai pasal 97. D. Penutup Perumusan harta bersama dalam fiqh dapat diketahui lewat penganalogian ke dalam syirkah amlāk. Hal ini didasari atas beberapa alasan, pertama adalah bentuk perserikatannya yang tidak dengan melalui akad. Kedua ketika ada keinginan untuk membagi harta perserikatan, maka dibagi rata antara orang yang berserikat. Selain itu, tidak adanya modal dalam penggabungan harta yang akan dibagi. Menurut hukum perkawinan Indonesia, bahwa harta yang dihasilkan selama perkawinan menjadi harta bersama suami istri. Undang-undang perkawinan juga tidak memberikan penjelasan konkrit mengenai pembagian harta bersama jika perkawinan putus, baik karena cerai talak, cerai gugat atau salah satu meninggal. Dalam hal perkawinan putus karena perceraian hanya ditentukan bahwa harta bersama diatur menurut hukumnya masingmasing. Sedangkan yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing itu dalam penjelasannya adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. Artinya hukum mana saja yang berlaku adalah sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini mengingat bahwa di Indonesia terdapat berbagai sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap kepemilikan harta bersama.

101 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 3, Banda Aceh: yayasan Pena, 2010. Abd ar-Rahman al-Jazari, Fiqh Madzahibul Arba’ah, Jld.III, Bairut: Darul Fikr, 1999. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. Ahmad Ichsan, Hukum perkawinan bagi yang beragama Islam, suatu tinjauan dan ulasan secara Sosiologi Hukum, cet. 1, Jakarta: Pramida Paramita, 1986. F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jakarta: Rajawali, 1992. Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, Jakarta: Visimedia, 2008. Rusdy, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashad, Terj. Imam Ghazali Said, Ahmad Zaidun, Jld.II, Cet. 3, Jakarta: Pustaka Amani, 2007. Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986 K. Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. VII, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000 Muhammad Abu Zahrah. Usul Fiqh. Terj. Saefullah, Cet  10, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007 Muhammad Khatib Syarbaini, Iqna’ fi Hilli Alfa̅dhi Abi̅ Syuja̅’, Juz. II, Indonesia: Maktabah Toha Putra, t.t Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jld.III, Bairut: Al-Asriyah, 2011  Subekti, Pokok-pokok  Hukum Perdata, cet. ke-26, Jakarta: Intermasa, 1994 Umar Said, Hukum Islam di Indonesia Tentang Perkawinan,Surabaya: Cempaka, 2000. Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Jld. III, Dimsyiq: Dark al-Fikr, 1989. Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 102

Jurnal Al-Mizan Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU. No. 7 Tahun 1989, Cet. V, Jakarta: Sinar Grafika 2009

103 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN DI INDONESIA Oleh: Afrizal, S.H.I, M.H.I ABSTRAK This research aims to determine the legal consequences of marriage void. This research states if the marriage does not meet thee terms of the marriage, the marriage can be canceled, as a result of the cancellation is null and void so that the marriage is deemed never happened. But not retroactive to the child; (1) children who were born still obtaining their rights, (2) treasure, treasure either congenital or property that is shared for each as well as property that should not be harm one hand, (3) against a third party does not have any legal consequences and should not be disadvantaged, and (4) of the marriage certificate is no longer valid canceled. This conclusion is within the marriage can be canceled if the marriage does not meet the requirements of marriage. Keyword: Akibat Hukum, Pembatalan, Perkawinan

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 104

Jurnal Al-Mizan

A. Pendahuluan Islam telah menetapkan hukum perkawinan untuk menjaga kehormatan dan keturunan seseorang dari perkawinan serta memelihara kesucian masyarakat. Menikah hukum asalnya adalah sunnah jika niatnya untuk memelihara diri atau ingin mempunyai keturunan1. Berdasarkan tuntunan Allah S.W.T dalam Q.S Ar-Rum ayat 21:2

ِ ِ ِِ ِ ‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَيـَْها َو َج َع َل بـَيـْنَ ُك ْم َم َوَّدةً َوَر ْحَةً إِ َّن ِف‬ ً ‫َوم ْن آيَاته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنـُْفس ُك ْم أ َْزَو‬ ِ ٍ ‫ك َلي‬ ‫ات لَِق ْوٍم يـَتـََف َّكُرو َن‬ َ َ ‫َذل‬ Artinya: Dan diantara tanda-tanda-Nya ialah Dia menciptakan kamu berpasang-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih sayang. Sungguh pada demikian itu benar-benar terdapat tandatanda(kebesaran Allah) bagi kaum berpikir” Perkawinan yang sah, menjadikan pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Dengan perkawinan yang sah memberikan keturunan yang bersih, menjadikan generasi yang sehat dan baik. Namun perkawinan tidak semuanya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Terkadang harus putus ditengah jalan dengan berbagai alasan. Di Indonesia telah diatur tentang pembatalan perkawinan dalam pasal 70 dan 71 Kompilasi Hukum Islam nomor 1 tahun 19913, suatu perkawinan apabila suami isteri yang telah melangsungkan penikahan, dalam perjalanan rumah tangganya, kemudian diketahui ada salah satu perkara yang dapat dibatalkan nikahnya, maka nikahnya dibatalkan oleh pengadilan, karena telah melanggar ketentuan hukum yaitu bertentangnya rukun dan syarat nikah. Baik yang terjadi pada akad nikah atau peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah akad nikah atau perkawinan yang semula berjalan memenuhi ketentuan hukum tetapi mengharuskan perkawinan itu dibatalkan. Maka dilihat dari segi itu, perkawinan yang sudah berlangsung tetapi tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan atau pelanggaran sesudah nikah atau pada perkawinan tersebut terdapat halangan yang tidak membenarkan perkawinan niscaya harus dibatalkan. Jadi yang menangani masalah tersebut adalah pengadilan karena menyangkut dengan hukum negara yang telah di

Syekh Ibrahim, Albajuri. Jld. II, (Semarang: Hikmah Keluarga, tt), h. 92. Mahmud Junus, Tarjamah Al-Qur’an al-Karim. Cet. 5, (Bandung: Alma’arif, 1989), h. 366. 3 Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Peradilan Agama Di Indonesia, (Medan: Perdana Publising, 2010), h. 183. 1 2

105 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan atur menurut Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan baru dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara yang dikodifikasi kedalam hukum Islam. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam Pasal 22 yang menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan dan ditegaskan dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa batalnya suatu Perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Perkawinan yang melanggar syarat-syarat formil dan materil maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan berasal dari kata dasar “batal” yang berarti tidak berlaku, tidak sah. Jika kata batal ditambah sufik pe-an menjadi kata kerja pembatalan yang berarti proses, cara, perbuatan membatalkan, pernyataan batal4. Jadi maksud pembatalan disini membatalkan suatu akad pernikahan yang telah dilakukan dengan sebab melanggar suatu ketentuan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan menurut hukum fikih dan hukum negara. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu: (1) bagaimanakah prosedur pembatalan perkawinan di pengadilan agama; (2) bagaiamanakah akibat hukum dari perkawinan yang dibatalkan (3) bagaimana kedudukan Akta buku nikah jika perkawinan itu dibatalkan. B. Tinjauan Umum Tentang Pembatalan Perkawinan 1. Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam Sehubungan dengan sahnya perkawinan, selain harus memenuhi syarat-syarat dan rukun perkawinan, perlu diperhatikan juga ketentuanketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam. Apabila dikemudian hari diketemukan penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikan ikatan perkawinan yang telah ada menjadi putus. Ini berarti bahwa perkawinan tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami isteri yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin. Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.5 Secara definitif, sulit untuk memberikan rumusan tentang pembatalan perkawinan, namun untuk sekedar memberikan 4 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia. Ed. III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 111. 5 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UUI Press, 2000), h. 85.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 106

Jurnal Al-Mizan batasan agar dipahami apa yang dimaksud pembatalan perkawinan tersebut, maka pembatalan perkawinan diartikan sebagai suatu tindakan guna memperoleh keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan batal. Fasakh disebabkan oleh dua hal6: a. Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan perkawinan. b. Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan. Di dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama, yaitu nikah yang fasid dan yang batil. Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah yang batil adalah nikah yag tidak memenuhi rukun-rukunnya. Nikah fasid dan batil hukumnya sama-sama tidak sah7. Dalam undang-undang perkawinan nikah fasid dan nikah batil dapat digunakan untuk pembatalan nikah. Dr. Ali Yusuf As-Subki menjelaskan beberapa nikah yang batil, seperti:8 a. Nikah mut’ah, merupakan pernikahan sementara yang disepakati antara dua pihak, dikenal dalam pengertian sebagian negara timur dengan nama As-Shighah. b. Nikah Asy-Syighar yaitu seorang wali yang menikahkan kewalinya seorang laki-laki dengan syarat ia menikahkannya juga sebagai kewaliannya; baik mereka menyebutkan maharnya ataupun tidak. c. Nikah Al-Muhallil, adalah seorang perempuan dicerai tiga kali (talak bai’in qubra) maka haramlah menikahnya. d. Nikah Al-Muhrim, adalah seorang laki-laki yang menikah, sedangkan ia dalam keadaan ihram untuk haji atau umrah sebelum tahallul. e. Nikah masa ‘Iddah, yaitu laki-laki yang menikahi perempuan yang masih ‘iddah baik karena perceraian maupun karena kematian. f. Nikah tanpa wali, yaitu nikah laki-laki yang menikahi perempuan tanpa izin walinya. g. Nikah dengan perempuan kafir selain ahli kitab 2. Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam. Dalam hukum Islam, suatu tindakan yang berhubungan dengan hukum taklifi maupun hukum wad’i bisa bernilai fasid dan batal. Fasid dan batal nikah pada hakikatnya adalah rusak. Dalam pasal 70, Perkawinan batal 6 Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 253. 7 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, Jld. IV, (Mesir: Dar Fikri, 1996), h. 106. 8 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 134.

107 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan apabila9: a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun, salah satu dari keempat isterinya dalam masa iddah; b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya; c. Seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 undang-undang no. 1 Tahun 1974, yaitu: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau ke atas. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang, yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya. Dalam pasal 71, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila10: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud; c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain. d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di dalam pasal 22 Undng-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan dengan tegas “Perkawinan dapat di batalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan Di dalam penjelasannya 9



Pagar. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan,..., h. 183. Pagar. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan,..., h. 183.

10

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 108

Jurnal Al-Mizan kata “dapat” dalam pasal ini bisa di artikan bisa batal atau tidak batal, bila mana menurut ketentuan agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.11 C. Prosedur Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Tata cara pengajuan permohonan pembatalan mengenai pemanggilan, pemeriksaan, dan putusannya dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian yang diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, sepanjang dapat diterapkan dalam pembatalan perkawinan. Prosedur yang harus dilakukan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu antara lain : 1. Pengajuan Gugatan Surat permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang meliputi tempat kediaman istri atau suami. Surat permohonan tersebut dibuat secara tertulis atau lisan, pemohon bisa datang sendiri atau diwakilkan kepada orang lain yang akan bertindak sebagai kuasanya Adapun alasan-alasan yang menyebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut: a. Tidak Ada Persetujuan Kedua belah pihak Persyaratan ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetukan “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Dengan adanya persetujuan kedua calon mempelai dalam suatu perkawinan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan paksa. Pernyataan atas persetujuan calon mempelai ini dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat, tetapi dapat juga berupa diam bagi wanita dalam arti selama tidak ada penolakan tegas. b. Batas Umur Perkawinan Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, perkawinan hanya diperbolehkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Tetapi pada realitanya pernikahan banyak dilakukan di bawah umur yang sudah di tentukan oleh Undang- Undang Perkawinan misalnya wanita berumur 14 tahun yang dimana itu melanggar syarat–syarat Perkawinan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. c. Izin Orang Tua Untuk melangsungkan Perkawinan seorang yang belum mencapai 11 Martiman Projohamidjojo, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publising, 2002), h. 25.

109 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua, jika kurang dari 19 Tahun diperlukan izin dari pengadilan. Izin dari orang tua sangatlah penting dalam sebuah perkawinan, karena jika tidak ada izin dari orang tua maka calon suami istri tersebut tidak dapat melakukan perkawinan, karena di dalam akta buku nikah harus dilengkapi dengan Izin dari orang tua. d. Wali Nikah Dalam hal kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin untuk melakukan sebuah perkawinan diperoleh dari Wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat kehendaknya.Wali bagi calon mempelai wanita mutlak dan harus dipenuhi jika tidak akan dapat batal demi hukum. e. Masih Terikat Dalam Perkawinan Di dalam Pasal 9 Undang-undang Perkawinan melarang seseorang yang masih terikat suatu perkawinan lain untuk kawin lagi. Pengecualian terhadap Pasal ini ada dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-undang Perkawinan. Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan memuat ketentuan mengenai izin yang diberikan oleh Pengadilan kepada suami untuk Poligami 2. Pendaftaran Perkara Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan atau permohonan. 3. Persiapan Persidangan Setelah semua tahapan dalam pendaftaran perkara selesai, Asli surat gugatan/ permohonan dimasukkan dalam sebuah map khusus dengan melampirkan tindakan pertama SKUM dan surat–surat yang berhubungan dengan gugatan/ permohonan, disampaikan kepada Wakil Panitera, untuk selanjutnya berkas tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan agama melalui Panitera. Berkas perkara diserahkan oleh panitera kepada ketua pengadilan untuk menetapkan Majelis Hakim yang akan menyidangkannya. 4. Pelaksanaaan Persidangan Berkaitan dengan tahapan-tahapan dalam persidangan. 5. Berita acara Persidangan Berita acara sidang ini merupakan akta autentik yang dibuat secara resmi oleh pejabat yang berwenang yang berisi tentang proses pelaksanaan suatu perkara dalam persidangan, sebagai dasar majelis hakim dalam membuat putusan terhadap perkara yang di adilinya. 6. Rapat PMH Setelah para pihak menyampaikan kesimpulan akhir (konklusi), maka majelis hakim bermusyawarah dalam suatu rapat yang bersifat rahasia (bisa

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 110

Jurnal Al-Mizan dalam ruang sidang atau ruang kerja). 7. Putusan Pembacaan putusan hakim harus dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Dibacakan secara bergantian antara ketua majelis hakim dan dua hakim anggotanya. 8. Pemberitahuan Isi Putusan Penggugat atau tergugat tidak hadir dalam sidang pembacaan putusan, maka panitera / panitera pengganti harus memberitahu isi putusan tersebut kepada para pihak yang tidak hadir. 9. Berlakunya Pembatalan Perkawinan Dalam hal adanya pengajuan pembatalan perkawinan oleh pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan dan permohonan itu dikabulkan oleh Pengadilan Agama, perkawinan itu batal setelah putusan Pengadilan Agama tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.12 D. Akibat Hukum Terhadap Pembatalan Perkawinan Di Indonesia Terkait dengan akibat hukum pembatalan perkawinan, kiranya perlu kita cermati permasalahan yang berkenaan dengan saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan dimuat di dalam Pasal 28 ayat (1), sebagai berikut: Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. 1. Terhadap Anak Selanjutnya permasalahan yang berkenaan dengan akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan di muat dalam Pasal 28 ayat (2), sebagai berikut: Keputusan tidak berlaku surut terhadap (1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; (2) Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; (3) Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hakhak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Wibowo Reksopradoto memberikan ulasan terhadap Pasal 28 ayat (2) sebagai berikut:13 Keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan tidak berlaku surut, sehingga dengan 12 http://ikhsan-blogs.blogspot.com/2011/11/prosedur-beracara-di-pengadilan-agama.html( diambil tgl 5 januari 2015) 13 Wibowo Reksopradoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal dan Putusnya Perkawinan, (Semarang: Iktikad Baik, 1978), h. 25-28

111 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan demikian anak-anak ini dianggap sah, meskipun salah seorang tuanya beritikad atau keduanya beritikad buruk. Dalam BW bila kedua orang tuanya beritikad baik, atau salah seorang dari orang tuanya yang beritikad baik, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibubarkan ini, disahkan. Sedangkan bagi mereka yang kedua orang tuanya beritikad buruk, maka anank-anaknya dianggap anak luar kawin, dan dianggap tidak ada perkawinan. Dalam Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 lebih adil kiranya bahwa semua anak yang dilahirkan, dalam perkawinannya yang dibatalkan, meskipun kedua orang tuanya beritikad buruk anak tersebut masih anak sah. Ini berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak-anak yang tidak berdosa, patut mendapatkan perlindungan hukum. Dan tidak seharusnya bila anak-anak yang tidak berdosa harus menanggung akibat tidak mempunyai orang tua, hanya karena kesalahan orang tuanya, dengan demikian menurut Undang-undang Nomor 1. Tahun 1974 anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum yang jelas sebagai anak sah dari kedua orang tuanya yang perkawinannya dibatalkan. 2. Terhadap Harta Harta yang diperoleh selama perkawinan, suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. Pembahasan mengenai harta yang ada pada dan sebelum perkawinan serta setelah pembatalan perkawinan merupakan masalah yang perlu mendapatkan pemahaman mendalam, karena ini salah satu hal yang menyangkut perlindungan hak dan kewajiban para pihak. Sebelum membicarakan harta kekayaan suami isteri dalam perkawinan, terlebih dahulu harus dilihat mengenai kedudukan harta orang Islam secara umum. Dalam bidang harta kekayaan seseorang dan cara penyatuan atau penggabungan harta tersebut dengan harta orang lain dikenal dengan nama syirkah atau syarikah. Di lihat dari asal-usulnya harta suami istri itu dapat digolongkan pada tiga golongan;14 1. Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum mereka skawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri atau dapat disebut harta bawaan. 2. Harta masing-masing suami isteri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperolehnya bukan dari usaha mereka baik seorang-seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan untuk masing-masing. 14

83-84

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit UI), h.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





|112

Jurnal Al-Mizan 3. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka atau disebut harta pencarian. Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat, harta itu akan berupa: 1. Harta milik bersama 2. Harta milik seseorang tetapi terikat kepada keluarga 3. Harta milik seseorang dan pemilikan dengan tegas oleh yang bersangkutan Pada dasarnya harta suami dan harta istri terpisah, baik harta bawaannya masing masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang suami isteri atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta hibah yang diperoleh oleh salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan. Walaupun demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atas harta kekayaan suami isteri itu secara resmi dan menurut cara-cara tertentu. Suami isteri dapat mengadakan syirkah atas percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami dan/atau isteri selama masa adanya perkawinan atas usaha suami atau isteri sendiri-sendiri, atau atas usaha mereka bersamasama. Begitupun mengenai harta kekayaan usaha sendiri–sendiri sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan dari usaha salah seorang atau bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus untuk mereka masing-masing. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam menggariskan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan, adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami dan isteri.15 Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah , sedekah atau lainnya. Bagi harta kekayaan bersama (gono-gini) merupakan harta bersama yang menjadi milik bersama, hanya saja tidak boleh merugikan pihak yang beritikad baik, bagaimanapun juga pihak yang beritikad baik harus diuntungkan, bahkan bagi pihak yang beritikad buruk harus menanggung segala kerugian-kerugian termasuk bunga bunga harus ditanggung. Harta-harta kekayaan yang dibawa oleh pihak yang beritikad baik tidak boleh dirugikan, sedangkan harta kekayaan yang beritikad baik bila ternyata 15

Lihat Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam

113 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan dirugikan, kerugian ini harus ditanggung oleh pihak yang beritikad buruk. Dan segala perjanjian perkawinan yang merugikan pihak yang beritikad baik harus dianggap tidak pernah ada. 3. Terhadap Pihak Ketiga Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut, jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami isteri sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami isteri tersebut, sehingga pihak ketiga yang beritikad baik tidak dirugikan. Bagi anak-anak yang orang tuanya telah dibatalkan perkawinannya mereka tetap merupakan anak sah dari ibu dan bapaknya. Oleh karena itu anak-anak tetap menjadi anak sah, maka status kewarganegaraannya tetap memiliki warganegara bapaknya, dan bagi warisan dan akibat perdata lainnya ia mengikuti kedudukan hukum orangtuanya. Adapun dalam Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kedudukan hukum yang tetap. Pasal 76 disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Dengan demikian jelaslah bahwa di dalam Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit mengandung dua pengertian pembatalan perkawinan, yaitu perkawinan batal demi hukum seperti yang termuat pada Pasal 70 dan perkawinan yang dapat dibatalkan (relatif) seperti yang terdapat pada Pasal 71. Dan pembatalan perkawinan tidak berpengaruh terhadap status anak yang telah mereka lahirkan seperti yang termuat pada Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam. 4. Kedudukan Akta Buku Nikah Yang Perkawinannya Di Batalkan. Akta nikah adalah akta perkawinan sebagai bukti adanya perkawinan. Sebagaimana dimaksud Pasal 12 dan 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan Buku Nikah adalah Kutipan Akta Nikah yang ditandatangani oleh penghulu dan para pihak Dengan adanya akta perkawinan

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 114

Jurnal Al-Mizan itu maka suami–istri bersangkutan mempunyai alat bukti kawin berdasarkan Undang–undang No.1 Tahun 1974 yang dapat digunakan dimana perlu, baik sebagai suami–istri, maupun sebagai orang tua / kepala keluarga/rumah tannga. Jadi bila di dalam sebuah Perkawinan ternyata setelah perkawinan tersebut berjalan terdapat pelanggaran atau ternyata perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat–syarat untuk melangsungkan sebuah perkawinan menurut Undang–undang No. 1 Tahun 1974 maka perkawinan tersebut bisa batal atau dapat dibatalkan Jadi kedudukan Akta Buku Nikah dari perkawinan yang dibatalkan adalah tidak berlaku karena melanggar syarat–syarat perkawinan yang dimana di dalam Akta memuat hal–hal yang menyangkut inti dari syarat– syarat perkawinan dan perkawinan tersebut dapat dibatalkan dan dianggap perkawinan tersebut tidak pernah ada. E. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prosedur permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan, atau ditempat tinggal suami- istri dengan mengikuti tata cara atau prosedur pembatalan perkawinan yaitu pengajuan permohonan disertai dengan alasan permohonan pembatalan. Akibat hukum dari pembatalan tersebut adalah bahwa perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Bagi seseorang yang putus perkawinannya meskipun perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, tidak serta merta menghilangkan akibat hukum dalam perkawinan yang pernah dilaksanakan, menurut Kompilasi Hukum Islam Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1974 bahwa putusan tentang pembatalan yang dijatuhkan oleh hakim tidak berlaku surut terhadap : anak, harta selama perkawinan dan pihak ketiga serta kedudukan akta buku nikah dari perkawinan yang dibatalkan adalah tidak berlaku lagi karena melanggar syarat – syarat formil dan materiil perkawinan dan perkawinan tersebut menjadi batal demi hukum artinya perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada.

115 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, Juz IV, Mesir: Dar Fikri, 1996. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UUI Press, 2000. Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006. Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, Jakarta: Amzah, 2010. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia. Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001. http://ikhsan-blogs.blogspot.com/2011/11/prosedur-beracara-di-pengadilan-agama.html, diambil tgl 5 januari 2015. Mahmud Junus, Tarjamah Al-Qur’an al-Karim. Cet. V, Bandung: Alma’arif, 1989. Martiman Projohamidjojo, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Center Publising, 2002. Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Peradilan Agama Di Indonesia, Medan: Perdana Publising, 2010. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Penerbit UI. Syekh Ibrahim, Albajuri. Jld II, Semarang: Hikmah Keluarga, tt. Wibowo Reksopradoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal dan Putusnya Perkawinan, Semarang: Iktikad Baik, 1978.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 116

Jurnal Al-Mizan Perkawinan Beda Agama MENURUT HUKUM ISLAM (Analisis Pandangan Mazhab Klasik Dan Liberal) Oleh : Mustafa Kamal, S. HI., MA Abstrak This paper discusses the legal issues about marriage different religions according to the view of classical and liberal sects, different religious Marriage nowadays is a matter of khilafiyah in Islam, one of the causes of the emergence of the perbadaan due to the different understanding of the interpretation of the verses of the Qur’an such as surat al-Maidah verse: 5 and surat al-Baqarah: 221. In the discussion of this paper, stated that according to the classical schools of Islamic view of marriage to people of the book were allowed, the reason being people of the book are the ones who believe in the book. They are Jews and Christians who believe in the law, which was revealed to Prophet Musa a.s and the Gospel that was revealed to the Prophet Isa as instructions Qur’an surat al-Maidah: 5. in the meantime, according to the Liberal Sect non-Muslims differently with the polytheists because that meant “polytheists” in al-baqarah: 221 altogether rather than Christians and Jews. But the mushrik Arabs who did not have the Scriptures. In addition, according to this view, that religious adherents among Malay, Sabian, Hindu, Buddhist, Shinto, Konfucius and other religions can be categorized as people of the book who may be married, because they are not including the polytheists of Arabia. From these two perspectives with a view to the different way can obviously affect the clarity of the legal konsekuwensi of marriage in Islam religion is different, so this has been the legal issues that need to get visibility. Keyword; Nikah Beda Agama, Aliran Klasik Aliran Liberal

117 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan A. Pendahuluan “Rasa cinta dan kasih sayanglah yang menjadikan bumi tercipta, berputar menunjukkan setiap peradabannya.” Demikian Jalaluddin Rumi berujar. Menurutnya cintalah yang menjadi sebab semuanya. Rasa yang keberadaannya jauh di luar kuasa manusia, sejauh khayal yang terbang, manusia hanya dapat mewakilkannya dengan kata. Ia adalah fitrah pemberian Allah. Allah yang menganugerahkan rasa cinta dan kasih sayang kepada makhluk-Nya, karena memang dia adalah zat yang selalu dipenuhi ribuan cinta. Ia ciptakan semburat rasa itu agar antara makhluk saling berkasih sayang, bertemu sebagai makhluk Allah atas nama cinta, untuk suatu saat nanti kembali kepada-Nya karena cinta. Sejarah cinta telah membuktikan terciptanya sebuah peradaban. Bukan satu atau dua pasangan bertemu dan tengggelam dalam rasa yang Tuhan semburatkan itu, untuk kemudian menyambungkan dua makhluk Tuhan pada ikatan cinta yang membentuk sebuah peradaban baru, dua hati yang menikah. Demikian halnya dengan Ratna, seorang gadis yang beragama Islam dan Herman seorang pria yang beragama non-Islam. Mereka berkeinginan menikah, tapi perbedaan agama menjadi penghalang di antara mereka. Jadi apa yang harus dilakukan mereka? Pernikahan beda agama ini, merupakan masalah khilafiyah dalam agama Islam. Para ulama masih mempermasalahkan kebolehan nikah beda agama. Apakah nikah beda agama dihalalkan secara syari’at (hukum Islam), atau ternyata diharamkan?. Hal ini timbul karena dalil-dalil agama Islam yang menjelaskan pernikahan beda agama sendiri masih memerlukan pemahaman yang mendalam. Artinya, dalil yang berkenaan dengan nikah beda agama tidak memberikan kepastian hukum, sehingga memerlukan ijtihad dalam hukum kebolehannya. Itulah dinamika permasalahan nikah beda agama. Surat al-Baqarah ayat 221, oleh sebagian ulama dijadikan landasan tidak diperbolehkannya nikah beda agama. Dalam makalah ini penulis ingin membahas bagaimana pandangan mazhab klasik dan mazhab liberal tentang pernikahan beda agama ini. B. Pengertian Perkawinan Beda Agama Nikah menurut bahasa adalah ‫الضم‬, berarti berkumpul. Sedangkan menurut syara’ adalah suatu akad yang mengakibatkan kebolehan wathi

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 118

Jurnal Al-Mizan (setubuh) dengan lafaz Inkah atau Tajwij. 1Akad tersebut adalah ikatan yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan memiliki tujuan yang mulia, yaitu mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.2 Pernikahan beda agama adalah suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlainan agama dan kepercayaannya. C. Perkawinan Beda Agama Menurut Mazhab Klasik Dalam Islam, menikah dengan Ahli Kitab itu diperbolehkan. Alasannya karena ahli kitab adalah orang orang yang percaya kepada kitabullah. Mereka adalah orang Yahudi dan Nasrani yang percaya kepada kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa A.S dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa A.S. Dalam Islam, menikah dengan perempuan ahli kitab memang diperbolehkan, berdasarkan petunjuk al-Qur’an berikut ini :

‫االيوم احل لكم الطيبات و طعام الدين اوتوا الكتاب حل لكم و طعامكم حل هلم و احملصنات‬ ‫من املؤمنات واحلصنات من الدين اوتوا الكتاب من قبلكم ادا اتيتمو هن اجورهن حمصنني غري‬ ‫مساقحني وال متخدي اخدان ومن يكفر باالميان فقد حبط عمله وهو يف االخراة من اخلاسرين‬ Artinya; Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Dan makanan orang-orang ahli kitab itu halal bagimu, sedang makananmu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan juga bagimu mengawini perempuan yang menjaga kehormatannya di antara perempuan yang beriman dan perempuan ahli kitab sebelummu jika kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya bukan untuk berzina dan juga bukan untuk menjadikannya sebagai gundik….. 3(Q.S. al-Maidah : 5) Dalam ayat ini Allah membolehkan mengawini orang-orang ahli kitab (kebanyakan ulama menafsirkan Ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani). Di samping itu, pernikahan yang dilakukan dengan perbedaan agama secara historis pernah dilakukan oleh orang-orang Islam terdahulu di masa Nabi. Nabi menikahi wanita keturunan Yahudi dari suku Quraidlah dan Musthalik, dan seorang wanita dari Gubernur Romawi Mesir bernama Maria al-Qibti1 Al-Dimyati, I’anat Al-thalibin, juz III, (Indonesia: Dar Al-Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, t.t), h. 254-255. 2 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden RI. No. 1 Tahun 1991, h. 19 3 Depag R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : Samara Mandiri, 1999), h. 158.

119 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan yah, (mengenai wanita-wanita ini ada pendapat yang mengatakan mereka tidak masuk Islam ketika dinikahi dan sudah masuk Islam terlebih dahulu). Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqash Thalhah bin Zubair, Ibnu Abbas, Hudzaifah adalah para sahabat yang menikah dengan wanita di luar Islam. Pernikahan seperti ini juga pernah dilakukan oleh para tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyab, Said bin Zubair, al-Hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah.4 Berdasarkan hal di atas maka Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah membolehkan menikah dengan ahli kitab. Walaupun pernikahan beda agama pernah dipraktekkan oleh Nabi, para sahabat dan para tabi’in, Abdullah bin Umar berpendapat bahwa menikahi perempuan Yahudi atau Nasrani itu tidak diperbolehkan. Abdullah bin Umar pernah berucap: Allah telah melarang orang muslim menikahi orang musyrik. Maka aku tidak tahu mana syirik yang lebih besar ketimbang seorang perempuan yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal sebenarnya Isa itu hanyalah hamba Allah dan Rasulullah di antara rasul-rasulnya yang lain.5 Sungguhpun banyak contoh dari para sahabat yang saleh dan para tabi’in yang menikah dengan ahli kitab, hendaknya berhati-hati sebelum melaksanakan perkawinan yang beda agama dan kepercayaan itu. Memang para sahabat mempunyai sifat yang patut diteladani dan mereka hidup dengan penuh takwa dan kesederhanaan. Setelah mereka menikahi perempuan ahli kitab yang berbeda agama dan peribadatannya itu, para sahabat mengetahui bagaimana cara mengendalikan istri sehingga anak-anak mereka tidak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan ibunya. Oleh karena itu, menikah dengan perempuan ahli kitab pada umumnya diperkenankan namun dianggap makruh hukumnya. Para ulama empat mazhab telah membahas dan memberikan pandangan tentang hukum masalah perkawinan dengan perempuan ahli kitab, yaitu: 1. Menurut Mazhab Hanafi, menikahi perempuan ahli kitab itu haram hukumnya bilamana perempuan ahli kitab itu berada di suatu negeri yang sedang berperang dengan kaum muslimin (dar alharb), karena mengawini perempuan ahli kitab ini akan dapat menimbulkan kerugian dan berbahaya. Dalam keadaan perang itu, anak-anak hasil perkawinan itu akan lebih cenderung kepada

4 Nasrul Umam syafi’I & Ufi Ulfiah, Ada Apa Dengan Nikah Beda Agama? ( Semarang: Qultum Media, 2004), h. 51. 5 A. Rahman I Doi, Penjelasan Tentang Hukum-Hukum Allah (Syari’ah) ( Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2002), h. 179.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 120

Jurnal Al-Mizan agama ibunya. 6 2. Mazhab Maliki sebaliknya, mengajukan dua alternatif pandangan, pertama menikah dengan perempuan ahli kitab itu hukumnya makruh sama sekali, baik perempuan itu seorang kafir zimmi maupun penduduk dar al-harb. Pendapat kedua , menikahi perempuan ahli kitab itu bukan makruh karena al-qur’an mendiamkannya. Sifat mendiamkan dianggap sebagai persetujuan, jadi kawin dengan perempuan ahli kitab boleh-boleh saja. Sebaliknya bagi ahli kitab tidak ada keharusan kalau kedua orangtuanya harus dari golongan ahli kitab. Perkawinan itu akan tetap sah sekalipun ayahnya seorang ahli kitab dan ibunya adalah seorang penyembah berhala. 3. Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali meyakini bahwa kedua orang tua perempuan itu haruslah ahli kitab, jika ibunya seorang penyembah berhala,maka perkawinan dengan ahli kitab itu tidak diperkenankan, sekalipun perempuan itu telah dewasa dan menerima agama ayahnya.7 Selain itu, untuk mengetahui siapa sebenarnya yang dimaksud ahli kitab oleh para ulama, maka di bawah ini penulis menjelaskan beberapa pendapat ulama mengenai hal tersebut : a. Imam Syafi’i Imam Syafi’i dalam kitab al-Ummnya mengatakan :

‫ وحيل نكاح حرائر اهل الكتاب لكم مسلم الن اهلل تعاىل‬: ‫(قال الشافعي) رمحة اهلل تعاىل‬ 8 ‫احلهن بغري استسناء واجب اىل لو مل ينكحهن مسلم‬ Artinya; Dihalalkan menikahi perempuan merdeka dari ahli kitab bagi setiap laki-laki muslim tanpa kecuali karena Allah Ta’ala telah menghalalkannya dan saya lebih menyukai kalau laki-laki muslim tidak menikahinya. Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa ahli-kitab yang dihalalkan adalah ahli kitab Yahudi dan Nasrani, tidak termasuk Majusi, juga tidak termasuk ahli kitab, orang-orang Arab yang masuk ke dalam Yahudi dan Nas6 Al-Jaziri Abdur Rahman, Kitab al-Fiqh, ala Mazhahi al-Arba’ah, Vol. IV (Kairo, 1970), h. 76 7 Al-Jaziri Abdur Rahman, Kitab al-Fiqh, ala Mazhahi al-Arba’ah, ..., h. 77. 8 Abi Abd Allah Muhammad Ibn Idris as-Syafi’I, Al-umm, jil. v (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 7

121 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan rani karena asal agama mereka sesat dengan menyembah berhala kemudian mereka pindah kepada agama ahli kitab bukan karena mereka beriman dengan Taurat dan Injil dan sembelihan mereka juga tidak halal. Demikian juga tidak termasuk ahli kitab orang-orang ‘azam yaitu yang bukan orang-orang Arab yang masuk ke dalam agama ahli kitab karena asal agama nenek moyangnya adalah penyembah berhala.9 b. Ibnu Hazm

Ibnu Hazm di dalam al-Mahalla mengatakan bahwa yang termasuk ahli kitab yang boleh dinikahi adalah Yahudi, Nasrani, dan Majusi.10 Ibnu Kasir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim jil. II, h. 27, menginformasikan bahwa Abu Sur Ibrahim Ibn Khalid al-Kalbi (w. 860) yang merupakan seorang pengikut Imam Syafi’i demikian juga Ahmad ibn Hanbal, membolehkan menikmati makanan dan sembelihan orang Majusi dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.

c. Muhammad Abd al-Karim Syahristani (w. 548 H/1153 M, ahli ilmu kalam). Berpendapat bahwa ahli Kitab terdiri dari Yahudi dan Nasrani, namun tidak terbatas pada keturunan Bani Israil. Adapun pengikut agama lain yang mempunyai kitab-kitab suci seperti Majusi disebut oleh Syahristani sebagai syibh Ahli kitab (mirip dengan ahli kitab). Syibh ahl-kitab diperlakukan sebagaimana kaum Zimmi lainnya, tetapi kaum wanita tidak boleh dikawini dan sembelihannya tidak boleh dimakan. d. Pendapat yang lebih longgar dikemukakan oleh Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan beberapa ahli fikih lainnya, seperti Abu Sur. Kelompok ulama ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah seluruh komunitas yang mempercayai nabi atau kitab suci yang diturunkan Allah SWT. Ahli kitab menurut pemahaman mereka tidak hanya terbatas pada keturunan Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, seandainya ada komunitas yang mempercayai suhuf nabi Ibrahim atau Zabur yang diturunkan kepada nabi Daud maka mereka adalah ahli kitab. Islam membolehkan menikah dengan ahli kitab dengan berbagai macam pendapat ulama di atas, namun menikah dengan orang musyrik dalam bentuk apapun sama sekali dilarang, baik orang yang menyembah berhala, orang yang keluar dari Islam (murtad), penyembah sapi atau binatang yang Abi Abd Allah Muhammad Ibn Idris as-Syafi’I, Al-umm,..., h. 7. Ibn Hazm al-Andalusi, Al-Mahalla bi al-Asar, jil. XI (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), h. 12 9

10

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 122

Jurnal Al-Mizan lain, menyembah pepohonan ataupun menyembah batu. Larangan Islam ini berdasarkan pernyataan dari al-qur’an surat al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut:

‫وال تنكحوااملشركات حىت يؤمن والمة مؤمنة خري من مشركة ولو اعجبتكم وال تنكحوا املشركني‬ ‫حىت يؤمنا ولعبد مؤمن خري من مشرك ولو اعجبكم اولئك يدعون اىل النار واهلل يدعوا اىل اجلنة‬ ‫واملغفرة بادنه ويبني اياته للناس لعلهم يتدكرون‬ Artinya; Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari pada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Allah menerangkan ayat-ayat kepadamu supaya kamu mengambil pelajaran”. ( al-Baqarah : 221)11 Diriwayatkan dalam Asbabun Nuzul, larangan menikah dengan orang di luar Islam, rupanya dinukilkan pada masa Rasulullah saw. Yaitu suatu peristiwa yang dianggap sebagai penyebab turunnya surat al-Baqarah ayat 221. Suatu ketika diutuslah seorang laki-laki tampan bernama Marsad, orang kaya dari Bani Hasyim ke Mekkah untuk membawa kaum muslimin yang ditawan. Sesampainya di Mekkah datang seorang wanita bernama Unaq, kekasih Marsad ketika dia masih musyrik. Unaq adalah seorang wanita cantik dan belum memeluk Islam. Sebelumnya Marsad telah memutuskan hubungannya dengan Unaq. Waktu itu Unaq sengaja mendatangi Marsad, dan bertanya perihal hubungan mereka, “Hai Marsad, apakah engkau masih ingin denganku?” Marsad menjawab, “Islam telah menghalangi hubungan antara engkau dan aku, perbuatan itu haram bagi kami.” Jawaban Marsad ini tak menyurutkan niat Unaq untuk merayu dan mendapatkan kembali Marsad. “Tetapi bila engkau menghendaki aku akan kawin dengan engkau,” kata Unaq. “Baik, kata Marsad, aku akan meminta izin kepada Rsulullah. Sesampainya di Madinah Marsad menceritakan peristiwa itu dan bertanya kepada Rasulullah tentang Unaq, “apakah halal bagi saya untuk mengawininya”, untuk menjawab pertanyaan ini turunlah surat al-Baqarah ayat 221.

Abdullah bin Abbas menyebutkan sebab turunnya ayat di atas, berkai11

Depag R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya……h. 53.

123 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan tan dengan kasus Abdullah bin Rawahah, sahabat nabi SAW, yang memiliki budak perempuan. Pada suatu ketika Abdullah bin Rawahah marah kepada budak perempuan ini. 12Ketika nabi SAW mengetahuinya, lantas beliau bertanya kepada Abdullah bin Rawahah sebagai berikut, Nabi bertanya: apa yang terjadi wahai Abdullah? Abdullah bin Rawahah menjawab: “Wahai Rasulullah SAW, budak perempuan itu berpuasa, berdoa dan menyucikan dirinya, serta beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah Rasulullah. Nabi Saw: “Kalau demikian, dia adalah seorang mukminah. Abdullah bin Rawahah: “Maka demi Allah yang telah mengutus engkau membawa kebenaran, aku akan memerdekakannya dan menikahinya. Setelah Abdullah menikahi budak perempuan tadi, banyak orang muslim mencelanya dengan alasan Abdullah menikahi budak perempuannya. Celaan yang dilontarkan ini berdasarkan bahwa mereka yang mencela itu lebih suka mengawini perempuan musyrik hanya lantaran keunggulan keturunannya. Berdasarkan peristiwa yang terjadi pada Abdullah inilah ayat al-Qur’an di atas diturunkan. Berdasarkan hal di atas, maka dapat dikatakan perkawinan orang mukmin dengan orang musyrik itu akan menyesatkan pihak orang muslim karena akan membawa kepada jalan kemusyrikan. Ikatan suami istri itu bukan hanya hubungan seksual semata, melainkan hubungan batin dan budaya. Oleh karena itu, perkawinan tadi dilarang di dalam Islam. Memang benar, boleh jadi seorang muslim itu akan mempengaruhi orang musyrik, agar keluarga dan keturunan orang musyrik tersebut dapat berkenan memeluk Islam. Kemungkinan yang lain juga boleh jadi bahwa dapat menyeret pasangan yang muslim, bahkan keluarga dan keturunannya menuju jalan kemusyrikan. Yang paling mungkin diakibatkan dalam perkawinan mukimin musyrik itu adalah bercampurnya antara keturunan muslim dan non muslim. Orang non muslim mungkin saja menyetujui akibat semacam ini, tetapi seorang muslim tidak dapat melakukan perbuatan semacam ini. Orang yang benar-benar muslim, tidak akan pernah mengambil resiko hanya untuk memuaskan nafsu syahwatnya semata-mata. Orang muslim malah lebih suka mengendalikan hawa nafsunya ketimbang melakukan sesuatu yang akan menyesatkan keimanannya, menjadikannya musyrik ataau paling tidak bagi keturunannya. Ibn Katsir juga menjelaskan, bahwa ayat 221 ini merupakan pengharaman dari Allah terhadap kaum muslimin supaya tidak menikah dengan wanita musyrik. Yaitu para penyembah berhala seraya menegaskan bahwa wanita 12 Ahmad Munjab Mahali, Asbab-an-Nujul, Studi Pendalaman Al-Qur’an (Jakarta:Grafindo Persada, 2002), h. 96-97.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 124

Jurnal Al-Mizan musyrik tidak halal dinikahi. 13Ibnu Katsir juga mempertegas pendapatnya dengan menjelaskan surat al-Mumtahanah sebagai keterangan Allah selain surat al-Baqarah, yang melarang menikahi orang di luar Islam.

‫يايها الدين امنوا ادا جاءكم املؤ منات مهاجرات فامتحنوهن اهلل اعلم بامياهنن فان علمتمو‬ ‫هن مؤمنات فال تر جعو هن اىل الكفار ال هن حل هلم وال هم حيلوب هلن واتوهم ما انفقوا‬ ‫وال جناح عليكم ان تنكحو هن ادا ما اتيتمو هن اجو رهن وال متسك بعصم الكوافر واسئلوا‬ ) : ‫ما انفقتم وليسئلوا ما انفقوا دلكم حكم اهلل حيكم بينكم واهلل عليم حكيم (املمتحنه‬ Artinya; Hai orang-orang yang beriman apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka itu tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang teguh pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir, dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana (al-mumtahanah : 10).14 Pada masa Khulafaur Rasyidin, pernikahan dengan non muslim pernah dilarang keras oleh salah satu sahabat Nabi, Umar bin Khattab. Sayyidina Umar pernah memerintahkan kepada semua orang Islam untuk menceraikan wanita-wanita yang mereka nikahi yang berasal dari luar Islam. Sahabat nabi ini, menghawatirkan pernikahan beda agama terjadi hanyalah karena ketertarikan semata dan timbul dari semangat hawa nafsu.15 Ulama lima Mazhab sepakat perempuan dan laki-laki muslim dilarang menikah dengan orang yang tidak mempunyai kitab. Orang yang tidak memiliki kitab adalah golongan yang tidak mendapatkan kitab yaitu Injil, Taurat, Zabur dan al-Qur’an. Para ulama lima mazhab menyepakati orang di luar ini merupakan golongan orang musyrik yaitu para penyembah berhala, penyembah matahari, penyembah bintang, dan golongan orang zindiq, yaitu 13 Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir (terj) Dr. Abdullah bin Muhammad, Abdurrahman bin Ishaq, ( Pustaka Imam Syafi’I, 2002), h. 427 14 Depag R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya……h. 924-925. 15 Nasrul Umam syafi’I & Ufi Ulfiah, Ada Apa Dengan Nikah Beda Agama? …h. 63

125 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan golongan orang yang tidak percaya pada adanya Tuhan. Selain itu disepakati juga golongan orang Majusi terlarang menikahi dengan orang Islam. Hal ini disebabkan golongan Majusi telah mengubah kitab suci yang asli. Banyak pula disebutkan orang Majusi sebagai golongan orang yang menyembah api, suatu tindakan yang tidak bisa ditolerir sebab tindakan itu menyekutukan Allah.16 D. Hukum Nikah Beda Agama Menurut Mazhab Liberal Dalam persoalan halal dan haramnya kawin antar agama, para Ulama selalu berpegangan pada surat al-Baqarah ayat 221, surat al-Mumtahanah ayat : 10 dan surat al-Maidah ayat 5. Dengan mengacu pada pengertian literal surat al-Maidah ayat 5 itu, maka menikahi perempuan Ahli Kitab itu jelas boleh, kebolehan mana telah diujarkan al-Qur’an dengan sangat jelas dan tegas tanpa syarat apapun. Dari ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip di atas akan diuraikan hal-hal berikut ini; antara kaum musyrik dan Ahli Kitab dan dengan siapa al-Qur’an mengharamkan orang Islam melakukan perkawinan. 1. Antara Kaum Musyrik dan Ahli Kitab Al-Qur’an sebagai kitab suci yang berasal langsung dari Allah memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah ketelitian pemilihan dan penempatan kosa kata dan redaksi kalimatnya. Pemilihan dan penempatan itu bukan suatu kebetulan, tapi mengandung makna filsafat bahasa tersendiri dan dalam. Satu kosa kata atau satu kalimat yang dipilih hanya menunjuk kepada makna atau hukum tertentu secara khusus dari kosa kata atau kalimat itu. Al-Qur’an secara cermat dan jelas membedakan pengertian antara kaum musyrik dan ahli kitab. Dalam surat al-Baqarah, 2:105, Allah berfirman artinya : “Orang-orang kafir dari Ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu…” Dalam surat al-Bayyinah, 98:1, Allah juga menyebutkan “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang kafir musyrik tak akan melepaskan (kepercayaan mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.”17 Pada kedua ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, al-Qur’an memakai kata penghubung “dan” (al-Qur’an: waw) antara kata kafir Ahli Kitab dan … h. 67.

16

Nasrul Umam syafi’I & Ufi Ulfiah, Ada Apa Dengan Nikah Beda Agama?

17

Depag R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya……h. 1084

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 126

Jurnal Al-Mizan kafir Musyrik. Ini berarti bahwa kedua kata, Ahli Kitab dan Musyrik, itu mempunyai arti dan makna yang berbeda. Sebelum menjelaskan perbedaan antara kedua kata itu, perlu kiranya di sini diberikan terlebih dahulu beberapa catatan keterangan tentang makna kafir. Kata kafir (kufr )dari segi bahasa berarti menutupi, istilah-istilah kafir (kufr ) yang terulang sebanyak 525 kali dalam al-Qur’an, semuanya dirujukkan kepada arti “menutupi”, yaitu menutup-nutupi nikmat dan kebenaran, baik kebenaran dalam arti Ketuhanan (sebagai sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaran-ajaran-Nya yang disampaikan melalui rasul-rasul-Nya.18 Di dalam Al-Qur’an, disebutkan beberapa jenis kekafiran yang antara satu dengan yang lain tingkatannya berbeda-beda. 1. Kafir (kufr ) ingkar, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, Rasul-rasulnya dan seluruh ajaran yang mereka bawa. 2. Kafir (kufr ) juhud, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap ajaran-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah kebenaran. Ia tidak jauh berbeda dengan kekafiran ingkar (no. 1). 3. Kafir munafik (kufr nifaq), yaitu kekafiran yang mengakui Tuhan, Rasul dan ajaran-ajarannya dengan lidah tetapi mengingkari dengan hati, menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran. 4. Kafir (kufr ) syirik, berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu, selain dari-Nya, sebagai sembahan, objek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan, syirik digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari kekuasaan Tuhan, juga mengingkari Nabi-nabi dan wahyu-Nya. 5. Kafir (kufr ) nikmat, yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan menggunakan nikmat itu pada hal-hal yang tidak diridhai-Nya. Orang-orang muslim pun dapat masuk dalam kategori ini (lihat:al-Naml, 27:40; Ibrahim, 14:7; al-Imran, 3:97) 18 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur’an (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), h. 31.

127 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan 6. Kafir murtad, yakni kembali menjadi kafir sesudah beriman atau keluar dari Islam. 7. Kafir Ahli Kitab, yakni non Muslim yang percaya kepada Nabi dan kitab suci yang diwahyukan Tuhan melalui Nabi kepada mereka.19 Ada beberapa jenis kekafiran lainnya lagi, tapi buat sementara dapat kita ambil kesimpulan, bahwa istilah kafir mencakup makna yang luas, yang dibawahnya terdapat istilah-istilah yang lebih khusus yang arti dan maknanya berbeda antara satu dan lainnya. Kalau Allah menyebutkan dalam al-Qur’an istilah kafir musyrik, maka itu maknanya mesti berbeda dengan makna istilah dari kata Ahli Kitab, dan jika hanya disebutkan kafir saja maka maknanya perlu dipahami bahwa kata itu mesti menunjuk kepada salah satu dari jenis-jenis kekafiran yang ada. Allah, secara jelas dan eksplisit, menyatakan dalam kitab suci-Nya akan Ahli Kitab bahwa kepercayaan mereka didasarkan pada perbuatan syirik, sepertt kata mereka, dalam firman Allah: “…sesungguhnya Allah itu adalah al-Masih putra Maryam .”(al-Ma’idah, 5;17), dan mereka juga berkata ,”…bahwa Allah yang ketiga dari trinitas …″ (al-Ma’idah,5: 73), dan mereka berkata lagi:”..al-Masih putra Allah…″(al-Taubah, 9:30). Begitu pula dengan orang –orang Yahudi berkata, disebutkan dalam firman Allah:”….Uzair putra Allah…″(al-Maidah,9:30). Apa yang telah mereka lakukan itu adalah perbuatan syirik, namun al-Qur’an sebagi wahyu yang datang langsung dari Allah telah memilih dan menempatkan kata dari istilah yang sangat tepat sekali, maka al-Qur’an tidak pernah menyebutkan mereka semuanya itu dengan kata “musyrik” sebagai panggilan dan istilah bagi mereka. Mereka tetap dipanggil Allah dengan sebutan Ahli Kitab. 20Karena kemusyrikan tidak secara otomatis melekat pada institusi suatu agama. Hal yang dapat dipahami dengan baik dari ayat- ayat al-Qur’an di atas ialah bahwa setiap perbuatan syirik tidak menjadikan secara langsung pelakunya disebut musyrik. Karena pada kenyataannnya Yahudi dan Nasrani telah melakukan perbuatan syirik , namun Allah tidak memanggil dan menyebut mereka sebagai musyrik, tapi dipanggil dengan Ahli Kitab. Sebuah analogi logis dapat pula kita kembangkan adalah bahwa orang-orang Islampun bisa melakukan perbuatan syirik, dan memang kenyataannya ada, namun mereka 19 Mun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004) , h. 156-157. 20 Mun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama ...h. 158.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 128

Jurnal Al-Mizan tidak dapat disebut sebagai kaum musyrik. Sebab sebagai konsekuensi logisnya, kalau salah seorang suami-istri dari keluarga muslim sudah disebut musyrik, perkawinan mereka batal dengan sendirinya dan wajib cerai, tapi kenyataan ini tidak pernah diterima. Betapa banyak terdapat dalam kenyataan hidup ini pada orang-orang beragama, termasuk orang-orang muslim, melakukan perbuatan syirik dalm kehidupan sehari-harinya Kemusyrikan itu terlihat dari firman Allah, artinya, “Sembahlah Allah, dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatupun…” (QS.4:36). Menyembah dan menjadikan Tuhan-tuhan lain selain Allah adalah perbuatan syirik, bahkan ada orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan :”Tidakkah engkau mengetahui orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya”(QS.45:23). Artinya, orang yang mempertuhankan hawa nafsu, harta, kedudukan, dan lain sebagainya, telah melakukan perbuatan syirik. 21 Dapatkah pelaku-pelaku syirik ini dikategorikan sebagai kaum musyrik, dan diharamkan mengawininya oleh orang-orang Islam? Kami berpendapat tidak! Surat al-Baqarah, 2:221 tidak berbicara dengan kemusyrikan seperti itu. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa setiap perbuatan syirik tidak secara langsung menjadikan pelakunya sebagai musyrik, tapi sebaliknya setiap orang musyrik sudah jelas pelaku syirik. Karena itu perlu diidentifikasi mengenai siapa sebenarnya yang dikategorikan oleh al-Qur’an sebagai musyrik, yang kemudian haram dikawini oleh orang-orang Islam. Dikatakan musyrik bukan hanya mempersekutukan Allah tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab Samawi, baik yang telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli; disamping tidak seorang Nabipun mereka percayai.22 Adapun Ahli Kitab adalah orang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab Samawi, baik yang sudah terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah dan amalan. Sedangkan yang disebut dengan orang-orang mukmin adalah orang-orang yang percaya dengan risalah Nabi Muhammad baik mereka lahir dalam Islam ataupun kemudian memeluk Islam, yang berasal dari Ahli Kitab atau kaum musyrik, ataupun dari agama mana saja.23

Mun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama……, h. 159. Mun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama……, h. 159. 23 Abu Al-Ainain Badran, Al-Alaqah Al-Ijtima’iyah Wa Ghair al-Muslimin (Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, t.t.), h. 29-31, dikutip oleh Zainun Kamal, Kawin Antar Umat Beragama, makalah pribadi. 21 22

129 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Begitu jelasnya perbedaan antara kaum musyrik dengan Ahli Kitab, sehingga kita tidak boleh mencampuradukkan makna dan arti antara keduanya; dimana musyrik diartikan Ahli Kitab dan Ahli Kitab diartikan musyrik. Bila Allah mengharamkan mengawini perempuan musyrik, seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah: 221, “janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman….” Maka tidak tepat bila ayat al-Qur’an itu dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan perempuan Musyrik itu adalah perempuan Ahli Kitab. Bahkan Imam Muhammad Abduh lebih spesifik dan terang berpendapat, sebagaimana dinukilkan oleh sang murid, Rasyid Ridha, bahwa perempuan yang haram dikawini oleh laki-laki muslim, dalam al-Baqarah 221, itu adalah perempuan-perempuan Musyrik Arab. Apakah masih ada sampai sekarang orang-orang seperti Musyrik Arab itu? kalau ada, hukum dapat berlaku, tapi kalau tidak maka dengan sendirinya tidak ada satu kepercayaan dan agamapun yang menjadi kendala dalam melakukan perkawinan.24 Karena itu, pandangan yang memasukkan non-Muslim sebagai musyrik ditolak dengan beberapa alasan berikut: pertama, dalam sejumlah ayat lainnya al-Qur’an membedakan antara orang-orang musyrik dan ahli kitab (Kristen dan Yahudi). Dalam beberapa ayatnya, al-Qur’an menggunakan huruf “waw” yang dalam kaidah bahasa Arab disebut “athfun”, yang berarti pembedaan antara kata yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Atas dasar ini, terdapat perbedaan antara kata musyrik dengan ahli kitab. Abu Ja’far ibn jarir al-thabari dalam jami’ al-bayan al-ta’wil al-qur’an, termasuk salah seorang ulama terkemuka yang menafsirkan “musyrik” sebagai orang-orang yang bukan ahli kitab. Musyrik yang dimaksud dalam al-baqarah 221 sama sekali bukan Kristen dan yahudi. Yang dimaksud musyrik dalam ayat tersebut yaitu orang musyrik arab yang tidak mempunyai kitab suci.25 Kedua, larangan menikahi “musyrik”, karena dikhawatirkan wanita musyrik atau laki-laki musyrik memerangi orang-orang islam. Ketiga, dalam masyarakat arab terdapat tiga kelompok masyarakat yang disebut kelompok lain, yaitu musyrik, Kristen, dan yahudi. romawi dan Persia. Yang membedakan kelompok Kristen, yahudi, musyrik yaitu ajaran monotheisme. Musyrik sepertinya murni sebagai kekuatan politik, sedangkan yahudi dan Kristen adalah mereka yang sedikit banyak mempunyai pers24 Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, jil. V (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t), h. 193. 25 Mun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama…….h. 160

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 130

Jurnal Al-Mizan inggungan teologis dengan Islam. 26 2. Ahli Kitab Ibn Umar salah seorang sahabat Nabi, mempunyai pendapat menyamakan antara kaum Musyrik dan Ahli Kitab dan mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan-permpuan mereka. Akan tetapi hampir seluruh sahabat Nabi, tabi’in , ulama-ulama masa awal dan kontemporer tidak sependapat dengan Ibnu Umar, bahkan bertentangan dengan praktek para sahabat dan tabi’in.27 Abdullah bin Abbas berpendapat bahwa Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nasrani, dan kebolehan menikah dengan perempuan-perempuan mereka hanyalah mereka yang berada dalam Darul Islam. Akan tetapi para sahabat dan tabi’in tidak sependapat dengan Abdullah bin Abbas. Sebab, sekalipun dalam situasi perang tidak ada diantara mereka yang berpendapat bahwa kawin dengan perempuan Ahli Kitab haram, sebab surat al-Maidah membolehkan perkawinan tersebut secara umum. Imam syafi’i berpendapat, bahwa Ahli Kitab hanya terbatas pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil saja, sedangkan dari bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani tidak termasuk Ahli Kitab. Karena Nabi Musa dan Nabi Isya diutus hanya pada Bani Israil saja, bukan kepada bangsa-bangsa lainnya.28 Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi atau salah satu kitab suci yang pernah diturunkan maka ia termasuk Ahli Kitab, dan tidak disyaratkan Yahudi dan Nasrani. Bila ada orang yang hanya percaya kepada Shuhuf Nabi Ibrahim atau Zabur saja, maka iapun termasuk Ahli Kitab. Bahkan diantara Ulama Salaf ada yang berpendapat bahwa setiap umat yang memiliki kitab dapat diduga sebagai kitab Samawi, maka mereka juga adalah Ahli Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi. Dalam kitab klasik pun disebutkan orang-orang Majusi mempercayai kenabian Zoroaster dan Allah , menurunkan wahyu kepadanya sebagai kitab suci yang bernama Zend Avesta. Orang-orang beragama Sabian, yaitu agama dari golongan ginostik, atau yang mengenal kehidupan Agung, kitab suci merMun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama…….h. 161-162 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 369 28 Abu Al-A’la Al-Maududi, Al-Islam fi Mawajahah Al-Tahaddiyah Al-Mu’assharah (Kuwait: Dar Al-Kalam, 1983), h. 117 26 27

131 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan eka bernama Ginza mereka mempercayai bahwa Hernes, Plato dan beberapa filosuf dan semua pembawa syariat telah mendapatkan wahyu Samawi dari Allah yang ajarannya mengandung perintah larangan, surga, neraka. Karena tingginya ajaran mereka, terutama ajaran moral dan bersesuaian dengan ajaran agama, maka pemikir Islam, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Aristoteles seorang filosuf Yunani adalah seorang manusia yang bersifat Ilahi (seorang Nabi).29 Dalam pandangan ulama zaman modern, seorang pakar seperti Rasyid Ridha, menegaskan bahwa penganut agama Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konfucius, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai Ahli Kitab. Rasyid Ridha memfatwakan bahwa laki-laki muslim diharamkan menikah dengan perempuan-perempuan musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah perempuan musyrik Arab masa lalu. Itulah pendapat mufassir Ibn Jazir Al-Thabari. Sedangkan orang-orang Majusi, Sabian, penyembah berhala di India, China dan semacam mereka, seperti orang-orang Jepang adalah Ahli Kitab, yang kitab mereka mengandung paham monotheisme (tauhid) sampai sekarang. Karena itu halal menikahi perempuan-perempuan mereka. Jadi dapat ditegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konfucius, Shinto dan lainnya, selain musyrik Arab harus diperlakukan sebagai Ahli Kitab, dengan halal menikahi perempuan-perempuan mereka dan memakan sembelihan mereka.30 3. Perkawinan Perempuan Muslimah Dengan Non Muslim Dalam masalah ini terdapat persoalan serius, karena tidak ada teks suci, baik al-Qur’an, Hadits atau kitab fiqh sekalipun yang memperbolehkan pernikahan seperti itu. Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada justru Hadits yang tidak begitu jelas kedudukan nya, Rasulullah bersabda, kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (muslimah). Khalifah Umar Ibn Khattab dalam sebuah pesannya, seorang muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita muslimah.31 Setelah diteliti, Hadits yang disebutkan di atas dikomentari oleh Shudqi Jamil al-‘Athar sebagai hadis yang tidak sahih. Hadis tersebut tergolong 29 Jamil Shaliba, Min Aflaton ila Ibn Sina (Beirut: Dar Al-Andalus, 1981), h. 47, dikutip oleh Zainun Kamal, Kawin Antar Umat Beragama, makalah pribadi. 30 Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, jil. V….., h. 193. 31 Mun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama…….h. 163

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 132

Jurnal Al-Mizan Hadis Mauquf yaitu Hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan al-Imam al-Syafi’i dalam kitabnya, al-Umm. Sedangkan ungkapan Umar Ibn Khattab merupakan sebuah ungkapan kekhawatiran bila wanita-wanita Muslim dinikahi laki-laki non muslim, maka mereka akan pindah agama. Dan umat Islam pada saat itu membutuhkan kuantitas dan sejumlah penganut yang setia. Jadi, soal pernikahan laki-laki non muslim dengan wanita muslim merupakan wilayah ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslim boleh menikah dengan laki-laki muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Hal ini merujuk pada semangat yang dibawa al-Qur’an sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama Samawi dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai orang yang akan bersama-Nya di surga nanti. Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menyebutkan perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang lainnya saling mengenal. Dan pernikahan antar beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat.32 Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (al-rahmah). Di tengah rentannya hubungan antar agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian. Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh al-Qur’an sejak larangan pernikahan dengan orang musyrik , lalu membuka jalan bagi pernikahan dengan Ahli Kitab merupakan sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya, kita harus melihat agama lain bukan sebagai kelas dua.33 32 Mun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama…….h. 164 33 Mun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama…….h. 164

133 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan E. Penutup Pernikahan beda agama adalah suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlainan agama dan kepercayaannya. Dalam Islam, menikah dengan Ahli Kitab itu diperbolehkan sedangkan dengan musyrik sama sekali dilarang. Walaupun pernikahan beda agama pernah dipraktekkan oleh Nabi, para sahabat dan para tabi’in, Abdullah bin Umar berpendapat bahwa menikahi perempuan Yahudi atau Nasrani itu tidak diperbolehkan. Menurut Mazhab Liberal non-Muslim berbeda dengan musyrik hal itu dapat dilihat dari beberapa alasan yang telah mereka ajukan. salah satu alasan mereka adalah bahwa yang dimaksud “musyrik” dalam Al-Baqarah 221 sama sekali bukan Kristen dan Yahudi. Tapi orang musyrik Arab yang tidak mempunyai kitab suci. Jadi menurut mereka boleh menikah dengan non muslim. Selain itu menurut Rasyid Ridha, bahwa penganut agama Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konfucius, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai Ahli Kitab, karena mereka bukan termasuk musyrik Arab. Jadi menikahi perempuan-perempuan mereka adalah hala

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 134

Jurnal Al-Mizan DAFTAR PUSTAKA Al-Dimyati, I’anat Al-thalibin, juz III, Indonesia: Dar Al-Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, t.t. Abi Abd Allah Muhammad Ibn Idris as-Syafi’I, Al-umm, jil. V, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Abu Al-Ainain Badran, Al-Alaqah Al-Ijtima’iyah Wa Ghair al-Muslimin (Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, t.t.), h. 29-31, dikutip oleh Zainun Kamal, Kawin Antar Umat Beragama, makalah pribadi. Abu Al-A’la Al-Maududi, Al-Islam fi Mawajahah Al-Tahaddiyah Al-Mu’assharah, Kuwait: Dar Al-Kalam, 1983 A. Rahman I Doi, Penjelasan Tentang Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2002. Ahmad Munjab Mahali, Asbab-an-Nujul, Studi Pendalaman Al-Qur’an, Jakarta:Grafindo Persada, 2002. Al-Jaziri Abdur Rahman, Kitab al-Fiqh, ala Mazhahi al-Arba’ah, Vol. IV, Kairo, 1970 Depag R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Samara Mandiri, 1999 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur’an, Jakarta : Bulan Bintang, 1991 Ibn Hazm al-Andalusi, Al-Mahalla bi al-Asar, jil. XI, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995. Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir (terj) Dr. Abdullah bin Muhammad, Abdurrahman bin Ishaq, Pustaka Imam Syafi’I, 2002 Jamil Shaliba, Min Aflaton ila Ibn Sina (Beirut: Dar Al-Andalus, 1981), h. 47, dikutip oleh Zainun Kamal, Kawin Antar Umat Beragama, makalah pribadi. Mun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004 Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, jil. V, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996. Nasrul Umam syafi’I & Ufi Ulfiah, Ada Apa Dengan Nikah Beda Agama? Semarang: Qultum Media, 2004.

135 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan KEKUATAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMAKZULAN PRESIDEN MENURUT UUD 1945 Oleh: Syamsul Bahri, SH, MH ABSTRAk Article 7B paragraph (1) of the 1945 Constitution states the proposal impeach the President and / or Vice-President may be filed by the House of Representatives to the People’s Consultative Assembly only by first submitting a request to the Constitutional Court to examine, hear and decide views of the House of Representatives that the President and / or Vice President has violated the law in the form of treason against the State, corruption, bribery, other felonies, or moral turpitude, and or opinions that the President and / or Vice President is no longer eligible as President and / or Vice President. Thus “The words cut” has the meaning that the Constitutional Court has a duty to make a decision on the opinion of the House of Representatives regarding the alleged violations by the President and/or Vice-President under the Constitution. MK only authorized (liabilities) make a decision on impeachment of President and / or Vice President as the judiciary (judicial) and not the political institutions. MPR as a political consultative institution may dismiss the President and / or Vice President of the House of Representatives proposal, if diparlemen supported by 2/3 of the members and approved by 2/3 of the members present. Termination by the MPR is constitutionalism demands that do not justify the violation of the constitution and the law made by the President and / or Vice President. Keywords; Impeachment (impeachment), and the Constitutional Court Decision

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 136

Jurnal Al-Mizan A. Pendahuluan Secara konstitusional ketentuan mengenai pemakzulan Presiden di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai aturan dasar dan sumber hukum di Indonesia. Proses pemakzulan harus senantiasa berdasarkan konstitusi sebagai manifestasi terhadap negara yang berkedaulatan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan UUD 1945. Dalam perspektif UUD 1945 proses pemakzulan Presiden harus diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun sebelum proses pengajuan perberhentian kepada MPR, terlebih dahulu DPR sebagai pihak yang mempunyai kedudukan hukum (legal Standing) harus mengajukan permohonan dugaan pelanggaran oleh Presiden kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum upaya di atas dilakukan. DPR terlebih dahulu menggunakan hak angket sebagai upaya penyelidikan terhadap kebijakan Presiden. Kewenangan DPR dalam menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai pintu masuk DPR untuk mambawa Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MK. Berdasarkan uraian di atas, praktik ketatanegaraan di Indonesia masih cenderung menegakkan hukum secara prosedural. Upaya ratifikasi hukum dan keadilan yang seyogianya diajukan kepada MK mengenai dugaan DPR atas pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden masih terkendala pada proses politik di DPR dengan mekanisme pemungutan suara. Implikasinya terdapat kontradiksi antara ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara konstitusi menyatakan Indonesia adalah negara hukum dengan ketentuan Pasal 7B ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/ atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dari bunyi Pasal 7B ayat (5) tersebut dimana proses untuk menegakkan hukum masih harus berdasarkan kesepakatan politik di DPR terlebih dahulu.1 Selanjutnya, apabila permohonan DPR atas pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden telah berhasil diajukan kepada MK dan MK memutuskan bah1 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Konstitusi Press, Jakarta, 2005), h. 24

137 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan wa Presiden dan/atau Wakil Presiden bertentangan dengan konstitusi (unconstitutional), yaitu melanggar Pasal 7A UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti bersalah telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dari bunyi Pasal 7A tersebut maka tidak serta merta Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan sejak dibacakan Putusan MK. Proses selanjutnya masih bermuara pada sidang paripurna MPR. Sedangkan pengambilan keputusan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir. Implikasinya, apakah MPR sebagai lembaga politik mampu menjunjung tinggi supremasi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, sehingga di dalam melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut harus disesuaikan dengan perspektif Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.2 Setiap lembaga Negara yang diatur secara rinci dalam konstitusi sudah tentu melekat kewenangan. Dimana kewenangan tersebut menjadikan suatu lembaga Negara dapat bergerak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wewenang (authority) merupakan suatu wadah yang berfungsi sebagai penggerak dari pada kegiatan. Wewenang yang bersifat informal untuk mendapatkan kerjasama yang baik dengan bawahan. Disamping itu, wewenang juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan. Wewenang berfungsi untuk menjalankan kegiatan yang ada dalam organisasi.3 Wewenang juga dapat diartikan sebagai hak untuk memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tujuan dapat tercapai. Pengorganisasian (Organizing) merupakan proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber daya-sumber daya yang dimilikinya dan lingkungan yang melingkupinya.4 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar... h. 25 3 Anonimous,wewenangdalamorganisasihttp.//weakgratis.wordpress. com/2015/06/wewenang-dalam-organisasi, diakses pada tanggal 10 Januari 2015. 4 Anonimous,wewenangdalamorganisasihttp.//weakgratis.wordpress. com/2015/06/wewenang-dalam-organisasi, diakses pada tanggal 10 Januari 2015. 2

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 138

Jurnal Al-Mizan Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 tentang Kewenangan MK dalam penyelesaian sengketa lembaga Negara.5 Dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (2) menyebutkan kewajiban MK memberikan putusan atas pendapat DPR, merupakan bagian yang berbeda dengan kewenangan MK yang lain. Maka penafsiran atas pemisahan pancantuman ketentuan tersebut adalah bahwa MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Permasalahannya adalah apakah pemisahan pencantuman ini juga berdampak pada kewenangan mengadili MK dan sifat putusannya. Pada ketentuan yang mengatur masalah kewenangan MK dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Selain itu, sifat putusan MK atas empat kewenangan tersebut bersifat final. Sedangkan ketentuan yang mengatur masalah kewajiban MK hanya disebutkan bahwa MK wajib memberikan putusan. Dengan demikian apakah hal ini berarti bahwa kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tidak pada tingkat pertama dan terakhir, dan apakah putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tidak bersifat final. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi guna menguji undang-undang terhadap UUD, beda halnya dengan kewenangan Mahkamah Agung yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU. Menurut Pasal 22A ayat (2) UUD 1945, maka pengujian UU yang menjadi kewenangan MK merupakan pendekatan konstitusionalitas.6 Dalam pengujian UU dimaksud, pengujian yang diadakan MK disebut pula judicial review, sedangkan Jimly Asshiddiqie menyebutnya dengan penamaan constitutional review. Putusannya dinamakan toetsingrecht.7 Melihat kepada perspektif tersebut di atas bahwa yang menjadi obyek perkara dalam pemeriksaan perkara di MK adalah pendapat DPR semata maka Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pelaku pelanggaran hukum tidak menjadi obyek dalam proses impeachment di MK. Oleh sebab itu proses peradilan di Pengadilan Negeri untuk meminta pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan tidak bertentangan dengan asas ne bisin idem. Selain itu MK adalah peradilan tata negara yang mengadili jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden sedangkan Pengadilan Negeri adalah 5 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan (Mahkamah Konstitusi Press, Jakarta, 2006), h. 15 6 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II..., h. 113 7 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II..., h. 113

139 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan cabang peradilan dalam Mahkamah Agung yang mengadili pertanggungjawaban individu atas perbuatan yang dilakukannya. MK dan Peradilan negeri memiliki wilayah kewenangan yang berbeda sehingga tidak bertentangan dengan asas ne bis in idem.8 Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, telah terjadi dua kali pemakzulan Presiden, yaitu pemakzulan terhadap Presiden Soekarno pada tahun 1967 dan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001. Keduanya diberhentikan oleh MPR tanpa alasan hukum yang jelas yang semata-mata didasarkan atas keputusan politik (politieke beslissing). Artinya, pemeriksaan dan pemberhentian dalam rapat paripurna MPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan persidangan judisial, namun forum politik ketatanegaraan. Pasca amandemen UUD 1945, telah diatur mengenai mekanisme pemberhentian (pemakzulan) Presiden dan/atau Wakil Presiden ketika di tengah masa jabatan. Setidaknya pengaturan mengenai pemakzulan ini sebagai agenda untuk menyempurnakan UUD 1945 pra amandemen atas pemberhentian Presiden yang sarat akan kepentingan politik. UUD 1945 pasca amandemen Pasal 7A mengatur bahwa sebelum Presiden dan/atau wakil Presiden diberhentikan, terlebih dahulu harus dibawa kepada MK dalam upaya penegakan hukum dan verifikasi keputusan politik di DPR. Selanjutnya, MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. B. Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pemakzulan Presiden Istilah impeachment (pemakzulan) berasal dari kata “to impeach’ yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika hal ini terbukti dari tuntutannya maka hukumannya adalah removal from office atau perbenhentian dari jabatannya. Dengan kata lain impeachment itu bukanlah perbenhentian.9 Artinya kata impeachment itu baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Maka perkataan impeachment yang dimaksudkan dalam bahasa Indonesia sebagai dakwaan atau tuntutan. Pejabat negara yang dapat dimakzulkan (impeach) di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 setelah adanya perubahan hanyalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berbeda dengan aturan di negara lain dimana mekanisme pemakzulan (impeachment) bisa dilakukan terhadap pejabat-pejabat tinggi negara. Misalkan di Negara Amerika Serikat, Presiden Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II..., h. 27. Eldo Denara, Mengenal Impeachment di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 7, tahun 2010, h. 43. 8 9

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 140

Jurnal Al-Mizan dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Tinggi Negara adalah objek yang dapat dikenakan tuntutan impeachment sehingga dapat diberhentikan. Pengaturan bahwa hanya Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat dikenakan tuntutan impeachment terdapat pada Pasal 7A UUD 1945 yang menyebutkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya pertanggungjawaban atas dakwaan kriminal akan mempengaruhi Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Dengan demikian pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan karena melakukan tindak pidana tertentu 10 Kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta sifat putusan MK juga bersifat final pada perkara memutus pendapat DPR, maka untuk mengerucutkan permasalahan dapat dipahami bahwa masalah-masalah tersebut hanya akan muncul apabila putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR. Apabila putusan MK adalah menolak permohonan atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima, Konstitusi telah menutup segala kemungkinan bagi DPR untuk melanjutkan proses impeachment ke MPR. 11 Proses pengambilan keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dilakukan dengan mengambil suara terbanyak dalam rapat paripurna. Komposisi dan tata cara pengambilan suara terbanyak itu juga diatur secara rinci oleh UUD 1945 yaitu rapat paripurna MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari seluruh anggota MPR.12 Persetujuan atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus disepakati oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir dalam rapat paripurna. Alasan-alasan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur secara rinci oleh UUD 1945. Hanya saja perbuatan atau penafsiran atas bentuk-bentuk perbuatan yang diatur dalam UUD tersebut masih merupakan subyek perdebatan. Perdebatan ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang baru mengadopsi ketentuan tentang proses impeachment. Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan bahwa alasan-alasan impeachment adalah pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pi10 Abdul Latif, Pilpres dalam Perspektiiif Koalisi Multipartai, Dalam Jurnal Konstitusi Volume 6, Nomor 3, (Setjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2009), h. 44. 11 Abdul Latif, Pilpres dalam Perspektiiif Koalisi Multipartai ..., h. 92 12 Laica Marzuki, Memandu Hukum, (Setjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2008), h. 44

141 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan dana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.13 Penjabaran atas bentuk-bentuk perbuatan sebagai alasan impeachment tersebut diatur dalam UU yang mengatur mengenai masalah-masalah itu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang MK UU nomor 24 tahun 2003, Pasal 10 ayat (3) huruf a menyebutkan bahwa yang dimaksud pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam UU.14 Mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, hal ini diatur dalam KUHP buku II tentang Kejahatan pada Bab I Kejahatan terhadap Keamanan Negara, disebutkan dalam Pasal 104; Selain itu, ada juga UU yang mengatur tindak pidana terhadap keamanan negara selain yang terdapat dalam KUHP yaitu tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam (UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme). Proses penyelidikan pelanggaran hukum oleh Presiden/Wakil Presiden oleh DPR harus sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dalam tata tertibnya. Selain itu panitia khusus dalam melakukan pembahasannya juga dapat mengadakan Rapat Kerja, Rapat Dengan Pendapat melakukan dan/ atau Rapat Dengan Pendapat Umum dengan pihak yang dapat dipandang perlu, termasuk dengan pengusul. Pembahasan yang dilakukan dengan Panitia Khusus menjadi bahan pengambil keputusan dalam rapat Paripurna untuk menyetujui atau menolak pernyataan tersebut. 15 Pengambilan keputusan dalam hal tuduhan impeachment terhadap Presiden/atau Wakil Presiden pada Rapat Paripurna harus dihadiri oleh sekurang=kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggota yang hadir dalam rapat tersebut. Bila dalam Rapat Paripurna tersebut menyetujui usulan tuduhan impeachment terhadap Presiden, maka usulan pendapat tersebut disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan. Apabila MK memutuskan membenarkan pendapat DPR, maka kemudian DPR mengadakan Rapat Paripurna untuk melanjutkan usulan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR.16 MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas Laica Marzuki, Memandu Hukum,.., h. 40 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK. 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK 16 Laica Marzuki, Memandu Hukum,.., h. 45. 13 14

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 142

Jurnal Al-Mizan pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakim, maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum. 17 DPR adalah satu-satunya pihak yang memiliki legal standing untuk beracara di MK dalam rangka tuduhan impeachment kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 24 tahun 2003 bahwa ”Pemohon adalah DPR”18. Akan tetapi permasalahan yang muncul adalah siapakah yang akan mewakili DPR dalam persidangan di MK atau dapatkah DPR menunjuk kuasa hukum untuk mewakili kepentingannya di persidangan MK. Dalam hal penunjukkan kuasa hukum, UU MK secara umum mengatur bahwa setiap pemohon dan/atau termohon yang beracara di MK dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya. Berarti DPR sebagai pemohon dalam perkara tuduhan impeachment di MK juga dapat menunjuk kuasa untuk mendampingi atau mewakilinya dalam beracara di MK. Akan tetapi, dengan pertimbangan untuk memberikan keterangan selengkap-lengkapnya kepada Majelis Hakim Konstitusi tentu lebih baik bilamana DPR menunjuk anggota-anggotanya yang terlibat secara intens dalam rapat-rapat di DPR ketika penyusunan tuduhan impeachment. Misalnya anggota-anggota yang mengusulkan hak menyatakan pendapat maupun anggota Panitia Khusus yang dibentuk untuk melakukan pembahasan tuduhan impeachment di DPR. 19 Dalam hal pelaksanaan kewajiban memutus pendapat DPR atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden, UU MK menambah satu persyaratan formil yang harus dipenuhi oleh DPR yaitu bahwa DPR harus memenuhi prosedur pengambilan keputusan atas tuduhan impeachment sesuai dengan UUD 1945 (Pasal 7B ayat (3)) serta Peraturan Tata Tertib. Persyaratan formil ini secara implisit diatur dalam Pasal 80 ayat (3) UU MK yang mengatur ketentuan bahwa pemohon wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan yang diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945, risalah dan/atau berita acara rapat DPR juga bukti-bukti atas tuduhan Laica Marzuki, Memandu Hukum,.., h. 46. Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi 19 Ahmad Fadlil Sumadi, Hukum Acara MK dalam Teori dan Praktek, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 8 Nomor 6, Jakarta, 2011, h. 875. 17 18

143 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan impeachment tersebut. 20 C. Kewenangan Pemakzulan Presiden oleh MPR dari Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi Setelah adanya amandemen UUD 1945, terdapat ketentuan hak-hak anggota DPR di dalam UUD tersebut, salah satunya adalah hak menyatakan pendapat selain hak interpelasi dan hak angket. Anggota DPR juga mempunyai hak-hak lain seperti hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Namun hak-hak anggota DPR yang terkait erat dengan fungsi pengawasan adalah hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat. Hak-hak inilah yang menjadikan kontrol DPR terhadap jalannya roda pemerintahan melalui lembaga perwakilan yang nerupakan representasi dari kedaulatan rakyat. Menurut Pasal 20A ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan bahwa : (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak-hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang dasar ini, Dewan Perwakilan rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.21 Selain hak-hak yang terdapat dalam Pasal 20A ayat (2), ketentuan hak menyatakan pendapat anggotab DPR juga diatur dalam ketentuan Pasal 77 ayat (4) UU Nomor 27 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas : a. Kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional b. Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau 20 Ahmad Fadlil Sumadi, Hukum Acara MK dalam Teori dan Praktek, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 8 Nomor 6, Jakarta, 2011 21 Irfan Nur Rachman, Penguatan Fungsi Pengawasan Legislatif terhadap Eksekutif Pasca Putusan MK, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 2, 2011, h. 79-80.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 144

Jurnal Al-Mizan c. Dugaan bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik bertupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat ,ainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.22 Setelah MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR, maka berdasarkan Pasal 7A dan 7B DPR berwenang melanjutkan dakwaannya kepada MPR. Dengan demikian DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai fungsi pengawasannya menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR. Keputusan DPR untuk melanjutkan proses impeachment dari MK ke MPR juga harus melalui keputusan yang diambil dalam sidang paripurna DPR.23 Sejak perubahan Ketiga UUD 1945 kekuasaan konstitusional MPR tidak lagi menjadi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, hal ini sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 “ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”24 Makna kedaulatan di tangan rakyat artinya tidak lagi ditentukan dan dilakukan sendiri serta tidak lagi sepenuhnya dilaksanakan oleh MPR. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan dan menegakkan paham kedaulatan yang dianut oleh Negara Indonesia, karena pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh lembaga yang ditentukan dalam UUD 1945.25 Kewenangan MPR yang diberikan konstitusional guna memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dimasa jabatannya yang terbukti telah melakukan pelanggaran sebagaimana di atur dalam UUD 1945 tidak serta merta MPR sebagai lembaga tinggi Negara dapat melaksanakan ketentuan tersebut, akan tetapi harus terlebih dahulu menerima usulan dari DPR, dimana pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden telah melanggar konstitusi terlebih dahulu melalui mekanisme dari putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikarenakan lembaga tinggi Negara lainnya tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR. Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah menerima usul DPR wajib Irfan Nur Rachman, Penguatan Fungsi Pengawasan Legislatif ..., h. 81 Irfan Nur Rachman, Penguatan Fungsi Pengawasan Legislatif ..., h. 82 24 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, ..h. 52 25 Laica Marzuki, Memandu Hukum,.., h. 65. 22 23

145 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR menerima usulan tersebut. 26 Tata cara Impeachment dalam lembaga MPR diatur dalam bab XV (Pasal 83) mengenai Tata Cara pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Peraturan Tata Tertib (Keputusan MPR RI nomor 7/ MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI sebagaimana telah diubah dengan Keputusan MPR RI nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR RI) 27 Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat kemudian mengundang Anggota MPR untuk mengikuti Rapat Paripurna yang mengagendakan memutus usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan oleh DPR. Pimpinan MPR juga mengundang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya didalam rapat Paripurna Majelis. Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan penjelasan atas usul pemberhentiannya. Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, maka Majelis tetap mengambil putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pengambilan Putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang diajukan DPR setelah adanya putusan MK dilaksanakan melalui mekanisme pengambilan suara terbanyak. Persyaratan pengambilan suara terbanyak itu adalah diambil dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota Majelis (kuorum), dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota yang hadir yang memenuhi kuorum. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatan dimaksud merupakan keputusan politik (politieke beslissing), bukan putusan peradilan (judiciele vonnis). Pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya adalah kewenangan konstitusional MPR bukan kewenangan peradilan. Walaupun telah jatuh putusan MK yang menyatakan bahwa pendapat DPR tentang pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, namun MPR dapat menjatuhkan putusan lain atas pertimbangan politik dari hasil Rapat Paripurna MPR.28 Laica Marzuki, Memandu Hukum,.., h.82 Laica Marzuki, Memandu Hukum,.., h.82 28 Laica Marzuki, Memandu Hukum,.., h. 44 26 27

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 146

Jurnal Al-Mizan Rapat Paripurna MPR terlebih dahulu memberi kesempatan kepada Presiden dan /atau Wakil Presiden menyampaikan penjelasan sebelum Rapat Paripurna menjatuhkan putusan, kesempatan ini bermakna pemberian hak pembelaan diri kepada Presiden dan/atau wakil Presiden29 . Namun demikian puitusan MPR tidak berarti menyampingkan putusan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, akan tetapi hal pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya itu memang merupakan kewenangan dari MPR. MPR sebagai lembaga Negara yang mempunyai kewenangan terhadap pemakzulan Presiden, tidak melakukan upaya-upaya konfigurasi politik. Dimana apabila hasil dari usulan DPR, yang bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, dan hal tersebut telah dibuktikan dengan adanya putusan MK yang menyatakan Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Maka MPR selaku lembaga Negara yang diberi kewenangan oleh UUD1945 terhadap pemakzulan Presiden, tidak lagi mengupayakan pemberhentiaannya di Parlemen dengan pemungutan suara (voting).

29 Laica Marzuki, Memandu Hukum,.., h. 82

147 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan DAFTAR PUSTAKA Abdul Latif, Pilpres dalam Perspektiiif Koalisi Multipartai, Dalam Jurnal Konstitusi Volume 6, Nomor 3, Setjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2009. Ahmad Fadlil Sumadi, Hukum Acara MK dalam Teori dan Praktek, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 8 Nomor 6, Jakarta, 2011. Anonimous,wewenangdalamorganisasihttp.//weakgratis.wordpress. com/2015/06/wewenang-dalam-organisasi, diakses pada tanggal 10 Januari 2015. Eldo Denara, Mengenal Impeachment di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 7, tahun 2010. Irfan Nur Rachman, Penguatan Fungsi Pengawasan Legislatif terhadap Eksekutif Pasca Putusan MK, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 2, 2011. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Laica Marzuki, Memandu Hukum, Setjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2008. Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 148

Jurnal Al-Mizan KEDUDUKAN PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM (Studi Komperatif Hukum Positif di Indonesia dan Fiqh Syafiiyah) Oleh: Mukhlisuddin, SHI, MA ABSTRAK Marriage guardian is a person who plays an important role in a marriage, in which the failure of a marriage valid and guardians have a large stake, Trustee in respect of the marriage is divided into nasab Guardian and Trustee Judge. Is the official guardian of judges appointed by the Minister of Religion or officials designated by him to act as the guardian of marriage for the bride. Furthermore, as we have seen that in a district that acts as a guardian judge is the prince in a working area of ​​the Office of Religious Affairs (KUA). In this study will be presented the position held by the trustee marriage judges as stipulated in Indonesia’s Positive Law (Law No. 1 of 1974, KHI and Permenag No. 30 of 2005) with fiqh Syafiiyah analysis with comparative study research approach with qualitative analysis. The results showed that the position of guardian judge concluded the same, because in Fiqh Syafi’iyah explained that the judge is an advanced guardian those holding area within the ward’s guardian and in practice judges KUA head in each district has to function in accordance with the laws and regulations applicable. Keyword : Wali Hakim, Nikah, Fiqh Syafiiyah, Hukum Positif

149 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan A. Pendahuluan Islam menganjurkan perkawinan, dengan diadakannya perkawinan maka telah terpenuhinya perintah agama dengan tujuan mendirikan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Diantara hukum Islam yang selalu menjadi persoalan pelik di tengah masyarakat mengenai pernikahan adalah tentang keberadaan wali. Wali nikah adalah orang yang berperan penting dalam suatu pernikahan, dimana sah dan tidaknya suatu pernikahan wali memiliki andil yang sangat besar sebagaimana pengertian wali yang didefinisikan oleh Al-Jaziri dalam Al-fiqh ‘Ala Madzahib al- Arba’ah “Wali dalam suatu pernikahan adalah seseorang yang sangat menentukan terhadap sahnya suatu pernikahan”1. Selanjutnya mengenai peran wali dalam suatu pernikahan memiliki peran yang sangat sakral, bahkan dalam hadist Rasulullah menyebutkan tidak sah pernikahan tanpa adanya wali sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Ahmad “Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali”.2 Kemudian bagaimana seandainya jika seorang wali, yaitu wali nasab berhalangan untuk menikahkan seorang wanita yang dibawah perwaliannya, baik berhalangan itu dalam bentuk tidak dapat menjalankan tugasnya disebabkan oleh keadaan fisiknya yang tidak memungkinkan, seperti masih kecil (shaghir), sakit atau gila, ataupun disebabkan keengganannya untuk menjalankan tugas sebagai wali. Wali dalam kaitannya tentang perkawinan dibedakan menjadi Wali Nasab dan Wali Hakim, wali nasab ialah laki-laki yang beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah. Sedangkan wali hakim, ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai perempuan. Selanjutnya sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa dalam suatu kecamatan yang bertindak sebagai wali hakim adalah penghulu di suatu wilayah kerja Kantor Urusan Agama (KUA). Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam hukum positif di Indonesia baik itu Undang– undang No. 1 Tahun 1974, KHI dan Permenag Permenag No. 30 Tahun 2005 maupun Fiqh Syafi’iyyah secara jelas menyebutkan bahwa dibolehkannya bagi seorang perempuan untuk memilih dengan berwali hakim. Namun apakah pemilihan wali hakim menjadi wali 1 Al-Jaziri Abdurrahman, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Jld. IV, (Kairo: Muassisah al-Mukhtar Linnasyar Watauzi’, 2006), h. 23 2 Lihat dalam Kitab Musnad Imam Ahmad, Juz IV, h. 394, Sunan Ad-Darimi, Juz II, h. 137, selengkapnya lihat Asy-Syarbini Muhammad bin Muhammad Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj, Juz. III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2006), h. 180.

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 150

Jurnal Al-Mizan nikah dapat dilaksanakan oleh calon mempelai wanita dengan serta-merta tanpa ada faktor-faktor lain yang mempengaruhuinya. Dengan kata lain, apabila seorang wali nasab yang enggan untuk menjadi wali dalam pernikahan tersebut, disebabkan oleh ketidak sukaannya terhadap calon mempelai lakilaki misalnya, apakah calon mempelai wanita langsung dapat meminta seorang petugas resmi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi wali nikahnya. Pada akhirnya, dalam tulisan ini penulis merasa akan meneliti tentang kedudukan pernikahan yang dinikahkan oleh wali hakim dalam hukum positif di Indonesia dan Fiqh Syafiiyah dengan melakukan pendekatan studi komperatif normatif dengan analisa data kualaitatif dalam judul “Kedudukan Pernikahan Oleh Wali Hakim (Studi Komperatif Hukum Positif di Indonesia dan Fiqh Syafiiyah)” B. Konsep Pernikahan Oleh Wali Hakim 1. Pengertian Wali Nikah Secara etimonologi wali adalah yang mencintai (al-muhibbu), yang mengurus perkara (urusan) orang lain, kekuasaan, penolong (al-Nashir).3 Adapun yang dimaksud dengan wali dalam istilah fuqaha seperti yang diformulasikan Wahbah al-Zuhaili yaitu Kekuasaan yang dimiliki seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung atas izin orang lain.4 Beranjak dari pengertian di atas, dapatlah dipahami mengapa dalam Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak untuk menjadi wali bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasanya, karena ayah tentu orang yang paling dekat, siap menolong bahkan mengasuh dan mengurusi anak-anaknya. Jika tidak ada ayah barulah hak perwaliannya diganti oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah. Menurut Wahbah Zuhaily, sebab disyariatkan adanya wali dalam pernikahan adalah untuk menjaga kemashlahatan wanita dan menjaga agar hak-hak wanita tetap terlindungi, karena sifat lemah yang dimiliki wanita. Maksudnya, karena lemahnya baik lemah fisik atau lemah akal wanita, bisa jadi wanita salah dalam memilih suami atau menentukan maskawinnya. Karena itu wali mengambil kekuasaan darinya untuk menikahkannya kepada orang yang dikehendaki wali untuk kepentingan si wanita, bukan untuk kepentingan pribadi wali.

3 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir kamus Arab - Indonesia, Cet. XIIII, (Surabaya: Pustaka Progressif), h. 1582. 4 Wahbah Zuhaili, Fiqh al-islam Wa Adillatuh, Jld. VIIII, (Suriah: Dar Al-Fikri, 2004), h. 6690.

151 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan 2. Landasan Yuridis Wali Nikah Landasan yuridis mengenai wali nikah adalah merujuk kepada alQur’an dan Hadits. Adapun ayat-ayat yang menunjukkan keharusan wali dalam melakukan ijab aqad nikah yaitu: a. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 232

ِ ‫نكحن أ َْزٰوجه َّن إِ َذا تـ ٰرضوا۟ بـيـنـهم بِٱلْمعر‬ ِ ‫وف‬ ‫َوإِ َذا طَلَّ ْقتُ ُم ٱلن‬ ُ ‫َجلَ ُه َّن فَ َل تـَْع‬ ُ ُ‫ضل‬ ُ َ َ َ ْ َ‫وه َّن أَن ي‬ َ ‫ِّسآءَ فـَبـَلَ ْغ َن أ‬ ُ ْ َ َُ ْ َ ْ َ ََ َ ِ ِ ‫ظ بِِهۦ من َكا َن ِمن ُكم يـ ْؤِمن بِٱللَّ ِه وٱلْيـوِم ْٱلء‬ ‫اخ ِر ۗ َٰذلِ ُك ْم أ َْزَك ٰى لَ ُك ْم َوأَطْ َه ُر ۗ َوٱللَّهُ يـَْعلَ ُم‬ َ ‫ۗ َٰذل‬ َ ُ‫ك ي‬ َ ُ ‫وع‬ ُ ُ ْ َ َْ َ ‫َوأَنتُ ْم َل تـَْعلَ ُمو َن‬ Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminyai,5 apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah: 232) Ayat di atas ditujukan larangan berlaku adhal bagi wali. Kalau wali tidak diperlukan tentulah larangan dalam ayat di atas tidak ada arti dan tidak tidak ada gunanya melarang para wali berlaku adhal. b. Q.S. al-Nur ayat: 32

ِ َّ ‫و أَنْ ِكحوا ْالَيامى‏ ِمْن ُكم و‬ ِ ‫الني ِمن ِع‬ ‫باد ُك ْم َو إِمائِ ُك ْم إِ ْن يَ ُكونُوا فـَُقراءَ يـُْغنِ ِه ُم اهللُ ِم ْن‬ ُ ْ َ ‫الص‬ َْ َ ِ ‫ضلِ ِه و اهلل و‬ ‫ليم‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫اس‬ ٌ َ ٌ ُ َ ْ َ‫ف‬

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian6 diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. Ayat ini ditujukan kepada wali agar mereka menikahkan orang-orang yang tidak bersuami. Oleh sebab itu urusan pernikahan menjadi wewenang wali, bukan wewenang calon mempelai wanita. Adapun dalil-dalil dari hadits, yaitu: c. Hadits riwayat Ahmad bin Hambal

‫ال تزوج املرأة املرأة وال تزوج املرأة نفسها‬

Artinya: Janganlah seorang perempuan itu menikahkan perempuan lain dan janganlah perempuan itu menikahkan dirinya sendiri, bahwanya ciri-ciri

Kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain. hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin. 5 6

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 152

Jurnal Al-Mizan perempuan zina itu adalah yang menikahkan dirinya sendiri.7 Hadits di atas melarang perempuan mengucapkan ijab aqad nikah, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. d. Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah 8 ‫ فإن دخل فيها فلها المهر بما إستحل من فرجها‬,‫أيما إمرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل‬ Artinya: Perempuan mana saja menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya menjadi batal. Dan jika laki-laki (yang menikahinya) menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar. Secara tekstual hadis di atas memberikan pemahaman bahwa pernikahan yang dilangsungkan tanpa adanya seorang wali hukumnya adalah batal karena dalam hadis tersebut secara tegas menyatakan demikian dan tidak ada qarinah yang dapat memalingkan makna hadis tersebut kepada makna yang hanya menunjuk pada aspek kesempurnaan sebuah pernikahan. Bahkan melalui kajian tematis-korelatif terhadap hadis-hadis yang memiliki tema yang semakna, dibutuhkannya seorang wali sebagai kunci sahnya pernikahan meliputi izin dan tindakan untuk mengakadkannya sehingga tidak memberikan peluang bagi seorang perempuan untuk menikahkan dirinya kepada orang lain sekalipun telah mendapatkan izin dari seorang wali. Disamping kedua dasar hukum di atas, masih ada pertimbangan rasio yang dapat dikemukakan, yaitu bahwa pada umumnya tujuan terwujudnya suatu pernikahan adalah untuk membentuk sebuah rumah tangga, rumah tangga tidak dapat dibina dengan sempurna jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara pihak keluarga suami dengan pihak keluarga istri. Perempuan dengan segala kekurangannya dalam hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan baik, lebih-lebih karena perempuan cepat merasa dan cepat terpengaruh dengan perasaan, tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi kemashlahatan. Dan supaya jangan terjadi hal demikian, maka dilaranglah perempuan mencampuri langsung akad nikah, menikahkan dirinya.9 Undang– undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung tentang wali nikah namun mengatur tentang izin perkawinan tanpa membedakan apakah izin itu dari orang tua laki-laki atau perempuan. Wali nikah secara khusus diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan menetapkan wali tersebut adalah seorang laki-laki. Namun tidak semua wali (ayah/ seorang laki-laki) mau menikahkan, karena beberapa faktor. Misalnya ayah si pemohon tidak bersedia menikahkan anaknya karena tidak suka dengan calon 7 bnu Hajar al-`Asqalany, Bulughul Maram, Terj. Ahmad Ismail, (Surabaya: Putra Al-Maarif, t.th), h. 516 8 Ibnu Hajar al-`Asqalany, Bulughul Maram,…, h. 514. 9 Ismuha, Perbandingan Mazdhab Dalam Masalah Fiqh, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1978), h. 12.

153 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan suami si pemohon, sementara salah satu syarat dalam perkawinan adalah adanya wali nikah. Barulah Pengadilan bisa menetapkan atau menunjuk wali nikahnya (wali adhal), Karena si pemohon dan calon suami, sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Untuk lebih lanjutnya tentang perkawinan maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang perkawinan mengatakan bahwa suatu perkawinan dianggap sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan. 3. Klasifikasi Wali Nikah Dalam fiqh Syafi’iyyah wali nikah dilihat dari segi kewenangannya bisa di klasifikasikan menjadi dua: a. Wali mujbir Wali mujbir adalah wali yang berhak memaksa gadis di bawah perwaliannya baik yang telah baligh atau belum untuk dikawinkan dengan laki-laki dengan tanpa izin dari gadis tersebut, namun disunnatkan bagi wali meminta izin kepadanya terlebih dahulu. Wali mujbir terdiri dari: 1. Ayah 2. Ayah dari ayah dan terus ke atas Ini berarti, wali selain ayah dan kakek jika akan memilihkan calon suami atau menetapkan mahar bagi wanita perawan harus terlebih dahulu meminta persetujuannya, karena bukan termasuk wali mujbir. Dalil yang diusung Syafi’iyyah adalah hadits riwayat Daruquthny sebagai berikut:

‫الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يزوجها أبوه‬

Artinya: Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan perawan dinikahkan oleh oleh ayahnya. Yang perlu dicatat, wali mujbir dalam fiqh Indonesia, yang berbentuk perundang-undangan, tidak lagi diakui. Calon pengantin wanita, bagaimanapun keadaannya harus ditanya persetujuannya untuk menikah dengan calon mempelai laki-laki. Ada atau tidak adanya persetujuan calon pengantin wanita harus dituliskan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah. b. Wali Ghairu Mujbir Wali ghairu mujbir adalah wali yang tidak berhak memaksa gadis yang di bawah perwaliannya untuk dikawinkan dengan laki-laki tanpa adanya izin dari gadis tersebut. Wali ghairu mujbir terdiri dari: 1. Ayah 2. Ayah dari ayah dan terus ke atas 3. Saudara kandung 4. Saudara se ayah 5. Anak dari saudara kandung Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 154

Jurnal Al-Mizan 6. Anak dari saudara se ayah dan terus ke bawah 7. Saudara kandung dari ayah 8. Saudara se bapak dari ayah 9. Anak saudara kandung dari ayah dan terus ke bawah 10. Hakim Apabila wali yang tersebut di atas tidak memenuhi syarat, misalnya masih kecil, gila dan lain sebagainya, maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali yang tersebut berikutnya sesuai tertib di atas. Memandang kepada jauh dekatnya hubungan pertalian darah antara yang diwalikan dengan walinya, wali dapat dibagi menjadi wali aqrab dan wali ab’ad. 4. Perpindahan Wali Nikah (Dari Wali Nasab ke Wali Hakim) Pada dasarnya wali hakim hanya berfungsi sebagai pengganti dari pada wali aqrab bukan sebagai wakil dari wali aqrab. Wali hakim digunakan ketika tidak ada lagi wali aqrab. Perpindahan dari wali nasab ke wali hakim hanya bisa terjadi jika kondisi wali aqrab seperti yang tersebut di bawah ini: 1. Tidak ada wali khas yaitu wali nasab 2. Wali aqrab tidak ada di tempat sejauh dua marhalah serta tidak ada wakil walinya yang datang ke tempat pernikahan 3. Wali aqrab tidak ada di tempat sejauh dua marhalah tapi dirasa udzur untuk bisa sampai ke tempat pernikahan 4. Wali aqrab mafqud, artinya tidak diketahui keberadaaannya, hidup atau matinya 5. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada 6. Wali aqrab sedang melakukan ihram haji atau umrah 7. Wali aqrab adhal tidak sampai tiga kali.10 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 23 ayat (1) juga menyebutkan sebab-sebab perpindahan dari wali nasab ke wali hakim sebagaimana dijelaskan, yaitu: Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah 1. Apabila wali nasab tidak ada atau 2. Tidak mungkin menghadirkannya atau 3. Tidak diketahui tempat tinggalnya atau 4. Ghaib atau 5. Adhal atau enggan. Dalam Pasal 2 ayat (1) PMA Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim menyebutkan sebab-sebab perpindahan dari wali nasab ke wali hakim, antara lain: 1. Tidak mempunyai wali nasab yang berhak 2. Wali nasabnya tidak memenuhi syarat 10

Syihabuddin, Qalyubi Wa Amirah, Jld. III, (Semarang: Toha Putra, tt), h. 225.

155 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan 3. Wali nasabnya mafqud 4. Wali nasabnya berhalangan hadir 5. Wali nasabnya adhal.11 Sebab-sebab yang lebih rinci lagi dikemukakan Pedoman Fiqh Munakahat dari Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, yaitu: 1. Karena tidak mempunyai wali nasab sama sekali 2. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya 3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada 4. Wali berada di tempat jaraknya sejauh masafatul qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qasar) yaitu 92,5 km 5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai 6. Wali adhal, artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan 7. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umrah. Terakhir, dalam Permenag No 30 Tahun 2005 yang secara khusus mengatur tentang wali hakim menyebutkan kedudukan wali hakim dalam pernikahan sebagai berikut yang tertera dalam pasal 2 1. Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim. 2. Khusus untuk menyatakan adhalnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.12 Berdasarkan penyebab terjadinya perpindahan hak perwalian tersebut dapat disimpulkan bahwa, wali hakim mempunyai wewenang menikahkan perempuan yang walinya seperti hal-hal di atas. Kewenangan tersebut adalah sebagai pengganti bukan sebagai wakil. Seandainya sebagai wakil tentu ia tidak berwenang menikahkan perempuan yang walinya sedang melakukan ihram, sebab orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan dan jika seandainya ia sebagai wakil tentu ia tidak boleh menikahkan karena yang diwakilinya itu sedang melakukan ihram, karena kedudukan wakil sama dengan yang mewakilkan. Maka yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali. Ada satu sebab lagi yang menyebabkan intiqal dari nasab ke hakim. Sebab Lihat di Pasal 2 ayat (1) PMA Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim Lihat Pasal 2 tentang penetapan Wali Hakim dalam Permenag No. 30 Tahun 2005 Tentang Wali hakim 11

12

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 156

Jurnal Al-Mizan tersebut adalah anak hasil di luar nikah (anak tidak sah). Menurut pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempnyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. KHI pasal 100 lebih menegaskan lagi bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, maka wanita tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun, karena barisan wali nasab adalah dari garis ayah. Oleh sebab itu, maka perwaliannya berpindah kepada wali hakim. 5. Adhal Wali Khas dan Implikasi Hukum Adhal (keengganan) wali khas merupakan salah satu factor yang menyebabkan terjadinya penpindahan hak wilayah (perwalian) berpindah dari wali khas kepada wali ‘am (hakim), untuk lebihnya pengertian dari adhal, wahbah Zuhaily menjelaskan sebagai berikut : ‫منع الولي المرأة العاقلة البا لغة من الزواج بكفئها اذا طلبت ذالك ورغب كل واحد منهما فى صاحبه‬ Artinya: Penolakan wali untuk menikahkan seorang wanita yang telah baligh dan berakal dengan seorang laki-laki yang sepadan (se-kufu) apabila ia telah meminta untuk dinikahkan. Dari uraian definisi yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaily di atas dapat kita pahami bahwa keengganan seorang wali yang dimaksudkan disini adalah wali khas untuk menikahkan wanita yang telah baligh dengan laki-laki yang sepadan atau kafaah dikala wanita tersebut memintanya. Maka tentunya dihukumkan wali tersebut adhal dengan merujuk kepada permintaan anak wanitanya untuk dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu, berbeda halnya dengan laki-laki yang tidak sekufu. Maka dari sini dapat kita lihat bahwa kafaah merupakan sebagai salah satu unsur yang ditinjau dalam adhalnya wali. Adapun jika wali menghalangi karena lasan-alasan yang dibenarkan seperti halnya laki-laki tidak sepadan atau maharnya kurang dari mahar misil, hal tersebut tidak dianggap adhal. Adhalnya wali khas sebagaimana telah disebutkan di atas menajdi sebab berpindahnya wilayah khas kepada wilayah ‘am, tentunya dalam konteks adhal seorang wali dibutuhkan penetapan yang kuat, dalam hal ini merujuk kepada PERMEN No 2 tahun 1987 Pasal 2 ayat: (2) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita (3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita. Sedangkan menurut fiqh Syafi’iyyah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami bahwa penetapan tentang adhalnya wali didasari oleh beberapa faktor:

157 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan 1. Menghadirkan wali calon mempelai wanita 2. Tidak mau menikahkan setelah dihadirkan 3. Diamnya wali setelah diperintahkan untuk menikahkan calon mempelai wanita.13 C. Analisa Fiqh Syafiiyah Terhadap Pernikahan Wali Hakim Wali hakim adalah orang yang memegang kekuasaan kewalian, baik itu imam, para qadhi maupun para wakil mereka.14 Kedudukan wali hakim dalam hal menikahkan seorang perempuan yaitu calon mempelai pria sekufu dengan mempelai wanita, calon mempelai wanita telah baligh dan calon mempelai wanita berada dalam wilayah kewenangan wali hakim.15 Kedudukan wali hakim yang diatur dalam hukum positif di Indonesia adalah sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri No 2 Tahun 1987, selanjutnya disempurnakan dengan keluarnya Inpres No1 Tahun 1990 dalam Kompilasi Hukum Islam dan disempurnakan kembali dengan keluarnya Permenag No. 30 tahun 2005. Dalam Permen No 2 Tahun 1987 diatur dalam pasal 4 dan 5 sebagai berikut : Pasal 4 1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini; 2. Apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Wakil/Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya. Pasal 5 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Pegawai yang memenuhi syarat menjadi Wali Hakim pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.16 Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam adalah sebagaimana 13 Ibnu Hajar al-Haitami Ahmad, Tuhfah al-Muhtaj, Jld. VII, (Dar Al-Fikri, 1997), h. 294. 14 Zainuddin Al-Malibari, Fath al-Muin, jld. III, (Semarang : Hikmah Keluarga, tt), h. 314. 15 Sayyid Bakri, I’anah al-thalibin, Jld. III, (Semarang : Hikmah Keluarga, tt), h. 314. 16 Permen No. 2 Tahun 1987

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 158

Jurnal Al-Mizan yang terurai dalam pasal 23 KHI berikut : 1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. 2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.17 Selanjutnya dalam Permenag No 30 tahun 2005 tentang wali wakim kembali memperjelas kedudukan wali hakim pada pasal, 3 dan pasal sebagaimana yang tersebut di bawah ini

1.

2.

1.

2.

3.

PENETAPAN WALI HAKIM Pasal 2 Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim. Khusus untuk menyatakan adhalnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita. BAB III PENUNJUKAN DAN KEDUDUKAN Pasal 3 Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) dalam wilayah kecamatan yang bersangkutan ditunjuk menjadi wali hakim untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan ini. Apabila Kepala KUA Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk salah satu Penghulu pada kecamatan tersebut atau terdekat untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya. Bagi daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh transportasi, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Departemen Agama menunjuk pembantu penghulu pada kecamatan tersebut untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya. 17

Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam

159 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Pasal 4 1. Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang cakap dan ahli serta memenuhi syarat menjadi wali kahim pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan ini. 2. Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilasanakan atas dasar usul Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut. Pandangan Fiqh Syafi’iyyah dan hukum positif yang berlaku di Indonesia terkait dengan kedudukan wali hakim dapat disimpulkan sama, karena dalam Fiqh Syafi’iyah menjelaskan bahwa yang menajdi wali hakim adalah mereka yang memegang wilayah dalam wilayah perwaliannya dan selanjutnya dalam aturan perundangan mulai dari Permen No. 2 Tahun 1987, KHI, dan Permenag No 30 Tahun 2005 menguraikan tentang siapa yang dimaksudkan dalam aturan Fiqh Syafi’iyyah, dimana mereka yang berhak memegang wali hakim adalah Kepala kantor Urusan Agama di kecamatan, kepada bidang Urasan Agam Islam, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten (dulu Kepala Depag Kabupaten), Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji dan terakhir adalah Menteri Agama. Sebagai Kepala Kantor Urusan Agama di kecamatan yang mengurus pelaksanaan pernikahan dan administrasi tatalaksana kantor KUA di kecamatan sekaligus menjabat sebagai pemegang mandat wali hakim di kecamatan Ulim, Kepala KUA dalam melaksanakan tugasnya sebagai wali hakim juga turut melakukan pemeriksaan berkas pendaftaran nikah, dalam hal ini merujuk kepada pasal 7 KMA No. 447 Tahun 2004 Dalam melakukan pemeriksaan nikah diperlukan penelitian terhadap : a. Surat keterangan untuk nikah menurut model N-1; b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa/pejabat setingkat menurut model N-2; c. Persetujuan kedua calon mempelai menurut model N-3; d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/pejabat setingkat menurut model N-4; e. Izin tertulis orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun menurut model N-5; f. Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud huruf e di atas diperlukan izin dari Pengadilan; g. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun; h. Jika calon mempelai anggota TNI/Polri diperlukan surat izin dari

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 160

Jurnal Al-Mizan atasannya/kesatuannya; i. Izin dari pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang; j. Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undangundang Nomor 7 Tahun 1989; k. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat berwenang yang menjadi dasar pengisian model N-6 bagi janda/duda yang akan menikah; l. Izin kawin dari kedutaan bagi warganegara asing.18 Selain dari memeriksa keabsahan berkas yang diajukan untuk pendaftaran nikah, wali hakim juga turut memeriksa keabsahan wali, kemudian jika dalam kenyataannya bahwa wali benar-benar tidak ada, maka akan diverikasi sedetail mungkin untuk menghindari penipuan data dari calon mempelai, dan juga dalam menjalankan tugas sebagai wali hakim, Kepala KUA juga memeriksa sepadan (kafa’ah) antara 2 calon pasangan mempelai dan kafaah wali khas. Dalam pemeriksaan kafaah, maka wali hakim akan memverifikasi kafaah agama, pekerjaan, keturunan dan wibawa martabat keluarga. D. Penutup Pernikahan melalui wali hakim merupakan salah satu penelitian yang sangat menarik untuk dikaji dan diteliti dari berbagai aspek. Khususnya studi komperasi antara hukum positif yang berlaku di Indonesia (Undang– undang No. 1 Tahun 1974, KHI dan Permenag Permenag No. 30 Tahun 2005) maupun Fiqh Syafi’iyyah. Dalam penerapannya, Wali hakim yang umumnya dipegang oleh Kepala KUA di setiap kecamatan dalam wilayah administratif di Indonesia, telah menjalankan fungsinya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan juga meskipun masih terdapat pemahaman dalam Fiqh Syafi’iyyah bahwa dalam kasus adhalnya wali ada sebagaian orang memahami bahwa penetapan adhalnya wali telah cukup penetapannya di KUA setempat, namun pihak KUA menyarankan kepada calon mempelai terlebih dahulu mengikuti proses persidangan di Mahkamah Syariah untuk menetapkan adhalnya wali demi terwujudnya sebuah pernikahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peneliti melihat ini merupakan kiprah yang luar biasa dari pihak KUA untuk mensinergikan fungsinya sebagai pelaksana Undang-undang dan juga tanpa mengabaikan konsep pernikahan dalam Fiqh Syafi’iyah sebagaimana pemahaman sebagaian orang.

18

Selengkapnya lihat pasal 7 KMA No. 447 Tahun 2004

161 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan DAFTAR PUSTAKA hmad Warson Munawwir, Al-Munawwir kamus Arab - Indonesia, Cet. XIIII, Surabaya: Pustaka Progressif. Al-Jaziri Abdurrahman, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Jld. IV, Kairo: Muassisah al-Mukhtar Linnasyar Watauzi’, 2006. Ibnu Hajar al-`Asqalany, Bulughul Maram, Terj. Ahmad Ismail, Surabaya: Putra Al-Maarif, t.th. Ibnu Hajar al-Haitami Ahmad, Tuhfah al-Muhtaj, Jld. VII, Dar AlFikri, 1997. Ismuha, Perbandingan Mazdhab Dalam Masalah Fiqh, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1978. Kitab Musnad Imam Ahmad, Juz IV, h. 394, Sunan Ad-Darimi, Juz II, h. 137, selengkapnya lihat Asy-Syarbini Muhammad bin Muhammad Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj, Juz. III, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2006. Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005. Sayyid Bakri, I’anah al-thalibin, Jld. III, Semarang : Hikmah Keluarga, tt. Syihabuddin, Qalyubi Wa Amirah, Jld. III, Semarang: Toha Putra, tt. Wahbah Zuhaili, Fiqh al-islam Wa Adillatuh, Jld. VIIII, Suriah: Dar Al-Fikri, 2004. Zainuddin Al-Malibari, Fath al-Muin, jld. III, Semarang : Hikmah Keluarga, tt. Permenag No. 30 Tahun 2005 Tentang Wali hakim PMA Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim Permen No. 2 Tahun 1987 Kompilasi Hukum Islam KMA No. 447 Tahun 2004

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 162

Jurnal Al-Mizan RIWAYAT PENULIS Nama : Mukhlisuddin, SHI, MA Tempat Tanggal Lahir : Mali Guyui, 25 Mei 1986 Alamat : Gp. Puuk, Kec. Sakti Kab. Pidie Hand-Phone : 082361448002 Pekerjaan : Dosen Tidak Tetap Fak. Syariah & Ekonomi Islam IAI Al-Aziziyah Samalanga Penyuluh Agama Islam PNS di Kemenag Kab. Pidie Jaya Email : [email protected] Nama : Nainunis, MA Tempat Tanggal Lahir : Matang Hueng, 7 Juli 1982 Alamat : Gp. Matang Hueng Kec. Samalanga Kab. Bireuen Hand-Phone : 085277521982 Pekerjaan : Dosen Tetap Fak. Syariah & Ekonomi Islam IAI Al-Aziziyah Samalanga Pengajar di MUDI Mesjid Raya Samalanga Email : [email protected] Nama : Safriadi, MA Tempat Tanggal Lahir : Mns Meucat Nisam, 17 Agustus 1985 Alamat : Komplek Dayah Raudhatul Muarif Cot Trueng. Aceh Utara Hand-Phone : 081269162916 Pekerjaan : Dosen Tetap Fak. Syariah & Ekonomi Islam IAI Al-Aziziyah Samalanga Dosen Tidak Tetap STAIN Malikussaleh, Lhokseumawe Pengajar Dayah Raudhatul Muarif Cot Trueng Email : - Nama : H. Helmi, Imran, MA Tempat Tanggal Lahir: Mns Meucat, 1 September 1974 Alamat : Komplek Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga Hand-Phone : 085277639898 Pekerjaan : Dosen Tetap Fak. Syariah & Ekonomi Islam IAI Al-Aziziyah Samalanga Anggota MPU Kab. Bireuen

163 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan Email : [email protected] Nama : Afrizal, SHI, MHI Tempat Tanggal Lahir : Meunasah Bale, 27 April 1984 Alamat : Komplek Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga Hand-Phone : 085260191916 Pekerjaan : Dosen Tetap Fak. Syariah & Ekonomi Islam IAI Al-Aziziyah Samalanga Guru Pengajar Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga Email : afrizalabdullah@yahoo. co.id Nama : Mustafa Kamal, SHI, MA Tempat Tanggal Lahir : Metareum Bambong, 3 Maret 1983 Alamat : Gp. Baro Kec. Samalanga Hand-Phone : 085260675446 Pekerjaan : Dosen Tetap Fak. Syariah & Ekonomi Islam IAI Al-Aziziyah Samalanga Wakil Dekan I Fak. Syariah & Ekonomi Islam IAI Al-Aziziyah Email : [email protected] Nama : Imran, SHI, M. Sy Tempat Tanggal Lahir : Desa Batee, Kec. Pidie, 21 Januari 1979 Alamat : Desa Batee, Kec. Pidie, Kab. Pidie,  Aceh Hand-Phone : 08529795229 Pekerjaan : Dosen Tetap Fak. Syariah & Ekonomi Islam IAI Al-Aziziyah Samalanga Dosen Tidak Tetap STIS Al-Hilal Sigli Email : [email protected] Nama : Haikal, Lc, M.HI Tempat Tanggal Lahir : Alamat : Pulo Lhok, Ulim Kab. Pidie Jaya Hand-Phone : 085262626268 Pekerjaan : Dosen Tetap Fak. Syariah & Ekonomi Islam IAI Al-Aziziyah Samalanga Pengajar di Dayah Jeumala Amal Lung Putu Email : [email protected]

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 164

Jurnal Al-Mizan Nama : Syamsul Bahri, SH, MH Tempat Tanggal Lahir : Alamat : Hand-Phone : 081360643688 Pekerjaan : Dosen Tetap Fak. Syariah & Ekonomi Islam IAI Al-Aziziyah Samalanga Email : - Nama : Muhammad Basyir, SHI Tempat Tanggal Lahir : Jeunieb, 11/10/1979 Alamat : Desa Cot Mane, Kec.samalanga Hand-Phone : 085249457966 Pekerjaan : Dosen Fungsional Fak. Syariah & Ekonomi Islam IAI Al-Aziziyah Samalanga Ketua Program Studi SAS IAI Al-Aziziyah email : [email protected]

165 |

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015

Jurnal Al-Mizan

Al-Mizan Edisi 3 Tahun 2015





| 166

Jurnal Al-Mizan

Lihat lebih banyak...

Comentarios

Copyright © 2017 DATOSPDF Inc.