Good International Citizen sebagai Prinsip Politik Luar Negeri Australia: Track Record dan Tantangan

July 18, 2017 | Autor: Ario Bimo Utomo | Categoría: Australian Studies, Australian Politics, Hubungan Internasional
Share Embed


Descripción

Good International Citizen sebagai Prinsip Politik Luar Negeri Australia:
Track Record dan Tantangan
Oleh: Ario Bimo Utomo (11/311541/SP/24398)

Dalam politik luar negeri Australia, good international citizen
adalah sebuah prinsip yang menyatakan bahwa nilai-nilai kemasyarakatan
memiliki peran di dalam penentuan kepentingan nasional. Berbeda dari
kepentingan strategis atau kepentingan perdagangan, yang cenderung bersifat
self-oriented, good international citizen adalah sebuah prinsip yang
mengacu kepada nilai-nilai kemasyarakatan dalam pengaplikasiannya.[1]
Sebagai sebuah prinsip, good international citizen sejatinya tidak memiliki
definisi khusus, karena sifatnya yang menurut penulis cenderung praktikal.
Namun, dalam kasus ini, penulis mengambil pendapat dari Gareth Evans, bahwa
good international citizen merupakan sebuah prinsip kebijakan luar negeri
Australia yang didasarkan kepada nilai-nilai moral dan hak asasi
manusia—sebuah derivasi dari pemikiran kaum idealis akan tatanan dunia yang
harmonis.[2]
Rationale: Dilema sebagai Middle Power
Menurut penulis, sejarah politik luar negeri Australia juga turut
mewarnai hadirnya prinsip ini. Sejak kemerdekaannya dari Britania Raya pada
1901, Australia selalu dikenal sebagai negara yang "selalu dalam
kekhawatiran". Posisi geografisnya yang cenderung terasing, dan dikelilingi
oleh negara-negara besar Asia, menjadikannya senantiasa merasa terancam
akan adanya pengaruh dari kekuatan luar. Salah satu wujud dari kekhawatiran
ini adalah dimunculkannya White Australia Policy, sebuah kebijakan
kontroversial yang bertujuan untuk menurangi jumlah imigran—khususnya asal
Asia—yang mencoba untuk memasuki Australia. Kebijakan ini sempat
menyebabkan Australia dipandang sebagai negara yang rasis dan
diskriminatif. Namun, pada akhirnya kebijakan ini pun dihapuskan secara
gradual oleh pemerintahan PM Whitlam pada 1973.[3] Di sisi lain, Australia
sempat dilanda kekhawatiran terhadap negara-negara sekitarnya, menyusul
sejarah traumatik serangan Jepang ke Darwin pada 19 Februari 1942.[4]
Kini, pemerintahan Australia cenderung tidak memberikan porsi
kekhawatiran akan kekuatan luar sebesar dahulu, mengingat interdependensi
internasional yang kian erat. Negara di belahan bumi selatan ini kini
tengah membangun citra sebagai sebuah negara middle power. Di satu sisi, ia
bukanlah sebuah kekuatan utama dunia layaknya Amerika Serikat atau Rusia;
namun, di sisi lain ia juga terlalu berpengaruh untuk sekedar disebut
sebagai pengamat di dalam kancah internasional. Sehingga, Australia
memiliki semacam tuntutan moral untuk bekerjasama lebih di dalam
pelaksanaan pemerintahan global. Akhirnya, penulis menilai bahwa Australia
sangatlah membutuhkan branding politik luar negeri yang mampu memposisikan
negaranya secara strategis dan efektif di dalam kancah internasional. Dalam
hal ini, pemerintah Australia muncul dengan konsep good international
citizen.
Dengan adanya prinsip ini, Australia memposisikan dirinya sebagai
seorang "anak-baik-baik" yang selalu berupaya memainkan peran positif
berwujud kerjasama dalam kerangka multilateral. Bagi penulis, ini adalah
merupakan sebuah pilihan yang rasional bagi Australia. Dengan menganut
prinsip sebagai warga internasional yang baik, Australia tidak perlu
diributkan dengan status sebagai negara yang "tanggung" dalam kancah
internasional. Melalui pengupayaan nilai-nilai moral dalam pelaksanaannya,
Australia—dengan kapasitasnya sebagai middle power—berharap mampu meraup
simpati negara-negara yang lebih kuat, sembari perlahan memberikan pengaruh
bagi negara-negara kecil di dalam kawasannya.
Menurut Gareth Evans dan Bruce Grant dalam bukunya Australia's
Foreign Relations, ada beberapa fokus dalam prinsip good international
citizen. Fokus-fokus tersebut adalah kerjasama pembangunan, hak asasi
manusia, serta lingkungan. Poin-poin tersebutlah yang akan penulis gunakan
dalam meninjau rekam jejak Australia selama ini.
Pembangunan
Australia telah secara luas dikenal sebagai negara dengan
perekonomian yang kuat. Memiliki penduduk yang relatif sedikit dan sumber
daya melimpah, negara ini memiliki kondisi yang cenderung stabil dibanding
negara-negara bumi selatan lainnya. Menurut World Bank, negara ini memiliki
GDP perkapita sejumlah 61.789 USD, menempatkannya sebagai negara ke-13
dunia dalam aspek nominal GDP. Dengan latar belakang ekonomi yang demikian
kuat, ditambah dengan posisinya sebagai middle power di kawasan Oceania,
menjadikan pembangunan adalah poin good international citizen paling
strategis bagi negeri kanguru ini.
Contoh kerjasama regional yang dibangun Australia adalah melalui
AUSAID. Program ini dilaksanakan sebagai wujud kepedulian Australia
terhadap pembangunan, khususnya di kawasan Pasifik.
Berdasarkan situs resmi AUSAID, ada tiga alasan mengapa kawasan
Pasifik menjadi prioritas pembangunan Australia:

"The Pacific region is a primary focus of Australia's aid efforts."
"The Pacific is central to Australia's international development
objectives. It is where we have strong ties and experience, and where
the international community expects us to play a lead role."
"The Pacific has unique development challenges, including geographical
isolation, high rates of poverty, rapidly growing populations, small
economies, and vulnerability to the effects of climate change. Many
Pacific governments have limited ability to deliver services and
perform necessary functions."


Kerjasama antara Australia dan kawasan Pasifik dalam sektor
pembangunan ditandai dengan adanya Pacific Plan 2005. Melalui kerjasama
ini, Australia beserta negara-negara di kawasan Pasifik berupaya untuk
mempromosikan kerjasama serta integrasi kawasan.
Pada tiga tahun terakhir, Australia melalui AUSAID telah menyuntikkan
dana sebesar 420 juta USD untuk program pembangunan regional Pasifik.
Pembangunan tersebut meliputi aspek-aspek seperti pendidikan (University of
South Pacific), kesehatan (Fiji School of Medicine), dan transportasi
(Kiribati Roads Rehabilitation Project)[5]
Pada tahun anggaran 2012/2013, Australia telah menginvestasikan
sebesar 1,104 miliar USD bagi pembangunan di wilayah Pasifik. Pada periode
2013/2014, Australia menargetkan anggaran sebesar 1,125 miliar USD bagi
program ini. Pengeluaran yang besar ini menunjukkan kapasitas Australia
sebagai negara donor utama di wilayah Pasifik. Terestimasi bahwa 20 persen
dari total anggaran donor Australia ditujukan untuk wilayah Pasifik, jumlah
tersebut telah mencakup separuh dari seluruh asistensi yang ditujukan untuk
wilayah tersebut.
Meskipun menitikberatkan pada kerjasama di region Pasifik, Australia
rupanya juga melebarkan program AUSAID ke kawasan lain sebagai wujud dari
implementasi good international citizen. Kawasan yang menjadi target dari
AUSAID selain Pasifik adalah Amerika Latin, Karibia, Asia Timur, Asia
Barat, Asia Selatan, dan Afrika Sub-Sahara.


Hak Asasi Manusia
Berbicara mengenai prinsip politik luar negeri yang berlandaskan
moral, tentu saja kita tak dapat mengabaikan aspek hak asasi manusia (HAM).
HAM dipandang sebagai sebuah elemen penting dari dasar-dasar nilai moral
kemanusiaan, sebuah unsur yang demikian relevan dengan prinsip good
international citizen. Menyadari hal ini, Australia pun terlihat begitu
bersungguh-sungguh dalam memperbaiki citranya menegakkan HAM. Langkah
Australia dalam menegakkan HAM ini dilaksanakan melalui dua mekanisme,
yakni bilateral dan multilateral.
Dari mekanisme multilateral, Australia secara aktif berpartisipasi
dalam forum-forum seperti Commision on Human Rights and the Third Committee
of the United Nations General Assembly. Selain itu, Australia juga begitu
berkomitmen dalam upaya penegakan HAM melalui ratifikasi sejumlah konvensi
seperti Convention on Elimination of All Forms of Racial Discrimination
(CERD), Convention on Elimination of All Forms of Discrimination against
Women (CEDAW), serta International Covenant on Economic, Social, and
Cultural Rights (ICESCR)—yang bahkan belum diratifikasi oleh Amerika
Serikat.[6]
Secara bilateral, Australia juga begitu aktif. Pada tahun 1990 saja,
tercatat bahwa Australia terlibat dalam pembahasan 460 kasus HAM dengan 82
negara. Di antara negara yang menjadi mitra, tersebut nama seperti Amerika
Serikat sebagai sekutu dekat; Iran sebagai mitra dagang; maupun Indonesia,
Malaysia, dan Filipina sebagai mitra regional.[7] Peran yang dimainkan
Australia lewat upaya bilateral ini lebih cenderung kepada bagaimana
memberikan representasi kepada negara-negara yang masih memerlukan
asistensi dalam bidang penegakan HAM. Contohnya dapat kita lihat lewat
Australia-China Human Rights Technical Cooperation Program 2012-2016.
Program ini ditujukan untuk meningkatkan komitmen pemerintah Tiongkok—yang
notabene tengah mengalami transisi ke arah yang lebih demokratis—terhadap
penegakan HAM. Lewat program yang diwacanakan sejak 1998 ini, Australia
secara aktif mengajak Tiongkok untuk membangun jaringan dan advokasi dalam
rangka penegakan HAM. Kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah pihak
contohnya melalui pertukaran pelajar, kunjungan, serta dialog bertemakan
HAM.[8]


Lingkungan
Selain kedua isu di atas, Australia juga menaruh perhatian terhadap
isu lingkungan. Komitmen Australia dalam menciptakan lingkungan yang sehat
dituangkan di dalam National Strategy for Ecologically Sustainable
Development (1992).[9] Poin ketiga dari prinsip good international citizen
ini menjadikan Australia menjadi salah satu negara yang cukup vokal di
dalam menyuarakan pembangunan berkelanjutan.
Salah satu bentuk keaktifan Australia dalam isu lingkungan ini
diwujudkan dalam kasus pengeboran minyak di Antartika (1989).
Australia—diwakili oleh Bob Hawke—beserta Prancis yang diwakili Michel
Rochard bersama-sama menentang aktivitas pengeboran di Antartika yang
dinilai mampu membahayakan ekosistem. Upaya ini pun membuahkan hasil berupa
Konvensi mengenai Regulasi Aktivitas Sumber Daya Mineral Antartika
(CRAMRA).
Baru-baru ini, Australia pun terlibat dalam kasus lingkungan lain
berupa perburuan paus secara liar (whaling). Kali ini yang menjadi sasaran
adalah Jepang, negara yang dilaporkan menangkap setidaknya 1.000 ekor paus
tiap tahunnya atas dalih penelitian.[10] Australia pun mengambil jalan
hukum melalui ICJ pada 2010, dan rencananya akan direspon pada bulan Juni
2013. Langkah ini didukung oleh sang tetangga, Selandia Baru.
Wujud lain dari komitmen Australia terhadap perlindungan lingkungan
adalah melalui asistensi bagi kaum nelayan di Nauru dan Kiribati.
Kritik dan Tantangan
Sebagai sebuah prinsip yang tidak memiliki definisi mengikat, good
international citizen juga tak luput dari kritik. Kerapkali prinsip ini
dianggap sebagai wujud inkonsistensi Australia dalam menentukan haluan
kebijakan luar negerinya. Good international citizen dinilai hanya sebagai
kedok dari Australia agar mereka lebih leluasa melakukan kebijakan luar
negerinya atas dalih moralitas dan kepatuhan terhadap hukum internasional.
Good international citizen kadangkala dikritik sebagai sebuah haluan
kebijakan yang pro-Amerika Serikat—atau dengan kata lain, good hanyalah
sebatas istilah yang merujuk kepada kepentingan Amerika Serikat. Sebuah
fenomena yang menjadi sasaran kritik keras adalah partisipasi Australia di
dalam invasi Amerika Serikat ke Iraq. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa
invasi tersebut tidak mendapatkan izin dari PBB selaku penegak hukum
internasional. Isu lain yang menjadi perhatian adalah dukungan pemerintahan
PM Howard atas rezim Guantanamo, kebijakan ini dinilai kalangan oposisi
tidak mencerminkan moralitas, namun hanya sebagai wujud loyalisme buta
terhadap Amerika Serikat.[11]
Selain isu bias kebijakan di atas, Australia juga dihadapkan pada
permasalahan HAM di dalam negeri. Meski telah terlibat aktif secara
internasional dalam penegakan HAM, hingga kini isu tersebut masih belum
sepenuhnya usai di Australia. Selain memiliki sejarah mencanangkan White
Australia Policy yang dinilai rasis, Australia dianggap masih memiliki
sejumlah permasalahan HAM. Di antara isu-isu HAM populer, perlindungan
terhadap kaum minoritas dan pencari suaka selalu menjadi sorotan. Anna
Brown, Direktur Advokasi Pusat Hukum dan HAM dari Majelis HAM PBB,
menyatakan bahwa Australia masih memiliki masalah dalam penanganan HAM.
Menurut Brown, Australia masih gagal menangani masalah integrasi kaum
Aborigin, ia memaparkan data bahwa sekitar 97% dari penjara anak-anak di
Northern Territory terisi oleh kaum Aborigin. Hal ini mengindikasikan
minimnya perlindungan pemerintah terhadap kaum minoritas. Di sisi lain,
perlindungan terhadap pencari suaka juga menjadi sasaran kritik. Menurut
Brown, terdapat sekitar 860 orang pencari suaka dalam keadaan tak terurus
di Papua Nugini dan Nauru, sedangkan belum ada satupun penanganan dilakukan
sejak Agustus 2012. Brown juga menambahkan, bahwa terdapat 1.632 anak-anak
pencari suaka yang tertahan di detention centre yang tidak terstandar
internasional.[12]
Menurut penulis, tantangan bagi Australia adalah pada bagaimana ia
mendefinisikan good international citizen dalam kebijakan luar negerinya.
Sebagai middle power, efektivitas diplomasi dapat dilihat dari kebebasan
atas pembentukan kebijakan luar negeri, namun di sisi lain juga menampilkan
kemampuan menjaga relasi dengan kalangan bigger powers. Berbeda dengan
negara-negara big power yang mengedepankan unsur seperti pengaruh politik
dan kekuatan militer, karakter dari negara-negara middle power adalah
mengedepankan diplomasi dan koordinasi handal.[13] Australia, dalam hal
ini, harus mampu menawarkan prinsip good international citizen baik sebagai
haluan politik luar negeri, maupun sebagai sarana diplomasi bagi negara-
negara yang lebih berpengaruh dalam rangka kontrol sosial. Hal yang penulis
rasa kurang bijak, apabila Australia menjadikan prinsip ini sebagai bentuk
lain adaptasi kebijakan negara lain secara tidak langsung.
Selanjutnya adalah bagaimana Australia memaksimalkan perannya sebagai
kekuatan utama di wilayah Pasifik. Kasus ini sebenarnya sama dengan Jepang
pasca Perang Dingin, di mana ia harus memilih antara fokus diplomasi secara
global atau regional. Dalam hal ini, Jepang mengambil langkah yang
dinamakan Pan-Asia Pacifism atau kebijakan luar negeri berfokus Asia yang
dilandaskan kepada prinsip-prinsip nonmiliterisme.[14] Sehingga, meskipun
berposisi sebagai sekutu dekat AS, Jepang lebih terfokus kepada pembangunan
regionalnya dan mampu menemukan formulasi karakter politik luar negerinya.
Kembali kepada kasus Australia, dari contoh-contoh yang telah penulis
paparkan, bisa kita simpulkan bahwa kebijakan luar negeri Australia
cenderung kepada pembangunan di kawasan Pasifik. Hal inilah yang dapat
dijadikan landasan agar prinsip good international citizen dapat
dilaksanakan secara efektif. Kebijakan pembangunan yang berorientasi
regional, menurut penulis sudah cukup on the track dalam rangka membangun
persepsi internasional terhadap peran Australia di kancah global. Dengan
semangat think global, act regional, Australia akan mampu menjadikan
prinsipnya lebih berkarakter, sebelum meluaskan sayapnya ke lingkup yang
lebih luas.
Kesimpulan
Menurut penulis, good international citizen adalah sebuah prinsip yang
cukup rasional dicanangkan oleh Australia sebagai middle power. Lewat
prinsip ini, Australia bertujuan untuk mengawal pemerintahan global agar
sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan dan hukum internasional.
Namun, prinsip ini tidak memiliki definisi yang mengikat. Good
international citizen seakan dibiarkan sebagai terminologi yang luwes, yang
diartikan sebagai upaya menciptakan tatanan global yang beradab lewat
penegakan nilai-nilai kemasyarakatan. Secara umum, ada tiga poin penting
yang dijadikan acuan prinsip ini: pembangunan, HAM, dan lingkungan. Dari
ketiga poin tersebut, telah penulis jelaskan pula bahwa Australia memiliki
track record yang cukup baik, khususnya dalam lingkup regional Pasifik
sebagai kekuatan utama.
Pelaksanaan prinsip ini bukan tanpa tantangan. Good international
citizen tak jarang mendapatkan kritik, khususnya dari segi konsistensi
pelaksanaannya. Australia beberapa kali dikecam karena melakukan kebijakan
luar negeri AS-sentris yang bahkan bertentangan dengan nilai kemasyarakatan
itu sendiri. Sebut saja dukungan terhadap rezim Guantanamo, invasi ke Iraq
dan Afghanistan, belum lagi ditambah dengan kasus-kasus pelanggaran HAM di
dalam negeri.
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa redefinisi prinsip good
international citizen adalah hal yang cukup penting. Bukan hanya bagi
kemudahan implementasi, namun juga bagi persepsi negara luar terhadap
Australia. Dengan memaparkan pokok-pokok good international
citizen—ketimbang sekedar memberikan poin-poin kebijakan yang bersifat
umum, maka diharapkan bahwa kesalahpahaman terhadap prinsip ini dapat
diminimalisasi.
Hal yang dapat dilakukan oleh Australia adalah menentukan fokusnya.
Menurut penulis, ranah peace dan security masih terlalu sensitif bagi
Australia sebagai middle power. Argumen ini berkaca kepada kritik atas
keterlibatan Australia di dalam Perang Iraq dan Afghanistan. Sehingga,
fokus tercocok bagi Australia menurut penulis adalah regional development
sebagaimana telah dijalankan oleh Australia pada saat ini di kawasan
Pasifik. Selain akan mempermudah Australia memeroleh pengakuan global atas
kontribusi aktifnya, secara konstruktivis ini juga akan memperkuat
identitas Australia di dalam regionnya.


***




































BIBLIOGRAFI


Buku
Evans, Gareth and Bruce Grant. Australia's Foreign Relations.
Melbourne: Melbourne University Press, 1991.

Laman Resmi Pemerintah Australia
Australian Government – AUSAID. Regional East Asia: Australia-China
Human Rights Teghnical Cooperation Program. 2013.

Diakses pada 22 Juni 2013.
Australian Government – AUSAID. Regional Pacific. 2013.
Diakses pada 22
Juni 2013.
Australian Government – About Australia. Japanese Bombing of Darwin.
2009. Diakses pada 22 Juni 2013.
Australian Government – Department of Sustainability, Environment,
Water, Population, and Communities. Ecologically Sustainable
Development. 2011.
Diakses pada 23 Juni 2013.
Australia Government – Department of Immigration and Citizenship. Fact
Sheet 8 – Abolition of White Australia Policy. 2009.
Diakses
pada 22 Juni 2013.


Berita Online
BBC News. Australia to Face Japan over Whaling in UN Court. 2013.
Diakses pada 23 Juni 2013.
News.com.au. Australia "No Longer a Good International Citizen". 2013
Diakses pada 23 Juni 2013.

Notulensi
Evans, Gareth. "Foreign Policy and Good International Citizenship".
Canberra. 1990. Lecture
Diakses pada 22 Juni 2013.
Legislative Assembly Chamber – Melbourne Parliament House. School
State Constitutional Convention: Australia is a Good Citizen. 2012.

Jurnal dan Laporan
Human Rights Law Centre. Serious Concerns Raised Over Australia's
Human Rights Record at UN. 2013. Diakses pada 22 Juni
2013.
Wheeler, N. J., & Dunne, T. (1998). Good international citizenship: a
third way for British foreign policy. International Affairs, 74(4),
847-870.

Catatan Perkuliahan
Catatan kuliah ke-13 Politik Luar Negeri Jepang: Faktor yang
Memengaruhi Politik Luar Negeri Jepang Pasca Perang Dingin oleh Drs.
Usmar Salam, M.I.S.
-----------------------
[1] Evans, Gareth. "Foreign Policy and Good International Citizenship".
Canberra. 1990. Lecture
Diakses pada 22 Juni 2013.
[2] Wheeler, N. J., & Dunne, T. (1998). Good international citizenship: a
third way for British foreign policy. International Affairs, 74(4), 847-
870.
[3] Department of Immigration and Citizenship, Australia Government. Fact
Sheet 8 – Abolition of White Australia Policy. 2009.
Diakses pada 22
Juni 2013.
[4] Australia Government. Japanese Bombing of Darwin. 2009.
Diakses pada 22 Juni 2013.
[5] Australia Government – AUSAID. Regional Pacific. 2013.
Diakses pada 22 Juni
2013.
[6] Evans, Gareth and Bruce Grant. Australia's Foreign Relations.
Melbourne: Melbourne University Press, 1991. 146-147.
[7] Evans, Gareth and Bruce Grant. p.147
[8] Australia Government – AUSAID. Regional East Asia: Australia-China
Human Rights Teghnical Cooperation Program. 2013.
Diakses pada 22 Juni
2013.
[9] Australian Government – Department of Sustainability, Environment,
Water, Population, and Communities. Ecologically Sustainable Development.
2011. Diakses pada 23 Juni
2013.
[10] BBC News. Australia to Face Japan over Whaling in UN Court. 2013.
Diakses pada 23 Juni 2013.
[11] News.com.au. Australia "No Longer a Good International Citizen". 2013
Diakses pada 23 Juni 2013.
[12] Human Rights Law Centre. Serious Concerns Raised Over Australia's
Human Rights Record at UN. 2013. Diakses pada 22 Juni 2013.
[13] Evans, Gareth dan Bruce Grant. p.325.
[14] Catatan kuliah ke-13 Politik Luar Negeri Jepang: Faktor yang
Memengaruhi Politik Luar Negeri Jepang Pasca Perang Dingin oleh Drs. Usmar
Salam, M.I.S.
Lihat lebih banyak...

Comentarios

Copyright © 2017 DATOSPDF Inc.