Corporate Social Responsibility: Antara Obligasi, Kontribusi, dan Cuci Dosa

Share Embed


Descripción

Corporate Social Responsibility: Antara Obligasi, Kontribusi, dan Cuci Dosa Syaifa Tania, M.A1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Abstract: The practice of corporate social responsibility (CSR) has been facing many challenges over decades. This paper aims to discuss problems regarding the practice of CSR in Indonesia. Several problems were found in many levels such as regulatory, practical, conceptual, and societal. Therefore, synergy among government, corporation, and academic become important in order to realize the best practice of corporate social responsibility for overall society. Keywords: CSR, Indonesia

Pendahuluan Fokus perhatian terhadap program-program corporate social responsibility (CSR) dan praktik penerapannya semakin banyak menarik perhatian baik dari kalangan pemerhati, akademisi, maupun pelaku CSR. Pergeseran prinsip dalam praktik pelaksanaan CSR dari yang awalnya berorientasi pada kepentingan filantropis menjadi pemberdayaan sosial (social empowerment) menempatkan CSR bukan lagi menjadi sebuah tren maupun program yang bersifat formalitas seperti yang disangka selama ini. CSR mewujud dalam program-program yang berpijak di empat ranah yaitu bisnis, legal, etis, dan filantropis (Carroll, 1991) dengan memadukan prinsip harmonisasi antara people, planet, dan profit (Elkington, 1998). Memasuki fase pertumbuhannya, polemik dan kontroversi mengenai teori, konsep, dan implementasi program masih mewarnai praktik pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh para pelaku industri. Kontroversi seputar praktik pelaksanaan CSR berakar dari perbedaan perspektif antara pihak yang memandang CSR secara ganda. CSR oleh sebagian kalangan diterima sekedar untuk memenuhi kewajiban perundangan dan sebagian lagi menggunakannya sebagai marketing tool dan strategi branding perusahaan. Tidak berhenti sampai di situ, CSR juga kerap disangka sebagai program “cuci moral” perusahaan atas dampak yang diakibatkan dari aktivitas operasional perusahaan. Dalam konteks Indonesia, polemik terkait CSR semakin menguat terlebih paska disahkannya UU No. 40 Tahun 74 yang menyebutkan bahwa program CSR wajib dilaksanakan oleh perusahaan terbatas yang beroperasi di Indonesia. CSR kemudian ditempatkan sebagai obligasi perusahaan yang wajib dilakukan guna menghindari sanksi dari Pemerintah. Di sisi lain, program CSR yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan terbukti telah memberikan sejumlah kontribusi pada masyarakat, 1

Syaifa Tania merupakan peneliti di New Media Studies (Newmesis), Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Memiliki ketertarikan di bidang manajemen komunikasi dan komunikasi strategis. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail [email protected].

1

khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan lingkungan. Lebih lanjut, tidak adanya standar penerapan CSR turut menghadirkan sejumlah tantangan terkait praktik penerapan CSR di Indonesia. Dinamik Kontroversi Perspektif CSR Penggunaan istilah CSR oleh berbagai perusahaan untuk merujuk pada aktivitas kepedulian sosial tidak serta merta membuat konsep CSR dimaknai secara seragam. Pada awalnya, sudut pandang mengenai peran perusahaan terkait CSR dipengaruhi oleh dua arus pemikiran (Zadek, 2001). Arus pertama melihat bahwa perusahaan adalah sebuah entitas bisnis yang bertujuan untuk meraih keuntungan ekonomi, serta bertanggung jawab kepada pemerintah dan masyarakat melalui mekanisme pembayaran pajak, peningkatan pendapatan negara, dan pemberdayaan tenaga kerja. Sebaliknya, arus kedua memandang perusahaan bukan sebagai entitas bisnis yang terpisah dari masyarakat. Keberadaan perusahaan dapat memengaruhi kualitas lingkungan, perubahan sosial, dan nilai hidup manusia sehingga perusahaan bertanggung jawab untuk membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut (Syafrizal, 2011). Perbedaan perspektif dalam memahami CSR dikemukakan pula oleh Marrewijk (dikutip oleh Yudarwati, 2011) yang membagi perspektif tersebut dalam tiga pendekatan yaitu shareholder, stakeholder, dan sosial. Pendekatan shareholder merupakan pendekatan klasik yang meyakini bahwa perusahaan merupakan milik shareholder sehingga tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat hanya akan dilakukan apabila dikehendaki oleh shareholder (Hasnas, 1998). Pendekatan stakeholder meyakini bahwa perusahaan berfokus pada kebutuhan, keinginan, dan pengaruh stakeholder sehingga CSR merupakan cara bagi perusahaan untuk menyeimbangkan tanggung jawab sosial, ekonomi, dan lingkungan sehingga dapat memenuhi ekspektasi shareholder dan stakeholder (Yakovleva, 2005; Sexty, 2011). Adapun pendekatan sosial berfokus pada tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat (Marrewijk, 2003). Dalam pendekatan sosial, perusahaan dan masyarakat merupakan dua entitas yang berkaitan. Masyarakat menyediakan “kontrak sosial” yang memungkinkan perusahaan beroperasi, sehingga tanggung jawab perusahaan merupakan bentuk penghormatan perusahaan pada masyarakat (Cornelissen, 2004; Golob dan Bartlett, 2007; serta Argenti, 2009). Perbedaan perspektif perusahaan dalam melakukan CSR dipengaruhi oleh perbedaan prioritas perusahaan terkait motivasinya dalam memenuhi tanggung jawab tersebut. Saidi dan Abidin (2004) menyebutkan tiga motivasi utama perusahaan dalam melaksanakan CSR antara lain corporate charity yaitu motivasi keagamaan untuk beramal sebanyak mungkin, corporate philantropy yaitu motivasi humanis untuk menolong sesama, serta corporate citizenship atau motivasi kewargaan untuk mewujudkan keadilan sosial masyarakat. Di luar ketiganya, terdapat motivasi lain dalam bentuk kesadaraan perusahaan atas manfaat CSR bagi perusahaan dan masyarakat. Bagi masyarakat, kebijakan dan program CSR dapat 2

berdampak positif bagi peningkatan kualitas hidup mereka. Adapun bagi perusahaan, strategi CSR yang dikembangkan secara tepat dapat memberikan financial returns serta investasi jangka panjang bagi perusahaan (Argenti, 2009). Konsep CSR secara utuh sebenarnya merupakan paduan dari berbagai aktivitas perusahaan untuk meraih keuntungan finansial perusahaan dalam jangka panjang dan aktivitas pembangunan masyarakat serta lingkungan sekitarnya secara berkelanjutan. Konsep ini sejalan dengan Elkington (1998) mengenai triple bottom lines dalam prinsip CSR yaitu people, planet, dan profit. Adapun prinsip-prinsip dasar CSR menurut Crowther dan Aras (2008:14) terdiri dari tiga aspek yaitu sustainability, accountability, dan transparency. Sustainability berfokus pada prinsip keberlanjutan baik dalam program CSR secara khusus maupun aktivitas operasional perusahaan secara umum. Accountability berfokus pada kemampuan perusahaan untuk mempertanggungjawabkan keputusan dan kebijakan yang diambil. Sedangkan, transparency berfokus pada transparansi informasi yang berpotensi memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Tanggung jawab sosial merupakan mekanisme pengaturan diri perusahaan agar dapat menjalankan aktivitas operasional bisnisnya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, standar etika, dan nilai-nilai universal sehingga kehadiran perusahaan dapat berdampak positif pada pihak internal, masyarakat, dan lingkungan. Secara ringkas, pengertian CSR kemudian dapat dipetakan menjadi lima unsur yaitu sifat voluntary, untuk kepentingan stakeholder, mencegah dampak negatif pada lingkungan, bersifat sosial, dan menghadirkan keuntungan ekonomis (Prajarto dan Muhammad dalam Prajarto, 2011). CSR in Glance: Ragam Model CSR Aktivitas CSR pada prinsipnya selalu berpusat pada relasi antara perusahaan dan stakeholder-nya. Stakeholder merupakan kelompok atau individu yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh aktivitas operasional perusahaan dalam mencapai tujuannya (Freeman, 1984; serta Greenwood, 2001). Peran stakeholder sendiri diperankan oleh berbagai pihak secara beragam. Committee for Economic Development (CED) memperkenalkan tiga lapisan model CSR yang dianggap mampu memetakan relasi antara perusahaan dan stakeholder (Asia Monitor Resource Center, 2012) yaitu the inner circle, the intermediate circle, dan the outer circle. Mengacu pada prinsip stakeholder salience (Mitchell, Agle, dan Wood, 1997) satu kelompok tertentu bisa jadi merupakan stakeholder primer yang memegang peran penting bagi perusahaan pada satu waktu, sementara di waktu lain kelompok tersebut dapat berada dalam posisi sekunder. Secara ringkas, model relasional CSR dikembangkan dalam skema berikut

3

Negara 1 Bisnis

4 2

3 Masya rakat

Keterangan: 1. Hubungan antara negara dan bisnis 2. Hubungan antara bisnis dan masyarakat 3. Hubungan antara negara dan masyarakat 4. Ranah CSR

Gambar 1 Model Relasional CSR Sumber: Albareda, et. al (2007:395) dalam Barth&Wolff (2009:7) Gagasan serupa dikemukakan pula oleh Schwartz dan Carroll (dikutip oleh Yudarwati, 2011) bahwa fokus domain aktivitas CSR perusahaan secara ideal semestinya berada dalam tiga ranah yaitu ekonomi, legal, dan etis.

Tabel 1 Model CSR Perusahaan

Pada awalnya, perusahaan menganggap CSR sebagai komitmen jangka pendek dan berpusat pada aneka program. Prinsip keberlanjutan pun masih belum ditekankan sehingga program CSR yang dilakukan cenderung masih bersifat filantropis. Dalam perkembangannya, muncul gagasan The New Corporate Philantropy (Smith, 1994) yang menekankan komitmen jangka panjang dan berfokus pada isu spesifik. Lebih lanjut, apabila pada perspektif lama program CSR cenderung ditentukan oleh pemilik perusahaan, maka dalam perspektif baru program CSR ditentukan berdasarkan kesesuaiannya dengan strategi bisnis. Kotler dan Lee (2005) mengidentifikasi enam jenis CSR yang banyak diadopsi oleh perusahaan, yaitu: a. Cause promotions: perusahaan menyediakan dana, kontribusi, atau sumber daya lain yang dimiliki perusahaan untuk meningkatkan awareness dan kepedulian masyarakat terkait isu sosial (Kotler dan Lee, 2005). Program CSR yang mengambil tipe misalnya CSR

4

safety riding yang dilakukan oleh PT Astra International yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai keselamatan berkendara. b. Cause-related marketing: perusahaan berkomitmen untuk berkontribusi atau mendonasikan sekian persen dari pendapatannya untuk isu sosial tertentu (Kotler dan Lee, 2005). Model ini banyak diterapkan oleh berbagai perusahaan karena relatif paling mudah dilakukan dan didasarkan pada donasi hasil penjualan produk seperti yang dilakukan oleh Mirota, Carrefour, Indomaret, dan SuperIndo. c. Corporate social marketing: perusahaan mendukung pengembangan dan/atau implementasi kampanye perubahan perilaku yang bertujuan untuk mendukung peningkatan kualitas kehidupan masyarakat (Kotler dan Lee, 2005). Perbedaan antara model ini dengan cause promotions terletak pada fokus program, di mana cause promotions hanya menekankan pada kesadaran masyarakat, sementara corporate social marketing menekankan pada perubahan perilaku. Perusahaan yang mengadopsi model ini misalnya Lifebuoy melalui program “Cuci Tangan dengan Sabun Lifebuoy”. d. Corporate philantropy: perusahaan berkontribusi langsung kepada yayasan atau isu sosial tertentu (Kotler dan Lee, 2005). Model ini telah lama dan banyak dilakukan oleh berbagai perusahaan. Misalnya, Astra Honda Motor mendonasikan beberapa unit kendaraan bermotor di SMK jurusan otomotif untuk membantu proses belajar. e. Community volunteering: perusahaan mendukung dan mendorong stakeholder internalnya (karyawan, retail partners, dan anggota franchise) untuk terlibat menjadi sukarelawan guna mendukung komunitas lokal atau isu tertentu (Kotler dan Lee, 2005). Model ini diadopsi salah satunya oleh Starbucks yang menyuruh seluruh gerainya di Indonesia untuk memberikan kopi susu gratis kepada konsumen yang menunjukkan tinta ungu di jarinya pada hari dilaksanakannya pemilu legislatif 2014. f. Socially responsible business practices: perusahaan mengadopsi dan menjalankan kebijakan praktik bisnis dan investasi yang mendukung isu sosial untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas dan mendukung lingkungan (Kotler dan Lee, 2005). Perusahaan-perusahaan yang menerapkan prinsip green corporations menjadi contoh perusahaan yang mengadopsi model ini. Pada praktiknya, tidak jarang perusahaan mengambil lebih dari satu jenis model dalam menjalankan program CSR. Perbedaan orientasi, tujuan yang ingin dicapai, serta kontekstualitas dengan kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik lokasi di mana perusahaan beroperasi menjadi salah faktor yang menyebabkan CSR diterapkan secara berbeda di setiap negara (Whelan, dikutip oleh Yudarwati, 2011). CSR Indonesia: Rekam Jejak dan Perkembangannya Di Indonesia, perkembangan CSR yang dilakukan oleh berbagai perusahaan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi. Perubahan sistem politik yang terjadi paska era Orde Baru mengantarkan masyarakat pada masa transparansi yang ditandai dengan mulai lahirnya kesadaran dan keberanian masyarakat untuk mengutarakan opininya secara bebas. Masyarakat mulai menyadari hak yang 5

seharusnya mereka peroleh dari perusahaan yang beroperasi di sekitar lingkungannya. Sejak itu pula, mulai muncul berbagai tuntutan baik dari masyarakat maupun kelompok kepentingan kepada sejumlah perusahaan untuk memberikan kontribusi kepada mereka. Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa kesadaran masyarakat akan hak mereka turut mengakselerasi kesadaran tentang pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan. Konsep CSR di Indonesia baru benar-benar mengemuka kala memasuki tahun 2000-an, meski sesungguhnya rekam jejak CSR di Indonesia dapat ditelusuri lebih jauh lagi. Dalam konteks Indonesia, prinsip CSR sebenarnya tercermin dari konsep gotong royong yang berlaku di masyarakat (Sedyono, n.d.). Meskipun tidak melibatkan perusahaan sebagai bagian dari aktivitas sosialnya, namun nilai-nilai filantropis yang berpusat pada kepedulian untuk membantu terkandung dalam konsep gotong royong tersebut. Secara formal, konsep CSR di Indonesia sebenarnya mulai dikenal di tahun 1990-an dan lebih dikenal dengan istilah corporate social activity (CSA). Akan tetapi, kala itu program CSA perusahaan belum mencapai level peran serta masyarakat serta belum menekankan prinsip keberlanjutan, melainkan sebatas level pemenuhan tuntutan sosial yang diajukan agar terbentuk citra positif perusahaan di mata masyarakat. Paska ditetapkannya UU Penanaman Modal Asing Tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri Tahun 1968 sejumlah investasi asing dan perusahaan multinasional hadir dan tumbuh dengan cepat di Indonesia (Susanto, 2003). Perusahaan multinasional ini lah yang kemudian mulai menerapkan dan memopulerkan program CSR sebagai bagian dari kebijakan kantor pusatnya. Secara umum, terdapat tiga faktor yang mendorong tumbuhnya perhatian perusahaan untuk lebih memberikan perhatian terhadap masalah sosial melalui CSR (Setianto dalam Prajarto, 2011) yaitu norma internasional, kebijakan kantor pusat perusahaan-perusahaan multinasional, serta regulasi Pemerintah terkait CSR. Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang secara tegas mewajibkan aktivitas CSR bagi seluruh perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Kebijakan ini berbeda dengan negaranegara lain seperti Perancis, Malaysia, dan Inggris yang hanya mewajibkan pelaporan CSR dan bukan program CSR-nya. Awalnya, kewajiban untuk melaksanakan CSR dibebankan pada perusahaan yang aktivitas operasionalnya berkaitan dengan sumber daya alam, namun pada perkembangannya seluruh perusahaan diwajibkan memenuhi tanggung jawab sosialnya. Praktik pelaksanaan dan pelaporan CSR di Indonesia masih lebih banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan berskala makro. Aktivitas CSR yang dilakukan pun berkaitan dengan kepentingan strategi bisnis perusahaan. Secara umum, program CSR di Indonesia mewujud dalam lima pola (Prajarto dan Muhammad dalam Prajarto, 2011) yaitu pengembangan sumber daya manusia, pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelestarian lingkungan, serta aksi cepat tanggap pada korban bencana. Program pengembangan sumber daya manusia dalam bentuk bantuan di bidang 6

pendidikan, pelatihan, serta olahraga merupakan pola aktivitas CSR yang banyak dilakukan oleh perusahaan di Indonesia. Djarum menjadi salah satu perusahaan yang mengadopsi pola ini melalui program Djarum Beasiswa Plus dan PB Djarum. Program pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi banyak diadopsi oleh instansi perbankan seperti Bank Mandiri yang menyelenggarakan program Wirausaha Muda Mandiri. Program ini bertujuan untuk mendorong kaum muda beriwirausaha. Dalam jangka panjang, program ini mampu memberikan kontribusi bagi Bank Mandiri karena besar kemungkinan di masa depan para pesertanya akan menjadi nasabah potensial Bank Mandiri sehingga dapat memberikan financial returns bagi perusahaan. Program CSR yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat diadopsi salah satunya oleh Aqua melalui program “Satu Untuk Sepuluh” dengan membangun fasilitas sumber air bersih di wilayah Indonesia Timur. Mengacu pada jenis CSR Kotler dan Lee (2005) program CSR ini mengadopsi pola corporate social marketing. Program pelestarian lingkungan salah satunya diterapkan oleh Djarum melalui program Trees For Life dengan menanam pohon trembesi yang mampu mereduksi kadar CO2 dan mengurangi emisi gas karbon. Selain menjadi program filantropis perusahaan, program ini juga mampu mendukung strategi bisnis perusahaan di tengah gempuran isu pencemaran udara dari asap rokok yang diserukan oleh sejumlah kelompok anti rokok di Indonesia. Terakhir, aksi cepat tanggap bagi korban bencana alam dilakukan oleh hampir seluruh perusahaan di Indonesia dan cenderung bersifat filantropis. Secara ringkas, aktivitas CSR yang dilakukan oleh perusahaan diupayakan untuk tidak hanya mampu berkontribusi pada masyarakat, namun juga bagi perusahaan sendiri. Manfaat CSR bagi perusahaan antara lain dapat meningkatkan penjualan dan market share, memerkuat brand positioning, meningkatkan citra dan pengaruh perusahaan terhadap stakeholder, meningkatkan kemampuan perusahaan untuk menjalin relasi dengan stakeholder, mengurangi biaya operasional, serta menarik minat investor. Pada akhirnya, orientasi program CSR sebenarnya tidak berpusat pada upaya perusahaan mendapatkan profit, melainkan menciptakan dukungan dan kondisi sosial yang efektif agar profit yang diperoleh perusahaan bertolak dari social benefit. Mengurai Peta Persoalan CSR di Indonesia Perdebatan terkait CSR telah menjadi isu yang diperbincangkan dalam dua dekade terakhir. Sejumlah regulasi dan perangkat hukum ditetapkan oleh pemerintah guna mewajibkan sekaligus memandu pelaksanaan program CSR perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Meskipun demikian, menurut Carroll (dikutip oleh Hendeberg dan Lindgren, 2009) perusahaan justru kerap melihat regulasi dari sisi sebaliknya di mana hukum dan regulasi dianggap mempersulit alih-alih membantu meningkatkan performa ekonomi mereka. Terlebih bagi perusahaan multinasional adanya perbedaan panduan penerapan program CSR antara pemerintah lokal dan kantor pusat (headquarters) menyebabkan perusahaan 7

sulit mengikuti panduan tersebut. Lebih lanjut, mengacu pada kajian yang dilakukan oleh Hendeberg dan Lindgren (2009) mengenai perspektif manajerial terkait program CSR di Indonesia diperoleh temuan bahwa CSR akan berfungsi dengan lebih baik jika bersifat suka rela bagi seluruh perusahaan, meskipun dengan adanya regulasi yang secara tegas mewajibkan CSR maka mereka lebih aware terhadap isu sosial dan lingkungan di Indonesia. Program CSR di negara berkembang juga sarat dengan isu politik dan kerap kali dipolitisir (Schrere dan Palazzo dikutip oleh Tanaya, 2012). Selain itu, potensi konflik, tingkat korupsi, rendahnya partisipasi masyarakat dalam melaksanakan CSR, serta minimnya SDM yang mampu mengelola program CSR dengan benar menjadi tantangan tersendiri bagi CSR di negara berkembang (Frynas dikutip oleh Tanaya, 2012). Kondisi ini menyebabkan standarisasi CSR secara global mustahil dilakukan. Di negara berkembang, agenda utama CSR berorientasi pada upaya untuk mengurangi kemiskinan dan membangun kekuatan kapital (Blowfield dan Frynas dikutip oleh Yudarwati, 2011) sementara di negara maju fokus orientasinya berbeda. Pada tataran regulasi, CSR menjadi tantangan tersendiri karena kebijakan pemerintah yang mewajibkan pelaksanaan CSR menyebabkan prinsip tanggung jawab sosial yang awalnya berangkat dari kesadaran diri dan kesukarelaan (voluntary) seolah terasa dipaksakan. Secara substantif, kebijakan pemerintah yang dirumuskan dalam kebijakan perundangan pun kerap kali overlap. Di Indonesia, terjadi kontradiksi antara dua undang-undang yang mengatur CSR. Dalam UU No. 25 Tahun 2007 Pasal 15 tentang Hukum Investasi disebutkan bahwa setiap perusahaan investasi menjalankan tanggung jawab dengan menyeimbangkan nilai, norma, dan budaya komunitas sekitar. Sedangkan dalam UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 74 tentang Hukum Korporasi Indonesia disebutkan hanya perusahaan yang melakukan aktivitas bisnis yang berkaitan dengan sumber daya alam saja yang mengimplementasikan CSR. Artinya, dalam UU No. 40 Tahun 2007 perusahaan harus mengalokasikan “obligatory funding” untuk melakukan CSR dan jika tidak melaksanakan program CSR maka akan dikenai sanksi. Hal ini berbeda dengan UU No. 25 Tahun 2007 yang hanya memberikan sanksi administratif jika perusahaan tidak melaksanakan CSR. Waagstein (2011) memetakan dua persoalan utama CSR di Indonesia. Pertama, inkonsistensi dan rendahnya pengetahuan mengenai CSR baik oleh masyarakat, perusahaan, pemerintah, maupun kelompok kepentingan (interest group). Di level perusahaan lokal, konsep CSR belum dipahami secara penuh sehingga aktivitas yang dilakukan cenderung hanya bersifat karitatif. Di level pemerintahan, pemerintah seolah masih gagap menyikapi CSR sehingga menyiapkan begitu banyak regulasi, termasuk inisiatif preventif yang digagas melalui Keputusan Menteri No: Kep-236/MBU/2003 yang menuntut seluruh perusahaan swasta untuk mengalokasikan sebagian profit mereka untuk menerapkan program sosial bagi komunitas dan lingkungan. Kedua, persoalan sosial dan legal di Indonesia termasuk

8

kurangnya standar operasional sehingga harus menerapkan standar internasional yang belum tentu sesuai dengan konteks lokal. Menyikapi perbedaan antara standar internasional dan kondisi lokal, pemerintah menginisiasi dibentuknya Komite Nasional Corporate Governance yang bertujuan untuk menyusun kode good corporate governance. Corporate governance merupakan upaya pemenuhan hukum dan regulasi, di mana perusahaan harus memenuhi aturan, bertindak dengan cara yang bertanggungjawab, dan memberikan atensi lebih pada integritas dan etika bisnis (Rees, 2006). Meskipun demikian, kode good corporate governance ini belum benarbenar dipahami dan diterapkan oleh perusahaan sebagai pihak pelaksana CSR. Mengacu pada hasil riset yang dilakukan oleh PIRAC (Public Internet Research and Advocacy Center) di paruh tahun kedua 2002 dengan melibatkan 226 perusahaan di 10 kota besar Indonesia terkait persepsi perusahaan mengenai CSR, diperoleh temuan bahwa 57% responden telah melakukan CSR dan seluruhnya merupakan perusahaan multinasional serta perusahaan Indonesia berskala besar. Tidak hanya itu, hasil riset yang dilakukan PIRAC (2002) juga menunjukkan bahwa pemahaman mengenai CSR relatif masih rendah. Sebagian besar perusahaan memahami CSR sebagai aktivitas sosial dalam bentuk donasi (86%), meningkatkan kesejahteraan karyawan (77%), membayar pajak pada negara (70%), dan membuat keuntungan (55%). Meskipun 93% dari perusahaan yang terlibat dalam riset tersebut mengatakan bahwa perusahaan mereka telah memberikan donasi dalam tiga tahun terakhir, namun hanya 18% dari perusahaan tersebut yang memiliki kebijakan tertulis mengenai donasi. Selain itu, hanya satu dari lima perusahaan yang secara tegas menetapkan target donasi pada awal tahun anggaranya. Lebih lanjut, ketika ditanya apakah perusahaan bersedia meningkatkan jumlah donasinya apabila ditetapkan kebijakan bahwa donasi tersebut akan mengurangi beban pajak mereka diperoleh temuan bahwa 37% responden bersedia dan 50% belum tahu. Di tingkat lokal, motivasi perusahaan dalam berdonasi pun tidak sepenuhnya merupakan manifestasi CSR karena beberapa perusahaan hanya melakukan donasi untuk kepentingan bisnis. Dari 68% responden diperoleh temuan bahwa motivasi dalam melakukan CSR adalah sejalan dengan kebijakan perusahaan, serta satu dari lima perusahaan melakukan CSR sebagai bagian dari aktivitas promosi produk atau perusahaan (PIRAC, 2002). Sementara itu, di tingkat nasional, riset “Corporate Social Responsibility Monitor 2005” (dikutip oleh Sedyono, n.d.) menunjukkan bahwa bagi perusahaan-perusahaan berskala besar aktivitas yang dianggap sebagai bagian dari CSR berpusat pada isu lingkungan (98%), kualitas dan keamanan produk (98%), serta keadilan bagi karyawan (98%). Sementara itu, kajian yang sama juga menunjukkan bahwa bagi perusahaan hal yang dianggap bertanggungjawab pada masyarakat adalah memperlakukan karyawan dengan baik dan adil (34%), melindungi lingkungan (27%), memberikan donasi (19%), serta menyediakan lapangan pekerjaan (9%). 9

Pada tataran masyarakat, masyarakat Indonesia secara umum merupakan forgiving consumers karena 57% responden menyebutkan bahwa mereka tidak akan “menghukum” perusahaan yang tidak melaksanakan CSR baik dengan cara memboikot peroduk atau membicarakan peroduk secara kritis, 26% mempertimbangkan untuk “menghukum” perusahaan namun tidak benar-benar melakukannya, hanya 5% yang benar-benar melakukan, dan 14% menyatakan tidak tahu (Sedyono, n.d.). Lebih lanjut, persoalan terkait CSR di masyarakat adalah munculnya rasa ketergantungan dan keberatan dari masyarakat apabila kegiatan donasi dihentikan. Akibatnya, masyarakat cenderung tidak mandiri dan terus menuntut perusahaan untuk berdonasi. Matten dan Moon (2008) menawarkan sebuah interpretasi lebih luas yang menganggap bahwa CSR dapat dipahami baik sebagai social imperative maupun konsekuensi sosial dari kesuksesan perusahaan. Lebih lanjut, CSR kemudian dibagi menjadi dua jenis yaitu CSR implisit dan eksplisit. CSR implisit melekat dalam berbagai relasi antara bisnis, masyarakat, dan pemerintah serta direpresentasikan oleh nilai, norma, aturan, atau regulasi yang kuat dan menuntut perusahaan untuk menambahkan isu stakeholder (Matten dan Moon, 2008:409). Sementara itu, CSR eksplisit dimaknai sebagai program sukarela perusahaan yang berasal dari keinginan perusahaan sendiri (Matten dan Moon, 2008: 409). Di Indonesia, praktik penerapan CSR eksplisit cenderung masih berada di tahap awal dan masih terlihat dilakukan secara setengah-setengah dan berpusat dalam format sector-based (Uriarte, 2008:5). Mengurai peta persoalan CSR di Indonesia, secara ringkas persoalan CSR di Indonesia berada pada tiga level yaitu perusahaan, pemerintah, dan masyarakat. Pada tingkat internal perusahaan, CSR masih menghadapi persoalan serius baik di level konseptual maupun fungsional. Di level konseptual, perbedaan definisi dan perspektif dalam melihat CSR menyebabkan adanya perbedaan fungsi dan peran perusahaan sebagai penyelenggara CSR pada masyarakat. Di level aplikasi, Keterbatasan skill dan pengetahuan pihak internal perusahaan terkait CSR menyebabkan CSR tidak dapat berjalan efektif seperti yang diinginkan dan tidak menerapkan prinsip keberlanjutan. Program yang dilaksanakan cenderung filantropis dan bersifat charitable sementara prinsip CSR sesungguhnya adalah pemberdayaan dan berkelanjutan. Selain itu, kerap kali perusahaan tidak benar-benar memahami cara untuk memberdayakan stakeholder baik internal maupun eksternal sehingga dapat berakibat buuk pada siklus manajemen kerja. Pada tingkat pemerintah, kegagapan pemerintah dalam menyikapi CSR ditunjukkan melalui adanya overlap perangkat regulasi yang diperkuat pula melalui stigma bahwa pemerintah kurang apresiatif terhadap kontribusi perusahaan pada pembangunan masyarakat. Padahal apresiasi tersebut dapat menjadi salah satu stimulus bagi perusahaan untuk melaksanakan CSR secara generous sehingga dapat berkontribusi lebih besar bagi masyarakat. Pola ini 10

terbukti dari kebijakan pemerintah untuk mengurangi pajak perusahaan yang bersedia berCSR pada korban bencana erupsi gunung Merapi 2010 mampu mendorong sejumlah perusahaan untuk melakukan aktivitas CSR (Waagstein, 2011). Lebih lanjut, istilah “tanggung jawab” yang diterjemahkan dari konsep CSR juga cenderung membuat perusahaan tidak nyaman karena terkesan membebani (IBL, 2004). Perbedaan standar antara kebijakan pemerintah dan kantor pusat perusahaan multinasional pun menyebabkan adanya persoalan di tataran aplikasi. Sebagai contoh, kebijakan British Petroleum (BP) untuk memberdayakan masyarakat sekitar ditunjukkan salah satunya melalui pengangkatan masyarakat di sekitar wilayah operasional BP menjadi petugas keamanan kantor BP, namun mengacu pada peraturan di Indonesia petugas keamanan bagi sektor-sektor yang dianggap penting bagi negara termasuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang eksplorasi sumber daya alam wajib melibatkan pihak militer sebagai petugas keamanan (Waagstein, 2011). Pada tingkat masyarakat dan komunitas di sekitar wilayah operasional perusahaan, di satu sisi tantangan berpusat pada resistensi komunitas terhadap aktivitas operasional perusahaan, sementara di sisi lain berpusat pada ketergantungan masyarakat terhadap CSR perusahaan. Dalam beberapa kasus, masyarakat di sekitar wilayah operasional perusahaan multinasional, khususnya yang bergerak di bidang eksplorasi sumber daya alam resisten terhadap aktivitas perusahaan. Mereka meyakini bahwa aktivitas operasional perusahaan merusak “kekayaan alam” yang dimiliki oleh daerah mereka. Konflik kultural dan aksi ilegal juga kerap mewarnai relasi antara perusahaan dan masyarakat. Terlebih, sejumlah NGO yang bergerak di bidang lingkungan semakin gencar menyuarakan protesnya atas eksploitasi sumber daya yang dilakukan perusahaan. Uniknya, di sisi lain aktivitas CSR yang dilakukan perusahaan di sejumlah daerah justru membuat masyarakat menjadi tergantung dan mengandalkan bantuan dana dari perusahaan untuk membiayai kehidupan mereka di mana kondisi ini bertolakbelakang dengan prinsip CSR sesungguhnya yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sehingga dapat menjadi komunitas yang mandiri. Penutup Peta persoalan CSR di Indonesia berpusat pada tiga pihak yaitu pemerintah, perusahaan, dan publik baik dalam tataran konseptual maupun aplikasi. Sinergi tiga kaki kemudian menjadi peluang yang ditawarkan sebagai solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Meskipun CSR selama ini kerap dilihat hanya sebagai alat untuk menghindari tekanan eksternal atau gimmick PR perusahaan (BWI, 2006) namun sesungguhnya paska tahun 2006 indikasi peningkatan CSR dan corporate governance semakin menguat (Lindgren, 2006). Kesadaran perusahaan akan arti penting CSR sebagai bagian dari investasi etis mereka terutama semakin menguat paska kejadian sejumlah kasus seperti Buyat (Newmont Minahasa), Papua (Freeport), dan lumpur Sidoarjo (Lapindo Brantas) (Koestoer, 2007).

11

Kesuksesan praktik CSR tidak lepas dari faktor intensitas motif tanggung jawab sosial, visi kepemimpinan di kantor pusat dan lokal, serta energi dan waktu yang dialokasikan perusahaan untuk memahami isu-isu yang dihadapi oleh stakeholder sehingga program CSR yang dirancang perusahaan dapat tepat sasaran (Malkasian, 2004). Best practice CSR membutuhkan usaha keras dari ketiga pihak. Dari pihak internal perusahaan, dibutuhkan adanya komitmen kuat dari jajaran manajemen (top management), konsistensi kebijakan, pengembangan program yang sesuai dengan kebutuhan stakeholder, implementasi program yang transparan dan akuntabel, serta pengawasan dan pelaporan yang layak (PBSP, 2004). Dari pemerintah, penerapan regulasi yang tepat dan apresiasi kepada perusahaan menjadi opsi yang layak dipertimbangkan. Dari sisi masyarakat, keterbukaan dan kesadaran akan prinsip CSR sebagai program pemberdayaan alih-alih “memanjakan” perlu dibangun sehingga tujuan CSR yang sesungguhnya dapat diwujudkan. Pada akhirnya, kesadaran perusahaan untuk peduli dan menunjukkan tanggung jawabnya dalam melaksanakan CSR tidak dapat dikatakan sebagai proses memermak tampilan, obligasi legal, serta cuci moral sejumlah perusahaan yang dituduh menyebabkan kerusakan lingkungan (Prajarto dan Muhammad dalam Prajarto, 2011). Sejumlah program CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan pada berbagai bidang terbukti telah berkontribusi positif dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Referensi: Argenti, P.A. 2009. Corporate Communication. Singapore: McGraw-Hill. Asia Monitor Resource Center. 2012. The Reality of Corporate Social Responsibility: Case Studies on the Impact of CSR on Workers in China, South Korea, India, and Indonesia. Hong Kong: Author. Barth, R. dan Wolff, F. 2009. Corporate Social Responsibility in Europe: Rhetoric and Realities. Cheltenham: Edward Elgar Publishing. Business Watch Indonesia (BWI). 2006. Bias Praktek CSR di Indonesia. Diakses pada Juni 2014. Business Watch Indonesia. Carroll, A. B. 1991. The pyramid of corporate social responsibility: toward the moral management of organizational stakeholders. Business Horizons, July/August. Cornelissen, J. 2004. Corporate Communication: Theory and Practices. London: Sage Publications. Crowther, D. dan Aras, G. 2008. Corporate Social Responsibility. Ventus Publishing. Elkington, J. 1998. Canibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business. Gabriola Island, BC: New Society Publishers. Freeman, R.E. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston: Pitman. 12

Golob, U. dan Bartlett, J.L. 2007. Communicating about corporate social responsibility: a comparative study of CSR reporting in Australia and Slovenia. Public Relations Review, 33, 1-9. Hasnas, J. 1998. The normative theories of business ethics: a guide for the perplexed. Business Ethics Quarterly, 8(1), 19-42. Hendeberg, S. dan Lindgren, F. 2009. CSR in Indonesia: A Qualitative Study From A Managerial Perspective Regarding Views and Other Important Aspects of CSR in Indonesia. Bachelor Thesis. Gotland University, Sweden. Indonesia Business Links (IBL). 2004. CSR Practices among the Natural Resource based Companies in Indonesia. Research Report. Jakarta. Koestoer, Y.T. 2007. Corporate Social Responsibility in Indonesia: Building Internal Corporate Values to Address Challanges in CSR Implementation. Disampaikan pada Seminar Good Corporate and Social Governance in Promoting ASEAN’s Regional Integration, 17 Januari 2007, ASEAN Secretariat, Jakarta. Kotler, P. dan Lee, N. 2005. Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. NJ: John Wiley&Sons Inc. Lindgren, D. 2006. CSR Conference Survey. IBL Conference on CSR 2006. Jakarta. TNS-IBL Survey Report. Malkasian, S. 2004. Corporate Social Responsibility among Foreign Multinational Companies in Indonesia. Professional Research Paper. Ohio University. Marrewijk, M.V. 2003. Concepts and definitions of CSR and corporate sustainability: between agency and communion. Journal of Business Ethics, 44(2), 102-103. Matten, D. dan J. Moon. 2005. A Conceptual Framework for Understanding CSR. dalam A. Habisch, J. Jonker, M. Wegner dan R. Schidpeter (Eds.). Corporate Social Responsibility Across Europe (Sprineger, Heidelberg/Berlin/Heidelberg). Mitchell, R., Agle, B., dan Wood, D. 1997. Toward a theory of stakeholder identification and salience: defining the principle of who and what really counts. Academy of Management Review, 22, 853-886. Philippines Business for Social Progress (PBSP). 2004. Benchmarking Tools for Corporate Citizenship. Pilot Project Report. Manila. Prajarto, N. dan Radityo, M. 2011. Lihatlah CSR-nya. Dalam Prajarto, N (Ed.). CSR Indonesia: Sinergi Pemerintah, Perusahaan, dan Publik. Yogyakarta: Fisipol UGM. Hal. 261-272. Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC). 2002. Giving and Fundraising in Indonesia. ADB. Rees, C. 2006. Emerging Trends and Challenges in Corporate Responsibility. IBL Conference on CSR. Jakarta. 13

Saidi, Z., dan Abidin, H. 2004. Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia. Jakarta: Piramedia. Schwartz, M.S. dan Carroll, A.B. 2003. Corporate social responsibility: a three-domain approach. Business Ethics Quarterly, vol. 13, No. 4, pp. 503-530. Sedyono, C.H. (n.d). Corporate Social Responsibility (CSR) in Indonesia. Disampaikan dalam Asia Pacific Economic Cooperation, Corporate Social Responsibility in the APEC Region Current Status and Implications. Setianto, W. A. 2011. Pola Adopsi Corporate Social Responsibility: Cermin Amerika Serikat, Eropa dan Indonesia. Dalam Prajarto, N (Ed.). CSR Indonesia: Sinergi Pemerintah, Perusahaan, dan Publik. Yogyakarta: Fisipol UGM. Hal. 43-74. Sexty, R.W. 2011. Canadian Business and Society: Ethics and Responsibilities. Boston: Mcraw-Hill. Smith, C. 1994. The New Corporate Philantropy. Harvard Business Review, 72: 105-116. Syafrizal. 2011. CSR Berwajah Indonesia. Dalam Prajarto, N (Ed.). CSR Indonesia: Sinergi Pemerintah, Perusahaan, dan Publik. Yogyakarta: Fisipol UGM. Hal. 101-128. Tanaya, J. 2012. Corporate social responsibility: A framework for analysing CSR heterogeneity through the case of Indonesian Palm Oil (PhD’s Thesis). Manchester, UK: University of Manchester. Uriarte, D.A. 2008. Corporate Social Responsibility in the ASEAN Region. dalam The LCF CSR Conference 2008, Makati City, Philippines, pp. 1-11. Waagstein, P.R. 2011. The Mandatory Corporate Social Responsibility in Indonesia: Problems and Implications. Journal of Business Ethics, 98: 455-466. DOI 10.007/s10551-0100578-x. Yakovleva, N. 2005. Corporate Social Responsibility in the Mining Industries. Hampshire: Ashgate Publishing Limited. Yudarwati, G.A. 2011. The Enactment of Corporate Social Responsibility and Public Relations Practices: Case Studies from the Indonesian Mining Industry. (PhD’s Thesis). Melbourne, Australia: RMIT University. Zadek, S. 2001. The Civil Corporation. London: Earthscan Publications Ltd.

14

Lihat lebih banyak...

Comentarios

Copyright © 2017 DATOSPDF Inc.