BUKU INDONESIA PASCANEGARA

Share Embed


Descripción

Indonesia Pascanegara

Indonesia Pascanegara

Agus Hilman

Indonesia Pascanegara Agus Hilman Hak Cipta © Agus Hilman, 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Editor: A. Fathoni Penata Letak: Dadang Kusmana Desain cover: M. Zahruddin Lingkar Publishing Green Sakinah Residence, No. 17 Jl. H. Moch Nail Baktijaya, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat 16418 Telp. 021-8313247 e-mail: [email protected] Cetakan Pertama, Maret 2013

Daftar Isi

Pengantar Penulis Catatan Berdemokrasi di Indonesia Bagian I Haru Biru Demokrasi Indonesia Akankah yang Baru Tenggelam? Haruskah Memilih Tidak Memilih? Kampanye Multikulturalisme Melampaui Dikotomi Sipil-Militer Meluruskan Niat Berpolitik Memilih untuk Mengawasi Menjaga Sportivitas dalam Pilpres Mungkinkah Menindak Pencuri Start? Police of Democracy Party Tak Berdaya Kok Pakai Uang? Kontrak Politik Bukan Segalanya

ix

1 3 6 10 14 17 20 24 27 31 35 39

vi

I ndo nesia P ascanegara

Bagian II Pemuda Antara Gerakan dan Politik Gerakan yang Tersadap Melacurkan Idealisme Mahasiswa? Pemuda Indonesia, Bangkitlah! Terdepak Primordialisme Kegamangan Gerak HMI Pascanegara

43 45 49 53 57 61

Bagian III Pendidikan, Kekerasan dan Kekuasaan Memutus Sumbu Kekerasan Menghentikan Bola-Bola Kekerasan Pendidikan, Antara Kekerasan dan Kekuasaan Dana Muslihat AS? Kepentingan di Balik Pengawasan Tidak Cukup dengan Bantuan Gaung Semangat Gotong-Royong Menerapkan Pendidikan Tanpa Kelas

65 67 71 75 80 84 88 92 96

Bagian IV DEMOKRASI SUBSTANTIF Memaknai Ulang Keterlibatan Kiai dalam Politik Meluruskan Gerak Partai Politik Media dan Regulasi Bangsa Perselingkuhan Uang dengan Kekuasaan Uang di Balik Perang Bencana ketika Pemilu Berlalu MPR Harus Konsisten Wakil Rakyat Bertekuk Lutut

101 103 107 112 116 120 123 127 131

Bagian V AGAMA, IDENTITAS, DAN GLOBALISASI Kritik Ilmu Keislaman, Menyuarakan Islam di Era Kekinian Merobohkan Teologi Langit Agama Bernalar Manusiawi Spiritualitas yang Kering Nalar Agama yang Hilang Menyempurnakan Agama? Merancang Fikih Bumi Edisi Kritik Agama

135 137 166 171 175 179 184 188 192

Daftar Isi

Lebaran Topat dan Teologi Lokal Deislamisasi Identitas Identitas Bersyariat di Kampung Global Menggugat Keidentitasan Agama Fatwa Hati Jihad Memelihara Kejujuran Kasih Sayang

vii 197 203 208 213 217 220 224

Pengantar Penulis

Catatan Berdemokrasi di Indonesia

S

ekalipun Indonesia meneguhkan demokrasi sebagai sis­ tem politik, tetapi hingga kini suara gugatan terhadap­ nya bukan berarti mereda. Demokrasi kadang digadang, tidak jarang pula ditentang. Bagi yang menentang, demokrasi di­anggap gagal membangun satu tatanan kehidupan bernegara yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Tapi pembela demo­kra­ si justru beranggapan, tidak ada sistem politik yang lebih baik dari demokrasi. Demokrasi satu-satunya sistem yang mem­­bu­ka ruang akses publik terhadap negara, karena baginya ke­pen­ting­ an rakyat (keadilan dan kesetaraan) diletakkan di atas segala­ nya, vox populi vox dei. Wajah demokrasi terlihat tidak elok acap kali disebabkan oleh tata kelola dan pengelola demokrasi yang justru abai ter­ ha­dap aturan-aturan prinsipil demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang terangkum dari kata demos (rakyat) dan cratein/cratos

x

I ndo nesia P ascanegara

(pe­me­rin­tahan) mengandaikan antara negara dan rakyat adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam artian substansial, bu­kan formal. Ruh pengelolaan negara terletak pada upaya un­ tuk melindungi dan memelihara kepentingan seluruh warga ne­ ga­ra dengan asas kesetaraan dan keadilan, karena spirit utama de­mo­krasi tidak menegasikan nilai-nilai tersebut. Dalam lintasan sejarah, tata kelola demokrasi kerap tidak ber­kesesuaian dengan aras yang sebenarnya. Anomali aplikasi de­mo­krasi inilah yang kadangkala mendorong penilaian tidak elok terhadap sistem demokrasi. Alur sejarah di Indonesia, de­­mo­krasi cenderung diracik berdasarkan naluri personalitas kepemimpinan. Akhirnya, kearifan lokal (local wisdom) demo­ krasi tidak bersandar pada ruang di mana sistem itu dijalankan, melainkan beradaptasi pada alur kepemimpinan personal. Tidak heran jika di berbagai negara, demokrasi acap kali melenceng dari arahnya sehingga cenderung abai dalam melindungi ke­ pen­tingan rakyatnya. Di sinilah anomali demokrasi muncul se­ hing­ga melahirkan resistensi terhadap demokrasi itu sendiri. Hadir sebagai bangsa yang unik—karena merangkum kera­ gam­an suku, bahasa, pulau dan warna kulit, Indonesia melalui ber­bagai sistem tidak serta-merta mendaulat demokrasi menjadi sis­tem tata pengelolaan politik. Sebelum Indonesia terbentuk se­bagai negara-bangsa (nation-state), Nusantara terdiri dari pulau-pulau yang digerakkan oleh dinasti kerajaan-kerajaan mo­ narkis dari daerah timur hingga barat. Mungkin demokrasi bu­ kan­lah kata dan sistem yang tepat, bahkan bisa menjadi masa­lah jika diterapkan dalam mileu monarki yang masih kuat saat itu. Lebih satu dasawarsa lalu, hadirnya Reformasi menjadi ti­ tik terbaru wajah demokrasi di Indonesia. Gema pembaruan per­la­han hadir di berbagai bidang melalui momentum politik, mes­ki harus melalui pengorbanan yang tidak murah dari da­rah generasi-generasi terbaik bangsa ini. Ibarat gesekan lem­peng

Pengantar Penulis

xi

bumi yang menghadirkan getaran, pembaruan itu pun meng­ alami gejolak. Sekalipun demikian, kita mesti hadir dengan se­ ju­ta optimisme jika etape pembaruan yang dijelajahi saat ini akan hadir membawa kebaikan untuk bangsa Indonesia. Kendati demikian, perjalanan satu dasarwarsa tersebut ha­ rus dievaluasi agar dapat memberikan gambaran yang me­nye­lu­ ruh. Pertama, terbukanya keran kebebasan politik pada sisi lain, serta hadirnya revolusi teknologi informasi abad milenium. Ke­ nya­taan ini dapat menggeser pola dan perkembangan demokrasi ke arah partikular dan artifisial, jika tidak disediakan instrumen perangkat penyeimbang. Secara logis, kebebasan politik jika dito­­pang dengan teknologi informasi dapat menciptakan tata ko­­mu­­nikasi yang dapat memelihara demokrasi berjalan dengan baik. Tetapi, ini dapat berbalik jika suprastruktur masyarakat ti­ dak menghadirkan daya infiltrasi terhadap pesan-pesan politik yang dihadirkan melalui teknologi informasi, seperti televisi dan berbagai media lainnya. Dalam kondisi demikian, artifisialitas akan mendominasi iklim politik. Pesan-pesan politik banyak disampaikan melalui media-media dengan perkembangan kecanggihan yang terus maju. Dalam langgam ini, citra menjadi bagian yang tidak terpi­ sah­kan untuk dikelola dalam menjalankan proses politik se­hing­ ga yang hadir di hadapan masyarakat adalah potongan-po­tong­ an yang belum tentu sama dengan realitas yang sebenarnya. Akhirnya, siapa yang menguasai media, dialah yang me­ mi­liki kans besar untuk mendapat simpati rakyat. Tidak heran mun­cul tren baru di mana kepemimpinan popular menjadi as­ pek dominan yang sanggup mengabaikan kepemimpinan ka­pa­ bel. Di sinilah suprastruktur yang menghadirkan daya infiltrasi di dalam diri masyarakat dibutuhkan. Dengan infiltrasi itu, ma­ sya­ra­kat mampu menelisik citra yang disuguhkan secara kritis, ti­dak diterima secara dogmatis. Jika nalar perangkat kritis ti­dak

xii

I ndo nesia Pascanegara

tumbuh, perkembangan demokrasi pun terancam akibat ka­pa­ bilitas kepemimpinan dikesampingkan oleh popularitas. Kedua, gelombang arus warga negara (citizen) dalam me­ nyam­pai­kan aspirasinya tereskpresi dalam beragam varian, baik ber­gerak di dunia maya maupun disalurkan secara langsung. Sebuah geliat yang “luar biasa” sebagai bukti menguatnya iklim demokrasi melalui jangkar terbukanya ruang publik (free public sphere) dalam iklim perpolitikan kita. Aspirasi masyarakat mewujudkan diri melalui gerakan se­cara langsung dan yang teranyar, gerakan virtual. Kita sebut ge­­rakan virtual untuk merujuk pada gerakan yang dilakukan me­­la­lui dunia maya, seperti beberapa gerakan yang muncul akhir-akhir ini untuk memprotes ragam kebijakan negara yang di­ang­gap tidak adil dan tidak memihak kepentingan rakyat. Pa­da wilayah yang nyata, kontrol masyarakat terhadap negara di­lan­­car­kan melalui gerakan-gerakan terbuka. Meskipun ragam eks­presi itu terkadang bergerak secara radikal sebagai aki­bat ma­kin tipisnya jarak antara citizen dan state atau rakyat de­ngan ne­garanya. Dulu, negara seolah tak tersentuh dan anti-kri­tik, tetapi kini para pemimpin negara tidak dapat melakukan tin­dakan sewenang-wenang karena kontrol masyarakat semakin ku­at. Tipisnya disparitas ini tidak hanya karena keterbukaan in­for­­masi, tapi juga didukung oleh sistem elektoral yang menis­ca­ya­­kan adanya kontak langsung antara pemimpin dengan rak­yatnya. Kondisi tersebut bukan berarti tidak memunculkan problem jika tidak ditata dengan pendidikan demokrasi yang terkelola. De­mokrasi yang terkelola adalah sistem yang digerakkan ber­da­ sarkan prinsip-prinsip etis demokrasi itu sendiri. Jika tidak di­ tata dengan baik, demokrasi hanya melahirkan mobokrasi atau ge­rombolan gerakan kontrol masyarakat yang tidak terorganisir, tidak memiliki tujuan, minus langkah strategis-taktis, sangat spo­radis, dan cenderung anarkis. Kecenderungan mobokrasi ini

Pengantar Penulis

xiii

ter­lihat dengan tampilnya gerakan masyarakat yang brutal dan tanpa kontrol sebagaimana acap terlihat akhir-akhir ini. Mobokrasi politik kemudian bergeser dengan bentuk ka­ pitalisasi politik di tingkat grass-roots secara massal. Kualitas pen­didikan masyarakat yang masih rendah berkonstribusi mem­ per­le­mah nalar kritis mereka, sehingga mudah terjebak pada men­tal instan dan pragmatis. Meski bukanlah sebab utama, suk­ sesi kepemimpinan dari pusat hingga daerah (provinsi/kota/ka­ bu­paten) yang dihelat secara langsung cukup mendulang mental prag­matis di masyarakat. Uang menjadi bagian dari titik sentral yang menentukan sikap politik masyarakat, sehingga cenderung meng­ha­dirkan model kepemimpinan modal. Karenanya, hal ter­sebut menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan kita bersama. Ketiga, demokrasi sejatinya dibangun untuk menghadirkan tata kelola negara yang benar-benar dipersembahkan untuk ke­ se­jah­teraan dan keadilan rakyat. Untuk mencapai itu, hal yang di­per­lukan adalah politik yang digerakkan dan disatukan oleh ide-ide mulia. Partai politik memainkan peranan penting di sini, karena sistem perpolitikan kita tidak bisa lepas dari pengaruh sen­tral partai politik di semua aspek perpolitikan kita. Karena se­ja­tinya, partai dibentuk sebagai manifestasi mesin politik rak­yat agar berpartisipasi aktif dalam setiap proses politik (Hartmut Hess,15: 2007) Akan tetapi, itu juga menjadi problem ketika jalinan partai po­litik belum bertolak pada domain di mana nilai keadilan sosial-politik menjadi landasan langkahnya. Koalisi politik par­ pol, misalnya, masih belum mampu bersandar pada upaya kerja sa­ma yang didasari oleh kesamaan tujuan atau, lebih tepatnya, ideo­logi. Dalam bahasa yang lebih lugas, koalisi partai politik se­mes­tinya terbangun untuk cita-cita kebenaran, kesetaraan, dan keadilan sosial, bukan yang lainnya.

xiv

I ndo nesia Pascanegara

Koalisi kebenaran, ideologically connected coalition atau koa­lisi berbasis ideologi seolah utopis untuk diterapkan dalam sis­tem kepartaian kita saat ini. Senantiasa pertimbangan di luar ideo­logi selalu dikalahkan oleh kalkulasi politik jangka pendek. Se­hingga, menghadirkan koalisi permanen menjadi sulit tercipta akibat kepentingan, kebutuhan, dan eskalasi politik selalu lebih dominan menentukan arah koalisi daripada ideologi. Sementara ragam kepentingan dalam perpolitikan tidak pernah absolut, melainkan selalu bergerak semu dan nisbi. Kenyataan tersebut sebenarnya lazim terjadi di beberapa ne­gara dan memang masih menjadi momok yang belum da­ pat dieliminasi sistem demokrasi. Kendati demikian, meng­ ha­dir­kan kondisi sistem di mana partai politik bergerak dan me­nya­tu berdasarkan ideologinya bukanlah realitas yang mus­ ta­hil diwujud-nyatakan, namun harus tetap dilakukan me­la­ lui perombakan sistem. Artinya, sistem kepartaian kita ma­ sih memberikan ruang terbangunnya iklim politik yang ti­dak didasarkan oleh nilai kebenaran. Sudah barang tentu, me­wu­ jud­kan­nya membutuhkan ikhtiar dan iktikad sungguh-sungguh dari seluruh elemen yang terlibat dalam pengelolaan demokrasi di negara ini. Menelisik postulat pemikiran di atas, membangun demo­kra­­ si yang mampu menghadirkan perubahan bagi bangsa Indonesia de­ngan me­nyemai spirit substansi demokrasi niscaya di­bu­mi­ kan (down to earth) dalam sistem politik kita. Inilah yang di­ se­but sebagai demokrasi transformasional sebagai ba­gian upa­­ ya untuk mematangkan demokrasi kita. Yakni, benar-be­nar berpijak pada prinsip dan nilai-nilai hakiki demokrasi yang mam­pu melakukan transformasi bagi negara, khususnya rak­ yat Indonesia. Sehingga, demokrasi tidak lagi dianggap seba­gai kambing hitam atas kegagalan negara dalam mengelola ke­hi­ dupan yang layak bagi rakyatnya. Di sini, kita bukan berarti men­

Pengantar Penulis

xv

de­wa­kan demokrasi sebagai sistem paling absah dan ter­baik, tapi hanya menegaskan bahwa sebenarnya kita belum sepe­nuh­nya menjalankan demokrasi yang sesungguhnya, yakni de­mo­krasi transformasional. Karena itu, hadirnya perubahan yang membawa perbaikan bagi iklim demokrasi di Indonesia ke arah yang lebih baik ha­ rus terus diupayakan. Di sinilah hadirnya kepemimpinan mu­ da yang mampu membawa perbaikan menjadi penting. Kita perlu membedakan antara kepemimpinan muda dengan kepe­ mim­pinan pemuda. Kepemimpinan muda lebih pada aspek substansi kualitas muda, seperti visioner, progresif, memiliki res­ponsibilitas, sense of social yang kuat, integritas tinggi, dan be­rani melakukan transformasi. Sedangkan ketika menyebut ke­pe­mim­pinan pemuda, kita akan cenderung terjebak pada di­ men­si biologis pemuda. Pada dasarnya, pemuda memiliki aspek kualitas muda sebagaimana yang disebutkan tadi, kendati tidak se­mua­nya pemuda memiliki jiwa-jiwa muda tersebut. Begitu pula mereka yang secara biologis tua, umumnya tidak lagi me­ miliki kualitas muda, tetapi tidak semua yang berusia tua tidak me­miliki nilai dan spirit muda. Perbaikan-perbaikan iklim demokrasi di Indonesia sangat mem­butuhkan pola kepemimpinan muda. Tanpa mental kepe­ mim­pin­an muda yang visioner dan memiliki daya dobrak yang kuat, maka percepatan perubahan yang diharapkan akan jauh dari panggang. Suksesnya pemilu pada satu sisi menjadi para­ meter kedewasaan demokrasi di Indonesia, tetapi tidak ha­nya berhenti pada aspek prosedural tersebut. Melainkan se­mes­ti­ nya me­miliki dampak dalam membangun kesejahteraan dan ke­ma­ju­an ma­sya­rakat. Tanpa mem­berikan implikasi, roda ja­­ lan de­mo­krasi kita masih tumpul dan mandul. Dan, yang mam­ pu mem­bawa ke arah penyeimbangan antara prosedural dan substansial demokrasi adalah kepemimpinan muda. Kepemim­

xvi

I ndo nesia Pascanegara

pinan muda mengandaikan adanya sistem yang memberikan ruang berjalannya ragam perubahan visioner dan kreatif yang di­trans­formasikan untuk menghadirkan perbaikan kehidupan ber­bangsa-bernegara. Dalam konteks demokrasi, hal yang harus dilakukan dalam meng­hadirkan kepemimpinan muda adalah menyediakan ruang terbangunnya etika demokrasi di tengah pesatnya kemajuan tek­nologi dan kebebasan politik. Etika demokrasi bukan sarana untuk memberikan label “baik” dan “buruk”, melainkan menjadi etika moral di mana segala aktivitas demokrasi dijalankan. Arti­ nya, demokrasi memang mensyaratkan adanya kebebasan, teta­ pi bukan kebebasan yang dimaknai secara radikal dan abai ter­ ha­dap peran dan tanggung jawab. Nilai harus dijadikan acuan dalam menjalankan dan meramaikan demokrasi. Dan, kepe­ mim­pinan muda akan mudah tumbuh di dalam iklim di mana etika moral demokrasi dikedepankan. Kita semua berharap agar pematangan ke arah demokrasi trans­formasional benar-benar mampu kita wujudkan sehingga mem­berikan perubahan bagi kehidupan rakyat Indonesia, yakni ke­sejahteraan, keamanan, dan keadilan sosial. Menghadirkan kepe­mim­pinan muda akan memudahkan jalan menuju demo­ krasi transformasional karena hakikat dari transformasi selalu dinamis dan tidak pernah statis sebagaimana sejatinya spirit muda. Spirit muda seperti roda yang terus berputar mengalami perubahan menuju capaian ideal. Penulis sendiri meyakini jika di dalam diri para pemuda Indonesia, jiwa kepemimpinan muda itu terus mengalir yang akan membawa perubahan berarti bagi ke­hi­dupan bangsa dan negara Indonesia. Jakarta, 10 Maret 2013 Agus Hilman

Bagian I

Haru Biru Demokrasi Indonesia

Akankah yang Baru Tenggelam? (Jawa Pos, 18 Desember 2003)

M

inggu 7 Desember 2003, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah meresmikan 24 partai politik lolos seba­ gai kontestan Pemilu 2004.  Ke-24 partai tersebut akan ber­tarung dalam pesta demokrasi yang paling meriah da­ lam se­jarah perpolitikan Indonesia. Secara kuantitas, diban­ ding­kan Pemilu 1999, jumlah kontestan Pemilu 2004 kali ini ter­bilang menurun. Ditinjau dari kalkulasi stabilitas politik dalam konteks Indonesia, jumlah 24 partai bukan merupakan sebuah kenyata­an yang tanpa masalah. Ada banyak problem yang akan tim­bul dalam jumlah yang tergolong banyak untuk ukuran Indonesia itu, meski pada Pemilu 1999 lebih dari jumlah terse­but.  Misalnya, akan marak praktik money politics dan pencurian start kampanye.  Dengan jumlah yang relatif banyak itu, setiap partai politik tentu akan bertarung mencari dan merebut hati rakyat dengan

4

H aru B iru D emokrasi I ndonesia

me­le­gal­kan bera­gam cara.  Money politics merupakan tren umum dalam ke­curangan pemilu. Jadi, bisa diprediksikan, de­ ngan banyak­nya jumlah partai tersebut, money politics akan ma­rak, persis seperti maraknya money politics pada 1999.  Pada Orde Baru yang hanya tiga partai, money politics tetap mewabah, apalagi Pemilu 2004 yang lebih banyak parpolnya. Lebih-lebih, tingkat pendidikan politik rakyat bawah sangat ren­dah dan mudah memberikan suaranya kepada partai yang bisa memenuhi kebutuhan materi mereka. Bisa diterka, yang pa­ling di­untungkan atas kondisi tersebut hanya partai yang kuat basis finansialnya. Karena itu, jika tidak disiasati dengan strategi yang lebih jitu, sangat mungkin partai-partai baru yang tidak memiliki ke­ kuatan basis finansial hanya akan menjadi penonton, bahkan teng­ge­lam di bawah kekuatan partai besar. Lebih-lebih, pada pemilu kali ini, tingkat apatisme rakyat terhadap partai politik cu­kup tinggi.  Misalnya, membangun kekuatan koalisi dengan partaipartai baru yang cukup memiliki idealisme serta kekuatan basis kul­tur untuk menandingi kekuatan partai-partai besar dan ber­ kuasa. Pemikiran tersebut berkaca pada Pemilu 1999. Saat itu, partai-partai baru (partai selain PDIP, Golkar, dan PPP) ber­ mun­culan bak jamur di musim hujan. Tetapi, di antara sekian banyak­nya partai baru kala itu, ternyata hanya PKB dan PAN yang bisa menembus electoral threshold dua persen. Selain itu ha­nya menjadi penyemarak pemilu.  Itu pun PAN dan PKB bernaung di bawah basis kultur Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Bisa dibayangkan, sekitar 18 partai baru sangat sulit menjadi peserta Pemilu 2004. Selain berhadapan dengan partai-partai lama seperti PKB, Golkar, PDIP, PPP, PKB, dan PAN, mereka harus menembus batas electoral threshold yang naik menjadi tiga persen.

A kankah y ang B aru Tenggelam?

5

Berkualitas Kerupuk? Berdasarkan polling Jawa Pos kemarin (Jawa Pos, 16/12), ma­ syarakat masih memandang bahwa partai baru yang muncul saat ini memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda dari partai-par­tai lama (Golkar, PKB, PPP, PAN, dan PDIP). Polling tersebut me­ nya­takan, tingkat respons masyarakat yang memandang partai baru sama dengan partai lama mencapai 32,5 persen, meng­ anggap lebih baik 25,9 persen, lebih buruk 23,5 persen, dan me­ nyatakan tidak tahu 18,1 persen.  Kalau dilihat lebih jauh, penyebab utama pandangan pesi­ mistis masyarakat tersebut adalah mereka merasa dikhianati par­tai politik. Harapan rakyat dengan kemenangan PDIP secara telak pada Pemilu 1999 yang merupakan ikon Orde Reformasi ter­nyata tetap tidak bisa membawa perubahan bagi bangsa ini.  PAN dan PKB pun tidak jauh berbeda. Sehingga, lahirlah ke­cen­derungan dalam diri rakyat bahwa partai baru atau partai la­ma sama saja. Keberadaan mereka tetap tidak akan membawa per­u­bahan signifikan bagi bangsa. Partai-partai reformasi (PDIP, PAN, PKB, dan PBB) dipandang gagal membawa negeri ini keluar dari krisis multidimensi. Praktik KKN kian merajalela. Bahkan, berdasarkan penelitian International Transparency, praktik kotor itu semakin terang-terangan di masyarakat. Fe­ nomena tersebut memunculkan pandangan apatisme dan pe­ simisme rakyat atas keberadaan partai-partai baru (apalagi yang lama). Karena itu, akankah partai-partai baru dalam 24 parpol peserta pemilu tersebut tenggelam?

Haruskah Memilih Tidak Memilih? (Suara Karya, 22 Desember 2008)

M

antan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) me­ wanti-wanti golongan putih (Golput) akan mening­kat hingga 70 persen jika pemerintah tidak adil menyi­ kapi dualisme di PKB (Kompas,13/10). Terlepas dari nada an­ caman itu, pernyataan Gus Dur terkait golput menarik di­per­ bin­­cangkan kembali di tengah prediksi jumlah golput akan me­ningkat pada pemilu mendatang. Wacana golput atau tidak menggunakan hak pilih bukan hal asing dalam demokrasi yang seluruh aspirasi masyarakat di­be­ri­kan ruang untuk berekspresi secara bebas (free public sphere). Tidak ada kekangan, tidak ada dominasi mayoritas atas mi­no­­ri­tas. Semua elemen berhak mengajukan pendapat. Karena itu, golput sebagai bentuk ekspresi politik tanpa menggunakan hak pilihnya, pada langgam ini, tidak dapat disalahkan, bahkan mo­­ra­litas demokrasi harus “membelanya” secara politik.

H aruskah Memilih Tidak Memilih ?

7

Pada Pemilu 2004, jumlah golput sekitar 23,34 persen de­­ngan melebihi perolehan suara seluruh partai. Sementara Pemilu 1999, angka golput 10,4 persen. Jaringan Pendidikan Pe­mi­­lih un­tuk Rakyat (JPPR) melihat pada rentang 20052008, golput ter­nyata unggul di 13 pilkada provinsi. Sementara di kota/kabu­paten, golput unggul di 39 dari 130 pilkada. Kondisi di atas membuka kembali peluang besar mem­ beng­kak­nya golput pada Pemilu 2009. Bahkan tidak menutup ke­mung­kinan melebihi prevalensi golput Pemilu 2004. Ke­ke­ce­ wa­an masyarakat terhadap para politikus dan partai politik saat ini yang tidak mampu membawa perubahan bagi rakyat bisa men­jadi salah satu pedorong golput.

Tanpa Efek Secara substansial, golput dapat diamini sebagai bentuk opo­ sisi tanpa suara atas sistem politik yang berjalan. Masih le­mah­ nya sistem politik kita dalam melahirkan kepemimpinan yang kokoh menempatkan event suksesi (pemilu) tidak lagi ber­wi­ bawa sehingga melahirkan ketidakpercayaan (distrust) rakyat. Kenyataan itu diperparah oleh oligarki partai politik yang masih menjadi batu sandungan bagi lahirnya pemimpin berkualitas di negeri ini. Sangat salah jika menganggap warga negara yang golput se­ba­gai orang yang apatis dan tidak peduli terhadap perubahan bang­sa. Justru kebanyakan orang yang memilih golput dilandasi mo­tif yang rasional dan tanpa suap. Mereka mengharapkan ma­sa depan demokrasi lebih bagus. “Sama saja, Mas. Nyoblos nggak nyoblos, hidup tetap susah.” Hanya ungkapan itu yang se­ring kita dengar dari rakyat yang  emoh  menggunakan hak suara­nya saat pilkada maupun pemilu. Karena menjadi refleksi kekecewaan rakyat atas kinerja pe­ me­rin­tah, politikus maupun partai, golput tersudutkan sebagai

8

H aru B iru D emokrasi I ndonesia

ano­mali. Sikap ini akan menjadi citra pemerintahan sebelumnya. Wajar jika kemudian penguasa berusaha mengeliminir golput. Menelisik “ancaman” Gus Dur di atas jadi relevan. Perlu diingat, golput tidak signifkan memengaruhi sistem mes­ki prevalensinya cukup tinggi. Roda kepemimpinan terus ber­lanjut. Sekalipun dengan banyaknya golput di­klaim  un­ legitimate, tetapi hanya berjalan pada aras wacana se­ma­ta, tidak pa­da ranah praksis (gerakan). Alih-alih menjadi an­cam­ an, tinggi­nya tingkat golput tidak memiliki ekses politik ba­gi pe­m­erintahan terpilih. Kenyataan tersebut disebabkan sifat penyebaran golput yang ber­serak, tanpa titik koodinasi. Sekalipun, seandainya, sikap golput rakyat dilatari motif yang sama, mereka tidak mudah un­ tuk disatukan menjadi sebuah gerakan. Inilah keunikan golput yang, pada pengalaman, laju geraknya mengalir bak air dan bah­kan sifatnya personal. Sikap mereka murni untuk tidak me­ milih, tanpa uang suap, tanpa biaya.

Konsolidasi Nurani Memang, siapa pun berharap agar rakyat menggunakan hak pilih­nya. Tetapi, memaksakan seluruh rakyat untuk tidak golput sa­ma tidak benarnya dengan memaksakan kehendak agar me­ reka semua menjadi golput. Sikap warga untuk memilih, apa pun pilihan politiknya asal sesuai nurani mereka, harus dihor­ mati setinggi-tingginya. Inilah kebijaksanaan demokrasi yang belum integral dalam perilaku politik berbangsa kita dalam se­ gala sendi. Tidak hanya jarang bertindak sesuai kejujuran, demokrasi kita belum terbiasa menghormati rakyat yang memilih sesuai ke­hendak murni mereka. Sikap kekecewaan politik rakyat yang terefleksi di dalam golput harus dimaknai secara positif sebagai ke­cerdasan demokratik. Kendati begitu, golput juga akan “ter­

H aruskah Memilih Tidak Memilih ?

9

nodai” jika digerakkan hanya karena kecewa akibat tidak dapat jatah kekuasaan. Inilah momen agar elite benar-benar bergerak berdasarkan ke­pen­tingan rakyat yang saat ini membutuhkan kepedulian sosial-ekonomi yang praksis, bukan sekadar wacana. Nurani pe­ mim­pin harus dihidupkan agar berusaha melayani dan me­nye­ jah­terakan rakyat. Bagi mereka yang akan mencalonkan diri di le­gis­latif dan eksekutif agar kembali meluruskan niatnya untuk meng­ayomi rakyat. Jika hal itu tidak atau belum ada, haruskah be­sok kita memilih untuk tidak memilih?

Kampanye Multikulturalisme (Jawa Pos, 11 Maret 2004)

S

angat beralasan beberapa kalangan memprediski bahwa pemilu kali ini rentan sekali dengan konflik horizontal/ ver­tikal. Kasus bentrokan antara pendukung Golkar dan PDIP di Bali bulan Oktober lalu kiranya merupakan satu in­di­ kasi ancaman tersebut. Padahal, tragedi itu terjadi jauh hari se­ be­lum kampanye nanti, sedangkan KPU menjadwalkan setiap hari ada sekitar 12 parpol yang berkampanye? Beberapa tindak kekerasan dalam event pemilu memang tidak terlepas dari dampak masyarakat Indonesia yang multi­ kul­tural. Di Indonesia, terdapat beragam ras, suku, dan agama yang sewaktu-waktu dapat menciptakan konflik horizontal. Hal itu terjadi karena entitas primordial tersebut sangat mudah di­ eksploitasi untuk kepentingan politik golongan tertentu. Pengalaman hitam dalam kurun 1996-2002 cukup men­ja­ di contoh bagaimana pluralitas mengobrak-abrik sendi-sendi

K ampan y e Multikulturalisme

11

kehidupan kebangsaan kita. Tragedi berdarah dengan meng­ atas­namakan agama yang terjadi di Ambon, Poso, Situbondo, dan Mataram ternyata banyak memakan korban jiwa. Belum lagi ber­bicara tentang perang etnis di Sambas beberapa tahun silam yang memberikan luka dan trauma mendalam sehingga tentu sulit dihilangkan dari alam pikir pihak-pihak bersengketa. Karena itu, sangat logis jika public khawatir terhadap par­tai politik yang menggunakan bahasa-bahasa SARA dalam meng­ ambil simpati masyarakat. Ketakutan dan kekhawatiran rakyat tersebut sangat wajar karena dapat dipastikan dalam setiap event kampanye terjadi tindakan-tindakan yang mengarah pada isu SARA yang tidak sedikit memakan korban jiwa. Di sinilah kita memerlukan sebuah metode dan manajemen kam­panye yang berbasis pada semangat multikulturalisme. Se­ buah model kampanye yang sesuai dengan konteks masya­ra­kat kita. Kalau kita mau kritis, budaya kekerasan yang sering ter­ jadi saat kampanye dalam kurun sejarah pemilu di negeri ini sesungguhnya akibat model kampanye yang tidak memiliki se­ mangat multikulturalisme. Sering kali para juru kampanye (jurkam) menggunakan bahasa-bahasa SARA untuk meneguhkan partainya sebagai yang ter­­baik. Agama senantiasa dibajak untuk kepentingan politik se­saat. Salah satu pembajakan agama adalah pemelintiran ayat yang menyatakan bahwa jangan sekali-kali kamu mendekati po­ hon ini, (jika kamu dekat), kamu termasuk orang-orang zalim (lâ taqraba hadzihi al-syajarata fatakûna minal-zhâlimîn). Sa­ sar­­annya, siapa lagi kalau bukan Golkar. Akhirnya, para pen­­du­ kung partai sering kali menghalalkan diri menggunakan ke­ke­ ras­­an kepada orang yang mendekati pohon itu (Golkar). Inilah bentuk terorisme terselubung partai. Kampanye yang bersemangat multikulturalisme enggan ber­­di­ri di atas ego yang selalu menjelek-jelekkan rival politik­

12

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

nya dan mengagungkan golongan/partai sendiri. Model kam­ panye seperti ini harus segera ditinggalkan karena hanya mem­ bo­doh­kan rakyat. Memang, tak salah menganggap partai kita adalah partai paling bagus. Tetapi, yang salah adalah anggapan partai kita adalah partai paling bagus, seraya dibarengi dengan menjelek-jelekkan dan merendahkan martabat partai lain. Biar­ lah orang lain yang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Tentu, jika baik, mereka akan ikut. Jika jelek, mereka akan jauh. Dalam kampanye multikulturalisme, perbedaan tidak di­ pandang seolah sebuah bencana yang harus dimusnahkan. Per­ bedaan dipahami sebagai keniscayaan yang tidak dapat dielak­ kan. Perbedaan dimaknai sebagai sarana untuk berlomba-lomba mengejar kebaikan. Karena itu, tindakan-tindakan damai merupakan salah satu cara partai untuk berlomba menunjukkan bahwa dirinya benarbenar baik. Dengan demikian, apa pun partai yang dipilih tidak men­jadi masalah, toh kita semua tetap bernaung dalam satu ben­dera persaudaraan: Indonesia.

Jangan Pilih yang Rusuh Menebar tindak kekerasan akan menciptakan kecemasan ko­mu­ nal di tingkat masyarakat bawah. Siapa pun yang mencip­ta­kan kecemasan di dalam masyarakat adalah teroris yang harus di­tin­ dak tegas. Karena itu, partai-partai yang memberikan ke­ce­mas­ an saat kampanye nanti merupakan partai teroris. Terorisme par­tai bisa berwujud sikap pembajakan bahasa Tuhan (agama), ras, dan suku untuk kepentingan dirinya. Membajak ayat-ayat Tuhan dengan tujuan menghadang rival politiknya. Di sinilah dibutuhkan sebuah sanksi hukum tegas terhadap par­tai yang sering membuat onar dan menggunakan isu-isu SARA sebagai komoditas politik (UU No. 12/2003). Jika sanksi

K ampan y e Multikulturalisme

13

hu­kum belum cukup dipandang efektif dalam menghilangkan par­tai teroris, diperlukan sebuah sanksi sosial dengan cara ja­ ngan mencoblos partai teroris, rusuh, dan membuat orang cemas. Dengan demikian, parpol, caleg, serta massanya akan ber­ pi­kir ulang untuk melakukan tindakan anarkis. Sebab, stan­dari­ sasi keabsahan suara terletak pada dicoblos dan tidaknya par­tai politik. Gerakan itu diharapkan bisa efektif mengontrol partai dan massa agar tidak terjerumus dalam kekerasan politik saat kam­panye.

Melampaui Dikotomi Sipil-Militer (Jawa Pos, 31 Juli 2004)

P

ada Senin kemarin, 26 Juli, Komisi Pemilihan Umum (KPU) meng­umumkan secara resmi bahwa pasangan SBY-JK dan Megawati-Hasyim lolos mengikuti pilpres putar­an kedua. Di antara total pemilih yang menggunakan hak suaranya, pasangan SBY-JK mampu meraup suara sekitar 33,58 persen, Megawati-Hasyim sekitar 26,61 persen, Wiranto-Wahid 22,16, Amien-Siswono 14,66 persen, dan pasangan HamzahAgum hanya meraup suara 3,01 persen. Berdasarkan statistika kemenangan di atas, di luar dugaan, ter­nyata pasangan SBY-JK mampu mengalahkan beberapa rival po­litik­nya yang notabene sudah tidak asing dalam kancah per­po­li­tikan nasional kita. Bahkan, Megawati-Hasyim hanya mem­per­oleh 26 persen suara. Kemenangan telak SBY-JK itu me­nun­jukkan bahwa dikotomi sipil-militer tidak terlalu dilihat ma­sya­rakat. Aura figur sosok SBY lebih dominan daripada stigma negatif latar belakangnya sebagai militer.

Melampaui D ik otomi Sipil-Militer

15

Memang, selama ini, sipil dan militer menjadi dua kata yang senantiasa dimaknai dengan paradigma oposisi biner, kon­ tradiktif, dan dikotomik. Garis kontradiksi itu semakin tajam, ter­utama pada detik-detik jatuhnya rezim Soeharto pada 1998. Wacana oposisi biner sipil-militer tersebut menggema kembali pada saat pilpres putaran pertama. Itu terlihat dari beberapa gerak­an yang menolak tampilnya capres militer sebelum pelak­ sa­naan pilpres kemarin. Meski demikian, garis kontradiksi sipilmiliter tersebut hanya mendengung di permukaan, tetapi ku­rang popular di grass-roots. Jika diamati, ada beberapa hal mengapa dikotomi sipil-militer tidak begitu kuat memengaruhi sikap politik pemilih. Per­tama, secara sosiologis, masyarakat kita adalah masyarakat yang tertumpu pada pengaruh figur. Da­lam struktur psikologi so­sial masyarakat yang seperti itu, sim­pati dan empati ma­sya­­ra­kat akan mudah diperoleh, jika figur ter­se­but memiliki ke­ahlian beretorika yang cantik atau cerdas me­nam­ pilkan kewiba­waan dan kelembutan. Pada kerangka itu, yang dilihat masyarakat bu­kan latar belakangnya yang buruk, me­lain­ kan penam­pilannya yang manis dan wibawa. Ingat, Golkar pada 1998 dihujat, tetapi pada 2004 malah menjadi kampiun. Untuk menguat­kan tesis tersebut, coba kita lihat fenomena Aka­demi Fantasi Indonsiar (AFI) yang sempat menghebohkan du­nia entertainment dan mampu menyedot jutaan pemirsa dari ber­bagai kalangan. Fenomena yang disuguhkan AFI tidak hanya feno­­mena budaya pop dan instan, melainkan menyuguhkan cer­­min psikologi sosial masyarakat yang lebih melihat aspek fi­ sikal­nya. Bagaimana Fery bisa mengalahkan Kia hanya karena secara fisik Fery lebih sempurna, meski suara Kia lebih bagus. Karena itu, jangan heran, struktur psikologi sosial ma­sya­ ra­kat yang seperti itu juga berlaku ketika menentukan sikap pi­ lih­an politiknya. Akhirnya, sipil-militer pun tidak banyak ber­pe­ nga­ruh. Masyarakat telah melampaui dikotomi sipil-militer.

16

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

Kedua, antimiliterisme lebih didominasi nuansa-nuansa po­litis. Sekalipun beberapa elemen gerakan benar-benar murni me­nentang antimiliterisme karena trauma akan masa kelam Orde Baru, upaya imagologisasi tersebut hanya mengendap pa­da garis permainan politik tingkat elite semata. Karena itu, jangan heran jika masyarakat awam pun tidak tahu apa mak­ na militerisme dan kenapa harus ditentang. Tetapi, ada juga gerakan antimiliterisme yang sengaja digerakkan capres dari mi­li­ter. Alhasil, yang dibaca masyarakat adalah gerakan itu me­ ru­pa­kan gerakan politis dan gerakan bayaran. Alih-alih meraih simpati, justru cemoohan yang didapat. Berdasar dua pandangan di atas, tampilnya dua pasangan capres-cawapres SBY-JK dan Megawati-Hasyim menarik untuk di­cermati. Dikatakan menarik bukan dikarenakan masingmasing pasangan tersebut sebagai representasi pertarungan sipil dan militer pada tataran asumsi grass-roots. Namun, kedua pasangan itu merupakan simbol pertarungan dua wibawa/aura figur. Harus diakui, kemenangan SBY-JK dan fenomena politik yang ditunjukkan Partai Demokrat saat pe­milu legislatif lalu tidak lepas dari sosok SBY. Demi­kian juga Megawati telah ter­lepas dari aura Soekarno yang telah men­jadi mi­­tos bagi ma­sya­rakat. Karena itu, jika manuver politik sen­ti­men opo­sisi biner sipil-militer tetap dilempar­kan saat pemilu pu­­tar­­an kedua, me­nurut saya, tidak akan me­mengaruhi pemilih. Apalagi, jika seandainya salah satu pasangan capres-cawa­ pres dari kalangan sipil yang tidak lolos putaran pertama lalu menyatakan dukungannya kepada SBY-JK, misalnya, dikotomi sipil-militer pun akan lenyap. Namun, semua prediksi itu di­ ten­tu­kan di lapangan nanti. Sebab, jalan politik tersebut zig-zag dan tidak berdiri di atas logika matematis-positivistik.

Meluruskan Niat Berpolitik (Jawa Pos, 12 April 2004)

S

uatu hal yang paling ditakuti dalam dunia politik adalah keputusan yang cepat dan selalu berubah-ubah. Sekarang mengatakan A, pada lain kesempatan bisa jadi terucap lafal yang berbeda. Sekarang kawan, pada detik yang berbeda bisa menjelma menjadi monster yang menyeramkan. Perubahan-perubahan itu berjalan di atas kepastian yang zig-zag, tanpa arah, dan susah terdeteksi, sehingga sering me­ len­ceng dari perhitungan awal. Kepentingan merupakan motor peng­gerak di balik perubahan zig-zag. Kawan hanya akan ter­ jaga selama kepentingan terpelihara. Karena itu, di satu sisi, cu­ kup sulit—untuk tidak mengatakannya mustahil—mencari ka­ta kon­sis­ten dalam politik. Akar kemustahilannya disebabkan poli­ tik masih dimaknai sebagai entitas yang selalu berkait kelindan de­ngan kekuasaan. Yakni, berpolitik untuk berkuasa.

18

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

Keberhasilan berpolitik ditentukan sejauh mana kita suk­ses dalam membangun serta merebut kekuasaan. Hasilnya, komit­ men menjadi monotafsir bagi elite, yakni komitmen menjaga ke­pen­tingan masing-masing. Pola kerja politik yang demikian itulah yang menjadi mindset elite-elite politik kita. Yakni, berpolitik untuk merebut dan me­lang­gengkan kekuasaan, tidak untuk kehidupan serta ke­ sejah­­tera­­an rakyat. Tiga etape sejarah perpolitikan yang mengi­ ringi bang­sa ini seperti rezim Orde Lama, Orde Baru, dan kini Orde Refor­masi yang ditandai dengan kemenangan PDIP pada 1999 cu­kup menjadi contoh. Ketika kekuasaan, komitmen untuk mem­per­juangkan harkat serta martabat bangsa tergadaikan oleh ko­mit­men melanggengkan kekuasaan, program-program nega­ra diproyeksikan untuk mengemukakan golongan sendiri. Menyimpangnya komitmen elite-elite politik sesungguhnya ber­akar dari cara pandang dan motivasi elite terjun ke dunia poli­tik. Politik dilihat sebagai kapital yang bisa menguntungkan kan­tong pribadi. Karena itu, banyak politikus yang berbondongbondong menjadi caleg, sekalipun harus mengeluarkan uang yang banyak dan ijazah palsu. Jangan heran jika mereka tak segan-segan membeli suara rakyat. Contoh riil pada pemilu 5 April 2004, beberapa caleg dan parpol menghargai Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu per kepala yang menyemarakkan kampanye parpol. Bagaimana ketika pen­ coblos­an? Coba bayangkan, jika membutuhkan enam juta suara, bera­pa uang yang harus keluar? Itulah cikal bakal prostitusi ke­ kuasa­an di negeri ini. Dalam kerangka tersebut, membangun kekuatan yang ku­ kuh pada basis sipil (civil society) kelas bawah non-birokrat da­ lam meluruskan niat serta komitmen para elite politik men­jadi hal penting. Masyarakat sipil bawah (rakyat) memiliki kekuatan un­tuk mengontrol elite politik agar berjalan pada komitmen

Meluruskan Niat Berpolitik

19

ser­ta niat berpolitik untuk kesejahteraan rakyat dan negara. Dan, kekuatan tersebut hanya akan tercipta jika rakyat menya­tu­kan tekad bersama. Yakinlah, berpolitik untuk mengua­ sai dan melanggengkan kekuasaan tidak akan pernah membawa ke­baikan bagi bangsa ini. Bangsa yang sudah parah dan bobrok dalam segala lini ini jangan diperparah oleh kegiatan politik yang melulu untuk ke­ kuasa­an dan menguasai, apalagi untuk mengeruk uang rakyat serta menjual aset-aset negara. Bangsa ini membutuhkan poli­ tikus yang siap menjadi martir demi martabat serta kesejah­te­ ra­an rakyat, bangsa, dan negara. Berpolitik untuk rakyat. Iktikad itu tidak membutuhkan se­ buah retorika (apalagi janji), melainkan tindakan yang nyata. Ber­politik untuk rakyat bukan sebuah gambaran politikus yang selalu mengatasnamakan rakyat. Berpolitik untuk rakyat berarti ber­politik untuk mengabdi kepada kepentingan, kesejahteraan, dan kecerdasan bangsa. Rakyat tidak dibodohi dengan janji-janji politik, apalagi me­nyu­guh­kan pernyataan politik yang membingungkan rakyat. Elite politik harus mengerti kondisi rakyat dan tidak menjadikan me­reka korban hasrat berkuasa. Pada 10 April lalu, beberapa elite yang mengatasnamakan alian­si 19 parpol menolak hasil Pemilu 2004, sekalipun hasil pe­milu belum dinyatakan final. Berarti, 6 parpol lainnya me­ne­ ri­ma hasil pemilu. Pada saat bersamaan, Forum Rektor menilai bah­­wa pemilu berjalan sukses dan berjalan transparan sesuai UU Pemilu Nomor 12/2003. Terlepas benar atau tidaknya tin­ dak­an tersebut, bagaimanapun, pernyataan-pernyataan itu ten­ tu sangat membingungkan rakyat. Hanya satu pertanyaan yang sang­gup terlontar, masihkah para elite politik kita memiliki niat dan komitmen menyejahterakan rakyat?

Memilih untuk Mengawasi (Jawa Pos, 20 September 2004)

J

ika tiada aral membentang, hari ini, seluruh rakyat Indonesia sedang memilih dan menentukan presiden me­reka, yakni pemilu presiden putaran kedua. Sebuah ja­lan pe­milu yang melelahkan setelah pemilu legislatif dan pil­pres pertama dilalui. Di sini, masa depan bangsa akan sangat di­ten­tu­kan. Siapa yang akan dipilih oleh rakyat Indonesia di an­ta­ra dua kandi­dat yang bertarung, Mega-Hasyim atau SBY-JK. Ka­re­na itu, su­dah se­ ha­rus­nya, sikap pemilih tidak didasari emosio­nal, apalagi ber­ dasarkan iming-iming uang/materi yang hanya nik­mat sesaat. Kendati demikian, satu hal yang perlu dicatat, pengawasan atas presiden yang terpilih nanti jauh lebih penting daripada par­tisipasi kita dalam memilih saat ini. Atau dengan kata lain, peng­awasan merupakan esensi sekaligus konsekuensi dari sikap memilih kita. Entah, apakah yang kita pilih menang atau kalah.

Memilih untuk Mengawasi

21

Hal itu berangkat atas beberapa hal. Pertama, presiden saat ini dipilih secara langsung. Implikasi pemilihan presiden lang­ sung adalah kekuasaan legitimasi rakyat. Kuatnya legitimasi rak­yat yang dimiliki presiden terpilih nanti tentu akan membuka pe­luang lebar bagi presiden terpilih untuk menjadi percaya diri se­hingga bertindak sewenang-wenang. Itu berbeda dengan pe­ mi­lih­an sebelumnya, yang dipilih oleh segelintir orang di par­ lemen. Logikanya, presiden yang dipilih melalui sistem demokrasi tak langsung (baca: perwakilan) oleh beberapa orang di parlemen saja berani mengatasnamakan rakyat secara keseluruhan dan ber­tindak sewenang-wenang tanpa mendengar aspirasi rakyat ba­wah, lantas bagaimana jika melalui pemilihan yang dipilih lang­sung oleh rakyat? Di sinilah proses pengawasan tersebut menjadi penting. Ka­rena itu, memilih bukan berarti lepas tanggung jawab atau ter­hen­ti pada saat pencoblosan saja. Akan tetapi, memilih ber­ arti juga mengemban amanah untuk meluruskan komitmen dan janji presiden terpilih nanti. Kedua, pengawasan terhadap presiden terpilih sangat pen­ ting mengingat adanya reduksi fungsi kontrol lembaga yu­di­ka­ tif, yang semula sebagai lembaga tertinggi negara yang bisa me­ lakukan kontrol kuat terhadap lembaga eksekutif, kini hampir setara dengan lembaga tinggi lain (baca: eksekutif/legislatif). Longgarnya mekanisme legal-formal itu tentu akan semakin membuka keran kesewenang-wenangan presiden terpilih. Per­ ubahan ketatanegaraan kita, jika tidak diantisipasi oleh ge­rak­an masyarakat sadar di luar struktur dalam mengontrol gerak lang­ kah eksekutif (baca: presiden terpilih) ke depan, akan sangat ber­bahaya dalam membangun kesewenangan presiden. Karena itu, pengawasan adalah tindakan yang harus ki­ta ambil setelah presiden terpilih melalui pemilu saat ini. Peng­

22

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

awas­an tersebut menjadi penting tidak hanya sebagai kontrol atas kecenderungan kesewenangan karena kuatnya legitimasi rak­yat, melainkan juga sebagai bentuk monitoring dan pressure ter­hadap presiden terpilih dalam menjalankan amanah ke­pre­ si­den­annya. Tindakan monitoring tersebut tentu harus diambil alih oleh te­kanan massa di luar struktur parlemen. Sebab, entitas-entitas ge­rakan itulah yang masih steril dari kepentingan pragmatisme po­litik sesaat. Mengandalkan suatu oposisi struktural-parlemen yang kuat sangat tidak memungkinkan dilakukan saat ini. Alih-alih me­mim­pikan oposisi struktural-parlemen yang kuat, legislatif jus­tru melakukan konspirasi terselubung dengan eksekutif. Karena itulah, satu-satunya gerakan yang bisa diandalkan da­lam mengontrol presiden terpilih nanti adalah kekuatan ge­rak­an basis civil society (ekstraparlementer) seperti OKP, ornop, ormas, dan organisasi-organisasi nonparlementer lain. Karena itu, tampilnya dua kandidat pasangan capres putaran kedua saat ini tentu sangat memudahkan kita dalam mengingat janji-janji mereka. Sebab, salah satu di antara pasangan SBY-JK dan Mega-Hasyim pasti akan menjadi presiden dan wakil pre­si­ den Indonesia untuk lima tahun ke depan. Meski demikian, melakukan kontrol dan tekanan keras ke­ pada presiden terpilih agar tetap berkomitmen pada amanah ke­ rak­yatan bukanlah kerja yang gampang dan ringan. Efektivitas kon­trol akan bergantung pada masivikasi dan konsolidasi ge­rak­ an antarelemen civil society yang intensif. Tanpa itu, realisasi sistem kontrol menjadi utopis untuk dipetik hasilnya. Dengan demikian, pengawasan mutlak harus kita lakukan ter­hadap presiden terpilih nanti. Yakni, mengawasi komitmen ke­rak­yatan dan janji-janji yang dilontarkan mereka saat kam­pa­ nye lalu. Bagaimanapun, watak dasar kekuasaan/birokrasi cen­

Memilih untuk Mengawasi

23

de­rung sewenang-wenang, sedangkan sangat mengharapkan kerja kontrol hukum formal pun masih belum bisa dipercaya un­tuk saat ini. Maka itu, memilih untuk mengawasi berarti seluruh elemen ma­sya­rakat (baik yang memilih ataupun golput) mutlak wajib meng­awasi presiden terpilih nanti. Hal itu dilakukan sebagai lang­kah untuk mengontrol komitmen dan janji-janji mereka.

Menjaga Sportivitas dalam Pilpres (Jawa Pos, 3 Juli 2004)

J

ika tidak ada halangan, lusa nanti (Senin, 5 Juli 2004) Ne­­ gara Republik Indonesia akan melaksanakan pemi­lih­an presiden (Pilpres) putaran pertama yang paling mo­nu­ men­tal dalam sejarah. Pasalnya, pemilu presiden kali ini me­ ru­pakan kali pertama diterapkan dalam putaran sejarah per­ po­­li­tikan Indonesia dengan memilih presiden secara lang­sung oleh rakyat. Melalui mekanisme pemilihan langsung, di­ha­rap­ kan rakyat dapat menentukan pimpinannya sendiri, tidak di­ ten­tukan segelintir orang di Senayan lagi. Meski demikian, yang perlu dicatat, jalan politik itu tidak mo­nolit, melainkan liar serta penuh trik dan intrik. Jalan po­litik sa­ngat terjal dan tidak dapat diprediksi ke arah mana ia akan me­lang­kah. Karena itu, elite tak jarang bermain politik yang di­ arti­kan sebagai bentuk ikhtiar untuk menampilkan kebohongan, asal bisa menjadi kampiun. Pada tataran ini, bukan hanya peng­

Menjaga Sportiv itas dalam Pilpres

25

awasan yang dibutuhkan saat pemilihan nanti, melainkan ke­ arif­an para capres-cawapres peserta pemilu untuk memilih cara ber­politik yang sportif dan dewasa. Pemilu legislatif 5 April 2004 lalu menjadi pelajaran kita ber­sama. Saat itu, parpol peserta pemilu sudah tidak lagi meng­ in­dah­kan cara-cara berpolitik sebagaimana ikatan kontrak yang telah disepakati bersama. Karena itu, jangan heran, pada pe­ milu legislatif lalu banyak pelanggaran. Hal itu juga berkaitan de­ngan riskannya bahaya kecurangan pada saat penghitungan sua­ra yang kurang diantisipasi kita bersama. Yang sangat disayangkan, pelanggaran pemilu legislatif lalu disebabkan kurangnya ketegasan pihak pengawas pemilu da­lam menegur dan menindak para pelanggar, terutama pada saat pen­coblosan. Kecurangan hanya menjadi catatan di atas kertas, te­­tapi dalam realitas tidak ada tindakan tegas. Kenyataan ter­ sebut menumbuhkan semangat binal dan bengal dari parpol un­tuk tidak mengindahkan segala bentuk sportivitas dalam ber­politik. Fenomena di atas tidak menutup kemungkinan akan ter­ ulang pada saat pencoblosan pemilu presiden putaran pertama nan­ti. Itulah yang harus diantisipasi. Jika tidak, sangat mungkin pu­tar­an kedua—jika tidak ada yang memenuhi kuota suara di atas 50 persen lebih satu—akan menemukan banyak hambatan. Ka­rena itu, tindakan tegas dari pihak pengawas terhadap segala bentuk pelanggaran saat pemilihan nanti sangat dibutuhkan. Memang, harus diakui, puncak dari usaha promosi caprescawapres untuk menarik simpati rakyat adalah pada saat pencoblosan. Segala bentuk usaha melelahkan yang telah dila­ ku­kan dua bulan penuh dengan menghabiskan uang yang tidak se­dikit, hasilnya akan ditentukan dalam beberapa jam saja. Karena melihat elan vital hari H pencoblosan tersebut, sa­ ngat dibutuhkan keseriusan seluruh elemen masyarakat, baik

26

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

ma­sya­rakat umum maupun Panwaslu untuk lebih fokus pada peng­awasan saat pencoblosan hingga penghitungan suara nanti. Jika hal itu tidak diantisipasi, sangat dimungkinkan kecu­rang­an sulit untuk dihindari. Sebab, bagaimanapun juga, capres-cawa­ pres, pendukung, dan tim suksesnya pasti ingin menang agar segala usahanya yang memakan biaya besar tidak sia-sia be­gitu saja. Selain itu, satu hal yang harus ditinggalkan dan diantisipasi ada­lah tindakan intimidasi yang sering dilakukan masingmasing peserta pemilu. Itu juga berkaitan dengan pengalaman pemilu legislatif lalu. Parpol peserta pemilu melancarkan inti­ midasi terhadap pendukung rivalnya, baik dengan cara inti­ midasi represif maupun intimidasi persuasif. Intimidasi per­ suasif sering dilakukan, seperti melancarkan serangan fajar se­ra­ya memberi iming-iming uang kepada pemilih. Demikian juga sebagaimana pengalaman sebelumnya, intimidasi represif, mi­sal­nya mengancam pemilih saat mencoblos. Apa pun itu, kecurangan tetaplah kecurangan. Sekalipun poli­tik yang sering diterjemahkan elite politik kita tidak menge­ nal kata kecurangan, nurani tidak dapat dibohongi. Karena itu, su­dah seharusnya seluruh capres-cawapres, elite politik serta pa­ra pendukungnya tetap berjalan di atas logika politik yang sehat. Menjaga agar pemilihan presiden nanti tetap berjalan lancar me­ru­pakan harapan kita bersama. Maka itu, penandatanganan “siap kalah siap menang” oleh masing-masing capres-cawapres ha­rus dibuktikan dengan cara menjaga sportivitas.

Mungkinkah Menindak Pencuri Start? (Jawa Pos, 11 September 2003)

B

ukan politik namanya jika tidak ada trik dan manuverma­nuver yang licin dan penuh muslihat. Kecurangan ham­­pir dan pasti akan ada dalam politik. Maka janganlah he­ran, jauh sebelum jadwal resmi kampanye dilaksanakan, su­ dah banyak yang mengorupsi waktu berkampanye. Beragam dalih kita dengar, mulai sosialisasi calon presiden hingga ke­ giatan silaturrahmi dengan kader. Ironisnya, itu dilakukan sa­ ngat mencolok, sehingga terkesan terlalu rendah untuk dikata­ kan sebagai sosialisasi. Karena itu, KPU boleh saja menetapkan berlangsungnya pe­lak­sanaan kampanye pemilu secara resmi tahun depan, tetapi hiruk-pikuk dan haru biru kampanye tetap tak berbendung. Bahkan, sebagian besar peserta pemilu telah melakukan kam­panye walaupun dengan cara sembunyi dan samar. Di jalanjalan sudah banyak terpampang atribut-atribut partai. Pa­da­hal,

28

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

itu bertentangan dengan UU No. 23/2003 Bab VIII Pa­sal 71 ayat (3) mengenai jadwal kampanye dan pantas diberi gan­jar­an hukuman sebagaimana tertuang dalam Bab XV Pasal 137. Banyak hal yang melatari merebaknya pencurian start kam­ panye oleh sejumlah partai, terutama partai-partai besar. Seba­ gai­mana pun, waktu tiga minggu yang telah ditentukan tetap akan dipandang belum cukup untuk bisa menarik perhatian ma­syarakat. Apalagi saat rival politik yang lain bermunculan de­ngan posisi siap tarung. Hal itu jelas berbeda jika upaya pe­ na­rikan simpatik rakyat dilakukan jauh sebelum yang te­lah ditentukan dengan rentang relatif lama. Tentu, bentuk pen­de­ kat­an dalam jenis ini lebih halus, samar, dan persuasif. Strategi pencurian start dengan pembalutan terselubung da­lam berbagai macam kegiatan akan lebih menguntungkan par­tai, terutama yang kuat basis finansialnya. Kegiatan dikemas dalam simbol-simbol partai, pencurian start kampanye dengan melakukan kegiatan-kegiatan akbar yang bisa mengundang perhatian khalayak. Dengan begitu, wajar potensi besar pen­ curian start kampanye dimiliki partai-partai besar yang memiliki ba­nyak uang, sehingga kegiatan-kegiatan yang mereka kemas sangat meriah dan diadakan di tempat-tempat mencolok. Selain itu, indikasi utama yang bisa kita jadikan faktor tin­ dakan pencurian start kampanye adalah tiadanya penjelasan konkret, definitif, dan kategori mengenai apa yang dimaksud de­ngan kampanye. UU Pemilu No. 23/2003 tidak memberikan se­cara jelas definisi kampanye. Ketiadaan penjelasan itu men­ jadi peluang tersendiri bagi partai untuk bebas menafsirkan kam­panye sesuai kehendak. Pasal 27 hanya menyatakan, kampanye pemilu dilakukan me­lalui: pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui me­dia cetak dan media elektronik atau televisi, penyebaran ba­ han kampanye kepada umum, rapat umum, dan kegiatan lain

Mungkinkah Menindak Pencuri Start?

29

yang tidak melanggar peraturan perundangan. Pasat tersebut se­sungguhnya bukan merupakan penjelasan bentuk yang dapat di­kategorikan sebagai kampanye, sebagaimana yang dimaksud oleh Sofyan di harian ini (Jawa Pos,8/9), melainkan penjelasan ter­hadap bentuk sarana penyampaian yang dapat dilakukan da­lam berkampanye. Partai akan persis seperti iklan/reklamereklame produk di media-media cetak maupun elektronik. Atas ketiadaan itu, Panwaslu tentu akan sulit menentukan apa­kah suatu tindakan yang dilakukan partai merupakan ben­ tuk pencurian start kampanye atau bukan. Sangat susah menga­ te­gorikan apakah demonstrasi atau kegiatan-kegiatan yang mem­bawa atribut partai politik masuk dalam bentuk pen­cu­rian kampanye atau tidak. Padahal, hal tersebut bisa saja di­ka­te­go­ rikan sebagai kampanye walaupun diformat secara terselu­bung. Sebab, kegiatan itu dijadikan alat propaganda untuk me­mo­pu­ lerkan partai. Di situlah kelemahan UU Pemilu. Otomatis, ekses lain yang dapat timbul oleh problem di atas adalah mekanisme penjatuhan sanksi terhadap pelanggar/pen­ cu­ri start kampanye tidak bisa dijalankan pada Pasal 137 ter­ ha­dap pihak pelanggar jadwal kampanye dengan sekurang-ku­ rang­nya 15 hari dan paling lama selama tiga bulan atau denda pa­ling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 1 juta. Sebab, para pelanggar kampanye tidak dapat diidentifikasi. Tambahan pula, hingga saat ini, KPU belum mengumumkan siapa saja partai-partai politik yang telah legal menjadi peserta pemilu. Bagaimana bisa menindak sementara status kepesertaan partai saja masih belum diumumkan dan ditentukan. Padahal, objek atruan dalam undang-undang pemilu atas pelanggar ke­ ten­tuan jadwal kampanye di atas adalah partai-partai yang di­ nya­ta­kan sebagai peserta pemilu. Atas pertimbangan itulah, merumuskan ketegori definitif kam­panye secara jelas perlu dilakukan. Dengan begitu, partai-

30

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

partai yang mencuri start kampanye bisa secepatnya ditindak se­cara tegas. UU Pemilu juga menjadi tidak terkesan setengah hati. Panwaslu pun bisa mengoptimalkan peranannya sebagai peng­awas pemilu. Tanpa upaya ini, tidak mungkin bagi kita me­ nindak orang atau partai-partai yang melanggar jadwal kam­ panye pemilu yang sudah ditetapkan.

Police of Democracy Party (Jawa Pos, 3 Juli 2003)

R

agu. Itulah kesan pertama yang saya tangkap dari tulisan Donald Banjarnahor berjudul “Awasilah Diri Sendiri Du­lu”, pada rubrik ini kemarin (Jawa Pos, 1/7). Ada ke­ san ragu terhadap kinerja Panwaslu dalam memaksimalkan pe­ ran­nya sebagai pengawas pemilu yang jurdil. Atas keraguan itu, Donald memberikan solusi alternatif agar Panwaslu lebih fokus pada penguatan idealisme internal me­reka. Tujuannya, lembaga tersebut bisa menjalankan tugas­ nya se­suai ama­nat yang diemban. Sekalipun begitu, ada be­be­ rapa hal yang luput da­ri pe­mikiran Saudara Ronald yang akan kita dis­ku­si­kan bersama. Politik dengan poli-trik-nya tidak akan pernah meng­gu­ na­kan strategi garis lurus (monolit) dalam berpolitik. Ia akan meng­­­gu­na­kan trik apa pun demi ketercapaian politiknya. Bah­ kan, pa­ra Machiavellian menganggap bahwa ba­gai­manapun dan

32

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

apa pun bentuk penyimpangan manuver politik dalam kaca mata moral, pada ranah politik ia tetap dikatakan sebagai yang etis. Dalam langgam gerak politik yang demikian itulah, ke­ada­ an panitia pengawas pemilu (Panwaslu) menjadi sangat di­bu­ tuh­kan sebagai keniscayaan untuk mengontrol kelancaran pes­ta demokrasi pada pemilu mendatang. Karena itu, secara mo­­ral, tu­gas Panwaslu lebih berat dibandingkan Komite Pemilih­an Umum (KPU) yang banyak mengurus masalah teknis. Keber­ sih­an pada seluruh tahapan pemilu dari kecurangan merupakan tang­gung jawab penuh Panwaslu. Walau demikian, Panwaslu tidak hanya semata berpangku ta­­­ngan, me­­nunggu, dan meng­­kaji laporan peserta/pengawas pemilu me­­nge­­nai ada­nya pe­lang­gar­an per­undang-undangan pe­ milu. Peng­awas ditan­­tang untuk ber­peran aktif seba­gai wa­sit yang siap meniup peluit jika terjadi kecurangan. De­ngan de­­mi­­ki­an, men­­cip­ta­kan ke­adilan politik menjadi tugas utama Panwaslu. Tugas Panwaslu tersebut tentu harus dilakukan konsisten, te­gas, dan penuh tanggug jawab. Tanpa komitmen ini, fungsi Panwaslu sebagai pengontrol dan pengawas tidak akan berja­ lan maksimal. Konsistensi itu dibutuhkan elan vital fungsi Panwaslu, yang tertutup kemungkinan akan menjadi fokus per­­ha­­ti­an parpol untuk membayang-bayangi dengan money politics, seperti ketakutan Donald. Kecuali itu, Panwaslu (pusat) juga harus mampu melakukan kon­­solidasi dan komunikasi secara intensif dengan Panwaslu di pro­vinsi, ka­bupaten/kota, dan kecamatan. Upaya konsolidasi dan ko­­mu­nikasi dari jajaran Panwaslu (pusat) ke bawah akan sa­­ngat mendukung kelancaran Panwaslu sendiri dalam me­me­ ran­­kan tugasnya. Namun permasalahannya, Panwaslu belum mengerti secara jelas terhadap job description dan wilayah wewenangannya. Setidaknya, ini terlihat dari pengakuan salah seorang anggota

Police of D emocracy Party

33

yang tidak mengakui kejelasan fokus kerja Panwaslu itu sendiri (Jawa pos, 28/6). Sebab, garis kewenangan Panwaslu masih sangat umum (lihat jika ada perubahan bab dan pasal Bab XIV Pasal 122 (1) UU Pemilu, Wewenang Panwaslu). Karena itu, sangat beralasan jika Donald ragu terhadap efek­tivitas Panwaslu dalam mengontrol proses Pemilu 2004. Apa­lagi jika memperhatikan di antara lima undang-undang yang seharusnya menaungi proses pemilu mendatang, ternyata yang telah diputuskan pemerintah (Keppres) menjadi undangundang hanya UU Pemilu dan UU Parpol. Sementara itu, UU Mahkamah Konstitusi (MK), UU Pemilihan Presiden (Pilpres), serta UU Susunan dan Kedudukan (Susduk) belum terselesaikan hing­ga kini. Hal itu jelas sangat memengaruhi kinerja Panwaslu ke depan. Karena itu, sebelum mengutarakan fokus pengawasan Panwaslu, terlebih dahulu harus ada ikhtiar dan tindakan se­ rius dari Panwaslu sendiri untuk mengupayakan kejelasan garis wewenangnya. Tidak mungkin Panwaslu akan bisa men­ jalan­kan fungsinya secara penuh sebagai pengawas, tanpa me­ miliki pijakan dan landasan hukum yang jelas. Jika ini tidak diantisipasi sejak dini, upaya Panwaslu untuk menindak tegas parpol yang curang akan mudah dimentahkan. KPU juga berke­ wa­jiban mempertegas daerah wewenang Panwaslu yang berada di bawah tanggung jawabnya.

Titik Fokus Sesungguhnya, tugas Panwaslu di atas tidaklah gampang dilak­ sa­na­kan. Dengan demikian, selain melakukan pengupayaan penguat­an idealisme internal Panwaslu agar tidak mudah teram­pas badai politik kotor (money politics) sebagaimana ga­ gasan Donald, seyogianya juga Panwaslu mengupayakan peng­ awas­annya hanya pada beberapa titik strategis.

34

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

Pertama, saat pencoblosan dan penghitungan suara, karena ke­curangan banyak terjadi di sana. Selain itu, upaya tersebut un­tuk menghindari terjadinya pemungutan dan penghitungan suara ulang, yang lebih besar lagi. Kedua, menekan dan menindak tegas parpol yang terbukti me­lakukan politik uang hingga titik minimum. Pada wilayah ini, semoga Panwaslu bisa mengikuti suara nuraninya dalam me­num­pas budaya politik kotor (baca: money politics) itu dan tidak tergoda olehnya. Jika tidak, berarti Panwaslu meng­ alami lonceng kematian nurani dan demokrasi (demise of democracy). Sebagai polisi pada pesta demokrasi, menjadi sangat hina dina­lah jika Panwaslu kemudian bisu dalam mengungkap segala kecurangan pada pemilu nanti. Apalagi jika terlibat di da­lam­ nya. Namun, benar dan tidaknya keraguan itu akan dijawab oleh kinerja Panwaslu pada Pemilu 2004.

Tak Berdaya Kok Pakai Uang? (Jawa Pos, 14 Juni 2003)

P

emilu 2004 bakal menjadi ajang paling panas dalam sejarah pemilu di Indonesia. Performansi pemilu dengan mekanisme pemilihan presiden secara langsung oleh rak­ yat bukan disebabkan hal itu baru kali pertama dilakukan da­lam sejarah Indonesia. Tapi, mekanisme tersebut sangat aspi­ratif dan demokratis. Walau begitu, ia sangat rentan terjang­kit oleh trik/manuver politik yang tidak sehat seperti money politics. Jika pada Pemilu 1999 praktik money politics begitu me­wa­ bah, pada Pemilu 2004, yang direbut tidak semata kursi legis­ latif, melainkan juga kursi eksekutif. Dengan demikian, kom­ petisi pemilu mendatang akan sangat panas dan rawan terjadi kecurangan. Pada dasarnya, money politics merupakan indikasi dari ke­ ti­dak­berdayaan parpol untuk bersaing secara fair dengan parpol lain dalam berpolitik. Ironisnya, money politics sering dilakukan

36

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

oleh parpol besar yang memiliki basis massa cukup banyak. Hal itu berarti praktik money politics tidak hanya disebabkan oleh ketidakberdayaan dan kurangnya self confidence parpol. Tapi, money politics juga dilakukan karena adanya semacam pe­ nya­kit paranoid yang menghinggapi parpol-parpol itu sendiri. Mereka takut ditinggalkan massanya, lebih-lebih jika agenda kebangsaan dan kerakyatan belum/tidak terselesaikan pada saat mereka berkuasa. Dari aspek apa pun, baik politik, budaya, maupun hukum, money politics merupakan tindakan yang tidak akan pernah wajar. Sebab, ia cacat moral. Hanya mereka yang berduit ba­ nyak­lah yang akan memenangkan kompetisi semacam itu. Sehingga, parpol-parpol miskin akan tetap abadi dalam keke­ cilan serta kelemahannya. Selain itu, money politics menem­ pat­kan manusia lebih rendah daripada materi. Nilai esensial dan eksistensial manusia untuk bersuara dan memilih sesuai nu­raninya secara bebas ditukar dengan uang atau materi. Sesungguhnya, orang yang menerima money politics sama rendahnya dengan orang yang memberi. Si pemberi mem­per­ budak dirinya terhadap uang dan kekuasaan. Sebaliknya, sang penerima lebih rela menjual nilai esensi dan eksistensinya demi seonggok materi daripada harus memperjuangkan eksistensi dirinya sebagai manusia yang bernurani. Politik uang tumbuh subur dalam dunia politik karena ia di­pan­dang cukup/sangat efektif untuk memengaruhi ma­sya­ ra­kat, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Karena itu, salah satu sasaran utama dalam strategi money politics adalah kalangan bawah yang berekonomi lemah. Pada masa rezim Orde Baru, money politics juga banyak meng­incar kantong-kantong yang memiliki kekuatan strategis. Mi­sal­nya, media massa, institusi keagamaan, fungsionaris aga­ ma, atau elemen-elemen gerakan ekstraparlementer/organisasi

Tak B erda y a K ok Pakai Uang?

37

ke­pemudaan (OKP). Sehingga, pada saat itulah masing-masing ideal­isme mereka, baik mahasiswa, jurnalis, maupun para ula­ ma, dipertaruhkan. Mereka harus mengambil satu di antara dua pilihan. Yakni, setia pada ibu pertiwi dan nurani atau mem­per­ budak materi. Perilaku politik uang merupakan fenomena yang meng­gam­ bar­kan bahwa kekuasaan bagi para politikus negeri ini tidak di­ pandang sebagai amanat/titipan rakyat. Tapi, hal itu dipandang se­ba­gai kapital yang bisa menguntungkan kantong-kantong go­ longan/pribadi. Budaya tersebut menumbuhsuburkan praktik money politics dan KKN di negeri ini. Sebab, yang digunakan un­­tuk mencari dukungan akan didapatkan kembali setelah mem­­per­oleh kekuasaan. Karena itu, sesungguhnya, money politics lebih menakutkan daripada praktik korupsi, kolusi, dan nepot­isme.

Gerakan Preventif Untuk mencegah terjadinya atau merebaknya perilaku politik uang, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, op­ timal­isasi fungsi panitia pengawas pemilihan umum (Panwaslu) se­ba­gai badan pengontrol kelancaran proses pemilihan umum seca­ra demokratis, adil, dan bijaksana. Panwaslu harus berani me­­nindas tegas terhadap partai-partai politik yang terbukti me­la­kukan money politics. Sebab, dilihat dari sudut pandang mana pun, money politics itu cacat moral, hukum, budaya, dan politik. Kedua, untuk mencegah kebisuan dalam mengungkap kecu­ rang­an berpolitik dan mencegah kemungkinan mewabahnya money politics di tingkat Panwaslu, elemen ekstraparlementer, ter­utama gerakan-gerakan mahasiswa, dipandang perlu (bah­ kan harus) membentuk panitia khusus untuk memantau proses yang independen.

38

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

Ketiga, dibutuhkan partisipasi aktif seluruh elemen masya­ ra­kat seperti institusi keagamaan, agamawan, dan media massa. Sebab, dalam sejarah perpolitikan, tiga elemen itulah yang se­ ring menjadi sasaran utama money politics. Hal itu didorong oleh efektivitas ketiga elemen tersebut dalam menciptakan citra baik dan buruk di hadapan masyarakat. Keempat, melakukan strategi gerakan bawah tanah dengan meng­gunakan gerakan penyadaran dan pendidikan berpolitik ke­pa­da masyarakat bawah agar mereka tidak terjebak bayangbayang gairah politik uang. Apa pun upaya kita untuk mencegah praktik money politics, hal itu tidak akan pernah berhasil jika dikembalikan kepa­da masing-masing nurani si pelaku dan si penerima. Hanya ke­kuat­ an bahasa nuranilah yang bisa meluluhkan praktik tersebut.

Kontrak Politik Bukan Segalanya (Jawa Pos, 7 September 2004)

T

ulisan Ikhsan Putra Kurniawan di harian ini kemarin yang bertajuk “Kontrak Politik Wajib Hukumnya” menggelitik pe­nulis untuk turut menyumbangkan gagasan. Ikhsan meng­gambarkan sedikit keironisan kontrak politik dengan dewan yang hanya terhenti pada kontrak di atas meja, namun nyata­­nya di lapangan dewan tetap saja mengelabui rakyat dan meng­­khianati kontrak itu. Sayangnya, Ikhsan tidak mengulas lebih jauh mengapa hal tersebut terjadi, padahal bagi Ikhsan kontrak politik wajib hukum­­nya. Poin itulah yang akan didiskusikan penulis pada ke­ sem­­patan ini. Watak dasar yang dimunculkan dalam diri para pemegang ke­kuasaan (baca: jabatan birokrasi-struktural) adalah selalu me­nyan­darkan diri pada gerak arogansi, tanpa kontrol, dan sewenang-wenang. Apalagi, jika kerja kontrol hukum tidak kuat dan mudah dimanipulasi, hal itu semakin membuat geliat pe­

40

Haru B iru Demokrasi I ndonesia

me­­gang kekuasaan tersebut semakin liar dan sa-enak’e dewe. Di sini­lah kontrak politik antara para pemegang kekuasaan de­ngan masyarakat di luar struktur (baca: civil society/OKP/ ornop) penting dilakukan. Ada beberapa alasan yang melandasi hal tersebut. Pertama, kontrak politik menjadi penting sebagai langkah untuk meng­ im­bangi kelemahan sektor hukum dalam menindak para de­wan yang bermasalah. Sistem kontrol di luar struktur itu pun oto­ matis akan menjadi kontrol atas hukum yang tidak tegak secara utuh di negeri ini. Kedua, kontrak politik sebagai alat legitimasi agar rakyat lebih leluasa menagih janji-janji yang pernah dilontarkan (de­ wan). Dengan demikian, rakyat pun secara hukum menjadi le­ gal untuk menuntut ketika janji mereka tidak dipenuhi. Ketiga, kontrak politik sebagai bentuk penegasan dan upaya penyadaran bah­wa dewan adalah kurir/babu rakyat, bukan sebaliknya. Karena itulah, momen pelantikan yang diambil beberapa ge­rakan ekstraparlementer untuk meminta DPR melakukan kon­trak po­litik merupakan langkah yang bagus untuk meng­ awali pro­ses kerja anggota dewan baru untuk lima tahun ke depan. Peng­am­bilan kontrak politik pada momen itu sangat ber­beda de­ngan pengambilan kontrak politik pada saat sebelum pen­coblosan. Bisa saja, kontrak politik sebelum kampanye dilakukan ka­ re­na untuk menarik simpati dan empati rakyat guna men­dong­ krak per­olehan suara pada saat pemilihan. Sekalipun de­mi­kian, hal yang perlu dipertegas kembali adalah jika ke­kuasa­an itu cen­ derung liar dan lepas kontrol, mekanisme kontrak pun bu­kan­lah se­galanya, untuk men­jamin para dewan akan men­ja­lani begitu saja kontrak yang telah terjalin itu. Alih-alih akan men­­ja­lan­kan kontrak politik yang telah disepakati, Pancasila dan UUD 1945— yang me­ru­pakan hukum tertinggi di negeri ini dan men­­jadi

K ontrak Politik B ukan Segalanya

41

kontrak antara negara dengan seluruh rakyat Indonesia—justru berani dilanggar. Apalagi, kontrak politik yang ha­nya dilakukan dengan segelintir kelompok rakyat sadar (OKP/ornop). Kesalahan terbesar kontrak politik yang digagas para aktivis gerakan adalah sering menganggap kontrak politik sebagai akhir dari perjuangan. Kita sering puas dan merasa menang ke­tika dewan bersedia kita paksa menandatangani draf kontrak po­li­tik yang kita ajukan. Padahal, yang terpenting dari kontrak poli­tik bukan tanda tangan di kertas perjanjian bermaterai itu, me­lain­ kan pada proses monitoring dan upaya pressure yang intensif dari aktivis gerakan terhadap anggota dewan untuk men­ja­lan­ kan kontrak yang telah ditandatangani itu. Jangan bermimpi tuntutan kontrak politik menjadi nyata jika tidak ada gerakan pascakontrak politik. Itulah jawaban atas keresahan Ikhsan mengapa kontrak politik tidak pernah di­ realisa­sikan dewan. Jika mau jujur, kelemahan gerakan maha­ sis­wa pasca-1998 adalah karena tiadanya proses pengawalan dan kontinuitas monitoring yang intensif dari gerakan-gerakan ekstra­parlementer terhadap kontrak politik yang sudah digagas. Walhasil, reformasi tanpa memedulikan keberhasilan sektor lain justru menggiring lembaga legislatif membangun tirani baru (baca: oligarki partai), sehingga mereka lebih leluasa me­ rampas hak-hak rakyat. Sebab itu, menurut saya, gerakan ekstraparlementer ha­rus lebih mem­fo­kuskan pada proses pemantauan terhadap kon­trak po­li­tik yang su­dah dilakukan, minimal untuk skala ge­rakan tiga ta­hun ke depan. Dengan begitu, gerakan pemuda ekstra­par­le­ men­­ter tak lagi menyelesaikan masalah secara temporal dan spo­ra­dis, sehingga kesalahan-kesalahan yang lalu tidak terulang kem­­bali. Bagai­manapun, perubahan tidak mungkin bisa datang dari demons­trasi semata, apalagi jika dilakukan hanya saat mo­ men­tum tertentu.

Bagian II

Pemuda Antara Gerakan dan Politik

Gerakan yang Tersadap (Ditulis pada 20 Mei 2009)

P

ada 21 Mei kurang lebih satu dasawarsa yang lalu, gegap gempita jutaan pemuda turun ke jalan menyambut satu fase baru kehidupan demokrasi di Indonesia. Yakni, ta­ tanan yang diharapkan tidak hanya memberikan kebebasan, te­tapi juga kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Orde people power. Fase itu dibayar dengan nyawa, da­rah, dan perjuangan pemikiran kelas muda terdidik dengan me­nyuara­kan reformasi untuk berdiri tegak menumbangkan era terkatup, otoriter, dan hegemonik. Babak baru tersebut kini tengah berlangsung. Berbagai per­ ubahan mendasar telah terjadi. Kebebasan bersuara tidak lagi ter­bung­kam. Civil society tidak lagi berada dalam genggaman kuat negara, melainkan menemukan tempat yang disebut oleh Jurgen Habermas (1962) sebagai public sphere. Kehidupan de­ mo­­krasi mulai menjalar ke segala aspek ruang sosial-politik, dari organisasi di tingkat RT hingga ruang kultural lainnya.

46

P emuda A ntara G erakan dan Politik

Dalam kecenderungan demikian, menutup public sphere ber­arti melawan arus mainstream yang pada akhirnya akan men­­da­patkan perlawanan dari masyarakat. Karenanya, kebebas­ an ber­pendapat bukan hasil jerih payah pemerintah atau rezim penguasa pasca-Orde Baru, melainkan hasil keinginan publik un­tuk menciptakan public sphere di mana jika penguasa menen­ tang­nya akan bernasib tragis seperti Soeharto. Maka, mau tidak mau, negara/penguasa “terpaksa” untuk menjaga public sphere tetap terbuka. Dus, reformasi harus diakui telah membuka ruang kebe­ bas­an berpendapat dan nalar kritis. Banyak yang mencibir jika reformasi telah gagal dalam menghantarkan perubahan karena nyawa dan jerih perjuangan para mahasiswa yang mendesak re­formasi telah dibajak oleh kelas elite politik. Tapi, nada itu bu­kan lantas menjadi dalih romantisme untuk kembali ke masa lampau. Pada level tertentu, reformasi telah berhasil membuka ruang kebebasan di mana negara tidak ditempatkan sebagai aktor tunggal pemasok kebenaran. Runtuhnya poros kekuasaan tunggal dan otoriter negara, gerak elemen-elemen civil society mengalami perubahan konfi­ gu­rasi dan orientasi. Perubahan ketatanegaraan dan wajah ne­ gara (baca: Pemilu/Pilkada) buah hasil perjuangannya gagal diantisipasi. Kelompok-kelompok sosial tersebut yang mulanya menjadi “penyambung lidah” masyarakat bergerak menjadi ba­ gian dari kelompok yang menopang dan menjadi elite yang di­ kon­trol secara halus oleh buaian politik dan kekuasaan. Civil society justru tercerabut dari society-nya sendiri seperti gerakan mahasiswa terlepas dari citra agen sosialnya. Akhirnya, reformasi yang didorong berubah menjadi ma­ ta badik yang membunuh. Para aktor dan elite tinggi di dalam civil society seperti organisasi mahasiswa, buruh, tani, dan ber­ba­gai elemen lainnya mulai mendistribusikan diri bukan

G erakan yang Tersadap

47

sebagai penyeimbang kekuatan penguasa, tetapi beralih orien­ tasi untuk menjadi bagian dari perebutan kekuasaan. Hal nyata yang tampak adalah banyak dari mereka yang terlibat se­ca­ra langsung dalam suksesi-suksesi politik, baik di tingkat lokal hingga nasional, ending goal-nya bukan didasarkan oleh nilai. Demonstrasi terjebak ke dalam logika proyek yang hanya dige­ rak­kan oleh seonggok kapital/uang/kekuasaan. Gerakan pun ter­sadap, senyap dan lenyap. Laju demokrasi yang terus menanjak yang meletakkan sua­ ra rakyat sebagai penentu (vox populi vox die) seharusnya men­ ja­di sarana untuk menggelontorkan penguatan peran politik masyarakat bawah. Sayangnya, alih-alih bergerak demikian, justru peran social agent tersebut tereduksi oleh gerakan yang berorientasi kekuasaan. Menyuarakan isu tertentu hanya untuk menguntungkan kepen­ ting­an politik elite yang mereka dukung. Inilah mata badik yang me­matikan gerakan civil society, tapi alpa diantisipasi. Ke­ga­lauan di atas kemudian diperparah oleh ketidakberlanjutan ga­gas­an dan ketidakberlangsungan ide/nilai yang dijadikan pe­ gang­an. Selama satu dasawarsa reformasi berembus, estafet ga­ gasan terputus dari satu generasi ke generasi lainnya. Gagasan me­nye­luruh tentang konsep, arah, dan langkah antisipasi struk­ tur sosial, budaya, dan implikasi politik setelah reformasi yang belum tuntas itu pun hilang sebelum berkembang.

Merebut Momentum Karena itu, tahun 2009 ini harus dijadikan momentum bagi se­ lu­ruh elemen civil society untuk merekonsolidasi diri menyusun langkah ke depan dalam menjawab perubahan konfigurasi po­li­ tik nasional. Sistem demokrasi yang memberikan ruang keter­ bu­kaan bagi rakyat untuk menentukan pilihan mereka sendiri se­sung­guhnya menjadi momentum untuk lebih mempertegas

48

P emuda A ntara G erakan dan Politik

diri sebagai elemen “penyambung lidah” masyarakat. Orientasi kekuasaan, yang seolah memerankan diri laiknya partai politik, harus dikikis jika nilai etis tidak dinihilkan. Krisis ekonomi global terhebat pascakrisis 1930-an saat ini yang melanda dunia akibat sistem laissez faire kapitalisme ke de­pan akan menentukan formasi ekonomi dan politik dunia men­datang. Dan Indonesia akan termasuk di dalamnya. Tentu, dalam kondisi itu, pihak-pihak internasional pun memiliki ke­ pen­tingan besar terhadap potensi ekonomi-politik Indonesia. Da­lam momentum di tahun 2009 ini, Indonesia berada dalam ku­bangan pertarungan beragam kepentingan; kepentingan indi­ vidu lokal, nasional, hingga elite/negara internasional. Karena itu, kejadian-kejadian politik pada tahun ini tidak ha­nya akan membawa Indonesia lima tahun ke depan, mungkin juga akan menjadi awal formasi Indonesia puluhan tahun men­ da­tang. Persis seperti saat Soekarno digulingkan Orde Baru se­ba­gai awal dari tertancapnya developmentalisme ala Talcott Parson selama tiga dasawarsa di Indonesia. Pertanyaannya, peran dan gerakan seperti apa yang akan diambil oleh mahasiswa, buruh, tani, dan elemen-elemen civil society lainnya dalam momentum Pemilu 2009 ini? Mung­kin­ kah akan semakin terjerembab dalam tikaman badik politik hasil reformasi tanpa antisipasi yang pernah digaunginya? Entahlah.

Melacurkan Idealisme Mahasiswa? (Jawa Pos, 9 Januari 2004)

P

olitik selalu berada di atas jalan yang bersifat fluktuatif, ti­dak dapat diprediksikan secara matematis. Lawan be­bu­ yut­an bisa menjadi kawan. Sebaliknya, kawan sejati bisa men­jadi lawan yang menakutkan. Semua itu bisa berbaur se­pan­ jang masing-masing kepentingan terpenuhi. Golkar pun yang dahulu dihujat kini seolah telah dianggap sebagai tempat te­duh dalam berpolitik. Tidak tertutup kemungkinan jika Orde Baru dan Soeharto kelak akan menjadi pujaan seperti Soekarno yang dahulu dihujat sebagai agen PKI, tetapi kini berubah bak dewa. Karena itu, keberadaan sejumlah aktivis mahasiswa yang da­hulu menghujat dan menuntut pemerintah membubarkan Golkar, justru kini menjadi calegnya, bukanlah fenomena yang luar biasa dalam kancah politik. Sekalipun begitu, kehadiran ak­t i­v is Front Aksi untuk Demokrasi (Famred) Bernard Hamombong Halomoa, aktivis Forum Kota (Forkot) M. Lutfi

50

P emuda A ntara G erakan dan Politik

Iskandar, dan mantan Ketua Umum PMII Nusron Wahid se­ba­ gai caleg jadi Golkar tetap saja menggemparkan dan menim­bul­ kan tanda tanya. Karena, pertama, bukankah pada 1999 yang kemudian kem­bali hangat pada 2001, aktivis yang meletakkan diri seba­gai caleg Golkar di atas adalah yang paling keras menuntut di­bu­ bar­kannya Partai Golkar? Forkot dan Famred, misalnya, ada­ lah elemen yang paling getol melancarkan kecaman terhadap Golkar. Sangat dipahami jika kemudian para aktivis Forkot yang lain, sebagaimana diberitakan harian lokal terbitan Yogyakarta beberapa hari lalu (31/12/2003), malah menuduh ke­ter­libatan (kader) mereka di Golkar sebagai pengkhianat re­ for­masi. Langkah yang diambil ibarat menjilat ludah sendiri, da­hulu menghujat agar dijauhi, tetapi sekarang bukan hanya de­kat, melainkan telah dipanjat. Kedua, mengapa harus menjadi caleg Golkar? Apakah Par­ tai Golkar yang paling representatif dan kapabel di an­ta­ra 24 parpol yang ada? Golkar pernah menguasai sistem pe­me­rin­tah­ an selama 32 tahun. Dosa besar Golkar kepada negara ini ma­sih belum dapat dilenyapkan dan dimaafkan. Rasanya, sangat mus­ tahil sifat yang telah melekat 32 tahun itu dapat dihilangkan dalam jangka lima tahun. Karena itu, sulit diterima akal jika bergabungnya beberapa aktivis mahasiswa ke Golkar hanya dengan dalih Golkar saat ini berbeda dengan Golkar dahulu. Alih-alih berbeda, Akbar Tandjung saja mengklaim bahwa Partai Golkar yang sekarang me­miliki keterkaitan dengan Golkar yang dulu. Metamorfosis kebaikan Golkar selama lima tahun masih per­lu diuji dan belum cukup untuk dijadikan sebagai pilihan. Ber­kuasa 32 tahun tentu saja memberikan pengalaman yang ba­ nyak dalam melakukan manuver-manuver politik yang cantik. Bi­sa saja taktik kemurahan hati Golkar untuk memberikan

Melacurkan I dealisme Mahasiswa?

51

ruang kepada aktivis yang dahulu kritis kepada mereka punya mak­sud licin di dalamnya. Perekrutan Partai Golkar terhadap sejumlah aktivis kritis meng­ingatkan kita kepada apa yang dilakukan Soeharto (maskot dan dedengkot Golkar saat itu). Strategi Soeharto meredam ke­ kri­tisan dan kevokalan mahasiswa terhadap pemerintahannya ada­lah dengan merangkul mereka untuk duduk dalam sistem dan struktur yang telah dikendalikannya. Pada saat itu, aktivis kritis sering menjadi bisu setelah di­ ha­dap­kan dengan gelimang harta dan kekuasaan. Kelantangan suara perlawanan mereka di jalanan terhadap pemerintah ter­ ma­kan arus kekuasaan. Mau tidak mau, idealisme pun dila­cur­ kan kepada seonggok materi. Dapat diprediksikan, pilihan menjadi caleg Golkar dengan apa pun idealisme yang dibangun akan mudah dimentahkan oleh sistem domino yang berlaku di tubuh Partai Golkar, persis yang dialami Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang kemudian me­ mu­tus­kan mengundurkan diri dari konvensi capres. Sebab itu, tujuan keterlibatan aktivis mahasiswa tanpa ter­ ke­cuali bergabung menjadi caleg Golkar untuk membenahi dan melakukan perubahan di dalamnya—untuk tidak mengatakan hal utopis—tidak akan dapat membuahkan hasil signifikan. Alih-alih membuahkan hasil signifikan, tidak terempas dan larut mengikuti arus saja sudah merupakan keberhasilan yang pa­tut diacungi jempol. Ada beberapa citra yang akan timbul dalam fenomena no­ ngol­nya beberapa aktivis mahasiswa sebagai caleg Golkar. Tentu Partai Golkar diuntungkan, yakni akan berkembang citra dalam ma­sya­rakat bahwa Golkar telah berubah dan berbeda dengan Golkar lima atau enam tahun yang lalu. Buktinya, mahasiswa yang dahulu menghujat dan men­cer­ ca Golkar kini malah menjadi calegnya. Hal ini semakin me­

52

P emuda A ntara G erakan dan Politik

num­buh­kan kerinduan rakyat awam akan tampilnya Golkar dan sistem Orde Baru-nya sebagai kampiun di negeri ini. Sebalik­ nya, gerakan mahasiswa tercoreng. Idealisme yang diagungagungkan di lapangan ternyata ciut ketika berhadapan dengan harta dan kekuasaan.

Pemuda Indonesia, Bangkitlah! (Suara Karya, 31 Oktober 2008)

D

alam  sejarah, pemuda memainkan peranan penting da­­lam me­nopang kemajuan bangsa. Beberapa tokoh mun­­cul menjadi pemimpin di kala mereka berusia mu­da, sebut saja Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka. Ji­ wa muda yang terdidik menjadi modal signifikan dalam men­ jem­put perubahan. Dari tahun 1908 hingga kemerdekaan 1945, dari Malari 14 Januari 1974 hingga Reformasi 1998, kolaborasi darah muda nan terdidik menjadi kekuatan yang mampu me­ run­tuhkan tirani koloni. Lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah bukti se­ja­rah betapa pemuda menjadi inspirator pemersatu. Seluruh un­sur pemuda berkumpul dalam satu tujuan seperti Trikoro Darmo atau Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun, dan beberapa kelompok

54

P emuda A ntara G erakan dan Politik

pe­muda lainnya. Ikrar tersebut menginspirasi unifikasi ke­bang­ saan. Dengan spirit membangun persatuan, mereka mampu me­ ma­tah­kan tuduhan Hendrikus Colijn saat itu yang menganggap gagasan kesatuan Indonesia sebagai gagasan utopis. Sejarah se­ nan­tiasa memihak kaum muda. Di banyak bangsa, perubahan di­­ken­­dalikan kelompok muda. Sebab, kaum muda diyakini me­ miliki gagasan-gagasan yang cemerlang, brilian, dan inovatif da­lam menyusun perubahan sehingga lebih cepat menangkap se­mangat zaman. Pemuda hingga kini masih menjadi jantung pembaruan na­ sio­nal. Kiprah dan sumbangsih kaum muda dalam segala sek­tor diharapkan dapat memberikan kontribusi besar dalam mem­ be­sarkan bangsa yang sampai saat ini berada dalam krisis mul­ tidimensi. Semangat perubahan pemuda harus tetap berjalan dan tertanam. Sebab, dalam kondisi apa pun, posisi pemuda ber­potensi menjadi penyeimbang sistem atau semacam kontrol bagi ruang sosial di sekelilingnya. Inilah peran yang selalu di­ nan­ti­kan anak zamannya. Selalu ada kesenjangan antara das sein dan das sollen. Ren­ tangan tidak selamanya berjalan dalam garis yang linier. Begitu juga dengan gerak pemuda Indonesia, senantiasa ber­ada dalam gerakan yang fluktuatif. Terkadang berada da­lam garis yang progresif dan menanjak, tetapi juga tidak ja­rang mengalami masa-masa kritis. Jika kondisi pemuda su­dah mengalami kondisi kritis, ini menandakan tantangan ma­kin besar. Ada sistem yang tidak berjalan yang cenderung mem­per­le­mah peran dan kekuatan pemuda sebagai agent of social change. Kini, eksistensi pemuda sebagai pembaru dan penerus gene­ rasi untuk masa mendatang kian lumpuh dan rapuh. Pandangan ter­sebut ditopang oleh kenyataan bahwa pemuda dominan ter­ je­rem­bab dalam perilaku yang tidak lagi produktif. Mereka

Pemuda I ndonesia, Bangkitlah!

55

cenderung konsumtif dalam segala hal. Serangan budaya pop (pop culture) yang menerjang gaya hidup pemuda menjelma men­jadi fakta sosial yang mengimpit dan menekan perilaku kaum muda bangsa dewasa ini. Misalnya, penyalahgunaan nar­ koba dan perilaku seks bebas yang terus meningkat. Wacana nasionalisme tidak lagi menjadi wacana praksis yang populer di kalangan muda. Mereka larut dalam ke­bang­ ga­an budaya luar dan dunia pop yang mengikis semangat na­ sional­isme. Nilai-nilai tradisi yang menjadi kebanggaan dan ins­pi­rasi pemersatu pemuda tahun 1928 terkikis. Kepedulian ter­­ha­dap kondisi bangsa dan negara tidak lagi mewarnai peri­ laku pemuda. Akhirnya, semangat Jong Java, Jong Celebes, dan Jong Sumatranen Bond nyaris hilang dari perilaku generasi mu­ da Indonesia dewasa ini. Memang, ada kelompok-kelompok kecil (small groups) pe­muda yang masih bergeliat menyongsong perubahan demi per­ubahan di Indonesia. Kelompok ini tidak hanya minoritas di ka­langan muda secara umum, tetapi juga tereksklusi di tengah ling­kung­an mereka sendiri (universitas/kampus). Secara do­ min­­an, ha­nya se­ge­lin­tir pemuda yang terlibat aktif di dalam organisasi-organisasi ke­pe­mu­daan. Sisanya adalah ka­lang­an ter­­di­­dik yang apatis ter­ha­dap realitas sosial. Kendati demikian, bukan berarti krisis tidak melanda pe­ mu­da terdidik minor tersebut. Organisasi-organisasi kepe­mu­ daan mengalami disorientasi gerakan dan miskin imajinasi per­ubahan; gamang merespons dan tidak mampu mengawal Re­formasi 1998. Karena itu, krisis yang menimpa pemuda sudah merasuk ke seluruh lini sosial yang melumpuhkan pe­ ran strategis pemuda untuk membangun kemajuan bangsa Indonesia. Wacana menghimpun kembali kekuatan pemuda yang tidak hanya berserak perlu dilakukan. Peran sosial pemuda harus

56

P emuda A ntara G erakan dan Politik

dikembalikan. Jika tidak, martabat, moral, dan keberlangsungan bangsa Indonesia akan dipertaruhkan pada masa yang akan datang. Tantangan pada masa depan bagi bangsa Indonesia jauh le­bih besar daripada satu abad yang lalu. Kondisi ekonomi yang terus mengimpit di Indonesia, pada masa yang akan datang, akan menjadi ledakan besar yang dapat mengancam keutuhan ne­gara Indonesia jika tidak diantisipasi dengan menelurkan pemuda-pemuda yang berkualitas sebagai pemimpin masa depan. Krisis ekonomi global saat ini mungkin akan menjadi titik balik formasi ekonomi baru di dunia pada masa yang akan da­ tang, sebagaimana krisis global pada 1930-an yang menimpa be­lah­an Eropa. Lantas, jika kaum muda Indonesia masih dihiasi oleh perilaku yang tidak lagi produktif dan apatis akan kondisi bang­sa­nya, Indonesia tidak hanya akan dipandang sebelah mata, tetapi juga akan digilas oleh kekuatan-kekuatan bangsa di luar dirinya.

Terdepak Primordialisme (Jawa Pos, 6 September 2006)

M

embicarakan gerakan kaum muda Islam di Tanah Air, tidak salah jika penulis mengawali dengan per­ nya­taan Martin van Bruinessen ketika melihat per­ ubah­an pola gerakan pemuda Islam Indonesia. Dalam pengantar bukunya, Rakyat Kecil, Islam dan Poli­ tik (1998), Bruinessen mengomentari kaum muda Islam di Indonesia pada akhir 1980-an yang begitu gandrung pada pe­ mi­kiran-pemikiran Islam pembebasannya Ali Syari’ati, Farid Esack, Khomeini. Tidak hanya di kampus-kampus Islam, komunitas-komu­ni­ tas mahasiswa Islam di fakultas dan kampus umum pun mem­­ per­­bin­cangkan wacana teologi pembebasan. Teologi pem­be­bas­ an menjadi materi-materi training. Seting sosial-politik yang saat itu berada dalam ceng­keram­ an rezim diktator Soeharto turut andil memengaruhi wa­cana

58

P emuda A ntara G erakan dan Politik

teologi Islam yang dikembangkan kaum muda saat itu. Te­tapi, corak teologi yang dicobakembangkan sebagai spirit per­la­wan­ an terhadap rezim tersebut perlahan mulai bergeser secara sig­ ni­fikan pasca-Reformasi. Pada fase ini, gerakan Islam, khususnya yang terpresentasi da­lam organisasi-organisasi pemudanya, mulai gamang da­lam menatap perubahan Indonesia ke depan. Di tengah ke­bim­bang­ an itu, tiba-tiba perjuangan formal mulai menguat. Organisasi-organisasi pemuda Islam hanya bersuara lan­ tang ketika lafal Allah dibakar atau Nabi Muhammad dihina me­ lalui karikatur. Tetapi, mereka bungkam saat hak rakyat Papua dirampas oleh PT Freeport Indonesia atau diam saat para ko­ rup­tor lepas bebas. Pengecaman agresi Israel ke Palestina dan Lebanon hanya dilandasi solidaritas agama an sich. Padahal, saat ketidakadilan terjadi, saat itulah ajaran Tuhan di­injak dan sabda para nabi dihina. Islam harus dipahami se­ ba­gai sebuah ajaran yang menentang kebiadaban manusia atas ma­nusia lain, tidak disempitkan menjadi identitas yang justru akan mengaburkan kebenaran hakikinya. Bukankah Tuhan memberikan teladan melalui sabda utusan-Nya untuk selalu meneriakkan kebenaran tanpa pandang aga­ma, ras, kulit, dan suku? Berbuat adil tanpa pandang agama, ras, kulit, dan suku? Berbuat adil tanpa pandang identitasnya (QS Al- Mâ’idah [5]: 8 & Al- An‘âm [6]: 152). Pada sisi lain, selain semakin kuatnya semangat Islam for­ mal dalam spirit perjuangan OKP Islam di Indonesia dewasa ini, perlu dicermati atas ketidakmampuannya mengambil jarak de­ngan kekuasaan/politik praksis. Gesekan itu sudah terjadi pada fase awal rezim pem­ba­ ngun­an­isme Soeharto dilakukan. Harus diakui, sadar atau ti­ dak, se­lain OKP Islam lain, yang paling mencolok menopang re­ zim Soeharto saat itu (bahkan hingga Reformasi) adalah HMI.

Terdepak Primordialisme

59

Ceng­keraman Orba dan pengaruh alumni-alumninya tidak mam­pu dibendung sekalipun teks normatif organisasinya me­ ne­­gas­kan independensi. Konsekuensi objektif yang kemudian timbul adalah ter­ pang­kas­nya spirit kritisisme pemuda terhadap negara. Kooptasi ke­kuasa­an (negara) turut menopang perpecahan internal yang ti­dak dapat dielakkan. Organisasi pun kemudian dijadikan batu lon­cat­an/investasi politik di kemudian hari. Penetrasi politik praksis itu tidak hanya menggumpal men­ ja­di benalu yang memecah-belah intra dan antar-OKP Islam, tetapi juga menjadikannya semakin jauh dengan isu-isu ke­rak­ yat­an. Demonstrasi hanya marak menjelang pesta demokrasi (pemilu), tetapi sepi saat tanah para petani dirampas dan keka­ ya­an negeri ini dirampas oleh perusahaan-perusahaan asing. Karena itu, sudah seharusnya problem-problem tersebut se­ ce­pat­nya dijawab oleh kaum muda Islam Indonesia. Keniscayaan itu se­makin kuat seiring dengan tantangan kebangsaan yang mun­cul, seperti kapitalisme global yang mengukuhkan negara maju mengeksploitasi/menjajah dunia ketiga (Indonesia), atau­ pun penyakit mental korupsi-birokrasi di negeri ini.

Kerakyatan-Keindonesiaan Ada beberapa hal yang niscaya dilakukan. Pertama, meru­ mus­kan kembali corak dasar teologi sebagai spirit perjuangan. Bagai­manapun, OKP Islam memainkan peranan penting dalam setiap epos perubahan politik negeri ini dan turut mewarnai ge­ rakan pemuda Indonesia. Ajaran Islam yang memiliki peran sentral menggerakkan or­ganisa­si kepemudaan Islam menjadi alasan mengapa corak dan da­sar teologi Islam harus dirumuskan kembali oleh se­tiap OKP Islam sehingga tidak lagi terjerembab kepada per­juang­an formal (baca: primordialisme Islam), melainkan mem­per­juang­

60

P emuda A ntara G erakan dan Politik

kan nilai. OKP Islam harus keluar dari doktrin corak teologi yang jumud semacam ini. Dengan demikian, perjuangan OKP Islam diharapkan lebih objektif dan universal demi menegakkan kemerdekaan hakiki un­tuk seluruh rakyat Indonesia. Kedua, mengambil jarak dengan kekuasaan. Sudah saatnya OKP Islam tidak lagi mengambil pola gerakan yang cenderung men­distribusikan para kadernya ke jalur politik. Memang, sa­ ngat disayangkan OKP-OKP Islam yang lahir pasca-Reformasi, dan semestinya menjadi harapan, pun terlalu dini bersentuhan de­­ngan parpol tertentu sehingga mengundang penyakit sosial (baca: elitisme) dan menjadikannya kini kurang bergema. Tugas utama OKP Islam adalah menyatu, mendidik, dan ber­juang bersama rakyat/umat. Itulah peran utama yang harus di­ja­lan­kan or­ganisasi pemuda/mahasiswa Islam. Jika kedua hal di atas mam­pu dilakukan, OKP Islam akan kembali bangkit dan ne­gara Indonesia akan memperoleh kemerdekaan yang hakiki. Ta­nah, air, dan alam menjadi milik rakyat Indonesia se­ utuhnya.

K egamangan G erak H MI Pascanegara

61

Kegamangan Gerak HMI Pascanegara (Jawa Pos, 6 Februari 2013)

E

nam puluh enam tahun yang lalu (5 Februari 1947), seke­ lom­pok mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (seka­rang Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta mendirikan Him­punan Mahasiwa Islam (HMI), organisasi mahasiswa Islam per­tama di Indonesia. Dua mainstream besar latar berdirinya ada­­lah mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjaga syiar Islam. Keislaman-keindonesiaan meng­ge­la­ yuti awal berdirinya HMI. Itulah awal perjalanan sejarah HMI yang di kemudian hari, sejujurnya, menopang pemerintahan Orde Baru. Pada generasi-generasi awal HMI, telah muncul pemikirpe­mikir yang menitikberatkan pada penguatan pemikiran keislaman-keindonesiaan. Pada saat itu, negara berupaya mem­ bangun identitas diri, HMI mengambil jarak dengan pemikiran for­malisasi Islam sebagai kiblat negara Indonesia. Dalam hal

62

P emuda A ntara G erakan dan Politik

ini, HMI tidak sependapat dengan pemikiran mendirikan Indonesia menjadi negara Islam. Dalam pertarungan ideologi glo­bal, pan-Islamisme, komunisme, dan nasionalisme, HMI men­coba berposisi moderat. Pada peralihan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru, HMI terlibat menyokong secara penuh Orde Baru. Pemikiran mo­de­rat HMI yang lebih mengedepankan Islam substantif da­ lam bernegara dan tidak sependapat dengan formulasi ne­ga­ra komunis menjadi titik temu pemikiran HMI dengan Orde Ba­ ru. Dengan pemikiran moderat HMI tersebut, Soeharto de­ngan Orde Baru-nya pun berkepentingan memberikan ruang ke­pa­da mereka untuk mewarnai pemerintahan yang se­dang diba­ngun­ nya. HMI perlahan mulai mengakar ke elite peme­rin­tah­an.

Fase Negara Harus diakui, Orde Baru merupakan babak baru sejarah Indonesia yang sebelumnya gamang dalam membangun iden­­titas negara di tengah pertarungan ideologi masa Perang Di­ngin. Pada masa itu, setting dunia sedang mengalami ke­te­gang­an tinggi yang berakhir dengan konflik militer se­perti Blokade Berlin (19481949), Perang Korea  (1950-1953), Krisis Suez  (1956), Krisis Berlin (1961), Krisis Rudal Kuba (1962),Perang Vietnam (19591975), Perang Yom Kippur (1973), dan lain-lain. Akhirnya, tren negara-negara Asia Tenggara dan dunia ke­ tiga saat itu menempatkan pemimpin-pemimpin dari militer dan ”bertangan besi” untuk mengendalikan negara (Tania Muray Li: 2012). Maka, formulasi saat itu, negara menjadi sen­ trum perubahan sosial dan politik yang berlangsung beberapa da­sa­warsa. Itulah fase negara pascakolonialisme setelah Indonesia merdeka. Pada era itu, ruang apa yang diambil HMI pada fase negara tersebut? Karena negara didesain dalam sistem sentralisme-to­tali­

K egamangan G erak H MI Pascanegara

63

tarian, HMI kemudian menempatkan perjuangannya dengan me­nempel dan menyokong negara pada era Orde Baru. Ada dua grand design gerakan yang dilakukan HMI saat itu untuk me­ nyo­kong negara. Yakni, gerakan pemikiran dan gerakan politik. Gerakan pemikiran lebih berfokus pada aspek pembaruan pe­ mikiran keislaman dan di dunia politik mendistribusikan kaderkadernya untuk menyokong pemerintahan Orde Baru. Formulasi negara sebagai sentrum dengan program develop­ mental­isme (pembangunan) meniscayakan harus adanya ke­ ter­bukaan pemikiran masyarakat Indonesia. Karena itu, Islam se­bagai agama yang mayoritas dipeluk rakyat Indonesia harus berpikir terbuka dan maju agar orientasi pembangunan serta modernisasi berjalan baik. Karena itu, Nurcholish Madjid yang notabene saat itu menjadi anggota HMI mengeluarkan jargon ”Islam Yes Partai Islam No?” pada akhir 1960-an. Di HMI juga disusun nilai-nilai dasar perjuangan (NDP) oleh Nurcholish de­ ngan semangat pemikiran yang sama. Di langgam politik, HMI memainkan peran politik yang signifikan dalam menyokong negara. Pada perkembangan se­ lan­jut­nya, gerakan politik itulah yang lebih dominan mewarnai ge­rakan HMI ke depan. Bahkan mampu menggerus kekuatan ge­rakan intelektualnya. Dan, Akbar Tandjung menjadi re­pre­ sentasi kader politik, sedangkan Nurcholish menjadi re­pre­ sen­tasi gerakan intelektual Islam HMI kala itu. Akbar ter­ pilih menjadi Ketua Umum PB HMI pada kongres ke-10 di Palembang pada 1971. Sementara itu, Nurcholish terpilih pada kong­res ke-8 dan ke-9 pada 1966 dan 1969. Itulah masa-masa awal tonggak era negara.

Connected Kids Kini, etape negara sudah berakhir. Sistem yang mulanya sen­ trali­sasi berganti ke sistem desentralisasi. Abad pun berganti

64

P emuda A ntara G erakan dan Politik

dari abad ke-20 kini memasuki abad ke-21. Negara yang awal­ nya pengatur secara totaliter tidak lagi berdiri tunggal. Negara bu­kan lagi satu-satunya komponen untuk melakukan perubahan sosial. Sistem politik yang sebelumnya terdesain pada demokrasi re­pre­sentatif sekarang bergeser menjadi demokrasi partisipatif (baca: pemilihan langsung). Di tengah perubahan itulah, HMI kini berdiri memasuki usia ke-66 tahun. Di tengah pergantian zaman dan sistem tersebut, tidak ada alas­an lagi bagi HMI untuk tidak berubah dan menegok ulang sis­temnya saat ini agar kompatibel dengan semangat perubahan za­man. Dalam pemikiran Islam, HMI harus mampu merespons per­kem­bangan gerakan Islam yang cenderung terjebak pada identitas simbolis Islam. HMI pun harus tidak lagi memandang negara sebagai satu-satunya sentrum perubahan sosial-politik yang harus direbut. Saat ini, kader-kader baru HMI merupakan generasi connected kids alias anak-anak zaman yang saling terkoneksi ka­rena kemajuan teknologi informasi. Jangan-jangan, badai po­ litik di internal HMI saat ini merupakan gerak efek dari belum ter­jadinya pembenahan di dalam organisasi HMI yang sesuai de­ngan era kekinian. Orde Baru yang tertutup, pada dasarnya, juga sudah tidak kompatibel dengan perkembangan zaman yang kian terbuka dan terkoneksi. Pertanyaannya, ke mana HMI akan melangkah pascanegara ini pada usianya yang ke-66 ta­hun?  

K egamangan G erak H MI Pascanegara

Bagian III

Pendidikan, Kekerasan dan Kekuasaan

65

Memutus Sumbu Kekerasan (Suara Karya, 10 Februari 2011)

“Kekerasan itu mudah menular, berjangkit bagai wabah penyakit.” —Sindhunata

K

ekerasan begitu akrab dengan praktik kehidupan ber­ bangsa kita. Seakan tidak ada bahasa ‘damai’ yang ter­selip. Mulai dari ranah domestik hingga ke ruang pu­blik, ke­kerasan tidak pernah luput mewarnai kehidupan ber­ ne­ga­ra kita, entah itu di ruang budaya, agama, maupun politik. Ke­kerasan seakan sebuah laku yang inheren dalam kehidupan ber­bang­sa dan bernegara kita yang terus mengintai siapa pun untuk menjadi korbannya. Baru-baru ini, mengemuka aksi kekerasan yang mengatas­ na­ma­kan agama. Esok, bisa jadi saya atau Anda yang akan men­ jadi korban keganasan tindakan kekerasan selanjutnya. Tentu,

68

P endidikan , K ekerasan dan K ekuasaan

ba­hasa keprihatinan pemimpin ketika menyaksikan bahasa ke­kerasan yang terus dipraktikkan di negeri ini tidak mungkin meng­hela praktik kekerasan. Ketika sikap pembiaran terhadap ke­ke­ras­an dilestarikan, ancaman kekerasan di ranah lain pun se­ma­kin terbuka lebar. Gustave Le Bond (1896) menganalisis kekerasan kolektif se­macam itu sebagai bentuk tindakan replikatif dari hubungan an­tara irasionalitas, emosionalitas, dan peniruan individu. Di dalam kelompok terjadi resiprokalitas tindakan tiruan di an­ tara anggota yang dapat memperkuat dan memperbesar emo­ sio­nalitas dan irasionalitas sesamanya. Kekerasan-kekerasan yang terus-menerus dilakukan, se­ perti insiden kekerasan massa berlatar belakang agama dalam kasus penyerangan kelompok Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, (6/2); dan kasus perusakan rumah ibadah, se­kolah serta fasilitas umum di Temanggung, Jateng (7/2), da­ pat dilihat sebagai daur ulang tindakan (tiruan) anggota atau to­koh kelompok tersebut. Karenanya, perilaku kekerasan pada dasarnya tidak men­ja­­ lar secara personal, tetapi acap kali menelusup ke dalam ke­ru­­ munan komunal. Manakala ini terjadi, maka perilaku keke­ras­­an sudah bergerak secara institusi yang sangat berbahaya. Insti­ tu­sionalisasi kekerasan pun akan semakin beringas ji­ka ke­mu­ dian berelasi dengan ruang kekuasaan. Sikap pem­biar­an aparat keamanan terhadap beberapa kekerasan massa men­da­tang­kan curiga bahwa kekerasan tidak steril dari kekuasaan. Kekerasan acap kali terjadi ketika kebenaran diklaim se­ca­ ra tunggal dan sepihak. Klaim absolut atas kebenaran men­cuat karena kebenaran dilihat dalam kaca mata tunggal yang me­ munculkan persoalan ketika berbenturan dengan mileu ke­be­ nar­an di luar yang diyakini. Saat inilah, kebenaran telah dijadi­ kan sebagai seperangkat yang mutlak.

Memutus Sumbu Kekerasan

69

Hasrat Kekuasaan Absoludisasi kebenaran salah satunya karena dianggap memiliki dimensi sakral (ideologisasi/indoktrinasi) di dalam kebenaran yang dipegang. Akhirnya, kekerasan pun diterjemahkan sebagai tindakan doktrinal yang sakral, suci, dan mulia. Inilah yang meng­gi­ring para pelaku kekerasan memekikkan kata-kata sakral ketika memproduksi kekerasan. Jika kekerasan atas na­ ma negara, maka pekikan berubah untuk membela negara dan bang­sa. Namun, jika klaim kebenaran bersembunyi di balik jubah agama, yang terpekik adalah kalimat-kalimat ‘Tuhan’. Kebenaran yang hakiki dan abadi hanya milik Tuhan. Ma­ nusia hanya mengendalikan serpihan-serpihan dari kebe­naran se­jati. Akal manusia tidak akan pernah mampu menggapai se­ pe­nuh­nya kebenaran mutlak yang tanpa cela dan tanpa koreksi. Saat manusia berusaha mengidentifikasi kebenaran, di kala itu­ lah dia melakukan proses penafsiran. Karena dia melakukan pro­ses penafsiran, makna yang ditangkapnya pun bukan kebe­ nar­an mutlak, melainkan kenisbian yang masih memberi ruang re­sidu kesalahan. Karena itu, kekerasan sejatinya tidak dekat dengan ke­be­ naran, melainkan merupakan wajah lain dari hasrat kekuasaan. Membela kebenaran hakikatnya adalah membela kekuasaan. Ke­ kerasan merupakan strategi subjek untuk membungkam gerak se­suatu yang dianggap mengancam kekuasaan di luar dirinya (the other), bukan untuk melindungi kebenaran sebagaimana di­yakini pelaku kekerasan. Rasa keterancaman yang sangat ke­ pada entitas lain kemudian memunculkan reaksi menumpas en­ titas yang mengancam tersebut, sehingga kekerasan dijadikan medium untuk menumpasnya. Kekerasan meluluhkan dan mencederai etika berbangsa kita. Pertikaian dan perpecahan sesama anak bangsa tidak dapat di­elakkan. Semua entitas ingin menguasai orang lain dengan

70

P endidikan , K ekerasan dan K ekuasaan

meng­hunjamkan kekerasan, bukan kedamaian. Etika dan moral ber­bangsa pun terancam roboh. Inikah tesis yang dimaksud Rene Girard (Sindhunata, 2007: 333) bahwa tatanan sosial, khu­­sus­­nya agama, dibangun dari batu-batu cadas kekerasan? Segala kekerasan dan atas nama apa pun tidak dapat dibiar­ kan. Perilaku kekerasan yang kita mainkan secara telanjang ke publik tidak akan melahirkan keharmonisan dalam membangun tatan­an sosial dan politik yang kukuh. Kekerasan hanya mela­ hir­kan realitas semu. Rezim kekerasan tidak akan mampu mem­ bangun stabilitas esensial, melainkan menyuguhkan stabilitas artifisial. Sebab, di dalamnya akan bergemuruh dendam dan ke­ ben­cian untuk menularkan kekerasan baru, saling bunuh, dan saling menumbangkan. Rezim kekerasan harus ditumbangkan dan diganti dengan ba­ngunan tatanan yang indah dan menenteramkan. Jika ke­ke­ rasan terus kita mainkan dalam segala ruang aktivitas po­li­tik, sosial, budaya, dan berbangsa kita, maka bangsa dan ba­hasa per­satuan kita akan diganti oleh bahasa kekerasan. Bang­sa ini su­dah jengah dengan bahasa kekerasan yang dapat me­neng­ge­ lam­kan ke jurang perpecahan komunal. Karenanya, siapa pun percaya bahwa kekerasan tidak akan per­nah bisa tumbang melalui pidato keprihatinan, apalagi itu terucap dari mulut pemimpin. Butuh ketegasan pemimpin un­ tuk tidak menolerir segala macam kekerasan. Kini, seluruh pe­ mim­­pin bangsa ini harus merenung akan memilih yang mana, menghentikan atau membiarkan kekerasan itu bergerak men­ja­ di ‘penyakit’ yang berjangkit ke dalam seluruh kehidupan kita?

Menghentikan Bola-Bola Kekerasan (Jawa Pos, 23 Juni 2008)

Keadilan tanpa kekuatan adalah kosong. Kekuatan tanpa keadilan hanya melahirkan kekerasan. KALIMAT yang dilontarkan kesatria Chio Beadal dalam film Fighter in the Wind karya Yang Yun-Ho di atas menarik untuk men­jadi prolog tulisan ini sebagai respons atas menguatnya peri­laku kekerasan dalam kehidupan berbangsa kita. Pernyataan ter­sebut menegaskan bahwa kekerasan hanya muncul dalam ke­kuatan yang tidak dilandasi moral dan etika. Sebuah nilai ha­ rus memiliki kekuatan. Tetapi jika kekuatan tanpa nilai, ia cen­ derung represif dan brutal. Karena itu, kebenaran yang berdiri tegak di atas kekerasan bukanlah kebenaran sejati, karena tidak akan melahirkan ta­ tan­an baik, melainkan akan mereproduksi dan melanggengkan ke­­ti­dak­adilan dan ketimpangan.

72

P endidikan , K ekerasan dan K ekuasaan

Mulai ranah domestik hingga ke ruang publik, kekerasan ti­ dak pernah luput mewarnai kehidupan bernegara kita, entah itu ruang pendidikan, agama, maupun politik. Kekerasan menjadi semacam laku yang inheren dari kehidupan berbangsa. Aksi kekerasan di berbagai institusi pendidikan, munculnya Geng Nero, bahkan awal bulan lalu kekerasan menyelimuti tin­ dakan beragama kita. Apa pun bentuknya, aksi kekerasan atas ke­kerasan tidak akan pernah dapat menyelesaikan masalah.

Kebenaran dan Kekuasaan Kekerasan acapkali terjadi ketika kebenaran diklaim secara tung­ gal dan sepihak. Klaim absolut atas kebenaran mencuat ka­rena kebenaran dilihat dalam kacamata tunggal yang memunculkan per­soalan ketika berbenturan dengan mileu kebenaran di luar yang diyakini. Absoluditas dan klaim kebenaran tersebut ke­ mudian akan berakhir tragis ketika dipahami adanya dimensi sakral di dalam kebenaran yang dipegang. Kebenaran yang hakiki dan abadi adalah milik Tuhan. Akal ma­nusia tidak akan pernah mampu menggapai sepenuhnya ke­ benaran mutlak. Saat manusia berusaha mengidentifikasi ke­be­ naran, saat itulah dia melakukan proses hermeneutis. Karena dia melakukan proses hermeneutis, makna yang ditangkapnya bu­kan kebenaran mutlak, melainkan kenisbian. Di ruang agama, kebenaran yang diimani cenderung di­ang­ gap manifestasi keuniversalan, sehingga corak di luar keya­kin­ annya diklaim salah dan sesat. Praktik beragama dipersepsi sebagai ajaran agama yang se­be­narnya, bukan sebagai bentuk tafsir atas nilai-nilai agama yang universal. Sementara itu, fatwa melabelkan sesat dan me­ nye­satkan terhadap kelompok lain pun tidak dapat dihindari. Saat itulah, kekerasan menjalar dan terlegalkan. Pada dasarnya, kekerasan tidak dekat dengan kebenaran,

Menghentikan B ola -B ola Kekerasan

73

me­lainkan merupakan wajah lain dari kekuasaan. Kekerasan me­ru­pakan strategi subjek untuk membungkam gerak objek yang dianggap mengancam kekuasaannya. Rasa keterancaman yang sangat kepada entitas lain kemudian memunculkan reaksi me­numpas entitas yang mengancam tersebut. Salah satu cara­ nya adalah melalui kekerasan. Mengapa? Sebab, kekerasan masih diyakini sebagai me­ diasi paling ampuh melumpuhkan lawan, seperti kekerasan ne­gara ketika memangkas gerakan rakyat yang mengancam ke­ kuasaan. Kebenaran yang dibarengi dengan hasrat berkuasa cende­ rung menutupi celah salah dalam kebenaran itu sendiri. Kekuasaan bersembunyi dalam jubah kebenaran. Seperti ke­ya­ kin­an Max Weber, Machiavelli, maupun Hobbes, kekuasaan dan kekerasan tiba-tiba menjadi dua kata yang tidak terpisahkan. Ke­benaran dan hasrat berkuasa menjadi kabur karena samasama berada di balik bola-bola kekerasan yang dimainkannya.

Memutus Kekerasan meluluhkan dan mencederai etika berbangsa kita. Kekerasan seolah menjadi bola yang terus dikejar, direbut, dan di­giring. Karena itu, melesakkan kekerasan ke jantung lawan menjadi kepuasan yang tiada tara. Akhirnya, etika dan moral berbangsa pun roboh. Per­ti­kaian dan perpecahan sesama anak bangsa tidak dapat di­elak­kan. Semua entitas ingin menguasai orang lain dengan meng­hun­ jamkan kekerasan, bukan kedamaian. Inikah tesis yang di­mak­ sud Rene Girard bahwa tatanan sosial dibangun dari batu-batu kekerasan? Segala kekerasan dan atas nama apa pun harus dihentikan. Bola-bola kekerasan yang kita mainkan secara telanjang ke pu­blik tidak akan melahirkan kebenaran dalam membangun

74

P endidikan , K ekerasan dan K ekuasaan

ta­tanan sosial dan politik yang kukuh. Kekerasan hanya me­la­ hir­kan realitas semu. Rezim kekerasan tidak akan mampu mem­ ba­ngun stabilitas esensial, melainkan menyuguhkan stabilitas artifisial. Di dalamnya bergemuruh dendam dan kebencian un­ tuk melahirkan kekerasan baru, saling bunuh, dan saling me­ num­bangkan. Karena itu, bola-bola kekerasan harus segera digantikan oleh bola yang indah dan menenteramkan. Memutus rantai ke­ kerasan tidak dapat ditawar lagi. Jika bola-bola kekerasan ter­ sebut kita mainkan dalam segala ruang aktivitas politik, sosial, budaya, dan berbangsa kita, bangsa dan bahasa persatuan kita akan diganti oleh bahasa kekerasan. Kini, bangsa Indonesia harus merenung akan memilih yang mana, menghentikan atau membiarkan bola-bola kekerasan itu ber­gerak liar dalam seluruh kehidupan kita?

Pendidikan, Antara Kekerasan dan Kekuasaan (Radar Jogja, 27 April 2007)

R

entetan kekerasan dalam dunia pendidikan kini mulai terkuak. Tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga telah merambah dunia perguruan tinggi. Kasus yang me­nim­pa Cliff Muntu hingga tewas di tangan para seniornya, serta kasus kekerasan di IKIP Mataram oleh pihak rektorat be­ be­rapa hari setelah kasus Cliff Muntu, merupakan bukti begitu mengakarnya kekerasan di dalam sistem pendidikan kita. Cerita Cliff Muntu di IPDN dan kekerasan di IKIP Mataram adalah satu deret cerita kekerasan di dunia pendidikan dari ribuan cerita yang tidak mencuat ke permukaan. Ada apa dengan pendidikan kita sehingga dikotori aroma kekerasan? Bukankah IPDN dan IKIP Mataram sama-sama belajar dari kejadian sebelumnya yang sudah menewaskan mahasiswanya melalui kekerasan. Pendidikan sejatinya diperuntukkan untuk menciptakan ma­nusia meningkatkan daya kreativitasnya agar bisa me­ne­gak­

76

P endidikan , K ekerasan dan K ekuasaan

kan kesejahteraan manusia. Dalam bahasanya Freire, pen­di­ dikan diperuntukkan untuk memanusiakan manusia. Di dalam usaha untuk memanusiakan, pendidikan harus bergerak pada visi membebaskan. Membebaskan artinya senantiasa mem­be­ ri­kan ruang kritik dan “tanda tanya” dalam setiap ilmu yang di­pe­la­jari, tidak lantas menutup ruang kritis secara absolut. Doktrin-doktrin kepatuhan tanpa ada ruang kritik hanya me­ mun­culkan kesadaran-kesadaran magis dan naif. Corak pen­ didikan demikian tidak menjadikan manusia menjadi manusia yang sesungguhnya, melainkan seperti robot karena otaknya di­ lum­puhkan oleh sistem yang absolut (tanpa ruang kritik). Apa yang terjadi di IPDN dan IKIP Mataram tidak jauh seperti di atas. Pendidikan justru dijadikan alat untuk meman­ jang­kan kuasa terhadap anak didik oleh dosen maupun junior oleh para senior. Ruang-ruang perdebatan dalam transformasi pengetahuan ditutup rapat-rapat. Pengetahuan di sini tidak ha­ nya ilmu-ilmu yang disampaikan di dalam kampus, melainkan juga seluruh totalitas tradisi dan sistem yang berjalan dalam ins­ titusi pendidikan, seperti aturan-aturan kampus hingga sistem biro­krasi kampus. Pertanyaan yang menjatuhkan kredibilitas penge­tahuan dosen akan “disikat”, begitu juga dengan aktivitas yang mengancam wibawa kampus. Harapan sistem pendidikan semacam ini bukan melahirkan kelompok intelektual yang kritis, melainkan intelektual yang patuh. Kenyataan demikian inilah yang sedang terjadi di dunia pen­didikan kita. Hanya saja kejadian di IPDN dan IKIP Mataram menyuguhkan secara vulgar. Sistem pendidikan sema­cam ini mendeskripsikan sosok intelektual dan akademisi se­cara parsial. Seorang mahasiswa atau anak didik yang disebut aka­de­misi dan intelek adalah mereka yang duduk manis di seko­ lah, rajin masuk, dan tidak boleh protes atas segala hal yang di­perin­tah­kan oleh kampus, guru/dosen maupun senior. Anak

P endidikan , A ntara K ekerasan dan Kekuasaan

77

didik hanya ikut dan bergerak seperti robot atas segala sistem yang berjalan dalam institusi pendidikan tanpa boleh bertanya mengapa sistem itu dijalankan, apalagi memprotesnya. Sadar atau tidak, demikianlah mainstream paradigma pendidikan kita saat ini. Praktik tersebut dapat dilihat dari bagaimana reaksi rektorat ketika sosok Inu Kencana membeberkan kekerasan di IPDN dari hasil penelitian disertasi doktoralnya. Bukan penghargaan yang di­dapat, justru Inu Kencana sempat tidak diperbolehkan lagi meng­­ajar di IPDN dengan alasan yang kurang jelas oleh rek­to­ rat. Ternyata, hasil ijtihad akademik yang diramu secara objek­­tif tidak selamanya akan dihargai oleh pihak kampus yang nota­ bene pabrik ilmu pengetahuan, jika itu mengancam kre­dibilitas kampus. Tapi, mungkinkah kredibilitas institusi pen­di­dik­an yang terancam? Jangan-jangan yang terancam justru pa­ra penggerak institusinya? Jika pertanyaan yang kedua yang be­nar, itulah yang menghancurkan dunia pendidikan Indonesia saat ini.

Kekerasan untuk Apa? Kekerasan adalah sisi lain manusia yang masih dipertahankan oleh sistem pendidikan kita dewasa ini. Padahal, pendidikan ber­gerak untuk mengukuhkan keberakalan manusia (homo sapien), bukan menegaskan sisi kekerasannya (homo violens). Da­hulu, kekerasan begitu melekat di dunia pendidikan sebagai cara untuk menegakkan kedisiplinan. Dalam pendidikan tra­ di­sio­nal, seorang anak didik yang tidak mengerjakan tugas atau tidak hafal rumus matematika dipukuli penggaris hing­ga tangannya memar. Alih-alih memancing kesadaran penge­ta­ hu­an, hukuman tersebut justru membekukan segala aktivitas belajar anak bersandar pada ketakutan, bukan bersumber pada ke­sadaran. Menghafal matematika karena takut dipukuli oleh guru atau menghadiri kuliah karena takut mendapat nilai D.

78

P endidikan , K ekerasan dan K ekuasaan

Pelestarian kekerasan di dunia pendidikan meluas tidak hanya bertujuan untuk mendidik, tetapi acap digunakan un­ tuk mempertahankan kekuasaan. Berbicara kekuasaan, me­ na­rik melihat pemikiran Michael Foucault dalam konsep “cinta sang tuan” bahwa “sang tuan” bebas melakukan sensor dan memberikan larangan kepada bawahannya (Michel Foucoult:2002). Konsep Foucault ini menjadi relevan ketika di­ ben­tur­kan dengan pranata sosial yang dijalankan dalam institusi pen­didikan yang masih berkelindan pada stratifikasi atas-bawah (top down). Seorang guru/dosen ditempatkan sebagai sumber pengetahuan dan murid/mahasiswa sebagai bejana kosong yang pasif dan harus diisi (tabularasa). Paradigma ini menjadikan dosen pada posisi atas, sementara siswa/mahasiswa di bawah. Relasi antara dosen-mahasiswa, guru-siswa, senior-junior, bukan relasi partner, melainkan “tuan” dan “bawahan”. Pola hubungan tuan (top) dan bawahan (down) ini mene­gas­ kan siapa yang berkuasa atas siapa. Di sinilah kekerasan dunia pen­didikan dilestarikan. Seorang junior tidak boleh melawan senior dan anak didik tidak boleh menentang pengetahuan yang diberikan oleh dosen. Walhasil, kritik, masukan dan pem­ bang­kangan tidak dilihat sebagai bentuk wacana alternatif yang berfungsi sebagai pengayaan pengetahuan, melainkan dilihat sebagai upaya penyerangan terhadap kekuasaan. Misalnya, junior yang tidak mau disuruh push up dilihat sebagai ancaman bagi ke-senior-annya (kekuasaan) senior, bukan sebagai bentuk “masukan” bahwa push up tiada gunanya. Begitu juga dengan protes mahasiswa atas kebijakan kampus tidak dipahami seba­ gai perdebatan ilmiah dalam ekspresi yang berbeda, tetapi se­ba­gai upaya perongrongan terhadap kekuasaan rektorat. Ke­ke­rasan pun kemudian dijadikan alat untuk melindungi ke­kuasa­an, karena protes bukan ekspresi ilmiah melainkan ancaman stabilitas kekuasaan di kampus.

P endidikan , A ntara K ekerasan dan Kekuasaan

79

Humanisasi Pendidikan Apa pun alasannya, kekerasan tetaplah perbuatan yang ti­dak manusiawi dan tidak relevan diterapkan dalam dunia pen­di­ dikan. Selain adanya persoalan seperti di atas, jaring-jaring kekerasan itu masih ada di dunia pendidikan, misalnya de­ngan masih dilestarikannya resimen mahasiswa (Menwa) ala militer. Tidak heran jika Francis Wahono menjelaskan, sistem pen­di­ dikan kita masih mewarisi kedisiplinan cara tentara Jepang (Francis Wahono: 2011). Karena itu, melihat kenyataan-ke­ nyataan yang ada (kasus IPDN dan IKIP Mataram), humanisasi di dalam ruang pendidikan seperti pembenahan-pembenahan sis­tem mendesak dilakukan, bukan lagi pada wilayah wacana. Para­digma ing ngarso sung tolodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani dari Ki Hajar Dewantara merupakan sebuah ajaran di mana relasi guru dan murid lebih dari sekadar peng­ ayom, tapi juga layaknya partner. Wallâhu A’lam.

Dana Muslihat AS? (Jawa Pos, 30 Oktober 2003)

T

awaran Presiden Amerika George Walker Bush da­lam per­te­muan dengan beberapa pemimpin organisasi ke­ aga­ma­an pekan lalu (22/10) di Bali, untuk memberikan ban­tu­an pen­di­dikan US$ 157 juta bagi pesantren menuai prokon­tra di kalang­an pemuka Islam (ulama) sendiri. Sebagian ma­ sih melihat bantuan tersebut sebagai hal yang wajar dan baik, tetapi sebagian yang lain memandang bantuan itu berlatar bela­ kang kepentingan AS yang sangat bias dan karenanya tawaran itu harus ditolak. Pertemuan tokoh-tokoh ulama NU di Ponpes Assidiqiyah, Batu Ceper, Tangerang, Banten, kamis pekan lalu (24/10), mi­sal­­ nya, menolak dana yang ditawarkan oleh Presiden Amerika ter­­se­­ but, karena dinilai membawa embel-embel kepentingan ter­ten­tu. AS memberikan bantuan kepada pesantren dengan embel-embel agar kurikulum di pesantren dirombak dengan

D ana Muslihat AS?

81

“kurikulum” yang ditawarkan AS. Sebuah kurikulum baru yang be­bas dari pelajaran mengenai jihad. Sebab, di mata AS, dokrin jihadlah yang menggerakkan beberapa aksi kekerasan seperti di Legian, Ambon, JW Marriott, Mataram, dan WTC. Namun, sebelum menentukan setuju dan tidak setuju, ada beberapa hal yang patut dicermati dalam melihat bantuan Amerika untuk pesantren ini. Pertama, klaim Amerika ter­ha­ dap pesantren sebagai basis persemaian terorisme di Indonesia. Negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, melihat peran strategis dan taktis pesantrena dalam melahirkan apa yang dalam standar Amerika disebut sebagai gerakan teror­ isme. Pesantren dengan sistem pendidikan tradisional-karis­ matis sangat berpotensi untuk menjadi basis penggodokan per­ la­wan­an terhadap ideologi kapitalisme-globalisasi Barat (baca: Amerika). Kedua, anggapan AS bahwa Islam merupakan penghambat globalisasi. Teori Samuel P. Huntington (The Clash of ������� Civilization) yang digembar-gemborkan beberapa decade ini bukan ha­nya me­nempatkan Islam sebagai satu-satunya entitas yang akan meng­­alami clash (benturan) dengan dunia barat, melain­ kan me­metakan bahwa Islam merupakan satu-satunya musuh ideology kapitalisme (baca: globalisasi) Amerika. Motor peng­ obar se­mangat perlawanan Islam terhadap ideologi kapitalisme adalah doktrin jihad (crusade). Teori inilah yang seolah menjadi pe­gang­an negara Amerika dalam melihat Islam. Karena itulah, Amerika bermaksud menghapus jihad dari memori kurikulum pen­didikan pesantren. Ketiga, umat Islam Indonesia melihat bahwa terorisme yang se­sungguhnya itu adalah Amerika Serikat dengan pene­ rap­an kebijakan standarnya, di satu sisi menjunjung HAM dan de­mo­krasi, di sisi lain justru menginjak-injak prinsip-prinsip ter­sebut. AS berlaku tidak adil terhadap umat Islam. Terbukti,

82

P endidikan , K ekerasan dan K ekuasaan

ke­tika AS menyerang Iraq, seluruh organisasi Islam di tanah air, seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI, mengecam dan meng­ klaim tindakan AS sebagai bentuk invasi dari terorisme. Karena itu, wajar kemudian yang ditemui George W. Bush di Bali adalah pe­mimpin organisasi-organisasi keagamaan tersebut. Melihat tiga hal di atas, ada beberapa target yang ingin di­ capai Bush dalam rencana bantuannya untuk pesantren. Di an­ tara target itu adalah AS ingin meminimalisasi ajaran-ajaran ke­ke­ras­an agama yang sering diajarkan di pesantren, seperti kon­sep jihad. Selama ini jihad dalam pandangan Islam garis ra­dikal masih dimaknai sebagai perjuangan fisikal (berperang) me­la­wan orang kafir (agama lain) semata. Terlihat dari aksi teror terhadap warga Barat—yang diasosiasikan sebagai orang kafir—didorong oleh keinginan untuk menjadi mujahidin (orang yang berjihad). Karena itulah, AS berkeinginan merombak kuri­ ku­lum yang diterapkan pesantren dengan mengeluarkan jihad dari perbincangan pendidikan pesantren. Secara kasat mata, tawaran ini sesungguhnya sangat bagus. Me­mang, harus diakui bahwa sistem pendidikan di pesantren (salaf/modern) sangat jauh untuk dikatakan sebagai sistem pen­di­dikan agama ideal yang menghasilkan anak didik yang toleran dan welas asih. Karena itu, tawaran perombakan sistem kurikulum pen­ didikan pesantren yang diajukan Amerika patut diper­tim­bang­ kan selama dalam kerangka positif. Tetapi, yang harus di­to­lak adalah tawaran meniadakan pembicaraan jihad dalam kuri­ku­ lum pendidikan pesantren. Sebab, jihad adalah roh Islam (M. Anshori, JP, 27/10). Justru yang harus dilakukan adalah me­la­ kukan reinterpretasi terhadap konsep jihad yang selalu dimak­ nai sebagai konfrontasi fisikal itu. Selanjutnya terkait tawaran dana US$ 157 juta, sikap pe­ no­lakan ulama NU di Batu Ceper, Banten, patut kita dukung

D ana Muslihat AS?

83

ber­sama. Hal ini sedikitnya mengacu pada beberapa hal. Mi­ sal­nya, AS ingin membangun citra baik di hadapan umat Islam. Amerika sendiri memang menyadari bahwa kebijakan stan­ dar gandanya telah menorehkan kebencian komunal dari ma­ syarakat Indonesia.

Kepentingan di Balik Pengawasan (Jawa Pos, 8 Desember 2005)

T

erorisme yang beberapa tahun ini mengguncang Indonesia tidak hanya memakan korban manusia yang ti­dak ber­salah, tapi menelan juga tumbal citra Islam se­ba­gai aga­­ma yang rahmatan lil ‘âlamîn (QS Al-Anbiyâ’ [21]:107). Islam identik dengan terorisme. Citra itu semakin mem­­be­ku di alam bawah sadar masyarakat dunia bahwa Islam sa­­ngat menakutkan (Islamofobia). Pandangan tersebut terus mengendap ke alam pikiran kita dan menyusup ke segala sektor ruang sosial. Uniknya, koruptor yang meneror negara ini dan membunuh rakyat miskin secara pelan-pelan bukanlah tindakan terorisme. Salah satu bentuk islamofobia yang menyusup ke se­ga­la celah ruang sosial kita itu adalah rencana negara (baca: pe­me­rin­ tah) mengawasi pesantren. Rencana tersebut merupakan reaksi atas pelbagai bom yang mengguncang tanah air beberapa tahun

K epentingan di B alik Pengawasan

85

terakhir, seperti Bom Bali I dan II, JW Marriott dan Mataram, yang hampir semua dilakukan kaum santri (Ali Imron, Amrozi, Asmar Latin Sani, dan Muklas). Rencana tersebut dilontarkan Jusuf Kalla saat acara buka puasa bersama dengan jajaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa bulan lalu (13/10) di kantor wapres Jakarta. Bahkan, wapres terang-terangan menyebut meniru seperti Orba. Kontan, rencana pemerintah untuk mengawasi pesantren itu mendapat reaksi keras dari berabagi kalangan, terutama pe­ santren sendiri. Bagaimanapun, lontaran dan rencana pe­me­ rin­tah (negara) untuk mengawasi pesantren mengigatkan kita terhadap cara Soeharto dengan rezim Orba yang kejam dan otoriter dalam mendikte kaum sarungan (santri/pondok/pe­ san­tren). Tujuannya, membungkam kekritisan dan me­lum­puh­ kan gerak pesantren yang mengancam pemerintah. Sekalipun motif pengawasan pemerintah terhadap pe­ santren berbeda dengan Orba, tetapi substansinya sama, yakni deteksi negara terhadap segala aktivitas pesantren. Karena itu, tidak menutup kemungkinan pemerintah men­ ja­di mudah menstigmatisasi “teroris” terhadap pesantren yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, sebagaimana rezim Orba yang membungkam perlawanan rakyat dengan stigma “ko­mu­ nis” dan “pengganggu stabilitas nasional.” Perlu diketahui, sejarah pesantren adalah sejarah per­la­ wan­an. Pada masa penjajahan, pesantren menjadi satu basis yang sangat ditakuti kaum colonial Belanda. Kemerdekaan yang dicapai Indonesia tidak lepas dari peran dan kontribusi pe­santren. Sebab, inti dari peran strategis pesantren adalah ke­ kuat­an memobilisasi massa dan sensitive terhadap penjajahan asing (barat). Ketakutan pemerintah semakin mendalma ketika Indonesia sudah memasuki gerbang pasar bebas. Perusahaan-peru­sa­

86

P endidikan , K ekerasan dan K ekuasaan

ha­an transnasional (TNCs) berbondong-bondong masuk dan mengua­sai (privatisasi) segala aset publik (minyak, air, dan tanah). Parahnya, pasar bebas bagi Indonesia dalah penjajahan ber­ wajah lain. Di sinilah ancaman sensitivitas pesantren terhadap pen­jajahan mengemuka sehingga mendorong pemerintah meng­ awasi gerak langkahnya. Bisa dibayangkan, betapa bahayanya jika penguasaan aset-aset publik oleh pihak asing menyulut se­ mangat perlawanan sekitar 170 ribu pesantren yang tersebar di Indonesia laiknya perang melawan kolonial Belanda dulu.

Bukan Solusi Karena itu, alih-alih penjinakan, justru pesantren akan mela­ku­ kan gerakan perlawanan melawan pemerintah jika pemerintah me­la­kukan pengawasan yang berujung pada pengekangan ruang gerak pesantren. Apalagi, pengawasan tersebut dibarengi de­ ngan upaya menghidupkan kembali Komando Teritorial (Koter) dan Badan Pembina Desa (Babinsa). Deskripsi di atas cukup menggambarkan karakter pe­ santren yang jika ditekan akan semakin melawan. Karena itu, peng­awasan bukan menjadi solusi. Memang, ada beberapa doktrin dan ajaran Islam yang dikem­bangkan dalam kurikulum di beberapa pesantren (baik salaf atau modern) yang tidak sesuai perkembangan zaman dan harus dirombak, seperti makna jihad yang tidak harus bermakna perang (qitâl) dan istilah kafir yang tidak melulu diartikan nonIslam. Namun, itu menjadi persoalan ketika perubahan tersebut dilakukan intervensi dan pengawasan negara dan – apalagi – pihak luar. Kondisi itu sangat resisten melahirkan dominasi dan otoriterianisme yang sarat kepentingan. Karena itu, bukan pengawasan dan pendeteksian (apalagi meng­hidupkan kembali Koter dan Babinsa) terhadap pesantren

K epentingan di B alik Pengawasan

87

yang harus dilakukan untuk menumpas aksi terorisme di Indonesia. Tetapi, pemerintah setidaknya melakukan pendekatan per­suasive dengan memberikan ruang-ruang politik kepa­da pesantren yang selama ini suaranya ter(di)sumbat. Bagai­mana pun, pengawasan terhadap pesantren tidak hanya me­nyem­ pitkan makna teroris itu sendiri, tetapi juga berimplikasi me­ nem­pat­kan pesantren sebagai tertuduh dan malah tidaak akan me­nyelesaikan masalah.

Tidak Cukup dengan Bantuan (Jawa Pos, 14 Januari 2006)

D

i mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Katakata itu memberikan etika sangat dalam dan universal yang patut kita renungkan kembali di tengah bencana alam yang terus menyanyat negeri ini. Bahwa setiap ruang, baik mikro maupun makro, memiliki aturan dan logika hukum ter­ sendiri yang berfungsi menata tatanan agar berjalan pada jalur yang harmonis. Struktur organisme keharmonisan itu akan hancur dan meng­undang kekacauan manakala setiap entitas bergerak di luar ke­patuhan terhadap hukum ruang yang mengikatnya. Kearifan petuah tersebut mengalami tantangan ketika rasio ma­­nusia men­dominasi gerak peradaban ini. Sebenarnya, ti­dak ada yang sa­lah dengan rasionalitas. Sebab bagaimana­pun, ma­ nu­sia ada­lah makhluk rasional (homo sapiens/al-hayawan alnathiq).

Tidak C ukup dengan Bantuan

89

Tetapi, dia menjadi bencana manakala rasio manusia ter­ se­­but (baca teknologi) acap memberikan tempat yang dominan bagi ke­­se­ra­kahan dan kelobaan manusia tanpa batas. Walhasil, bu­­kan la­ngit (norma/tata nilai) yang dijunjung, melainkan ha­ srat un­­tuk me­raup keuntungan dan kelobaan berdiri di atas segalanya. Bencana alam yang silih berganti menerpa bangsa ini me­ ru­pa­kan akibat ketidakhormatan kita terhadap alam karena kuat­nya pemujaan terhadap hasrat kelobaan kita. Alam juga memilki hukum dan logika sendiri. Ketika aturan-aturan alam (menajaga keseimbangan ekologis) terca­ bik, saat itu­lah riak-riak alam tidak dapat kita hindari. Karena alam di­ang­gap objek, seolah ia tidak memiliki jiwa yang harus di­peli­hara. Karena itu, bencana alam bukan semata takdir yang tidak bisa dihindari, melainkan ia tercipta dari ulah manusia. Tidak bisa dibayangkan, pusat Vulkanologi dan Mitigasi Ben­­cana Badan Geologi Departemen Energi Sumber Daya Mine­­ral telah membeberkan data bahwa untuk tahun 2006, ada 246 Kecamatan di Pulau Jawa yang berpotensi longsor. Itu menun­­jukkan bahwa keadaan ekologi bangsa ini sudah kronis. Kenyataan tersebut tidak hanya mengancam jiwa-jiwa ma­ nusia, tetapi juga meneror kehidupan berbangsa kita. Laporan itu baru wilayah jawa, belum berbicara mengenai kondisi alam di Kalimantan, Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi Selatan, Aceh, dan lain sebagainya. Ironis, yang selalu menjadi kambing hitam atas setiap ben­ cana itu adalah mereka yang terkena musibah tersebut, se­per­ti di Banjarnegara dan Jember. Ibarat sudah jatuh terkena tang­ga. Sudah terkena musibah, disalahkan pula. Mereka sering di­kata­ kan sebagai penebang liar, tidak tahu manfaat alam, mu­sibah itu akibat tindakan mereka, dan sederet prasangka lain.

90

P endidikan , K ekerasan dan K ekuasaan

Sayang, pemerintah (presiden) justru terkesan parsial da­ lam melihat bencana itu, seolah persoalan akan selesai hanya de­ngan kembali menanam pohon di hutan-hutan yang gundul. Karena itu, menyikapi bencana alam tersebut dengan ha­ nya berhenti pada seruan berupa dukungan doa dan bantuan ma­terial tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Sebab, hal itu akan menyembunyikan sekian faktor utama yang meng­aki­ bat­kan bencana. Dalam perkara kampanye solidaritas semacam itu, media massa dan masyarakat bawah sudah menanganinya, bah­kan lebih efektif. Sayang, para pejabat kita terjebak menjadi juru khotbah peng­­ga­langan solidaritas atas berbagai bencana alam yang ter­ jadi saat ini, tetapi mengabaikan masalah-masalah mendasar. Karena itu, menata kembali secara harmonis kondisi alam kita yang semakin kronis tersebut tidak bisa diselesaikan secara parsial (doa dan bantuan an sich). Diperlukan kerja menyeluruh seluruh komponen bangsa ini, tanpa terkecuali. Salah satu yang paling penting adalah jalur structural (ne­ gara). Selain dituntut menindak tegas pelaku illegal logging, pe­me­rin­tah juga harus memprioritaskan kebijakan-kebijakan yang ramah terhadap lingkungan, terutama dalam kebijakan eko­nomi. Kebijakan pemerintah yang sangat kapitalis tak jarang mengor­bankan aspek ekologis demi membangun kemegahan artifisial daerah. Membangun kebijakan publik yang berpijak pada penghor­ mat­an tinggi terhadap hukum alam (baca etika terhadap alam) ada­lah niscaya. Alih-alih demikian, pemerintah (pusat/dae­rah) se­lama ini justru sering menggunakan legitimasinya un­tuk me­ mereteli alam secara liar tanpa memperhatikan pertim­bang­ an-pertimbangan alam dan lingkungan dengan menjual nama “untuk kepentingan umum”.

Tidak C ukup dengan Bantuan

91

Baik sadar atau tidak, kenyataan inilah yang memberikan andil besar atas berbagai reaksi alam yang terjadi saat ini, se­ perti gempa dan longsor di Banjarnegara dan jember baru-baru ini. Selain itu, peran media massa dan institusi pendidikan pun tidak kalah penting. Media massa sudah seharusnya mem­ beri­kan ruang lebih besar untuk khalayak pada arah peng­har­ gaan dan penghormatan terhadap problem-problem ekologis dan nilai-nilai luhur budaya yang melihat alam sebagai entitas berjiwa. Selain itu, institusi pendidikan pun tidak kalah penting. Logi­ka pembangunanisme dalam pendidikan yang menggurita cen­de­rung menciptakan anak-anak didik tidak peka terhadap nilai-nilai penghormatan terhadap alam. Karena itu, bantuan yang kita salurkan sekarang hanya un­ tuk saat ini, tetap tidak akan menyelesaikan masalah selama be­ berapa elemen di atas masih berjalan semula. Jika tetap, ben­ cana alam yang jauh lebih besar akan menunggu kita?

Gaung Semangat Gotong-Royong (Suara Karya, 21 November 2011)

F

enomena berbangsa dan bernegara kian tercabik dan terberai. Disintegrasi pun tetap mengancam tali per­ sa­tuan. Perasaan saling curiga, membudayanya saling hujat, nihilnya saling percaya, dan ragam pemandangan lainnya yang tak sedap, pun merebak. Pada sisi lain, praktik korupsi dan tindakan tak terpuji semakin jamak telanjang dilakukan secara berjamaah. Kondisi ini, kian menggumpalkan kelusuhan berindonesia kita dalam rentang 66 tahun kemerdekaan ini. Sejak Indonesia berdiri, komitmen persatuan menjadi peng­ikat yang meleburkan segala ego personal dan kelompok men­jadi ego Indonesia Raya. Sebuah ikrar yang lazim terjadi di setiap negara dan bangsa mana pun, karena hanya tekad per­ sa­tuan itulah sebuah negara berdiri tegak dan dapat mengelola diri­nya dengan baik. Tanpa persatuan, tidak ada lagi rumusan ne­gara dapat bertahan lama. Uni Soviet sebagai negara adidaya

G aung Semangat G otong -Royong

93

pun, runtuh tak berdaya akibat leburnya persatuan menjadi fanat­isme etnik. Jika disintegrasi mengental, berarti jurang ke­ hancuran negara menanti. Menelisik kondisi bangsa kini, sepantasnya kita cemas. Nilai-nilai yang semestinya menjadi pijakan dalam berbangsa kian luntur, sementara arus tantangan begitu kuat menerjang di segala aspek budaya, politik, dan ekonomi. Korupsi mewabah dan kian menggurita serta ikatan sosial antarwarga negara me­ long­gar. Globalisasi yang tidak terelakkan, misalnya, telah ba­ nyak menghentak struktur nilai konvesional masyarakat kita hingga ruang terkecil dan remeh-temeh. Akhirnya, kelemahan daya imunitas bangsa akan rentan menghadirkan sebuah bang­ sa yang ringkih dan lemah. Sisi lain, hampir tidak ada satu ruang pun yang hampa dari praktik korupsi. Sistem kartel dengan mengakumulasi kapi­tal (baca: uang) merasuk menjadi predator yang merusak ta­tan­ an berbangsa dan bernegara kita. Hubungan pemimpin de­ngan rakyat tereduksi oleh sebongkah uang. Relasi aparat/pe­nye­leng­ gara dengan institusi negara pun tergerus oleh nalar kapital. Akhirnya, kartelisasi yang merasuki segala lini tersebut mulai merontokkan fondasi bangsa kita. Jika kenyataan tersebut tidak diantisipasi secara dini dan abai direspons, sungguh bisa menjadi ancaman nyata bagi ke­ ber­lang­sungan negara Indonesia ke depan. Pernyataan ini tidak­ lah hiperbolik, apalagi bombastis, karena persoalannya begitu dekat dan lekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Setiap hari kita disuguhi dengan berita-berita korupsi pejabat tinggi, keti­ dakadilan hukum negeri, dan kian maraknya kemiskinan. Untuk melerai segala potensi yang merontokkan sendi ber­ bang­sa, kita harus kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa kita. Gotong-royong adalah salah satu nilai luhur utama bangsa yang seharusnya dijadikan ruh dalam segala aspek bertindak. Karena,

94

P endidikan , K ekerasan dan K ekuasaan

nilai gotong-royong bukan sekadar seremonial yang hanya ter­ jebak pada praktik-praktik slogan tanpa ruh. Gotong-royong me­ru­pakan tindakan bersama saling bahu-membahu untuk ke­ma­juan bangsa, bukan sebaliknya. Nilai ini harus dijalarkan agar menjadi landasan pijak dan tindak dalam membangun bang­sa yang lebih baik. Soekarno menegaskan semangat gotong-royong lebih dina­ mis dari nilai kekeluargaan dan menjadi intisari Pancasila. Para founding fathers meletakkannya sebagai prinsip nilai bangsa yang tidak lagi bisa ditawar. Tetapi, sangat memprihatinkan keti­ka nilai gotong-royong yang merupakan ejawantah Pancasila dan selalu didengungkan, senyap menjadi pajangan di dinding yang tidak lagi bergelora dalam tindakan berbangsa. Gaung gotong-royong pun pudar dalam tindakan. Bangsa kita telah mencapai banyak pembaruan dan per­ ubahan. Keterbukaan politik dilakukan, restrukturasi eko­no­mi diupayakan, reformasi terus digelorakan. Tetapi, sayang, se­ mangatnya masih jauh dari muara prinsip gotong-royong. Ke­ter­ bu­kaan politik justru disadap oleh hasrat an sich ingin berkuasa, hukum hanya menjadi alat pelindung kaum penguasa dan kelas elite, perbaikan ekonomi dipoles untuk mengeruk kekayaan de­ mi diri sendiri (korupsi), dan gelora reformasi dijadikan ajang kontestasi saling menjatuhkan demi kekuasaan. Lambannya pembenahan bangsa sejak reformasi bergulir, aki­bat tumpulnya ketajaman dalam menjadikan gotong-royong sebagai pijakan pembaruan. Kebebasan dan keterbukaan politik ber­gerak secara liar tanpa mengindahkan sendi-sendi solidaritas kolektif sebagai bangsa. Jalan perubahan kita telah melenceng dari semangat gotong-royong. Jika kondisi ini terus terbiarkan, bangsa kita tidak semata akan mengalami turbulensi, tapi men­ jadi lubang yang mematikkan bagi keutuhan negara-bangsa (nation-state) Indonesia.

G aung Semangat G otong -Royong

95

Gotong-royong mengandaikan leburnya benteng ego per­so­­ nal ke dalam ego kolektif untuk saling menopang demi ke­ma­­ ju­­an bangsa. Membangun gotong-royong berarti sama-sama saling menopang dan bahu-membahu untuk mewujudkan ke­ baik­­an bagi negara dan bangsa, bukan sebaliknya. Namun, ke­ ti­ka keadilan harus ditegakkan, rasa kekeluargaan dan gotongroyong bukan berarti harus ditutupi atas nilai kebersa­ma­annya. Ketercabikan persatuan di tengah masyarakat akibat ego yang de­mikian menyeruak harus dihentikan dengan menyemai kem­bali semangat gotong-royong. Seruan untuk merekatkan lagi rasa persaudaraan dan kebersamaan sebagai sebuah bang­ sa yang besar oleh para pemimpin serta tokoh masyarakat sa­ ngat diperlukan. Seruan gotong-royong yang digemakan te­rus menerus, dapat membangun suasana baru dalam batin ke­bang­ saan kita. Tetapi, yang jauh lebih penting, seruan gotong-royong ha­ rus digerakkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari jerat ko­ rup­si yang merasuk ke seluruh sendi kebangsaan kita. Rapuh­ nya negara akibat korupsi yang menggurita dan lusuhnya per­sa­tuan harus dibangun dengan menumbuhkan kembali se­ ma­ngat gotong royong untuk menumbangkan korupsi. Inilah ker­ja sama seluruh anak bangsa yang kuat dan ikhtiar untuk men­jaga moral bangsa.

Menerapkan Pendidikan Tanpa Kelas (Jawa pos, 28 Mei 2004)

P

endidikan merupakan elan vital bagi kemajuan peradaban suatu bangsa dan negara. Sebab, lewat pendidikan itu­lah manusia berkualitas dan produktif bisa tercipta. Manu­ sia yang berkualitas akan menjadi tolak ukuru kemajuan sua­tu bangsa. Sebaliknya, manusia yang berilmu pengetahuan ter­be­ la­kang akan menjadi cermin keterbelakangan bangsanya. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi satu-satunya ru­ yang rekayasa manusia agar bisa bersaing dengan manusia-ma­ nu­sia bangsa lain. Pada tataran itulah relevansi menciptakan pu­tra bangsa agar bisa bersaing dalam kancah internasional. Dengan demikian, tugas Indonesia sebagai negara adalah ha­rus mampu menggali serta merekayasa sumber daya manu­ sia­­nya. Sehingga, Indonesia bisa berjalan bareng negara-ne­gara inter­na­sio­nal melalui prestasi-prestasi gemilang anak bang­sa­nya. Dalam upaya ini, paradigm pasif yang diterapkan negara dengan

Menerapkan Pendidikan Tanpa Kelas

97

ha­nya men­cari bibit-bibit (SDM) unggul harus diubah de­­ngan upa­ya aktif menciptakan bibit unggul. Suatu ikhtiar ne­­ga­­ra un­ tuk mem­berikan ruang pendidikan bagi seluruh rak­yatnya. Tetapi, alih-alih negara memberikan upaya rekayasa ma­ nusia berkualitas melalui pendidikan, problem pendidikan justru tidak dijadikan sebagai entitas prioritas. Negara terkesan lepas tangan terhadap pendidikan. Terlihat, upaya yang diterapkan pe­me­rintah melalui otonomi kampus (PP No 61/1999) yang ke­mu­dian berdampak pada kurangnya akses pendidikan bagi rakyat secara menyeluruh. Saat ini, sangat sulit-untuk tidak mengatakannya mustahilmencari pendidikan yang bisa dijangkau seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan, institusi pendidikan ada yang cenderung meli­hat biaya mahal sebagai suatu kebanggaan. Pihak institusi pen­didikan yang murah merasa malu dari institusi pendidikan yang bisa menerapkan biaya mahal. Sampai-sampai, sulit mem­ be­da­kan antara institusi pendidikan dan perusahaan. Akhirnya, pendidikan menjadi sangat diskriminatif dan de­ ngan sendirinya membentuk fragmentasi kelas antara kaya dan mis­kin. Pendidikan hanya bisa dinikmati orang yang sanggup secara finansial. Pada level tersebut, yang menjadi persoalan mendasar ada­ lah tingkat akses pendidikan yang bisa didapatkan masya­ra­kat secara menyeluruh. Dengan memberikan tingkat akses pen­di­ dikan secara menyeluruh, potensi-potensi manusia Indonesia yang belum dijamah pendidikan bisa dioptimalkan. Dengan de­mikian, kesempatan anak-anak bangsa meraih prestasi-pres­ tasi di kancah internasional menjadi besar. Nah, jika biaya pen­ di­dikan, lantas bagaimana nasib mereka yang kurang mampu? Hal itulah yang saya maksud dengan pendidikan tanpa kelas. Realitas yang harus dibangun dalam pendidikan tanpa ke­las adalah kompetisi kecerdasan. Yakni, orang-orang yang

98

P endidikan , K ekerasan dan K ekuasaan

mam­pu secara kualitaslah yang bisa mendapat pendidikan, bukan direduksi menjadi kompetensi kuantitas (baca: biaya). itulah esensi pendidikan kompetitif. Memang, beberapa institusi pendidikan menerapkan sema­ cam tes penerimaan anak didik. Tetapi, lagi-lagi, kelulusan tes ter­sebut tidak otomatis bisa diterima begitu saja, melainkan harus membayar sekian biaya pendidikan. Akhirnya, banyak sekali orang dari kalangan bawah yang tidak lulus tes kognitif, gagal merasakan pendidikan karena ti­dak tidak bisa memenuhi biaya yang begitu mahal. Jika de­ mi­kian, kapan masyarakat Indonesia bisa cerdas dan meraih prestasi-prestasi internasional? Banyak sekali putra bangsa yang memiliki kecerdasan luar biasa. Tetapi, kecerdasan tersebut tidak terasah hanya ka­re­na akses pendidikan yang diterima sangat rendah. Untuk men­da­ patkan pendidikan, mereka harus membayar mahal, sedangkan biaya itu tidak bisa dipenuhi. Pada sisi paling mendasar, realitas tersebut tentu akan me­ ru­­gi­kan negara yang sampai saat ini tercatat sebagai negara yang kualitas penduduknya tergolong bodoh dan terbelakang di dunia (lihat survei Human Development Index/HDI 2002). Prestasi internasional dan potensi yang diperlihatkan putra daerah Papua merupakan contoh kecil asumsi-asumsi tersebut. Septianus George Saa berasal dari keluarga kurang mampu. Bahkan, dia sering membolos hanya karena kekurangan ongkos kendaraan untuk pergi ke sekolahnya. Kecerdasan septinus yang berasal dari keluarga bawah dan pelosok itu ternyata mampu mebawa medali emas serta menyisihkan 73 kontestan negara lain dalam lomba eksperimen fisika melalui papernya, “infinite triangle and hexagonal lattie networks of identical resistor”. Karena itu, berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, sebaik­nya pihak institusi pendidikan (PTN/PTS) tidak mem­per­

Menerapkan Pendidikan Tanpa Kelas

99

besar biaya pendidikan. Jika persoalannya adalah subsidi pen­ didikan dari negara sangat rendah, bukan berarti lantas pe­ne­ rapan biaya yang mahal dilegalkan. Tetapi, negara harus serius merealisasikan subsidi yang diamanatkan undang-undang. Dengan demikian, ruang serta peluang anak-anak bangsa bisa bersaing dan mampu meraih prestasi dalam kancah in­ter­ na­sio­nal secara optimal terbuka lebar.

Bagian IV

DEMOKRASI SUBSTANTIF

Memaknai Ulang Keterlibatan Kiai dalam Politik (Jawa Pos, 29 Februari 2008)

S

ejak reformasi bergulir, sepak terjang kiai di dunia politik meningkat. Politik seolah menjadi entitas yang tidak bisa dipisahkan. Kenyataan tersebut mendeskripsikan bahwa kenyentrikan dunia politik yang dahulu dianggap tabu mampu meng­goda siapa pun untuk terjun dan terlibat di dalamnya. Tidak terkecuali para ulama dan kiai. Nilai politik kiai berangkat dari dunia sosial dan kultur ber­ beda. Dalam sejarah perpolitikan nasional, politik kiai memiliki karakter yang unik, nyentrik, dan menukik. Dikatakan demikian kare­na setiap manuver politik para kiai selalu mengandung dua un­sur sekaligus, sakral dan profan atau antara kejujuran/ke­tu­ lus­an dan kekuasaan. Politik kiai mengalami jatuh-bangun dalam panggung se­ja­ rah politik nasional. Para kiai pernah bergabung dengan Par­tai

104

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

Masyumi sebelum memisahkan diri pada 1952 dengan men­ dirikan Partai Nahdhatul Ulama. Pada Pemilu 1955, NU menjadi kekuatan yang diper­hi­ tung­kan dengan menempati urutan penting dan membayangbayangi kekuatan partai besar seperti PNI dan PKI. Pada 1973, NU melebur ke dalam PPP. Saat itulah, politik kiai terus ber­ gerak fluktuatif. Kiai/ulama tetap menempatkan dirinya sebagai kekuatan politik nasional. Latar belakang kiai yang melibatkan diri mengurusi politik me­mang memiliki kekerabatan erat (filogeni) dengan NU. Itu men­­jadi tanda bahwa dalam ormas Islam terbesar tersebut, da­ya tarik politik masih kuat. Meski kembali ke Khittah 1926 kemudian diambil ketika muktamar di Situbondo 1984. Akan tetapi, akhirnya sikap tersebut tetap tidak mampu membendung politik kiai yang kembali meledak seiring angin re­formasi berembus. Kenyataan tersebut seolah menegaskan per­nyataan Endang Turmudi (2004: 324) bahwa maklumat kem­bali ke Khittah 1926 pada dasarnya merupakan kekecewaan para kiai karena tergusur di PPP, seolah tidak murni untuk men­jauhi politik. Menjelang Pemilu 2009, para kiai mulai memasang strategi dan taktik untuk melakukan gerakan politik. Indikasinya terlihat dari beberapa faksi partai yang mengatasnamakan kiai dan NU yang sangat beragam. Kekuatan kiai dan NU pun bukannya kukuh, melainkan akan semakin lemah dan rapuh. Selain memecah kekuatan, ti­ dak tertutup kemungkinan umat bingung dan jenuh sehingga me­re­ka lebih memilih berhijrah ke partai lain.

Memaknai Ulang Dalam menghadapi pesta Pemilu 2009, sudah seharusnya politik kiai dimaknai ulang. Bisa saja, perpecahan dalam tubuh ulama

M emaknai U lang K eterlibatan K iai dalam Politik

105

dan NU di daerah bukan disebabkan pilkada langsung, tetapi ke­ter­libatan para ulama yang terlalu jauh dalam perebutan ke­ kuasaan di daerah. Umat di bawah terbelah seiring faksi yang di­mun­culkan para kiai. Karena itu, memaknai ulang politik kiai jelang 2009 ini menjadi sangat penting. Pernyataan di atas bersandar pada beberapa hal. Pertama, ke­ter­libatan kiai dalam mengurusi politik tidak berjalan selaras de­ngan proses pendewasaan politik di tingkat grass-roots. Ke­ tika hal itu timpang dan tidak seimbang, kekerasan politik sulit dihindari. Pengalaman aksi sweeping sebagai pembelaan terhadap Gus Dur pada 2001 adalah contoh ketidakseimbangan gerak po­li­tik kiai dengan kedewasaan politik umat. Itu disebabkan ko­mu­nikasi politik kiai lebih cenderung dogmatis. Kedua, sakralisasi partai politik. Bahasa agama acap keluar untuk melegitimasi pilihan politik sehingga tidak jarang partai po­litik yang seharusnya profan terlihat sebagai entitas yang sakral. Semua orang di luar partai kiai dilihat sebagai entitas yang salah, kotor, dan musuh yang mengancam. Ekslusivitas muncul dan kekerasan pun terlegalkan. Ketiga, politik kiai lebih berorientasi pada kekuasaan an sich. Keterlibatan kiai dalam politik bukan berarti terjun dan tu­rut terlibat langsung dalam merebut kekuasaan. Kiai harus te­tap berpolitik, tetapi tidak diorientasikan pada kekuasaan, me­lain­kan pencerdasan dan penguatan civic education. Politik seharusnya tidak dimaknai sebatas mendirikan par­ tai dan menjadi kepala pemerintahan. Mendampingi umat agar me­ngerti hak-hak kewarganegaraannya juga merupakan bagian dari perjuangan politik yang sangat strategis bagi kiai (ulama). Dengan demikian, sudah waktunya memaknai ulang politik kiai agar tidak an sich berorientasi kekuasaan. Kiai dan ulama yang lebih dekat dengan umat (baca: rakyat) bukan saatnya lagi

106

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

mem­bicarakan kekuasaan. Persoalan nyata yang dihadapi umat saat ini adalah kebodohan dan kemiskinan. Peran politik kiai dalam konteks tersebut bisa memberikan pe­nyadaran politik akan hak-hak umat untuk memperoleh pen­di­dikan murah/layak, jaminan kesehatan, dan keadilan dari negara. Itulah misi kenabian yang harus dijalankan para ulama.

Meluruskan Gerak Partai Politik (Seputar Indonesia, 28 April 2008)

S

ekalipun negara dibentuk untuk melindungi rakyatnya, ia tetap berpotensi menjadi sosok raksasa yang ganas. Bah­kan Machiavelli menghalalkan negara melakukan apa pun untuk melindungi kekuasaannya. Karena itulah, harus ada sistem yang mampu menjinakkan langkah negara. Di sini­ lah rakyat harus memainkan peranan yang kuat sehingga gerak kekuasaan negara yang liar dapat diikat oleh tangan-tangan rakyat. Sistem demokrasi yang menopang kekuatan rakyat se­ bagai kedaulatan tertinggi dalam negara kemudian menjadi ja­ waban atas itu. Demokrasi sebagai sistem dari, oleh, dan untuk rakyat te­ tap membutuhkan perangkat politik yang menjadi alat un­tuk menjalankan dan mengontrol negara. Karena itulah, partai politik kemudian diciptakan sebagai kendaraan rakyat untuk menundukkan kekuasaan negara. Hal itu masih diyakini se­

108

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

bagai sistem tak terpisahkan dari demokrasi bahwa tanpa alat tersebut, kedaulatan rakyat atas negara seolah tidak dapat di­ wu­judnyatakan. Sejatinya, peran partai politik diciptakan dan diperuntukkan sebagai alat untuk menyeimbangkan kekuatan negara agar ber­ gerak sesuai dengan kepentingan rakyat. Ketika negara me­len­ ceng, partailah yang meluruskan. Dalam logika tersebut, par­tai pun diciptakan dari, oleh dan untuk rakyat, karena dia me­ru­pa­ kan jelmaan tangan-tangan rakyat. Partai dan rakyat menjadi satu kesatuan yang utuh, tak terpisahkan. Derita rakyat, derita partai. Ibarat api yang jauh dari panggang. Alih-alih menjadi ba­ gian dari derita rakyat, tidak jarang partai politik justru menjual jeritan-jeritan rakyat hanya untuk memenuhi hasratnya agar men­jadi bagian dari negara (baca: kekuasaan). Orientasi par­tai politik tidak lagi merunduk dan menyatu dengan rakyat, me­ lain­kan mendongak ke kekuasaan. Maka, jangan heran jika di internal partai ada yang saling gontok-gontokan merebut ke­ kuasa­an, padahal di pojok-pojok kota banyak orang miskin ke­ la­paran. Dalam paradigma itu, partai politik pun kemudian begitu mu­dah dibuat. Jika memiliki banyak modal, siapa pun dapat men­di­rikan partai politik. Partai yang seharusnya dibentuk dari kon­solidasi kegelisahan politik rakyat justru menjadi ajang unjuk gigi politik para elite. Inilah yang menjadikan ruh par­tai tidak berada di jantung rakyat, melainkan berada dalam geng­ gaman para elite politik. Partai pun diciptakan dari, oleh, dan untuk mengamankan kepentingan dan ambisi para elite. Jauhnya partai dari jamahan rakyat dikarenakan partai ti­ dak lagi memosisikan dan menerjemahkan diri mereka sebagai ba­gian dari rakyat. Partai lebih banyak mengidentifikasi dirinya se­ba­gai bagian state daripada society. Walhasil, kritisisme par­

Meluruskan G erak P artai Politik

109

tai meleleh oleh gelembungan hasrat untuk menjadi state. Ke­ bo­brokan negara dalam mengurus rakyatnya pun abai di­lihat. Terkadang sekalipun kritis, tetapi bukan karena rakyat, me­lain­ kan sakit hati karena kepentingannya tergerus oleh partai yang men­jadi penguasa. Disorientasi politik partai di atas kemudian memakzulkan ideo­logi negara menjadi “abu-abu”. Boleh saja Pancasila di­ang­ gap sebagai ideologi final negara, tetapi klaim itu tidak berjalan selaras dengan kenyataan yang ada. Gerak ideologi negara yang “abu-abu” merupakan efek dari kekosongan ideologi par­ tai.  Asumsi ini muncul karena sistem politik yang kita jalani saat ini—diakui atau tidak—digerakkan oleh partai. Yakni, mem­­berikan ruang yang sangat besar terhadap partai untuk men­ja­lankan dan mewarnai kiprah negara. Hegemoni partai terhadap negara yang berlebihan menjadi ma­salah ketika partai mengalami anomali dan disorientasi politik secara besar-besaran, tidak lagi memiliki misi profetik un­­tuk melindungi rakyat dalam gerak politiknya. Fenomena se­ ka­rang ini menjadi bukti kegagalan partai politik dalam men­ ja­­lan­­kan tugas sebenarnya. Bahkan, penyimpangan kekuasaan dari kaum elite tidak jarang justru dipicu oleh sistem kerja par­ tai itu sendiri yang menciptakan penyedotan pundi-pundi (ko­ rupsi, kolusi) dari harta rakyat.  

Berbenah Diri Dalam langgam ini, harus ada rekayasa untuk membangun sis­tem yang mampu meneguhkan kembali keberadaan par­tai politik yang benar-benar menjadi penyambung lidah ke­ti­ka negara melakukan pengabaian suara society-nya. Jika ke­ber­ adaan ini tetap dibiarkan, pamor partai politik lambat laun akan redup dan ditinggalkan oleh rakyat yang semakin cerdas. Ke­nis­cayaan sistem kepartaian dalam demokrasi pun dapat di­

110

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

run­tuhkan karena perannya akan diambil alih oleh kantongkan­tong society yang netral dari “berahi” kekuasaan yang tanpa spirit profetik. Kemenangan figur-figur dalam pilkada di beberapa daerah yang justru tidak berasal dari partai mayoritas sebenarnya indi­ kasi bahwa partai politik tidak lagi menjadi satu-satunya wad­ah yang dipercaya akan memperjuangkan kepentingan masyarkat secara utuh. Ekspektasi perubahan mulai digeser oleh kekuatan figur, tidak lagi partai politik. Tampaknya, partai politik harus kembali merefleksikan dirinya dengan melakukan reorientasi atas misi politik yang dijalankannya. Berdasarkan postulat pemikiran di atas, ada dua langkah men­dasar yang harus dilakukan partai. Pertama, merumuskan dan mempertegas kembali ideologi. Partai yang tidak memiliki ruh gerak (baca: ideologi) tidak hanya menjadikan platform par­tai kabur, tetapi juga akan menjadikan partai hanya sebagai ajang berkumpulnya politikus-politikus oportunis. Apalagi jika ideo­loginya adalah uang. Semua partai harus memiliki nilai luhur yang diperjuangkan secara ideologis. Karena nilai itulah yang akan menjadi spirit gerak partai dan kadernya. Tanpa itu, par­tai mudah rapuh. Kedua, membongkar paradigma dan redefinisi peran serta fungsi partai politik yang sebenarnya. Proses pembongkaran ini seba­gai upaya menentukan posisi sejati partai politik di mata rak­yat dan mempertegas visi profetiknya, yakni keberpihakan pada cita-cita menyejahterakan rakyat dan karakter kebang­sa­ an. Kedekatan partai dengan pusaran kekuasaan akan men­jadi bahaya jika peran dan fungsi partai yang sejati sebagai pe­nyam­ bung lidah rakyat belum tertancap dengan kuat. Kedua poin di atas penting untuk dilakukan sebagai jalan un­tuk mengembalikan posisi partai yang sebenarnya. Par­tai politik harus berani untuk melakukan perombakan dan pem­

Meluruskan G erak P artai Politik

111

benahan jika tidak ingin dilibas oleh kekuatan-kekuatan baru, seperti akan munculnya figur-figur perseorangan yang lebih menampung harapan masyarakat yang membutuhkan kese­jah­ teraan. Akhirnya nanti, waktulah yang akan menentukan bahwa par­tai politik yang tidak bermanfaat pasti akan ditinggalkan oleh rakyatnya.

Media dan Regulasi Bangsa (Jawa Pos dan Padang Ekspress, 28 Juli 2011)

A

khir-akhir ini, media sering dituding berada di posisi yang salah. Serangan itu tidak hanya datang dari masya­ ra­kat, tapi juga mulai muncul dari penguasa. Penguasa mulai bersuara mengambinghitamkan media ketika gerak me­ dia dirasa mengancam kekuasaannya (state regulation). Protes rakyat pun tidak kalah membahana ketika poros media lebih do­minan tunduk pada pasar (market regulation). Di sinilah, penulis akan mendiskusikan peran media yang de­mikian penting dan vital di tengah kebebasan informasi yang ma­sih menyisakan dilema. Denis McQuail sangat meyakini pe­ ran besar media sebagai mesin citra pada abad modern. Media bu­kan sekadar jejaring mesin yang memberikan kabar dan be­ rita kepada khalayak semata, tapi juga mampu mengontrol serta mengarahkan pikiran publik. Dengan suguhan pesan yang disampaikan media, masya­ rakat mencernanya sebagai pesan apa adanya, tanpa tendensi,

Media dan R egulasi Bangsa

113

sampai membangun zona pengetahuan baru. Itulah alasan McQuail menegaskan media sebagai mesin pembentuk opini dan pengetahuan pada abad ini. Di Indonesia, keterbukaan media dan informasi tidak ha­ nya memberikan ruang besar bagi kebebasan publik, tapi juga kebebasan media. Ranah kebebasan bagi media merupakan salah satu capaian era Reformasi yang paling dirasakan. Pada ma­sa Orba, media dikanalkan menjadi satu melalui legitimasi dan otoritas negara. Media-media pelat merah tersebut menye­ bar­kan berita-berita untuk menopang kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Tepatnya, menurut istilah Althusser, media men­ jadi manifestasi  ideological  state apparatus pemerintahan Soeharto. Ketika era keterbukaan itu sedang berlangsung, media ber­ gerak bebas, namun tidak berarti tanpa muara dan sentrum. Ke­run­tuhan tangan negara membuka jeruji yang memenjarakan ke­be­basan, mendorong terjadinya pergeseran sentrum di da­ lam tubuh media. Negara tidak lagi memainkan peran stra­ tegis, melainkan hanya berpartisipasi dalam menjamin keter­ se­diaan ruang kebebasan melalui regulasi serta kekuatan legi­timasinya. Hal itu terlihat dalam upaya negara mengeluarkan undangundang yang mencoba mengontrol kebebasan media. Dilema State-Market pasca-Reformasi, pergeseran media berada dalam dua sentrum, yakni kekuatan modal dan relasi kuasa. Per­ge­seran itu beralih dari kuasa negara ke arus sentrum mo­ dal dengan menguatnya industrialisasi media. Di sinilah, pe­ ra­ngai media bergeser dari mesin ideologi negara (istilah Althusser, ideological state apparatus) ke ruang kompetisi pa­ sar. Logikanya pun beralih, tidak lagi mengawal kepentingan ne­gara dan penguasa, tapi mengawal kepentingan akumulasi modal yang sebanyak-banyaknya.

114

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

Nalar media sebagai bisnis pun kian menggurita. Kiblat aku­mulasi modal media menggerakkan aktivitas media ke arah ko­mer­sialisasi. Kualitas program kemudian tereduksi sejauh mana program tersebut mencapai rate dan share yang tinggi se­bagai syarat untuk meraup keuntungan, sedangkan nilai dan efek pesan tidak lagi menjadi penting. Walhasil, media pun ber­ gerak liar dan berubah menjadi mesin ideologi pasar yang kon­ sumtif. Pemberitaan video mesum artis yang menghebohkan sebulan penuh menjadi contoh betapa ideologi pasar itu begitu kuat karena mendatangkan rate dan share yang tinggi. Media tidak lagi beragam, melainkan bergerak dalam war­ na yang seragam dalam akumulasi kapital. Pada masa Orba, me­dia terbelah ke dalam dua wajah, sebagai “oposisi” atau ba­ gian dari pelindung negara. Kompetisi dan pertarungannya sa­ ngat ideologis. Tapi, pasca-Reformasi, media berlomba-lomba da­lam satu semangat komersialisasi, ajang untuk mendongkrak ke­un­tungan sebanyak-banyaknya melalui industrialisasi berita. Karena itu, nilai ideologis berita acap tereduksi oleh neraca aku­ mulasi keuntungan dan nalar bisnis. Nalar kapitalisasi media tidak jarang melabrak fondasi eti­ ka yang sudah terbangun di tengah masyarakat. Dengan ke­be­ bas­an, media yang diharapkan mampu memperkuat karakter dan fondasi kebangsaan terjungkirbalikkan menjadi media se­ba­gai sarana mengeroposkan etika bangsa. Peran dan tugas mu­lia media terabaikan karena etika kebangsaan ditelakkan di bawah kepentingan bisnis. Kekuatan media akan mengerikan ketika zona bisnis yang de­mikian kuat didukung masuknya kepentingan-kepentingan un­tuk menguasai politik negara. Di sinilah kekuatan bisnis me­ dia bersenyawa dengan kekuatan politik berlangsung. Media tidak hanya menjadi alat akumulasi kapital, tapi juga menjadi alat kontestasi kekuasaan.

Media dan R egulasi Bangsa

115

Media benar-benar menjadi alat konstruksi opini seba­gai­ mana keyakinan McQuail tersebut ketika kekuatan pengusaha dan penguasa bersenyawa menggerakkan media. Segala pesan yang disampaikan kepada masyarakat berubah menjadi bungkus yang menyembunyikan sekian kepentingan, baik kepentingan modal maupun kepentingan kekuasaan. Akibatnya, sangat jarang spirit edukasi menggelayuti na­pas dunia media, kecuali pertarungan penanda dan pertanda un­tuk modal serta kekuasaan. Penanda dan pertanda tersebut disu­ guh­kan melalui berita-berita dan program lainnya. Itulah yang kita saksikan akhir-akhir ini yang mulai ditunjukkan secara vulgar di hadapan publik. Nation apparatus mengharapkan negara kembali mengon­ trol media tentu tidak mungkin. Membiarkan media bergerak liar pun tidak dapat dibenarkan. Karena itu, dibutuhkan entitas-entitas independen yang kuat untuk mengontrol (bukan mengen­dalikan) gerak media. Selama ini, entitas formal belum mak­simal melakukan kontrol kuat terhadap media. Sementara itu, mengharapkan civil society juga tidak cukup tenaga un­tuk menghadangnya. Diperlukan keberpihakan nilai untuk me­nyo­ kong daya kontrol terhadap media. Tapi, yang lebih penting dari itu, diperlukan kesadaran tulus bagi penggerak media agar memainkan fungsinya sebagai alat penguat kebangsaan (ideological nation apparatus). Media harus tunduk pada regulasi bangsa (nation re­gu­ lation), tidak lantas semakin mencabik dan meruntuhkan fon­ dasi bangsa. Peran tersebut sangat dinanti di tengah kecamuk na­sionalisme dan rasa persatuan yang rapuh di Indonesia. Daya konstruksi pengetahuan media sejatinya diarahkan untuk mengonstruksi penguatan spirit kebangsaan, sehingga bangsa kita tidak runtuh oleh anak bangsa sendiri.

Perselingkuhan Uang dengan Kekuasaan (Jawa Pos, 4 Juli 2007)

U

ang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya mem­bu­ tuh­kan uang. Pernyataan tersebut menjadi falsafah hi­ dup yang merasuki seluruh aktivitas politikus kita. Uang tidak hanya menjadi alat tukar barang, tetapi juga telah mam­pu mengontrol totalitas kehidupan manusia dalam segala hal. Dalam politik, uang bagian dari kekuatan yang dapat meng­ an­tarkan kemenangan. Itulah yang kini merasuki segala insti­ tusi politik negeri ini. Tak pelak, keterlibatan sejumlah ang­gota DPR dalam penggunaan dana Departemen Kelautan dan Per­ ikanan (DKP) merupakan contoh ketidakberpisahan uang de­ ngan politik. Uang dan kekuasaan ibarat dua mata uang, tidak terpi­ sah­­kan, tetapi saling menopang satu sama lain. Politik mem­ bu­­tuh­­kan uang untuk mengatrol kemenangan, sementara uang

Perselingkuhan U ang dengan Kekuasaan

117

mem­­bu­tuh­kan politik sebagai kendaraan untuk memperoleh keuntungan (more money). Dalam bahasa berbeda, penguasa membutuhkan pengusaha dan pengusaha membutuhkan penguasa. Sinergisitas keduanya akan memunculkan kekuatan luar biasa. Dalam percaturan po­ litik Indonesia, tren take and give antara uang dan kekuasaan atau antara penguasa dan pengusaha begitu terlihat. Karena itu, seorang yang ingin menjadi penguasa, dia harus mengeluarkan sekian triliun uang rupiah dari koceknya. Dengan demikian, hanya mereka yang berduit yang dapat berkompetisi me­re­but kemenangan. Tanpa uang, kekuasaan hanya menjadi angan yang mengawang. Selain problem sistem politik, pergeseran sosial budaya ma­ syarakat merupakan satu faktor yang membuka kans merapatnya ke­kuasaan kepada uang. Misalnya, kondisi masyarakat yang me­muja banalitas dan artifisialitas, memaksa para politikus ber­promosi seperti iklan. Sementara iklan membutuhkan biaya. Dus, tidak heran jika Amien Rais menerima dana DKP hanya untuk berkampanye di depan layar televisi. Perselingkuhan uang dan kekuasaan, diakui atau tidak, me­ru­pakan bagian dari problem demokrasi yang belum dapat di­eliminasi hingga saat ini. Di Amerika Serikat, uanglah yang me­nen­tukan kemenangan. Amy dan David Goodman (2004), misal­nya, di dalam bukunya The Exception to the Rulers, mem­ bong­kar konspirasi antara perusahaan minyak dengan George W. Bush untuk merebut kursi presiden di AS. Pada lain sisi, Bush membutuhkan konglomerat untuk meraih kemenangan yang otomatis juga mendatangkan keuntungan (more money). Begitu juga yang terjadi di negeri ini. Keterlibatan sejumlah pe­mimpin kita dalam kasus DKP merupakan bagian kecil dari sekian gundukan perselingkuhan kekuasaan. Dus, bisa saja

118

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

penguasa memiliki kekuasaan yang tiada tara, tetapi ia tidak akan mempunyai kekuatan ketika berhadapan dengan uang. Soeharto boleh saja tampak perkasa (baca: otoriter) di ha­ dapan rakyatnya, tetapi keperkasaan itu luluh di hadapan geli­ mang harta. Dengan hak interpelasi, DPR boleh perkasa di ha­ dap­an eksekutif. Tapi, jangan harap mereka bersuara ketika uang sudah menginterupsi. Logika dan sistem yang demikian barang tentu akan meron­ tok­kan segala-galanya. Kebenaran akan diukur seberapa jauh uang dapat diperoleh. Gerak langkah kekuasaan pun menjadi liar. Parahnya, kenyataan tersebut semakin diperkuat oleh sis­ tem perpolitikan kita. Kepartaian dalam demokrasi memaksa setiap orang yang bertarung di gelanggang politik untuk “me­ nye­de­kah­kan” sekian uangnya agar mendapat restu partai dan me­nempati urutan utama. Syahdan, lengkap sudah kepungan uang dalam bahasa po­ litik kita. Dengan demikian, ketika menjadi DPR, mereka meng­ abdikan diri pada uang, bukan kepada rakyat. Tidak heran jika DPR minta naik gaji sekalipun rakyat bawah dalam kondisi ke­ laparan. Akhirnya, mereka yang tidak memiliki uang akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Sebab, dengan begitulah dia akan mendapatkan kemenangan. Di sinilah ruang dan pe­ luang penyimpangan uang yang semestinya milik publik (res publica), jus­tru digunakan untuk kepuasan pribadi (res private), acap terjadi. Seperti yang terjadi pada kasus DKP yang dijadikan modal ber­kampanye pada Pemilu 2004 lalu. Para politikus kita ter­je­ pit pada posisi hasrat berkuasa yang tidak terbendung, te­ta­pi kemampuan modal sangat minim. Sementara, meraih ke­kuasa­

Perselingkuhan U ang dengan Kekuasaan

119

an membutuhkan uang yang banyak. Dus, menilap uang rakyat pun jadi “solusi”. Karena itu, mengembalikan tanggung jawab perbaikan se­ pe­nuh­nya pada individu pun belum tentu dapat dilakukan. Perlu ada perombakan sistem secara besar-besaran. Sinergi sistem de­ ngan perbaikan individu para dewan akan menciptakan nuansa politik yang benar-benar berpijak pada suara nurani, bukan lagi pada keinginan akan money. Mengubah aturan politik dan me­ nin­dak kejahatan korupsi mereka merupakan salah satu cara. Bagaimanapun, keterlibatan sejumlah anggota DPR dan po­litikus lain dalam masalah dana DKP merupakan contoh ke­ cil dari keterbudakan para pemimpin kita oleh uang dan ke­ kuasa­an. Semuanya dapat dieliminasi jika ditopang dengan pe­rom­bakan sistem serta pembenahan moral individu secara integral.

Uang di Balik Perang (Media Indonesia, Jumat 24 Februari 2006)

P

erang tidak bisa dilihat sebatas cermin dari kecongkakan ma­nusia atas manusia lainnya: Mustahil, perang murni di­­ge­­rak­­kan semangat agama, perdamaian, apalagi dile­ gal­kan se­mata demi menegakkan demokrasi (baca: invasi lrak). Pada era sistem kapitalisme yang liar bebas, dan mengglobal ini; hanya satu bahwa perang senantiasa dibalut kepentingan dan keserakahan, yakni kepentingan dan keserakahan pemodal da­lam melakukan ekspansi ekonomi. Itulah yang ingin dibongkar Amy Goodman melalui buku The Exception to the Rulers: Exposing Oily Politicians War Profiteers, and the Media That Love Them. Menurut Amy Goodman, perang adalah rekayasa belaka. Karya Amy Goodman yang dialihbahasakan Evi Setyarini menjadi Perang Demi Uang: Ke­busukan Media, Politikus dan Pebisnis Perang seakan-akan me­wakili penulisnya yang memiliki semangat kemanusiaan.

U ang di Balik Perang

121

Panggilan kemanusiaanlah yang mendorong Amy untuk kri­tis dan berteriak atas nama kemanusiaan dalam menentang se­gala bentuk perang. Dari pengalamannya sebagai jurnalis yang bergelut di lapangan, Amy Goodman membongkar secara ta­jam dan akurat perselingkuhan antara negara, pemodal, dan me­dia dalam perang Irak. Misalnya, tulisan Amy yang cukup memukau dalam buku itu adalah saat membongkar konspirasi pembagian harta ghanimah atau pampasan perang antara Amerika Serikat (AS) dan pemodal: Tahun 2003, sekitar 90 perusahaan yang mem­bantu US$ 500 ribu untuk kampanye George W. Bush me­me­nang­kan kontrak proyek pascaperang di Irak dan juga Afghanistan. Beberapa perusahaan itu, Science International Corporation (SAIC), Flour Corporation, Dyn Corp, Vinnel Corporation, Bechtel Group, dan Washington Group Internation. Adapun nilai kontrak masing-masing perusahaan berkisar mulai US$ 48 juta hingga US$ 1 miliar untuk 2002-2003. Tidak mengherankan jika di mata penguasa, Amy Goodman le­bih lekat sebagai sosok ancaman daripada teman. Misalnya, man­tan Presiden AS, Bill Clinton, menganggap jurnalis yang men­da­pat penghargaan George Polk Award ini sebagai orang yang se­nantiasa bermusuhan, memicu adu mulut, dan bahkan tidak hormat. Wacana yang dicobahadirkan oleh buku ini sangat relevan de­ngan konstelasi politik global saat ini, seperti ketegangan Iran (Timur) dengan AS dan Eropa (Barat) mengemuka seolah ting­gal menunggu letupan perang dunia jilid III. Saatnya dunia meng­a­ta­kan “tidak” pada perang. Buku karya Amy Goodman dan dibantu saudara lelakinya, David Goodman, ini wajib bagi mereka yang ingin keluar dari ke­ge­marannya berperang mengatasnamakan perdamaian. De­ ngan pengalihbahasaan yang lunak dan enak dibaca, nuansa

122

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

me­ledak-ledak dan provokatif tapi kontemplatif dari tulisan Amy Goodman ini tetap hadir. Pada akhirnya, melalui radio Pacipica dan Democracy Now!-nya, Amy memberikan contoh pentingnya menghadirkan media yang memihak, selain juga membebaskan media sebagai alat penguasa dan pengusaha. Karena itu, media apa pun tidak akan terkikis hanya ka­rena menghadirkan wacana-wacana populis dan kritis, se­ka­li­pun melawan arus wacana media massa mainstream yang di­ken­ dalikan penguasa yang bengis.

Bencana ketika Pemilu Berlalu (Jawa Pos, 9 September 2009)

K

etika musibah Situ Gintung meledak (27/3), Presiden dan Wakil Presiden langsung terjun ke lokasi hari itu juga. Reaksi solidaritas bermunculan, khususnya dari po­litikus (baca: calon legislatif) dan partai politik. Bahkan, SBY rela dibonceng menggunakan sepeda motor menerjang kema­ cetan jalanan menuju tempat bencana. Inilah momen paling strategis bagi politikus untuk me­nun­ jukkan kepedulian kepada masyarakat. Sebab, bencana itu “da­ tang tepat” pada waktunya. Yakni, kurang lebih satu minggu se­be­lum pemilu legislatif berlangsung. Namun, kepedulian yang ditunjukkan para elite politik ter­ sebut kini berbanding terbalik saat terjadi gempa di Tasikmalaya be­­be­rapa hari lalu (2/9). Tak ada satu pun pejabat penting yang lang­sung terjun ke lokasi, kecuali pejabat lokal. Padahal, ri­buan pengungsi korban gempa berkekuatan 7,3 skala Richter ter­

124

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

sebut hingga hari ini masih telantar di Tasikmalaya. Lengkap sudah derita mereka ketika bantuan dari para pemimpin dan pemerintah yang diharapkan pun tidak datang dengan mudah. Sungguh sebuah respons dan sikap yang jauh berbeda ke­ tika bencana terjadi sebelum pemilu. Gempuran bantuan dan em­pati seakan lenyap seiring kepentingan politik itu selesai. Ben­cana memang benar-benar bencana bagi rakyat ketika pemilu berlalu. Bandingkan dengan reaksi terhadap bencana Situ Gintung, misalnya. Semestinya, bencana—apalagi yang me­ne­waskan korban jiwa—bagaimanapun dan sekecil apa pun, tidak boleh dibedakan; melepas segala kepentingan. *** Absennya kepedulian para politikus dan partai dalam bencana ketika pemilu usai dapat menyeruakkan keraguan publik bahwa para politikus tidak benar-benar memedulikan nasib rakyat. Mereka peduli ketika butuh suara rakyat saat pemilu. Ironisnya, justru tatkala korban bencana merana, para wakil terpilih, DPRDPD 2009-2014, rencananya menghabiskan biaya pelantikan yang sangat besar, sekitar Rp 75,61 miliar. Para politikus seolah hanya memikirkan bagaimana men­ da­pat­kan pundi-pundi untuk kelompoknya semata; merebut kabinet dan jabatan di parlemen. Sementara rakyat yang terkena ben­cana tidak lagi diperhatikan karena momen kepentingan politik itu telah usai. Bukankah mereka tidak akan pernah du­ duk sebagai wakil tanpa dukungan para korban bencana ter­ sebut? Beberapa catatan perlu disampaikan terkait kondisi ter­se­ but. Pertama, bencana mudah dijadikan komoditas politik, ka­ re­na mampu mereproduksi citra populis/peduli para donatur un­tuk korban. Inilah yang disebut pseudo-populis atau populis

B encana ketika Pemilu Berlalu

125

tipuan (Agus Hilman, Jawa Pos, 1/4). Partai dan politikus hanya me­lihat bencana dalam kalkulasi politik. Jika menguntungkan bagi citra dan kekuasaannya, bencana diperhatikan. Tetapi, ben­cana diabaikan jika dianggap tidak produktif. Kedua, fenomena tersebut menegaskan diskontinuitas/in­ konsistensi perilaku politikus dan partai terhadap konstituen. Ke­berjarakan politikus dan parpol akibat menguatnya mindset prag­matisme politik yang transaksional antara politikus dan konsti­tuen. Politik uang (money politics) yang dikeluarkan untuk merayu pemilih dikalkulasi sebagai bentuk transaksi jualbeli suara. Tesis yang terbangun kemudian, politikus merasa relasi tanggung jawabnya terhadap konstituen sudah putus ketika pemilu usai, karena relasinya jual-beli. Arjen Boin dan Paul Hart pernah menganalisis bagaimana politik merespons bencana di Belgia yang mampu menjelaskan varian respons terhadap bencana. Terkadang, bencana yang lebih besar tiada respons, tetapi di sisi lain bencana yang lebih ke­cil justru mendapat porsi respons yang cukup besar dari po­ litikus. Hal ini bisa jadi disebabkan aspek “keuntungan” politik yang terkandung di dalamnya lebih menguntungkan daripada bencana lain yang lebih besar. Cerita bencana yang selalu dimanfaatkan, baik secara poli­ tik atau bahkan ekonomi, memang bukanlah lembar cerita ba­ ru. Selalu ada aktor yang menunggangi bencana untuk ke­pen­ tingan sendiri. Di dunia ekonomi, bencana acap menjadi la­dang konspirasi untuk mengeruk keuntungan oleh kaum pe­mo­dal yang sering disebut kapitalisme bencana (disester capitalism). Menurut Naomi Klein (2007), bencana acap kali dija­di­kan mo­ mentum yang tepat untuk memengaruhi kebijakan pu­blik dan menancapkan pasar bebas. Nyatanya di beberapa negara, pascabencana dijadikan lahan un­tuk mengeruk keuntungan modal melalui proyek recovery.

126

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

Ini terjadi, baik pada bencana alam maupun yang sengaja di­ cip­takan, seperti perang. Di Irak, misalnya, pascaagresi tentara Amerika Serikat, para konglomerat yang turut memenangkan George W. Bush sebagai Presiden AS langsung mendapat jatah un­tuk menguasai kilang-kilang minyak di sana (Amy Goodman, 2003). Sebuah bencana yang diciptakan melalui perang untuk ke­pen­tingan korporasi. Inilah salah satu perangai disester capitalism. Bencana memang selalu tidak memihak kepada korban. Ibarat jatuh tertimpa tangga, duka karena lenyapnya harta benda dan ancaman rusaknya tata nilai lokal akibat bencana malah menjadi bahan komoditas. Bencana benar-benar menjadi ben­cana ketika kejujuran mata hati ditutupi oleh kabut hasrat ke­kuasaan dan kapital. Kini, bencana alam akan terus mengancam ke depan. Se­ men­­tara harapan terhadap para pemimpin/politikus untuk benar-benar berpihak tanpa pamrih semakin tipis. Haruskah me­nunggu pemilu lagi agar kepedulian politikus dan partai ber­ gairah kembali?

MPR Harus Konsisten (Jawa Pos, 7 Agustus 2003)

H

asil amandemen UUD 1945 mengubah wajah dan sis­ tem pemerintahan Indonesia, jika dahulu MPR ber­ fungsi dan berperan sebagai lembaga tertinggi negara yang kewenangannya meliputi apa saja (omnipotent), kini ke­ du­duk­annya terbatasi (hampir) setara dengan legislatif dan ekse­kutif sebagai lembaga tertinggi. Karena itu, ST MPR 2003 dan untuk masa yang akan da­ tang berbeda dengan ST MPR 2002 maupun 2001. Karena progress report menjadi tidak penting pasca-amandemen UUD 1945 tersebut, MPR tidak lagi berhak meminta progress report dan pertanggungjawaban presiden yang berkaitan dengan pelaksanaan GBHN. Tetapi, yang berkenaan dengan UUD, MPR masih memiliki ke­we­nangan penuh. Hal ini mengacu pada Pasal 2 aturan per­ alih­an UUD hasil amandemen, namun berbeda jika kita meng­

128

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

acu pada Pasal 3 UUD yang asli yakni MPR memiliki tugas dan wewenang menetapkan UUD dan GBHN. Perbedaannya makin terasa kala melihat Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 amandemen yang menggariskan bahwa kewenangan MPR hanya mengubah dan menetapkan UUD. Sementara itu, di dalam ayat (2) dan (3), tugas MPR adalah melantik presiden dan wakil presiden serta dalam masa jabatan mereka menurut UUD 1945 hasil amandemen. Atas perubahan kewenangan itu, keluasan wewenang MPR tidak seperti dahulu. MPR kini hanya bertugas mengangkat pre­siden dan tidak berhak melakukan impeachment. Demikian di­ung­kapkan Ketua MPR Amien Rais pada suatu kesempatan di harian nasional terbitan ibu kota. Bahkan, pengkajian masalah UUD kini diserahkan pada Komisi Konstitusi (KK) yang ren­ cananya dibentuk pada ST MPR 2003 ini. Maka itu, ST MPR yang berlangsung saat ini merupakan si­dang yang terakhir mendengarkan laporan progress report pre­siden, karena jika berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen, MPR tidak berwenang lagi meminta presiden maupun lembaga ting­gi lainnya menyampaikan progress report. Demikian juga, pre­si­den ataupun lembaga-lembaga tinggi negara lainnya ti­ dak perlu lagi melakukan pertanggungjawaban kinerja di ha­ dapan MPR dan MPR tidak bisa berbuat semuanya terhadap presiden. Berdasarkan pernik-pernik pemikiran di atas, desakan se­ jumlah fraksi agar pimpinan dan seluruh anggota majelis mem­ bentuk komisi rekomendasi sebagai koreksi/evalusai terhadap ki­nerja presiden menjadi kurang relevan dan ironis. Dikatakan ironis karena bukankah yang mengamandemen UUD 1945 yang me­legalkan presiden tidak menyampaikan progress report dan per­tang­gungjawabannya adalah anggota MPR? Toh tetap saja hal itu dilabrak.

MPR H arus Konsisten

129

Sesungguhnya, di sinilah kita patut mempertanyakan kon­ sis­tensi anggota majelis terhadap UUD 1945 yang diamandemen ber­sama, UUD amandemen yang telah disepakati bersama itu ha­ruslah dijalankan secara saksama dan konsisten. Kalaupun pe­ne­rapan UUD tersebut masih menimbulkan polemik yang tak berkesudahan, sah-sah saja UUD 1945 hasil amandemen tersebut ditinjau kembali. Mengacu tahun sebelumnya, ST MPR memang berwe­nang mendengar, mengevaluasi, serta meminta presiden me­nyam­pai­ kan progress report dan pertanggungjawabannya. Hal itu me­ ru­pakan turunan fungsi yudikatif untuk mengoreksi hasil kerja dan program kerja yang telah dirancang pemerintah. Dengan begitu, pemerintah tidak dapat semena-mena menerapkan ke­ bijakan yang tidak sesuai dengan konstitusi (UUD/GBHN). Permasalahannya, selama ini ‘kan tidak ada reasoning yang jelas mengapa kewenangan itu diamandemen MPR sehingga progress report dan laporan pertanggungjawaban ditiadakan da­lam ST MPR. Padahal, laporan progress report dan per­ tang­gung­jawaban presiden beserta lembaga-lembaga tinggi ne­ ga­ra sangat penting diadakan sepanjang berada pada koridor tertentu. Yakni murni untuk meluruskan dan mengoreksi pemerintah. Bisa jadi, peniadaan progress report maupun pertang­gung­ ja­waban presiden karena berkaca pada sejarah. Yakni seja­rah perpolitikan Indonesia yang acap menjadikan progress report dan pertanggungjawaban dalam ST MPR sebagai batu lon­catan atau modus operandi untuk menggulingkan dan men­ci­tra­ne­ ga­tif­kan presiden. Akibatnya, hal itu berpeluang mengabaikan objek­tivitas sisi kebenaran dan keadilan kolektif, sebagaimana tra­gedi ST MPR 2001 yang kemudian dipercepat menjadi Sidang Istimewa (SI) MPR dan membawa Presiden KH Abdurrahman Wahid lengser dari tampuk kekuasaannya.

130

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

Alasan kedua, bisa saja peniadaan tersebut dilakukan karena melihat mekanisme keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang telah diatur dalam UUD amandemen. Ber­ da­sarkan UUD tersebut, keanggotaan MPR terdiri atas Dewan Per­wakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Akibatnya, hal itu mengakibatkan kurangnya efektivitas fungsi pengawasan MPR terhadap presiden dan apalagi DPR. Karena itu, anggota MPR haruslah berpikir jernih dengan nurani yang bersih. Konsistensi terhadap UUD yang telah di­se­ pakati adalah jalan terbaik bagi kita menuju negara yang lebih ber­martabat. Toh, UUD 1945 amandemen dibuat berdasarkan ke­sepakatan bersama. Jika dipandang tidak efektif pun, UUD 1945 amandemen bisa ditinjau kembali dan diamandemen se­ suai dengan kesepakatan bersama tanpa merugikan pihak mana pun.

Wakil Rakyat Bertekuk Lutut (Jawa Pos, 24 Februari 2006)

M

antan presiden Abdurrahman Wahid pernah melon­ tar­kan pernyataan “DPR seperti taman kanak-kanak” selang beberapa hari setelah dilantik MPR sebagai pre­siden pada 1999. Karena pernyataan itu, dia terseret konflik de­ngan legislatif hingga mengantarkannya (di)lengser(kan) dari tam­puk kekuasaan. Namun, mencermati DPR sekarang, pernyataan Gus Dur ter­sebut, tampaknya, mulai mendekati kebenaran. Bukankah baku hantam antardewan tahun lalu dan noraknya DPR dalam mem­pertontonkan fungsi legislasi menunjukkan sifat kekanakkanakan? Pada dasarnya, peran dan fungsi DPR terletak pada monitoring-nya terhadap segala kinerja pemerintah. Fungsi kon­trol dan legislasi menjadi niscaya ketika melihat perubahanper­ubah­an sistem ketatanegaraan kita yang mengonversi trias­

132

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

politika konvensional (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) men­ jadi setara. Jika dulu MPR sebagai lembaga yudikatif merupakan lembaga tertinggi, kini mereka setara dengan DPR (legislatif) dan presiden (eksekutif) sebagai lembaga tinggi negara. Keniscayaan selanjutnya dari perubahan sistem tersebut adalah diperlukan keberadaan satu struktur di luar eksekutif un­tuk berperan lebih masif serta kritis. Dan, DPR-lah satusatu­nya lembaga struktur negara sebagai alat strategis, legal, dan prosedural. Karena bagaimanapun, tingkat kepercayaan diri dan arogansi kepala negara (eksekutif) yang dipilih secara lang­sung oleh rakyat lebih besar daripada kepala negara yang di­pilih segelintir kelompok di parlemen (baca: MPR) seperti dulu. Namun, alih-alih memerankan diri sebagaimana mestinya, DPR tanpa malu justru menampakkan realitas sebaliknya ke­pa­ da publik. Dewan justru bertekuk lutut kepada pemerintah. Itu­ lah kritik Amien Rais atas peran DPR yang cenderung mengarah men­jadi tukang stempel kebijakan pemerintah. Ketidakberdayaan DPR tersebut begitu terlihat dari mu­ dahnya pemerintah mengobok-obok dewan saat ingin meng­ ajukan hak angket dan interpelasi impor beras. Ibarat anakanak, seolah DPR cukup dinasihati dan diberi permen seharga lima puluh perak. Maka, ia tidak akan lagi merengek dan banyak cuap karena terbius kenikmatan melumat manisnya permen pem­berian bapak. Di sinilah kedewasaan DPR dalam mengemban amanah politik rakyat harus dijalankan. Politik yang dewasa adalah poli­ tik rasional, bergerak berdasarkan nurani dan rasionalitas. Men­ jalankan amanah politik berdasar rasionalitas akan senantiasa ber­pihak pada kebenaran. Sebab, hakikat rasionalitas adalah pe­mi­hakan dan berani mengatakan kebenaran.

Wakil R aky at B ertekuk Lutut

133

Ciri pemihakan itu tentu harus direpresentasikan dengan ke­pekaan atas problem rakyat dan peran kritis DPR terhadap peme­rin­tah serta tidak asal setuju dan mengetok palu. Tindak­ an DPR yang asal setuju, memihak kelompok, dan tidak meng­ gu­na­kan akal budi merupakan cermin ketidakdewasaan politik. Itulah tanda politik yang kanak-kanak (baca: tidak rasional dan tidak memihak kebenaran).

Refleksi Sistem Secara objektif dan menyeluruh, lemahnya kontrol DPR ter­ha­ dap pemerintah tidak hanya menjadi problem individu DPR, tetapi juga merupakan akibat efek domino atas kerja sistem yang selama ini berjalan, terutama sistem politik yang diterapkan. Hal tersebut bisa dilihat dari kuatnya kontrol dan penga­ruh partai dalam mengubah kebijakan di parlemen. Da­lam hal itu, sistem kontrol partai dialirkan ke duta-duta me­reka yang ber­ co­kol di parlemen. Kuatnya kontrol partai di par­le­men menjadi ma­salah ketika melihat kenyataan bahwa ham­pir se­lu­ruh partai di parlemen tidak benar-benar serius melak­sa­na­kan agen­da me­nyejahterakan rakyat. Walhasil, segala keputusan di parlemen harus selaras de­ ngan logika kepentingan partai. Di situlah kelemahan sistem ke­par­taian yang harus ditanggalkan. Kenyataan tersebut kemudian mengancam tumbuhnya oli­ garki partai di DPR. Oligarki partai bisa dilihat dari kuasa par­ tai dalam me-recall anggota dewan yang menentang kebijakan par­tai. Mengendalikan DPR cukup dengan memegang pengen­ dali partainya. Permasalahan bertambah ketika sosok eksekutif me­rang­ kap menjadi ketua partai. Apalagi, partai yang dipegang me­ miliki komposisi kursi terbesar di parlemen. Permasalahan ke­ti­ dak­kri­tisan DPR lebih merupakan problem sistem politik dalam

134

DE M O K R A S I SU B STA N TI F

men­jalankan roda negara ini. Itulah salah satu alasan DPR (di) bung­kam. Perilaku politik yang berpijak pada logika ekonomi bahwa modal (money) harus kembali menjadi keuntungan (laba/more money) pun turut andil sebagai spirit. Karenanya, dana kampanye yang menelan ratusan juta hing­ga miliaran rupiah untuk merebut kursi dewan harus kem­ bali menjadi laba. Oportunisme dalam politik pun tidak bisa di­hin­dari. Wajar kemudian DPR bungkam dan tidak lagi me­ re­ngek selama gaji pokok dinaikkan atau memaksa sang ayah (baca: pemerintah) untuk selalu memberikan permen sebelum me­nge­luarkan kebijakan. Maka itu, sistem politik yang kita terapkan harus ditinjau kem­bali. Jika tidak, tontonan-tontonan DPR yang memuakkan akan terus menghiasi deretan masalah politik di negeri ini.

Bagian V

AGAMA, IDENTITAS, DAN GLOBALISASI

Kritik Ilmu Keislaman, Menyuarakan Islam di Era Kekinian (Karya Ilmiah Juara I LKTI Tingkat Nasional)

S

ejarah membuktikan, agama mampu menembus dan mem­belah jeruji ruang dan waktu yang dilintasi manusia se­kalipun dalam wujud dan bentuk yang berbeda. Sifat aga­ma yang omnipresent tersebut menegaskan bahwa peradaban ma­nusia, baik secara langsung atau tidak, dirangkai oleh agama. Ke­ya­kin­an kaum rasionalis dan eksistensialis termentahkan oleh fakta se­makin menguatnya bukti kebangkitan agama. Mungkin ke­nyataan itulah yang mendorong Hisanori Kato untuk berani de­ngan tegas mengatakan, agama selalu ada dan akan selalu ada sepanjang perjalanan sejarah manusia bahkan agama dan per­adab­an hampir tidak dapat dipisahkan.1 Keutuhan agama melintasi sejarah manusia menggam­bar­ kan bahwa agama, dalam artian luas, merupakan kebutuhan da­sariah yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Bahkan, AlQuran menggambarkan manusia sebagai makhluk yang se­ca­ra

138

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

fitrah membutuhkan Tuhan.2 Dengan demikian, agama di­tu­ run­kan tidak lain hanya untuk manusia. Sifat agama yang tidak bisa lepas dari manusia itulah tertancapkan sebuah ikhtiar un­tuk selalu memberikan ruang-ruang pemikiran kembali di dalam setiap ajaran agama. Sebagai pegangan hidup (the way of life) bagi manusia yang terus hadir, agama harus mampu ber­ bicara dan menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan dan tun­ tutan zaman di mana dan kapan pun ia dihayati. Islam melihat, kecenderungan beragama merupakan fitrah dari Tuhan. Ketika manusia mencoba menjauh dari agama (Tuhan), keterasingan justru akan muncul dalam jiwanya. Se­ bab, ke­cenderungan tersebut merupakan hasil kontrak ma­nusia dengan Sang Pencipta di zaman azali. Sebuah ruang ahistoris yang meng­andaikan ketercukupan dan keberlimpahan yang pe­nuh di da­lamnya.3 Inilah relevansi agama untuk dikete­ngah­ kan di dalam ruang zaman yang bergerak pada aras rasional an sich tetapi mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual yang cen­derung mengalienasikan manusia dari dirinya sendiri. Ma­ sya­ra­kat modern merupakan satu tatanan masyarakat yang ter­ bangun di atas rasio yang kini mulai mendapat gugatan kuat, se­perti yang terlihat dengan gejala kebangkitan spiritualitas New Age pada akhir abad ke-21 ini.4 Pada sisi lain, agama kini juga mulai bangkit dan me­nam­ pak­kan taringnya, pun demikian Islam. Masjid, gereja, sinagog, wihara, dan tempat-tempat ibadah lainnya mulai dibanjiri oleh umat-umat. Pengajian keagamaan di kantor-kantor sema­kin marak. Di lain bilik, kita menyaksikan aksi teror yang me­ne­was­ kan ribuan manusia di WTC pada 11 September 2001, Hotel JW Marriott, Bom Bali I & II, dan berbagai aksi kekerasan di be­ lah­an dunia saat ini. Mereka mengatasnamakan agama. Ini­kah yang disebut sebagai kebangkitan agama? Mungkinkah itu me­ ru­pa­kan satu jawaban bahwa agama telah menjawab per­kem­

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

139

bang­an zaman saat ini? Di sinilah perlu kiranya kembali me­ narik agama agar mampu berbicara di tengah perubahan zaman yang demikian cepat ini. Dan dalam wilayah itu jugalah perlu mengupas dan merefleksikan kembali relevansi dan kekuatan respons, ilmu-ilmu keislaman dalam menjawab tantangan za­ man di era globalisasi ini.

Islam dalam Arus Globalisasi Kini, dunia sudah memasuki era yang jauh berbeda dengan satu abad lalu. Revolusi pemikiran manusia yang membawa era yang disebut modernisme hingga era informasi saat ini telah meng­ ha­dirkan produk-produk teknologi yang menakjubkan. Revolusi itu tidak hanya meruntuhkan ketidakmungkinan (imposibility) men­jadi mungkin (posibility), tetapi juga menggulingkan tirani alam yang dahulu dianggap sebagai subjek pemberi keselamatan dan pusat ketakutan manusia menjadi objek yang memberikan ke­puasan hasrat manusia. Rasionalitas manusia duduk dalam po­sisi superior dari segalanya. Kemajuan pemikiran manusia di era modern tersebut mau ti­dak mau memaksa segala entitas yang melingkupi perjalanan sejarah manusia, baik di bidang politik, sosial, budaya, dan bahkan ranah agama sekalipun untuk turut berubah. Perubahan yang dibawa oleh modernisme sebagai produk pemikiran ma­ nusia merupakan keniscayaan sejarah yang tidak bisa lagi di­ elak­kan. Pernyataan ini muncul dikarenakan modernisme tidak hanya melahirkan barang teknologi (televisi, handphone, inter­ net), tetapi juga secara bersamaan mampu menggoyang dan bahkan meruntuhkan tata nilai yang melekat erat di dalam din­ ding budaya, politik, sosial, dan agama yang telah dijalani dan di­imani oleh manusia sendiri berabad-abad lamanya.5 Pergeseran-pergeseran di dalam tata nilai dan kompleksitas pro­blematika masyakarat modern dan postmodern kini sedang

140

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

me­maksa agama untuk menjawab semua itu. Memang, aga­ ma bukan obat segala macam penyakit (panacea), tetapi tun­ tut­an tersebut disebabkan selain agama sebagai pegangan hidup manusia (the way of life), ia juga selalu mengitari ke­ hi­dupan manusia sebagai kenyataan dari fitrah manusia yang tidak bisa terlepas darinya. Di dalam ruang budaya dan tata hidup, bagaimana agama memperlakukan mereka yang meng­ alami kompleksitas persoalan seksualitas manusia, seperti homoseksual dan heteroseksual. Atau akankah agama se­la­ lu menempatkan perempuan sebagai subordinat yang ti­dak memiliki peran-peran publik sedikit pun dan berbagai pro­ blema­tika yang muncul di zaman kekinian yang tidak ada pada zaman di mana agama itu muncul kali pertama? Di tengah tuntutan dan desakan zaman tersebut, agama ti­dak akan mampu mengelak dari letupan ketegangan dalam setiap etape perubahan. Sebuah gejala yang lazim terjadi, tidak bisa dihindari, dan merupakan konsekuensi dari kehadiran aga­ ma dalam ruang sejarah manusia yang terus bergerak berubah. Ka­rena itu, ketegangan agama dengan perubahan zaman bukan ber­upaya untuk dihindari melainkan diolah agar agama bergerak pro­duktif sesuai dengan tuntutan perubahan. Menghindari kete­ gangan sama dengan menghindari perubahan dan menghindari per­ubahan berarti agama harus siap dikeluarkan dari panggung sejarah manusia, sebagaimana dienyahkannya dewa-dewi Arab Jahiliyah dan diganti oleh Islam yang dianggap lebih menjawab persoalan zaman. Dalam pada itu, ada tiga bentuk respons masyarakat Islam dalam melihat perubahan akibat arus modernisme/globalisasi me­nurut Ma'an Ziyadah. Pertama, fundamentalisme yang serta-merta menolak bentuk pemikiran modernisme karena ia meru­pa­kan produk pemikiran Barat (kafir) yang tidak Islami. Kedua, sikap western oriented, yang menerima segala bentuk

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

141

pemikiran Barat mentah-mentah karena dianggap sebagai representasi modernitas. Untuk menjadi modern, maka harus men­jadi Barat. Ketiga, tauqifiyah. Pandangan yang ketiga ini ber­usaha memadukan antara pemikiran modern dengan Islam. Ada sisi yang baik dari modernisme yang dapat dikawinkan de­ngan Islam.6 Tiga respons tersebut menggumpal akibat ketegangan-ketegangan, tetapi melahirkan reaksi yang berbedabeda. Ketegangan mengandaikan sebuah dialektika antara tun­ tutan zaman di ruang mana agama itu berpijak yang nantinya akan memperkaya khazanah ajaran yang dikembangkan agama itu sendiri. Pada aras inilah Islam sebagai sebuah agama ha­ rus memainkan peranan. Akan tetapi, ibarat api jauh dari pang­gang, Islam secara keseluruhan belum mampu menjawab pro­blematika yang datang dari zaman kekinian. Misalnya, bagai­mana agama Islam menjawab perubahan-perubahan ta­ tan­an hidup masyarakat dunia di era globalisasi ini di mana ke­mis­kinan semakin menganga, perang global terus membara, despotisme hasrat manusia memberhalakan materi, dan se­ma­ kin menguatnya identitas kelompok (bangsa, bahasa, ras, dan budaya)? Di tengah perubahan yang dahsyat dan problem globalisasi yang semakin memperkuat sentimen identitas sebuah bangsa, Islam justru bergerak menjadi identitas eksklusif. Islam yang secara historis seharusnya memainkan peranan meruntuhkan segala bentuk dinding pembatas manusia malah membangun pembatas-pembatas baru dan bahkan tampil dalam identitas yang lebih mengerikan beberapa tahun terakhir ini. Semua entitas luar dan yang lahir dari luar Islam (the other) dilihat se­bagai sebuah ancaman. Respons yang emosional dari ke­ lompok Islam.7 Di dalam rotasi perubahan zaman itu, Islam just­ru bergerak ke belakang dan mengangkangi kemajuan. Hal

142

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

tersebut bisa jadi merupakan tindakan tak sadar akan keti­dak­ mampuan Islam untuk tampil memberikan kontribusi di zaman kini yang pada sisi lain mengungkung Islam dalam belenggu keterbelakangan dan kebodohan. Secara normatif, Islam merupakan agama yang meletakkan prinsip reponsif terhadap perubahan sebagai jalan yang niscaya di­tempuh,8 karena Islam memosisikan akal manusia pada posisi yang sangat tinggi sementara akal manusia tidak pemah stag­nan alias terus mengalami perkembangan (evolution) dan peng­ayaan.9 Karenanya, di dalam setiap perubahan zaman yang dihasilkan manusia, Islam akan bergerak refleks untuk menjawab perubahan-perubahan yang datang, baik perubahan di dalam budaya, sosial, dan politik. Akan tetapi, yang hadir justru sebuah kesenjangan antara “yang seharusnya” dengan “yang senyatanya”. Islam tidak mampu untuk beradaptasi apa­ lagi bersuara di tengah perubahan zaman. Skripturalitas justru menjadi landasan untuk merespons perubahan. Islam yang se­ha­rusnya bergerak mewarnai malah mengalami involusi di dalam perubahan zaman yang demikian cepat ini. Jika meng­ ikuti pemikiran Ma'an Ziyadah di atas, respons yang pertama lebih dominan daripada respons ketiga di dalam dunia Islam terhadap perkembangan zaman kini. Merebaknya corak Islam yang rigid beberapa dekade ini meru­pakan contoh dari gerak Islam yang gamang merespons perubahan-perubahan yang datang. Lahirnya produk-produk modernisme yang menggiring pada pembentukan satu tatanan dunia global yang mungil (global village) di mana satu sisi me­ nye­ra­gamkan, tetapi sisi lain meneguhkan perbedaan, malah dijawab oleh Islam dengan pengembangan agama formal. Di beberapa belahan dunia Islam semakin menguatkan cita-cita dan im­pian untuk membangun satu komunitas Islam dunia yang ber­prinsip romantik dan mengejar “ridha” teks-teks agama

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

143

tanpa refleksi, kontemplasi, dan kontekstualisasi makna. Di sini, aga­ma bergerak tidak semata sebagai the way of life (hudan li al-nâs), tetapi juga menjadi bagian dari jejaring identitas bagi pemeluknya. Dalam cara demikian, respons Islam justru melihat bukan Islam yang hadir dalam sejarah manusia, melainkan sebaliknya. Dengan begitu, segala bentuk yang muncul dalam sejarah ma­ nusia harus dibersihkan dengan segala aturan dan ajaran-ajaran yang dianggap Islami. Misalnya, ketika datang perubahan di da­lam politik dan budaya, maka serta-merta akan difilter oleh Islam, apalagi jika perubahan itu dipandang menghancurkan Islam secara formal. Teks-teks agama tidak lebih hanya berperan sebagai polisi tetapi pasif dalam memberikan sumbangan per­ ubahan. Sementara Islam berperan layaknya lembaga sensor atas perkembangan dan perubahan yang terjadi, baik di dalam budaya, sosial, maupun ilmu pengetahuan. Hal itu terjadi karena Islam diperlakukan sebagai kosmos dalam artian ruang dan waktu yang di dalamnya terdapat hukum sejarah dan budaya manusia. Implikasi dari melihat Islam sebagai kosmos, yang ber­adaptasi adalah kesejarahan manusia, bukan Islam yang beradaptasi dengan logika dan hukum kesejarahan manusia. Teks-teks normatif agama (Al-Quran dan hadis) tidak di­ pahami lahir di dalam sebuah ruang budaya, seting sosial dan politik masyarakat Arab dahulu, tetapi Al-Quran dianggap ber­ sih dari campur tangan budaya, karena ia murni merupakan firman Allah SWT dan berposisi sebagai kosmos. Doktrin nor­ matif yang mendorong pemaknaan Islam sebagai kosmos selalu diambil dari klaim Al-Quran yang sholih fî kulli al-zamân wa al-makân, abadi dalam melintasi ruang dan waktu.10 Pada ta­ taran ini, teks agama ditarik dari sejarah manusia dan saat itu­ lah dia berubah menjadi transenden dan tersakralkan. Posisi Al-Quran yang transenden itu menggiringnya menjadi se­

144

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

kum­pulan doktrin yang tak terjamah (untouchable) oleh se­ gala seting sosial, budaya, dan politik yang mengitarinya. Di sinilah cara pandang Islam mainstream yang berkembang da­lam menanggapi perubahan yang dibawa modernisme dan globalisasi. Produk paradigma pemikiran Islam yang demikian bisa dilacak dari munculnya corak Islam formal yang begitu me­ nguat saat ini, baik di tingkat global maupun nasional. Di Indonesia, semakin menguat desakan untuk memformulasikan hukum-hukum Islam untuk diimplementasikan di dalam ruang kehidupan sosial dan budaya, seperti upaya untuk me­ma­ sukkan kembali Piagam Jakarta.11 Sebagai bentuk da­ri ekspresi keberagamaan dan dilindungi oleh undang-undang negara, tuntutan itu sah-saha saja. Tetapi yang perlu diketengahkan sebagai diskursus adalah syariat yang hendak diimplementasikan tersebut bercorak klasik yang notabene produk teks-teks Islam abad pertama. Misalnya, kini mulai muncul perda-perda syariat Islam di berbagai daerah seperti di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sulawesi Selatan, Mataram-NTB, dan daerah-daerah lain­nya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, sepuluh tahun yang akan datang Indonesia akan dikuasai pemikiran-pemikiran Islam formal yang terus menguat. Ini juga yang digelisahkan oleh Martin van Bruinessen dalam melihat pergeseran pe­mi­kir­ an Islam di Indonesia sejak 1990-an. AI-Quran sebagai teks normatif menempati posisi yang sa­ngat sentral di dalam Islam, terutama Islam era pasca-Nabi Muhammad. la tidak hanya dianggap sebagai firman Allah, te­ tapi juga diimani oleh pemeluknya sebagai petunjuk hidup ma­ nusia di dalam menjawab segala macam problematika ke­hi­dup­ an manusia. Tidak salah jika Nasr Hamid Abu Zaid mengklaim bahwa peradaban Islam sebagai peradaban teks.12 Karena, per­ adaban yang didulang Islam berangkat dan dibentuk oleh teks-

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

145

teks normatif agamanya. Karena itu, agar Islam bisa bersuara di kancah zaman kekinian, terlebih dahulu harus dibongkar bagai­mana teks-teks Islam berbicara di tengah arus perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang cepat. Yakni, membongkar metodologi dan epistemologi keilmuan-keilmuan Islam yang dikembangkan saat ini. Di sinilah pentingnya melihat kembali keilmuan-keilmuan Islam yang dikembangkan selama ini untuk dikontekskan de­ ngan gerak zaman kekinian. Posisi Al-Quran yang demikian pen­ting di dalam Islam memungkinkan kita untuk melakukan perom­bakan keilmuan Islam agar bisa menjawab tuntutan zaman. Hampir semua produk pemikiran di dalam Islam dipe­ nga­ruhi dari bagaimana cara memperlakukan Al-Quran. Misal­ nya, melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi di dalam ilmu fikih, harus membongkar lebih dalam terhadap bangunan da­ sar paradigma dalam melihat Al-Quran, tidak cukup dengan cara mengontekstualisasikan fikih-fikih produk klasik tetapi ti­dak membongkar bagaimana paradigma dalam melihat AlQuran.13 Gerak penyakralan pemikiran (taqdis al-afkar aldieny) keagamaan yang dikritik oleh Muhammad Arkoun pada dasarnya dikarenakan adanya pengaruh determinan dalam melihat Al-Quran secara berlebihan sebagai teks yang kosmik, transenden, dan tak terjamah oleh ruang dan waktu.14 Fakta yang terjadi di dalam modernisme adalah kehadiran teknologi-teknologi yang satu sisi memberikan kemudahan bagi manusia, tetapi pada sisi lain membangun jejaring keterasingan (alienasi) manusia. Sementara, globalisasi yang juga merupakan kelan­jutan sejarah dari modernisme telah membuka tabir jarak teri­tori dan identitas menjadi kabur sehingga memunculkan ke­ ge­lisahan di dalam diri manusia ketika melihat di luar diri seba­ gai the other yang mengancam. Perbedaan dan keseragaman tidak dapat dielakkan. Pada sisi lain, agama, khususnya Islam,

146

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

tidak mampu memenuhi ruang dan mendamaikan ketegangan tersebut. Alih-alih mendamaikan, agama justru memperparah ke­adaan dengan muncul sebagai identitas baru yang juga ter­ ancam atas keberadaan yang lain di luar dirinya. Inilah salah satu tahap krisis yang ditegaskan Malachi Martin sebagaimana dikutip Djohan Effendi ketika memberikan pengantar buku The Religions of Man, karya Huston Smith edisi Indonesia.15

Teks yang Berbahasa Hal utama yang harus dilakukan agar teks bersuara dalam kan­ cah perubahan zaman adalah dengan cara keluar dari hegemoni teks Al-Quran yang dianggap berada di luar sejarah manusia. AI-Quran sebagai sebuah teks hadir di dalam dunia sejarah manusia, bukan dunia sejarah yang hadir di dalam kosmos teks Al-Quran. Dunia sejarah manusia merupakan sebuah ruang du­ nia simbolik yang penuh dengan banyak reduksi dan hukumhukum kesejarahan lainnya. Di dalam langgam itulah Al-Quran harus dipahami. Kenyataan ini bukan berarti merendahkan AlQuran sebagai firman Allah, melainkan untuk menegaskan bah­ wa Al-Quran sebagai firman Tuhan yang menjelma dalam teks dengan sendirinya tidak akan bisa terlepas dari hukum-hukum se­ja­rah. Dan karena itulah, dia tidak menjadi anti-sejarah, transcendental, dan untouchable, melainkan merupakan teks yang berposisi tunduk pada hukum sejarah. Apa pun yang dikandung dan ditegaskan secara tekstual oleh Al-Quran tidak boleh tidak akan diuji oleh kenyataan seja­ rah manusia yang melingkupi budaya, sosial, politik, dan ilmu pe­nge­tahuan. Alasan tersebut dikarenakan Islam diturunkan untuk manusia tidak untuk Tuhan.16 Pada persoalan ini, Muhammad ‘Imarah, sebagaimana dikutip juga oleh Tolak Imam Putra, memberi istilah bahwa Islam bersumber dari Tuhan tetapi berorientasi manusia (al-Islâm ilâhiy al-mashdar

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

147

insâniy al-maudhû).17 Orientasi manusia yang ditekankan Islam ber­implikasi untuk kepentingan manusia membawa keniscayaan pada paradigma kita dalam melihat Islam sebagai produk seja­ rah. Dikatakan produk sejarah, karena kemunculan Islam atau­ pun lahirnya Al-Quran didorong oleh faktor-faktor sejarah yang melingkupinya. Bahkan, faktor-faktor sejarah ataupun seting sosial dan budaya tersebut memberikan pengaruh besar dalam merangkai Islam dan teks Al-Quran saat itu. Selain itu, persoalan yang paling penting diketengahkan ada­lah konsekuensi kesejarahan firman Allah SWT (Al-Quran) ketika ia menggunakan bahasa Arab sebagai kode agar firman itu bisa dipahami oleh manusia. Penggunaan bahasa Arab di da­lam Al-Quran ditegaskan berkali-kali oleh Allah sendiri di dalam Al-Quran.18 Kurang lebih terdapat dalam delapan ayat, Allah menegaskan di dalam Al-Quran bahwa Al-Quran itu meng­gunakan bahasa Arab.19 Allah menurunkan Al-Quran de­ ngan menggunakan bahasa Arab menunjukkan bahwa firman yang suci dan melintasi batas waktu itu sengaja digunakan Allah agar mudah dipahami oleh manusia dan agar manusia bisa menggali makna yang tidak terungkap oleh bahasa itu sendiri. Allah menggunakan bahasa Arab sebagai media untuk menyam­ paikan firman-Nya yang Mahaluas itu, saat itulah kesejarahan Al-Quran terjadi. Arti dari kesejarahan Al-Quran memiliki banyak aspek. Ke­sejarahan berarti bahwa saat Al-Quran menjelma ke dalam bahasa Arab atau lebih tepatnya bahasa manusia, maka saat itu­ lah ia bergumul dengan segala kenisbian budaya manusia. Arti­ nya, firman Allah dan atau Islam dalam artian yang lebih luas ti­dak bisa terlepas dari seting sosial dan budaya yang berjalan di wilayah Arab saat itu. Ini berari, apa pun yang diungkap oleh Al-Quran, tidak dengan serta-merta mencerminkan totalitas ga­gas­an yang hendak difirmankan oleh Allah SWT. Sebuah

148

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

keniscayaan yang tidak bisa dielakkan oleh Al-Quran di saat dia memasuki ruang bahasa manusia yang di dalamnya merupakan hasil akumulasi dan endapan dari dialektika budaya, sosial, dan politik masyarakat Arab.20 Penegasan Al-Quran tidak hanya pada penggunaan oleh Al-Quran tetapi juga Tuhan misalnya berkali-kali menegaskan bah­wa Muhammad sebagai manusia biasa yang bisa lapar, haus, marah, sedih, menangis, tidur dan mati sebagaimana ma­nusia biasanya. Bahkan, dia tidak mampu membaca dan me­nulis.21 Dia tidak digambarkan oleh Al-Quran sebagai dewa atau­ pun malaikat. Penegasan Muhammad sebagai manusia biasa menjadi bermakna bahwa Al-Quran juga masuk dalam seja­rah (kesemestaan bahasa dan budaya manusia) jika dikon­teks­kan dengan peran dan fungsi Muhammad sebagai utusan Allah dan penyampai pesan-pesan-Nya untuk memberi kabar ke­pada manusia.22 Inilah alasan mengapa Al-Quran saat dia men­jel­ ma menjadi teks atau nash yang berbahasa Arab berarti juga ia telah masuk dalam dunia kesejarahan manusia yang tidak mam­pu mengungkap semua hamparan ke dalam segala se­ suatu yang kasat mata. Di dalam kesejarahan manusia terdapat ba­hasa dan budaya. Segala bentuk ekspresi budaya tidak bisa menge­jawantahkan kedalaman nilai dan pengalaman yang diekspresikan ke dalam budaya tersebut. Demikian juga dengan bahasa. Al-Quran merupakan gagasan Allah yang masuk ke dalam dunia simbolik bahasa. Dalam kajian strukturalisme, baha­sa merupakan cerminan dari budaya induk semangnya. Misal­ nya, bahasa Batak mengarakterkan budaya Batak, bahasa Jawa mengarakterkan budaya Jawa, dan bahasa Arab akan meng­ arakterkan budaya Arab. Dengan demikian, ketika Allah me­ milih bahasa Arab sebagai wadah menyemayamkan firman-Nya, maka firman-firman itu tidak akan lepas dari nilai-nilai budaya

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

149

yang menempel di dalam kesadaran bahasa Arab tersebut. Ma­ suk­nya firman atau kalam Allah dalam simbol bahasa Arab me­nunjukkan ketidakmampuan bahasa manusia dalam me­ nam­­pung seluruh gagasan Allah. Pada level ini, secara teks, AlQuran bersejajar dengan teks-teks lainnya, tetapi dia bernilai lebih karena menampung gagasan Allah yang tersembunyi dan tidak dapat terkatakan di dalam keterbatasan bahasa. Masuknya firman Tuhan ke dalam simbol bahasa manusia tidak bisa dipisahkan karena memang manusia merupakan animal symbolicum, sebagai satu-satunya alat yang bisa di­ gu­na­kan agar pesan yang disampaikan bisa dipahami oleh manusia.23 Cakrawala bahasa manusia mampu mengirim sebuah pesan kepada komunikan. Bisa dibayangkan jika manusia tidak mem­punyai bahasa. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Penegasan Al-Quran berkali-kali bahwa dia menggunakan bahasa Arab yang jelas, ingin menekankan bahwa seluruh kali­ mat yang disampaikan Al-Quran tidak dapat merangkum ga­ gasan Allah karena bahasa yang digunakan adalah bahasa ma­ nu­sia. Akan tetapi, makna penegasan Al-Quran berbahasa Arab di dalam kajian-kajian studi Islam konvensional justru terjebak pada pengultusan bahasa Arab sebagai bahasa yang paling baik di bumi ini sehingga Allah memilih bahasa tersebut un­ tuk Al-Quran. Jangankan gagasan dan alam pikir Allah Yang Mahaluas, pikiran yang mengendap di dalam diri manusia saja tidak dapat diungkapkan semua oleh bahasa. Karena itulah, Lacan melihat bahasa sebagai simbol dari kekurangan yang tidak bisa memenuhi gagasan apa pun dan karenanya ia tidak men­jelaskan makna (petanda/signified), melainkan simbolsimbol bahasa yang lain (penanda/signifier). Memahami kesejarahan Al-Quran berarti juga menegaskan bahwa teks-teks yang diungkapkan Al-Quran terbatas, dan

150

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

karenanya tidak bisa dipahami secara tekstual begitu saja, tan­pa menggali firman yang tidak terkatakan dalam Al-Quran. Dalam konteks inilah yang dimaksud Ali Harb bahwa Al-Quran tidak bisa dipersempit sebagai cermin realitas, melainkan ia ber­ gumul dan berkutat dalam waktu yang sedang terjadi dan yang mungkin akan terjadi.24 Saat teks hanya dimaknai cermin dari realitas saat dia turun sama dengan mempersempit makna teks dan membenarkan apa-apa yang tertuang dalam teks Al-Quran benar-benar keinginan Allah tanpa mengungkap firman-firman yang tak terkatakan. Bahasa merupakan dunia simbolik manusia yang terbatas. Bahasa tidak bisa menampung seluruh cakrawala pemikiran yang tidak terkatakan yang masih tersisa di alam ide. Bahasa meng­haruskan berbagai makna terkondensasi dan direpresi oleh simbol bahasa.25 Akhirnya, teks itu pun menjadi terbatas kare­na ia tidak menampung seluruh gagasan Tuhan. Dengan de­mi­kian, ada firman Allah pada tataran ini terbagi menjadi dua, firman “yang transenden” dan firman “yang imanen”. Firman yang transenden adalah firman atau wahyu Allah yang belum memasuki wilayah simbol bahasa yang mana ketika ma­ suk dalam keterbatasan bahasa manusia, ia menjadi imanen. Firman yang transenden tersebut merupakan firman yang tidak terkatakan dan tidak tertulis (lâ shauthin wa lâ harfin).26 Saat itu­lah wahyu atau firman Allah tersebut mengalami kepenuhan alias tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Dan saat ia memasuki ruang bahasa manusia, ia tidak mampu ditampung oleh bahasa tersebut. Meminjam istilah Lacan, firman yang pertama masuk dalam tatanan The Real, sedangkan ruang bahasa merupakan tatanan The Symbolic dan mungkin juga The Imaginary.27 Allah sendiri di dalam Al-Quran menegaskan, sekiranya laut­an dijadikan sebagai tinta untuk menulis kalimat-kalimat Allah, maka tidak akan cukup untuk menjelaskan kalimat-

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

151

kalimat tersebut.28 Kenyataan tersebut cukup menjadi penegas naqli bahwa bahasa Arab yang digunakan Al-Quran saat ini tidak bisa menampung kalimat-kalimat Allah. Menganggap apa yang tercantum di dalam Al-Quran sebagai tampungan dari seluruh kalimat-kalimat Allah dengan sendirinya telah meng­ anggap pengetahuan Allah lebih rendah dari manusia. Dengan demikian, Al-Quran merupakan sebuah teks yang imanen yang bergumul dengan beragam efek-efek budaya, sosial, politik, dan pengetahuan masyarakat Arab. Dengan begitu, Al-Quran tidak hanya didekati dengan ilmu keislaman yang stagnan metode dan bangunan epistemologi klasik tanpa ada pembaruan dan pe­ nam­bahan metode baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Skema:

Keluar dari Kejumudan Ilmu Keislaman Dengan demikian, Al-Quran harus dipahami dalam lokus budaya dan sejarah manusia yang tidak bisa ditolak oleh Al-Quran. Da­ lam bahasa yang lebih radikal, hal tersebut dikarenakan ada cam­pur tangan dimensi budaya, sosial, dan politik yang tidak terungkap di dalam teks agama. Implikasi dari memahami dan melihat Al-Quran sebagai teks yang menyejarah adalah dia

152

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

menjadi nisbi. Kenisbian teks bukan pada wilayah substansial, melainkan pada wilayah kultural, sehingga makna-makna yang terungkap masih sementara, bukan final, dan terus bergerak dinamis. Upaya pembaruan dan pengayaan ilmu dalam disiplin kajian keislaman niscaya dilakukan jika melihat perubahan sistem interaksi budaya, sosial, ekonomi, dan politik masyarakat dunia kontemporer saat ini. Berangkat dari postulat-postulat pemikiran tersebut, maka untuk menggeser pemahaman masyarakat Islam dalam pengem­bangan pemikiran agama yang mampu menjawab tan­tang­an zaman, diperlukan satu upaya perombakan pemi­ kir­an. Ikhtiar untuk merombak pemikiran Islam bukanlah hal baru. Banyak pemikir-pemikir kontemporer yang muncul dalam usaha tersebut di dalam berbagai aspek bidang keilmuan Islam maupun paradigma dalam memahami Al-Quran, seperti Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Ali Jum'ah, Jamaluddin Athiyah, Jamal al-Banna, Yusuf Qardhawi, dan berbagai pemikir kontemporer lainnya. Akan tetapi, pemikiran-pemikiran yang diketengahkan oleh para pemikir tersebut masih belum mendapat tempat, untuk tidak mengatakan disingkirkan, di dalam pemikiran mainstream dunia pemikiran Islam.29 Artinya, mereka masih tergolong pe­ mi­kir­an minoritas di dalam kancah wacana keilmuan Islam yang menjadi praktik dan memengaruhi umat Islam di level ba­wah (grass-roots). Gagasan-gagasan pembaruan tersebut se­men­tara ini hanya menjadi konsumsi bagi para intelektual Islam yang duduk di perguruan tinggi. Namun demikian, aneh­nya, pemikiran mereka hanya dikaji sebagai produk te­ tapi tidak dilihat bagaimana metodologi, fondasi ontologi, dan epistemologi yang dibangun oleh pemikir-pemikir Islam kon­ tem­porer tersebut ketika memahami teks Islam (Al-Quran), se­ perti pemikiran Nasr atau Arkoun.

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

153

Karena itu, pembaruan dalam bidang studi Islam (Islamic Studies) mendesak untuk dilakukan mengingat desakan za­man yang menuntut Islam untuk bergerak cepat. Jika tidak de­mi­kian, tidak menutup kemungkinan Islam, yang kini sudah ter­bukti berabad-abad lamanya, hanya akan mempraktikkan corak ke­ bera­gamaan yang statis, jumud, dan terbelakang terutama da­­lam pemahaman dan penggalian makna teks-teks agama. Sebuah bukti yang semakin memperkuat tesis Malachi Martin akan kekrisisan yang dialami Islam dalam menghadapi arus za­man yang semakin lepas landas ini. Basis yang strategis untuk me­la­ ku­kan pembaruan dan pengembangan Islamic Studies ter­sebut tentu harus mulai dilakukan di dalam ruang-ruang pen­didik­ an Islam sebagai pusat pengembangan ilmu ke­islaman. Un­tuk konteks Indonesia, pembaruan strategis itu ti­dak lain di per­ guruan-perguruan tinggi agama Islam (PTAIN/PTAIS), pon­dok pesantren, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya. Secara umum, pembaruan dalam bidang kajian Islam ti­dak hanya diperlukan di dalam bidang kajian Al-Quran, tetapi di dalam bidang keilmuan yang lain. Upaya-upaya untuk pengem­ bangan pemikiran Islam dan khususnya pembaruan kajian Islam di berbagai perguruan tinggi maupun pesantren di Indonesia masih terkesan usang dan hanya fokus pada metodologi klasik. Pada persoalan ini, ada beberapa hal perlu dilakukan untuk keil­muan Islam agar mampu menjawab kebutuhan zaman umat­nya, terutama dalam pengembangan keilmuan studi teksteks agama supaya teks agama tidak tertutup melainkan terus ada ne­gosiasi makna untuk diperdebatkan tanpa ada otoritas ter­tinggi yang memegang kendali kebenaran tafsir teks.30 Perombakan paradigma studi Islam yang masih diterap­ kan selama ini, terutama pada wilayah epistemologi dan meto­ dologinya, untuk disesuaikan dengan keilmuan kontem­porer sangat perlu dilakukan, mengingat studi Islam yang dike­te­

154

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

ngahkan selama ini tidak mampu lagi menjawab problematika zaman yang demikian kompleks dan ruwet. Metodologi dan epis­temologi studi-studi yang dikembangkan saat ini sangat buta akan ilmu alat-alat dukung yang pada konteks tertentu men­jadi salah satu keilmuan yang mendasar diketahui oleh para intelektual Islam, misalnya ilmu linguistik, hermeneutika, filsa­ fat bahasa, filsafat ilmu, antropologi dan ilmu-ilmu humaniora lain­nya. Keharusan penguasaan ilmu-ilmu pendukung tersebut dika­renakan basis yang dikaji di dalam studi Islam lebih ba­ nyak pada pengkajian teks-teks agama, baik itu teks-teks suci seperti Al-Quran dan hadis, ataupun teks-teks hasil pemikiran para ulama dalam bidang fikih, ilmu kalam, sejarah, dan lain sebagainya.

Dedikotomisasi Ilmu Penempatan ilmu-ilmu humaniora tersebut sebagai the second knowledge di berbagai institusi pendidikan agama Islam baik per­­guruan tingginya ataupun yang dikembangkan di pesantrenpe­santren dikarenakan berbagai faktor. Salah satunya adalah ada­nya dikotomisasi ilmu agama dan ilmu umum. Beberapa teori dalam pengembangan studi Al-Quran periode klasik tidak di­lihat sebagai hasil pemikiran ulama yang profan, melainkan dire­presentasikan sebagai hasil pemikiran yang Islami dan tidak dapat digugat. Alih-alih digugat, metode-metode itu justru men­ jadi metode yang wajib dipakai jika menyapa teks Al-Quran. Pa­­ da wi­la­yah yang ekstrem, ilmu-ilmu seperti antropologi, her­­me­ neutik, linguistik, dan berbagai ilmu humaniora lainnya tidak layak digunakan karena ia merupakan ilmu produk Barat yang da­lam mindset dunia Islam menjadi representasi dari kaum kafir. Karena itu, harus mencari titik temu ilmu-ilmu yang didiko­ to­misasikan tersebut yang pada dasarnya antara ilmu agama

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

155

dan ilmu umum sama-sama berposisi sebagai ilmu. Jantung diko­tomisasi tersebut sudah berdetak berabad-abad lamanya di dunia Islam. Persoalan yang paling mencolok sebagai cikal bakal dikotomisasi tersebut adalah “diharamkannya” berfilsafat di Islam oleh para ulama terdahulu karena dinilai akan merusak fondasi dasar agama dan meruntuhkan keimanan umat.31 Tidak mengherankan jika kemudian studi keislaman yang dikembangkan di berbagai pesantren dan bahkan di Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya di Indonesia, masih jauh dari harapan untuk memberikan porsi pengembangan filsafat sebagai metode untuk menguak pesan ilahi di dalam teks agama. Filsafat sebagai sebuah ilmu dan metodologi berpikir masih dili­hat sebagai momok yang menakutkan dan menyeramkan di ka­langan Islam. Kenyataan ini jauh berbeda dengan para in­ telek­tual di kalangan umat Kristen. Jika di Islam filsafat men­ jadi momok, justru di kalangan intelektual Kristen menjadi ilmu yang primer bagi mereka sebagai perangkat berpikir un­tuk membaca teks-teks agama mereka. Seorang pendeta di ka­lang­ an mereka sangat mahir berbicara teori-teori sosiologi, antro­ po­logi, linguistik, hermeneutik, dan lain sebagainya. Sebuah pemandangan yang langka, untuk tidak menyebut tidak pernah sama sekali, ditemukan di dalam pengetahuan ulama-ulama Islam. Amin Abdullah melalui paradigma integratif-interkonektif, se­kalipun mungkin bukanlah merupakan gagasan baru, men­co­ ba mendamaikan epistemologi agama dengan ilmu pengetahuan agar berjalan sinergis dan tidak saling sikat dan sikut.32 Menurut Amin, selama ini keilmuan Islam yang dikem­ bang­kan masih terhenti dan terfokus pada pengembangan ilmuilmu fikih, kalam, tasawuf, dan lainnya yang di dalam jejaring teori integratif-interkonektifnya masuk Iingkar lapis dua. Akan tetapi, pengembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora masih

156

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

kurang dikembangkan, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, dan filsafat. Dengan demikian, di dalam pengembangan studi Islam, khususnya dalam ilmu-ilmu dasar Islam seperti tafsir, ilmu kalam, hukum Islam, dan lainnya, perlu mengetahui dan meng­gunakan ilmu-imu humaniora kontemporer saat ini. Misal­nya, untuk memahami teks Al-Quran, selain pembekalan ilmu-ilmu alat lainnya, perlu pula dibekali ilmu antropologi, linguistik, dan hermeneutik.

Ilmu (Bukan) sebagai Identitas Kendati pemikir postmodernisme memproklamirkan ketidak­be­ bas­an nilai ilmu pengetahuan sudah dilakukan beberapa dekade lalu, tetapi bukan berarti segala bentuk ilmu pengetahuan itu buruk. Logika modernisme yang linier, positivis, memang cen­ derung mengabaikan berbagai bentuk nilai yang tidak ter­ungkap. Tokoh-tokoh postmodernis seperti Nietzsche misalnya meng­ gugat bahwa di dalam ilmu ada hasrat will to power. Sebuah keinginan untuk berkuasa yang tersembunyi di balik penggagas ilmu yang tidak pernah diungkap oleh modernisme. Pun demikian dengan Michel Foucault yang meyakini pengetahuan tidak terlepas dengan kekuasaan, karena itulah dia menulis buku Power/Knowledge yang seolah-olah antara kuasa dengan penge­tahuan tidak bisa dipisahkan. Karena pengetahuan dan kuasa hampir tidak bisa dipisahkan, maka Foucault meyakini bahwa setiap kebenaran yang dijalankan selalu terkait dengan kuasa. Gugatan-gugatan yang diajukan kaum postmodernis ter­ hadap ilmu lebih merupakan sebuah usaha agar kita kritis ter­ hadap segala bentuk ilmu, baik yang datang kepada kita mau­ pun pengetahuan yang kita jalani. Tidak dengan serta-merta diterima begitu saja. Kritik terhadap pengetahuan tidak hanya

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

157

di­la­kukan terhadap segala bentuk pengetahuan yang datang dari luar tetapi lebih pada upaya untuk mengkritik secara tajam ilmu pengetahuan yang kita yakini, kembangkan, dan jalankan selama beradab-abad. Akan tetapi sayang, para pemikir Islam mainstream melakukan kritik dan rasa curiga lebih besar ditu­ jukan terhadap segala bentuk ilmu yang datang dari luar Islam (baca: Barat). Ilmu-ilmu Barat adalah ilmu kafir dan tidak Islami, tidak bisa digunakan untuk mendekati dan membaca agama Islam. Demikian ungkapan yang sering keluar untuk menolak ilmu-ilmu humaniora di dunia Islam. Dengan demikian, penolakan terhadap ilmu-ilmu kon­tem­ porer dalam mendekati teks tidak semata persoalan penolakan pada wilayah epistemologi dan metodologi yang berbeda, tetapi juga karena adanya justifikasi ilmu-ilmu kontemporer yang da­ tang dari Barat sebagai ilmu kafir dan sekuler yang akan meng­ hancurkan Islam. Bahkan mungkin tindakan emosional inilah yang paling dominan mendorong penolakan para pemikir Islam mainstream terhadap ilmu-ilmu kontemporer untuk dijadikan alat batu dalam kajian Islam. Sudah barang tentu, kenyataan ini harus dirobohkan, karena hal inilah yang menjadikan ilmuilmu keislaman tidak mampu menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks dewasa ini. Otokritik terhadap pengetahuan-pengetahuan yang diyakini dan dijalani Islam selama beradab-abad niscaya dilakukan. Usaha-usaha yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zaid melalui Mafhûmu al-Nash Dirâsah fî Ulûmu al-Qur’ân-nya dan pemikir-pemikir Islam kontemporer lainnya harus dilihat dalam ke­rangka pembongkaran tersebut. Jika ini tidak dilakukan, ke­ ilmuan Islam tidak akan mampu bersuara di pentas zaman kon­t emporer. Sekalipun demikian, hambatan-hambatan akan pe­nen­­tang­an pemikiran itu tentu tidak dapat dielakkan. Hambatan-hambatan yang dialami oleh kebanyakan para

158

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

pemikir Islam kontemporer di Mesir dalam mengembangkan pe­mikir­an­nya untuk memajukan Islam menarik untuk dijadikan pela­jar­an berharga, oleh siapa pun yang hendak melakukan pem­ba­ruan paradigma dalam pengembangan kajian Islam, baik di pesantren dan Iebih-Iebih di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia. Kuatnya pengaruh kekuasaan (baca: politik) dalam insti­ tusi-institusi pendidikan Islam merupakan sebuah an­cam­an yang sangat serius dalam pengembangan keilmuan Islam, ti­ dak terkecuali di Indonesia. Sebuah problem lama yang sulit di­hin­dari akibat cara pandang Islam yang melihat ke­satuan Islam dengan dunia politik, berbeda dengan Kristen yang me­ nem­patkan keduanya secara terpisah. Keberagaman pe­mi­kiran yang dibebaskan oleh Islam selalu dikotori oleh mun­cul­nya satu otoritas tertinggi yang represif untuk menentukan kebenaran dan makna tunggal. Penetrasi politik ini menjadikan segala bentuk pemikiran Islam yang langgeng selalu ada dukungan dari otoritas kekuasaan, baik secara langsung maupun tidak. Di Mesir misalnya, perlakuan yang dialami oleh Nasr Hamid, dan Muhammad Syahrur, pemikir berkebangsaan Syiria, adalah tentangan yang sangat kuat di dunia Arab. Bahkan, Nasr diusir dari negerinya oleh Pemerintah Mesir. Kenyataan tersebut harus diperhitungkan, terutama dalam rangka melakukan pembaruan kajian Islam. Hal serupa juga terjadi di Indonesia sekalipun dengan wajah yang lebih halus. Misal­nya, pembaruan kajian Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam seperti UIN/IAIN/STAIN selalu mengalami gesekan politik yang kuat. Kenyataan politik di UIN/IAIN/STAIN sela­ lu mengaburkan dan menghilangkan keberadaan institusi pen­ di­dikan tersebut sebagai ruang pengetahuan yang bersih dari segala kepentingan. Dus, probem yang muncul adalah ilmu tidak dilihat sebagai ilmu pengetahuan an sich, tetapi digeser menjadi

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

159

identitas dia dan kelompok kepentingan (NU/Muhammadiyah/ Tarbiyah/Persis, dan lain-lain). Primordialisme kelompok yang sa­ngat kuat tersebut kemudian mengaburkan objektivitas penge­ta­huan yang hendak dikembangkan. Entitas di Perguruan Ting­gi Agama Islam lebih melihat siapa yang menelurkan gagas­ an daripada gagasan apa yang ia keluarkan.33 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pergeseran za­man yang demikian maju saat ini memaksa kita untuk mem­ bong­kar segala bentuk pra-paham kita terhadap Al-Quran yang menempatkannya berada di luar jangkauan sejarah manu­sia. AI-Quran yang masuk sejarah manusia membawa impli­kasi bahwa dalam mengkaji dan memahami Al-Quran, meng­ha­ dir­kan ilmu-ilmu humaniora yang berkembang kontemporer sebagai pengayaan alat baca, tidak dapat ditolak. Karena itu­ lah, keilmuan-keilmuan Islam yang dijalankan saat ini harus mem­buka diri (welcome) pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora se­perti antropologi, hermeneutika, sosiologi, filsafat sosial, dan se­bagainya. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah, selain me­la­ ku­kan perombakan metodologi dan epistemologi di dalam kajian Islam, perlu juga dilihat metode dan cara praksis pembumian. Dan, salah satu yang dilakukan, khususnya di Perguruan Ting­gi Agama Islam (PTAIN/PTAIS), adalah melepaskan diri dari he­ ge­moni melihat ilmu pengetahuan sebagai identitas. Per­gu­ruan tinggi harus membersihkan dirinya dari penetrasi poli­tik, ter­ utama politik identitas (NU/Muhammadiyah/Per­sis/Tarbiyah) yang tentu sangat menghambat pembaruan para­dig­ma Islam melalui perombakan struktur bangunan pengetahuan Islamic Studies yang dikembangkan dewasa ini, baik itu dalam bidang tafsir hadis, syariat, ilmu kalam, dan lain sebagainya. Wallâhu A'Iam.

160

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

Catatan Akhir Hisanori Kato, Agama dan Peradaban, Jakarta: Dian Rakyat) 2002. Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama yang hanief. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS AlRûm [30]: 30). 3 Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Me­reka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami melakukan demikian) agar di hari kiamat kalian ti­ dak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhdap ini (keesaan Tuhan)” (QS AI-A‘râf [7]: 172). 4 Spiritualitas New Age merupakan jalan keberagamaan yang sangat yang nge-tren sejak 1980-an hingga 1990-an. Selain merupakan cer­ min dari kebutuhan manusia modern akan spiritualitas, di Barat New Age lebih merupakan bentuk pemberontakan spiritualitas yang di­kung­kung oleh sekat-sekat agama formal. Karena itu, spiritualitas New Age bergerak limas iman. Lihat, Sukidi, New Age, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2001. 5 Budiawan, “Globalisasi, Primordialisme, dan Agama”, dalam Dr. Th. Sumartana, Reformasi Politik, Kebangkitan Agama, dan Konsumer­ isme, Yogyakarta: Dian/Interfidei), 2001, hlm. 85-87. 6 Al-Zastrouw, Reformasi Pemikiran: Respons Kontemplatif terhadap Persoalan Kehidupan dan Budaya, Jakarta: LKPSM, 1998, hlm. 166. 7 Ibid., hlm 167. 8 ...sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum sehingga me­reka sediri mengubah keadaan mereka sendiri... (QS Al–Ra‘d [13]: 11). 9 Ulasan mendalam dalam melihat Islam sebagai ajaran agama yang menghormati akal terletak pada pemberian ruang Islam dalam kebe­ bas­an berpikir manusia/umatnya dapat dilihat, Abdul Majid alNajjar, Kebebasan Berpikir dalam Islam: Upaya Mempersatukan Visi Pemikiran dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. 10 Salah satu dasar naqli yang selalu digunakan dalam pengukuhan Al-Quran yang melintasi ruang dan waktu tersebut adalah ayat Al-

1 2

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

161

Quran yang berbunyi: innâ nahnu nazzalnâ al-dzikra wa innâ nahnu lahâfizhûn. Sesungguhnya Kami yang menurunkan dan Kami-lah pe­me­lihara-pemeliharanya (QS Al-Hijr [15]: 09). Selain itu, doktrin yang sering digunakan juga Surah Al-Isrâ’ ayat 88 yang berbunyi: Kata­kanlah (hai Muhammad): sesungguhnya jika manusia dan jin ber­kumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya me­ reka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, se­ka­ lipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. 11 Jika dilihat kencenderungan untuk memasukkan Piagam Jakarta, jus­tru terjadi pada saat Negara Indonesia mengalami krisis dan me­ masuki tahap "penyusunan". Misalnya, gaung Piagam Jakarta kembali digu­lir­kan setelah Reformasi 1998 berembus, yakni pembangunan kem­bali struktur negara sebagaimana pada pembangunan fondasi ne­gara yang dilakukan setelah Indonesia menyatakan diri merdeka dari kaum penjajah. 12 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: eLSAQ press, 2003, hlm. 60. 13 Perombakan cara pandang dalam melihat Al-Quran terlebih dahulu dila­kukan tidak hanya dikarenakan adanya pengaburan antara hasil intre­pretasi dengan teks Al-Quran itu sendiri, melainkan karena ke­ nya­taan bahwa para ulama dahulu tidak pernah mengklaim pemi­ kir­an mereka yang paling benar, seperti Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah, dan Ibnu Hazm. Lihat, Mun'im A. Sirry (ed.), Fiqh Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Yayas­ an Wakaf PARAMADINA, 2004, hlm. 1. Selain itu, al-Suyuthi juga pernah menegaskan bahwa ilmu itu luas, sehingga terbuka lebar dari ma­sa ke masa untuk menggali sesuatu yang tidak terjamah oleh para ulama terdahulu. Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhûmu al-Nash Dirâsah fî Ulûmu al-Qur'ân, dalam Khoiron Nahdhiyyin (terj.), Tekstualitas al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumu al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2003, hIm. 4 14 Cara pandang masyarakat Islam yang melihat Al-Quran tidak da­ pat "dikritik" karena melihat Al-Quran sebagai entitas kosmik, transenden, dan tidak bisa dijamah oleh teori-teori umum sebagai alat baca merupakan cara Islam mainstream. Karena bagaimanapun juga, di dalam melihat Al-Quran, secara emosi, kultur, dan sikap intelek­tual berbeda-beda. Lihat, op.cit., Hilman Latief..., hlm. 23.

162 15

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

Malachi Martin, sebagaimana dikutip Djohan mengatakan: "...tidak satu pun dari agama (Yahudi, Kristen, dan Islam) mampu mengen­ dali­kan perkembangan umat manusia dewasa ini.... Akhir dominasi oleh ketiga agama ini bisa terjadi bila agama mengulang-ulangi cerita me­ngenai kepercayaan individu tentang semua hal yang tidak esensial, tentang semua hal yang diraih oleh perstiwa sejarah dan rasional­isme dalam berbagai bentuk...." Lihat, Huston Smith, The Religions of Man, dalam Saafroedin Bahar (penerj.), Agama-agama Manusia, Jakarta: Obor, 1999, hlm. 1-2. 16 Bulan Ramadhan bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran se­ba­­­ gai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai pe­­­tun­­­ juk itu dan pembeda (benar dan salah)...." (QS Al-Baqarah [2]: 185). 17 Tolak Imam Putra, “Pembaruan Fikih Mesir: Dari Kritik Formalisme Teks menuju Kontekstualisasi”, dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 08, Tahun 2000, (Jakarta: Lakpesdam NU), hlm. 41. 18 Penegasan Al-Quran dalam bentuk bahasa Arab terdapat di dalam ayat-ayat berikut: 1). QS Yûsuf [12]: 02): Sesungguhnya Kami me­ nu­runkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab agar ka­ mu memahaminya. 2). QS Al-Ra‘d [13]: 37): Demikianlah Kami tu­run­kan Al-Quran sebagai peraturan dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti mereka setelah datang pengetahuan ke­padamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagi­mu terhadap (siksa) Allah. 3). QS Thâ Hâ [20]: 113): Dan demi­ ki­anlah Kami menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebagian dari ancaman agar mereka bertakwa atau (agar) Al-Quran itu me­ nim­bulkan pengajaran bagi mereka. 4). QS al-Zumar [39]: 28): AlQuran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan, supaya me­reka bertakwa. 5). QS Fushshilat [41]: 03): Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. 6). QS Al-Syûrâ [42]: 07): Demikianlah kami wahyu­ kan kepadamu Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu mem­ beri peringatan kepada Ummul Quro (penduduk Mekkah) dan penduduk negeri sekelilingnya. Serta memberi peringatan tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Se­ go­long­an masuk surga segolongan masuk neraka. 7). QS Al-Ahqâf [46]: 12): Dan sebelum Al-Quran itu telah ada kitab Musa sebagai

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

19

20 21

22

23 24 25

26

163

pe­tun­juk dan rahmat. Dan ini (Al-Quran) adalah kitab yang mem­ be­nar­kannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepa­ da orang-orang yang berbuat baik. 8). QS Al-Zukhruf [43]: 03): Sesungguhnya kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab su­ paya kamu memahaminya. Mengenai jumlah berapa ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa AlQuran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab dapat dilihat, Muhammad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufabras li Alfâdh al-Qur'ân., Daar al-Fikr, 1981, hlm. 456 Soepomo Poedjosoedarmo, Filsafat Bahasa, Surakarta: Muhammadiyah University Press), 2001, hIm. 186-189. Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu kitab pun dan kamu tidak pemah menulis suatu kitab dengan tangan kanan­ mu. Andaikata (kamu bisa membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu) (QS Al-‘Ankabût [29]: 48). Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan (QS AlFurqân [25]: 56). M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik Al-Quran, Mencurigai Makna Ter­sem­bunyi di Balik Teks, Bekasi: PT Gugus Press, 2002, hlm. 18-19. Ali Harb, Naqd al-Nash, dalam M. Faisal Fartawi (penerj.), Kritik Nalar Al-Quran, Yogyakarta: LKiS, 2003, hlm. 9. Mark Bracher, Lacan Discourse, and Social Change: A Psycoanalytic Cultural Criticism, dalam Gunawan Admiranto (penerj.), Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial, Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis, Yogyakarta: Jalasutra, 2005. “Lâ shauthin wa lâ harfin” menandakan bahwa firman Allah sangat luas, tidak bisa direpresentasikan dalam bentuk apa pun. Saat firman itu terkatakan, maka sekian distorsi terjadi. Sebab, kata-kata di da­ lam bahasa selalu mengurangi dan tidak bisa menampung makna. Hal tersebut sama seperti di saat orang yang begitu bahagia tetapi dia mengatakan, “Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, betapa bahagia­ nya aku.” Orang itu sadar bahwa kata “betapa bahagia” tidak mampu menggambarkan kondisi jiwanya yang begitu bahagia. Lebih-lebih juga yang terjadi dengan firman Allah SWT. Dengan demikian, ada firman “yang tak terkatakan” dan “yang terkatakan”. Lebih jauh,

164

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

firman Allah yang menjelma dari “yang tak terkatakan” menjadi “yang terkatakan” tidak jauh berbeda dengan cerita kelahiran ma­ nusia. Sebelum memasuki dunia, si manusia memasuki fase di mana dia tidak dapat dikatakan apa-apa. Sebuah dunia non-simbolik yang tanpa kata-kata. Al-Quran mengatakan, Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (lamyakun syai'an mazdkûrâ) (QS Al-Insân [76]: 01). Di dalam fase “yang tak terka­ta­ kan”, manusia mengalami keterpenuhan (kedamaian dalam pelukan Allah), tetapi ketika lahir ke bumi, dia menjadi makhluk yang selalu ke­kurangan karena ia masuk ke dalam dunia “yang terkatakan” yang berbeda dengan dunia sebelumnya (“yang tak terkatakan”). Di dunia “yang terkatakan”, dia kemudian disebut manusia (vis-a-vis binatang), ada yang dipanggil “Muhammad”, “Udin”, atau “Budi”. Saat itulah fase “yang terkatakan” mengondensasi dan meng­hi­lang­ kan apa-apa yang ada dalam fase “yang tak terkatakan”. Jacques Lacan menyebut fase “yang tak terkatakan” itu sebagai tatanan the real di mana semua di dalamnya terpenuhi dan fase “yang ter­ka­ta­ kan”, yakni dunia kekurangan (lack), sebagai tatanan the imaginar dan the symbolic. Demikian juga dengan Al-Quran, saat me­masuki ruang bahasa (yang terkatakan), ada sesuatu yang hilang dari "yang tak terkatakan" karena memang firman dalam fase itu ti­ dak dapat dikatakan oleh apa pun, di mana pun, dan kapan pun. Tanpa suara dan tanpa huruf Al-Quran "yang tak terkatakan" inilah yang dimaksud Allah sebagai Al-Quran di dalam Lauh al-Mahfuzh: Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh al-Mahfuzh (QS Al-Burûj [85]: 2122) 27 op. cit. 28 Katakanlah: kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah laut-laut itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku. 29 Gagasan para pemikir Islam kontemporer tidak jarang mendapatkan per­lakuan yang tidak baik. Muhammad Syahrur misalnya karena kar­ya­nya yang berjudul al-Kitâb wa al-Qur'ân harus mendapat tuduh­an sebagai a Western and Zionist agent dan karyanya tidak boleh beredar di Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab.

Kritik I lmu K eislaman, Meny uarakan I slam di Era Kekinian

30

31

32 33

165

Lihat, Shahiron Syamsuddin, Metode Intratekstualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran Al-Quran, dalam Abdul Mustaqim (ed.), Studi Al-Quran Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002, hlm.132. Konsekuensi yang diterima Nasr Hamid Abu Zaid tidak kalah tragis dengan Muhamad Syahrur. Nasr tidak hanya dicap murtad, melainkan dia harus kehilangan segala-galanya, dipisahkan da­ri istrinya oleh otoritas Mesir dan diekstradisi ke luar negeri. Nasr ditu­­duh telah menyebarkan pemikiran kafir dan darahnya dihalalkan un­tuk menerima hukum had jika tidak segera bertobat. Dan hampir pemikiran-pemikiran yang dianggap radikal dan liberal tidak men­da­ pat tempat, terutama oleh para pemegang kekuasaan. Lihat, op.cit., Hilman Latief... hlm. 37-51. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 277-278. Dalam hal ini, Fazlur Rahman menegaskan pentingnya filsafat di­ kem­bangkan di dalam berbagai ilmu, karena ia merupakan alat inte­lek­tual yang terus diperlukan. Filsafat menurut Rahman harus di­biar­kan berkembang secara alamiah karena ia melatih kita untuk ber­pi­kir dan memunculkan gagasan-gagasan segar yang sangat ber­ man­faat untuk kajian agama dan teologi. Dan karenanya, orang yang menjauhi filsafat akan kehilangan inspirasi dan selalu tidak per­ nah berkembang. Lihat, Fazlur Rahman, Islam Modernity: Trans­ formation of an Intellectual Tradition, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982, hlm. 157-158. op.cit., Amin Abdullah... hlm. 107-108. Undzhur mâ qalâ wa lâ tandzhur man qalâ. “Lihatlah apa yang di­ ka­ta­kan­nya, jangan lihat siapa yang mengatakan.” Pernyataan Nabi ter­se­but merupakan sebuah penegasan bahwa ilmu harus dilihat se­ ba­gai ilmu bukan sebagai identitas.

Merobohkan Teologi Langit (Media Indonesia, 8 Agustus 2003)

B

eberapa pekan, Media Indonesia kembali menggulirkan wa­cana yang sangat menggugah penulis untuk turut ber­ par­tisipasi. Wacana itu adalah sebuah tawaran agar ada upaya untuk membumikan persepsi teologi ke dalam realitas sosial, sehingga teologi tidak begitu melangit dan seakan enggan me­ne­mui umatnya yang kelaparan, miskin, dan tertindas. That human civilization is largely the product of human religiuosity. Kiranya tidak berlebihan jika penulis memilih ada­gium ini yang dilontarkan seorang pemikir terkemuka, Muhammad Ayoub, sebagai ungkapan yang tepat untuk meng­ awali tulisan sederhana ini. Bahwa peradaban yang diulang ma­ nusia tidak pernah terlepas dari campuran tangan agama. Aga­ ma senantiasa hadir (omnipresent) ke dalam ruang dan jiwa per­adab­an manusia. Sebab, agama yang senantiasa hadir itu ada­lah entitas yang sesuai dengan fitrah manusia, yakni hadir

Mer obohkan Teologi Langit

167

di dalam ruang untuk mengembangkan nilai sifat universal ma­nusia yang selalu rindu akan kedamaian, kasih sayang, ke­ te­nang­an, dan keadilan. Sejarah telah mendeskripsikan degan jelas baagaimana kerasnya penindasan struktural dan kultural yang dialami ma­ sya­rakat jahiliyah pra-Islam (sebelum 610 M). Secara struk­ tural, para pemilik modal melakukan pemerasan terhadap kaum lemah-papa (mustadh‘afîn) dengan menguasai sistem poli­tik Mekkah. Dan, dalam skala penindasan kultural, perem­ puan berada hina di bawah bayang-bayang subordinasi budaya patriarki. Perempuan tidak diberikan ruang maupun peluang un­tuk bergerak secara bebas. Konteks itulah, Islam sebagai aga­ ma lahir dengan visi meluruskan ketidakadilan terhadap kaum lemah dengan memberikan mereka hak sederajat tanpa kecuali, yang membedakan khayalan ketakwaan (QS Al-Hujurât [49]: 13; QS Al-Baqarah [2]: 228). Dengan demikian, agama sesungguhnya bukanlah sebuah jalan hidup (way of life) manusia yang eksklusif, melangit, dan jauh dari realitas sosial. Sebab, agama terhimpun karena dan un­tuk kesejahteraan seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘âlamîn). Ia pun tidak akan pernah bertentangan dengan struk­­tur sosial masyarakat. Jika demikian, lantas mengapa da­­lam sejarah, agama acap berposisi vis-a-vis dengan realitas so­sial dan fitrah manusia? Bahkan, agama justru sering men­ ja­di penindas dan sumber malapetaka bagi peradaban manu­ sia (human civilization)? Di sinilah keniscayaan gagasan un­tuk masuk atau membumikan (down to earth) persepsi kema­nu­ sia­an (antropologis) dan ketuhanan (teologi) agama ke dalam ke­hi­dupan sosial manusia. Sebagai konsekuensi derevasi agama ke bumi untuk ma­ nusia, ia pun niscaya terkena virus sejarah yang selalu bergerak ce­pat mengalami perubahan di tengah rasionalitas manusia.

168

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

Sebuah perubahan dari rasio manusia yang acap melakukan deviasi-deviasi terhadap sesuatu yang berbau suci dan tran­sen­ dental. Tak alang kepalang, deviasi itu adalah karakter manusia yang selalu mengotori kesucian agama dengan kepentingan-ke­ pen­tingan pribadinya. Ketika itulah agama mulai kehilangan fungsi dan tujuan utama keterciptaannya, yakni untuk kese­jah­ te­raan kehidupan. Keniscayaan akan adanya campur tangan manusia dalam aga­ma sering kali tidak diakui oleh pemeluknya. Nilai-nilai ke­ ma­nusiaan malah diposisikan sebagai entitas inferior yang ber­ ada jauh di bawah kekuasaan agama (mahasuperior). Padahal, aga­ma bahkan Tuhan sekalipun ‘tercipta’ untuk manusia dan akan kembali untuk manusia pula. Asumsi dan ungkapan keterciptaan Tuhan di atas membawa kita kepada persepsi bahwa keberadaan Tuhan di muka bumi ini akan benar-benar terasa manakala ia menyejukkan kehidupan manusia, tidak menjajah dan membelenggu, melainkan mem­ be­ri­kan semangat pembebasan kepada manusia untuk saling meng­asihi dan tolong-menolong. Karena sejatinya, Tuhan yang di­pahami manusia tidaklah bertolak belakang dengan suara dan bisikan hati terdalam manusia. Sebab itulah, Tuhan le­bih me­milih hati terdalam Muhammad sebagai tempat menye­ma­ yam­kan firman dan pesan-pesan suci-Nya untuk disampaikan kepada semua manusia (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 193-194). Berteologi dengan memahami agama dan Tuhan seperti itu, mengabdi kepada Tuhan berimplikasi pada ikhtiar untuk me­nye­rahkan seluruh totalitas kehidupan hanya untuk Tuhan yang kemudian dibuktikan dengan bentuk pengabdian kepada ma­nusia. Karenanya, antara manusia dan Tuhan tidak bisa dipi­sah­kan. Tuhan dengan manusia ibarat ruh dan jasad yang apa­bila salah satu keduanya tiada, tidak bisa dikatakan se­ba­ gai entitas yang sempurna. Tujuan untuk mengabdikan atau­

Mer obohkan Teologi Langit

169

pun seruan yang diyakini sebagai perintah Tuhan harus pula di­se­la­ras­kan dengan nilai-nilai kemanusiaan (hati nu­rani). Tan­pa itu, Tuhan dalam kehidupan ibarat ruh yang ti­dak me­ mi­liki jasad. Keberadaannya hanya akan menjadi peng­ganggu dan penghancur peradaban manusia. Inilah jawaban dari per­ ta­nya­an mengapa Tuhan dan agama sering kali ber­tin­dak se­ ba­gai peng­hancur peradaban manusia (destroyer of human civilization). Persis, seperti tuduhan Clarkson yang menganggap dosa merupakan fantasi manusia dan kejahatan merupakan wahyu Tuhan. Atas semua itu, kinilah saatnya membangun kembali ser­ pihan-serpihan kehidupan yang telah hancur akibat ke­ang­kuhan kita dengan menyatakan agama lebih suci daripada ke­hi­dupan ma­nusia. Seolah, agama merasa hina menghampiri umat­nya yang dilanda kemiskinan karena itu, bukan saatnya lagi mem­ per­ta­han­kan performansi teologi yang melangit dan eng­gan me­luang­kan waktunya untuk sekadar menengok manusia yang ter­tin­das, miskin, dan tak berdaya. Sudah semestinya teo­logi langit itu dirobohkan dan digantikan dengan teologi yang mem­ bu­mi, yang menghampiri seluruh umat manusia dengan belaian kasih. Merobohkan teologi langit bukan berarti menegasi sisi sa­ kralitas, mitos, dan transendensi agama, karena semua itu me­ru­ pa­kan entitas yang tak terpisahkan dari agama, melainkan men­ coba mengikis nalar teologis yang membawa kepada pemikiran/ tindakan teosentrisme yang ahistoris. Membunuh sakralitas dari agama sama halnya kita membunuh agama dan Tuhan (mitos) dari kehidupan manusia, persis seperti nada yang dilontarkan Nietzsche bahwa Tuhan telah mati. Sementara, fitrah manusia tidak bisa memisahkan dirinya dari agama (mitos). Berdasarkan pemikiran itu, dalam upaya merobohkan teo­ sentrisme agama (Islam), ikhtiar utama yang harus dilakukan

170

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

adalah merombak ajaran-ajaran yang membawa kepada pe­ mikir jumud, melangit, dan teosentrisme, sehingga teologi ber­ tindak sebagai way of life yang memanusiakan (to humanize) ke­hi­dupan manusia. Itulah bentuk teologi masa depan, yakni teo­logi yang tidak melulu membahas Tuhan yang menyebabkan lupa terhadap tujuan utamanya untuk membebaskan manusia dari derita sosial-komunal. Wallâhu A’lam.

Agama Bernalar Manusiawi (Jawa Pos, 2 Mei 2004)

A

gama mana pun hadir ke dunia dengan membawa se­per­angkat tujuan mulia untuk membebaskan (to liberate), mendidik (to educate), dan memanusiakan (to humanize) kehidupan manusia. Demikian juga dengan Islam, yang disebut oleh pemikir Ali Ashgar Engineer, hadir un­ tuk me­­nye­lamatkan, membela, dan membawa prinsip-prinsip ke­­adil­­an universal. Sebuah keadilan yang tidak mengenal batas dan sekat-sekat identitas simbolis manusia: ras, suku, bahasa, dan agama. Agama memang ada dan lahir untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Karena Tuhan Mahakuasa yang tidak membutuhkan pertolongan dan pengakuan dari hamba-Nya, tetapi manusialah yang membutuhkan pertolongan dari-Nya. Perintah Tuhan kepada manusia agar menyembah– Nya tidak menunjukkan bahwa Tuhan itu butuh disembah, me­

172

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

lain­kan Tuhan memberikan jalan bahwa manusia diciptakan secara fitrah agar menyembah Tuhan demi mendapatkan kete­ nangan dan kebahagiaan batini. Sebab itu, sangat disayangkan bahwa cara berteologi kita secara praktis masih berbanding terbalik dengan hal di atas. Bukan manusia yang membutuhkan Tuhan, tetapi seolah Tuhan­ lah yang membutuhkan pertolongan dan pengakuan manusia. Urusan manusia menjadi hal yang nomor dua. Keridhaan Tuhan (li mardhatillah) hanya dilihat pada satu perspektif yang sempit, melangit, simbolis, dan an sich untuk Tuhan. Maka jangan heran banyak orang yang rajin beribadah ritual: salat lima waktu, haji berkali-kali, tidak pernah memperhatikan nasib tetangganya. Padahal, tidak dikatakan sebagai orang yang ber­iman orang yang tidur pulas sementara tetangga sekitarnya kelaparan, kata Rasullullah. Untuk mencapai Tuhan, manusia tidak boleh menelantarkan se­sa­manya. Kesadaran sosial yang tinggi kepada sesama meru­ pa­kan tiket utama jika ingin mencapai keridhaan Tuhan. Se­ ga­la prolematika yang mendera manusia, seperti kekerasan, ke­la­paran, dan penindasan menjadi dosa besar bila diabaikan be­gitu saja. Agama sendiri menyuruh manusia agar menjaga jalin­an tali hubungan dengan Tuhan serta manusia. Ibadah ini inte­gral dan tidak bisa dipisahkan. Implikasi ekstrem yang akan dilahirkan dengan pola ber­ teo­logi hanya untuk Tuhan adalah agama akan meng­aliena­si­kan ma­nusia dari dirinya sendiri. Agama yang sejati­nya memberikan ruang kebebasan kepada manusia untuk ber­ge­rak sesuai dengan fitrahnya (QS Al-Rûm [30]: 30) malah jus­tru akan menjadi be­ leng­gu dan akan memperbudak ma­nu­sia untuk bertindak di luar apa yang ia kehendaki (fitrah ke­ma­nu­sia­annya). Akibatnya, manusia menjadi rentan kehilangan nilai-nilai ke­ma­nu­siaannya. Kekerasan yang disandarkan kepada Tuhan

A gama B ernalar Manusiawi

173

dan agama dianggap bukanlah merupakan suatu hal yang salah dan dosa, sekalipun agama mengajarkan kepada umatnya agar senan­tiasa menggunakan hati menimbang suatu tindakan. Pada saat itu, yang akan terjadi persis seperti apa yang dikatakan pe­ nyair Irlandia, WB Yeats (1865-1939), bahwa rasa tak ber­sa­lah ditenggelamkan, dan terbaik kehilangan pendirian dan ke­ya­ kin­an. Pada taraf inilah agama menjadi sangat ironis mandul, karena agama cenderung kaku dan tidak bergerak dinamis. Dengan demikian, kita harus kembali mempertegas bahwa ber­agama bukan untuk Tuhan, melainkan untuk dan akan kem­ bali kepada manusia. Pada perspektif ini, baik-buruknya Islam akan teruji pada sejauh mana cara keberislaman kita bisa mem­ beri manfaat bagi kehidupan manusia, terutama dalam mengem­ bang­kan nilai-nilai esensial manusia. Atau dalam bahasanya Emile Durkheim, mendukung dan melestarikan masyarakat yang sudah ada. Maka, pemihakan terhadap kemanusiaan men­ ja­di modal utama style keberislaman semacam ini. Seruan ini ber­sandar pada beberapa hal. Pertama, agama (Islam) adalah fitrah. Tuhan meng­gam­ bar­kan bahwa kehadiran agama di dalam lubuk hati manusia ka­rena dorongan fitrah manusia yang haus akan spiritualitas. Itu­lah sebabnya agama disebut juga sebagai fitrah. Fitrah spiri­ tualitas manusia tidak pernah mengamini tindakan kekerasan, meng­gunjingkan teman, dan apatis terhadap masyarakat sosial. Fitrah itu berada di dalam hati manusia. Sering kali Rasullullah SAW mengajak agar umatnya berIslam menggunakan fitrah kemanusiaannya dengan senantiasa me­nanyakan hati (istafti qolbaka) untuk menimbang baik dan buruknya tindakan yang diperbuat. Jika hati (nurani) menga­ta­ kan baik maka tindakan itu adalah baik, tetapi jika ia mengata­ kan salah berarti perbuatan itu adalah dosa dan tercela. Dan, atas dasar itu jualah, Tuhan lebih memilih hati terdalam

174

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

Rasullallah sebagai tempat menyuarakan titah suci-Nya (QS Al-Mu’minûn [23]: 193-194). Kedua, agama Islam diturunkan sebagai penunjuk dalam me­luruskan moralitas peradaban manusia. Rasullullah SAW me­negas­kan keterutusannya ke muka bumi untuk memperbaiki dan me­­lu­rus­kan moralitas manusia yang pada saat itu sedang meng­­alami degradasi besar-besaran, terutama di wilayah Jazirah Arab (innamâ buitstu li utammima makârima al-akhlâq). Al-Quran juga secara tegas menyatakan bahwa Muhammad (Islam) tidak akan diutus ke bumi kecuali untuk ke­maslahat­an dan kesejahteraan seluruh makhluk yang ada di alam ini, yakni sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. Ketiga, tujuan akhir (ultimate goal) ritual formal agama Islam (al-ibadah al-mahdhah) senantiasa dikreasikan dan di­ kem­balikan untuk kebaikan manusia, seperti shalat dengan tu­juan­nya membentuk insan humanis, antidestruksi (QS AlJâtsiyah [45]: 45); puasa membentuk manusia bermoral (QS Al-Baqarah [2]: 183) ataupun simbol ritual haji yang berharap mam­pu membangun kesadaran manusia bahwa dirinya sama (equality/egalitarian) di hadapan manusia yang lain. Mengacu dari beberapa hal itulah, baragama bukan lantas men­jauhkan kita dari realitas sosial manusia, akan tetapi ma­lah harus membawa kita lebih bersentuhan dalam problem-pro­ blem kemanusiaan. Teks-teks kekerasan (makna sempit jihad/ crusade) yang sekiranya bertentangan dengan sisi dan sendisendi kemanusiaan selayaknya untuk diinterpretasi dengan aksi-aksi sosial-kemanusiaan. Wallâhu A’lam.

Spiritualitas yang Kering (Jawa Pos, 1 November 2005)

M

anusia merupakan makhluk dualitas, berdiri di titik antara rasional (homo sapiens) dan irasional (homo religious), di samping perannya sebagai makhluk so­sial (homo socio). Karena itulah, agama senantiasa hadir (omnipresent) dalam setiap zaman kehidupan manusia. Semua hal tersebut harus berdiri seimbang. Jika komponen itu tidak se­im­bang, akan terjadi gejolak dalam diri manusia. Tetapi, saat ini kita dihadapkan pada kenyataan sosial ma­ nusia yang sangat paradoks dengan hal di atas. Kekerasan dan pembantaian terhadap sesama datang silih berganti; Bom JW Marriott, WTC, Mataram, Situbondo, Bom Bali I dan II, tragedi di Palestina dan Irak, ketidakpekaan para pemimpin bangsa ter­ hadap derita rakyat, hingga yang teranyar kasus pembunuhan tiga siswi SMA di Poso baru-baru ini.

176

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

Belum lagi, sederet kekerasan, kekejian, dan kelobaan ma­ nusia yang menghiasi kehidupan kita dewasa ini. Persoalan itu tidak hanya menyisakan permasalahan, tapi menjadi refleksi bah­wa manusia di samping memiliki sifat positif, juga memiliki ke­cen­derungan negatif (QS Al-Syams [91]: 8). Manusia bisa le­ bih buas daripada binatang terbuas. Melihat dimensi kebuasan ma­nu­sia itu, Hobbes kemudian menyebut manusia sebagai homo homoni lupus. Inilah kecenderungan ambigu manusia. Dimensi mana yang men­do­minasi dirinya, kecenderungan itukah yang akan meng­ ge­rak­kan dirinya. Jika demikian, mengapa aspek sosial, ra­sio­ nal, dan terutama spiritual manusia tercabut dan digerus oleh ke­buasan dan kelobaan manusia. Kemenangan logos (rasionali­ tas) atas mitos (irasionalitas) yang menemukan ketidak­jayaan pa­da abad ke-19 tidak hanya mampu menggeser agama sebagai the second class, tetapi juga telah merombak pandangan dunia manusia (world view) menjadi material oriented. Kebenaran, kesenangan, dan kebahagiaan dipersempit menjadi pemenuhan terhadap materi yang seiring dengan munculnya ciptaan-ciptaan manusia yang spektakuler. Itulah cikal bakal ketidakseimbangan manusia nantinya. Pesatnya kemajuan dalam bidang informasi tidak hanya melipat dunia menjadi kecil, meleburkan batas teritorial, dan menga­burkan garis hijau identitas primordial (ras, bahasa, bu­ da­ya), tapi juga menyuguhkan realitas keberingasan manusia dalam memuja materi, imaji, kehormatan, dan gengsi tanpa batas. Dalam impitan ruang zaman yang demikian, manusia men­ jadi terasing dengan diri sendiri. Spiritualitas kehidupan ter­ce­ rabut, manusia tidak lagi mengerti untuk apa dia hidup di du­ nia, ibarat robot, terasing dari diri sendiri akibat dorongan kuat hasrat penguasaan terhadap materi yang merupakan ciptaannya.

Spiritualitas yang Kering

177

Ketakutan dan kecemasan kemudian menggerayangi jiwanya. Ke­tika ketidakseimbangan itu muncul, depresi sosial pun ter­ jadi. Pada level itulah, manusia menerapkan segala cara. Ti­ dak peduli dunia kehidupan menjadi medan untuk saling ban­ tai dan bunuh sesama asalkan materi mampu dikuasai. Yang kuat mencaplok yang lemah, yang lemah memeras yang lebih lemah lagi. Sementara itu, eksploitasi alam secara liar dan penuh keserakahan pun dilakukan. Sebab, dengan begitu­ lah, kebahagiaan bisa dicapai. Di sinilah letak kekeringan spi­ ritualitas di balik keterasingan manusia dengan diri dan kehi­ dup­annya. Bersama dengan itu, agama sebagai basis spiritualitas pun terjebak pada formalisme yang kuat akibat dari positivisme mo­ dernitas. Agama pun diseret menjadi wajah lain dari keserakahan ma­nusia. Agama yang seharusnya mengambil peran penting pa­da kondisi itu, tiba-tiba juga diubah menjadi beringas dan nir­manusiawi. Agama ditunggangi untuk melampiaskan hasrat ma­teri dan kekuasaan.

Spiritualisme Humanistik Karena itu, di tengah tantangan kemanusiaan yang demikian ke­ras, pembumian nilai-nilai spiritual menjadi keharusan se­ mua pihak. Agama sebagai basis spiritual dituntut untuk me­ la­ku­kan perombakan secara besar-besaran agar spiritualisme yang ditawarkannya benar-benar menjadi problem solving atas pe­nyakit yang diderita manusia saat ini. Terutama di negeri kita (krisis kemanusiaan dan kepekaan sosial). Spiritualisme tersebut harus berpusat pada manusia dan pengem­bangan dimensi positif yang ada di dalam diri manusia (sosial, rasional, spiritual). Sebuah jalan melakukan humanisme spi­ritual. Proses pemusatan spiritualisme pada manusia itu

178

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

me­rupakan ikhtiar untuk merombak kesadaran manusia me­ nu­ju manusia yang lebih manusiawi. Yakni, menancapkan ke­ sa­daran manusia agar mengarahkan tindakannya sesuai jalur ke­manusian yang sejati. Kesadaran spiritual humanis lebih mengedepankan aspek ke­manusiaan. Ilmu dikreasikan untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk perang. Senjata diciptakan bukan untuk saling mem­berangus kehidupan dan antarsesama. Karena itu, dalam upaya pengembangan spiritualisme yang berbasis kemanusiaan ter­sebut, peran agama sangat sentral untuk masuk ke seluruh ruang kehidupan; sosial, budaya, politik dan lainnya. Begitu juga, agama harus lebih banyak menghadirkan spiritualitas yang lebuh menggiring pada proses penyadaran kemanusiaan yang selama ini telah lama ditinggalkan.

Nalar Agama yang Hilang (Media Indonesia, 29 Oktober 2004)

H

arus diakui, agama yang kita anut dan jalani saat ini su­dah jauh dari bentuk bangunan ideal agama pada ma­sa Muhammad, Yesus, Musa, Buddha, dan bahkan Ibrahim. Agama dewasa ini sudah tidak bisa lagi diharapkan untuk menjadi obat (untuk tidak mengatakannya panacea) bagi ke­suraman peradaban yang penuh dengan sifat destruktivisme dan vandalisme komunal dari modernisme. Bahkan ironisnya, aga­ma malah acap kali menjadi ladang pertikaian, pertumpahan darah, dan alat pencari kekuasaan. Di sini, saya tidak bermaksud meng­hujat agama, tapi itulah kenyataannya, bahwa agama de­ wasa ini sangat jauh dari tipe ideal pada saat ia lahir. Perang dingin antara mitos (teolog) dan logos (filsuf), yang ke­mu­dian menghantarkan kepada kemenangan logos se­hing­ ga me­munculkan Renaisans dan Aufklarung, cukup mem­ba­wa ma­nusia tercerabut dari akar spiritualnya. Herannya, aga­ma

180

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

tidak berperan sebagai counter balancing terhadap arus gerak logos, tetapi malah masuk ke dalam jaring-jaring logosceterism tersebut. Agama menjadi kehilangan mitos dan sakralitas sebagai ruh fundamentalnya. la berjalan-jalan di atas per­ mukaan logos yang serba rasionalsentria dan objektif. Iman di­ rasio­nalkan (fidesquerens intellectum) dan ajaran Tuhan (baca: wahyu) diprofansentriakan. Rekayasa yang coba dibangun agama hanyalah rekayasa semu, karena terbangun dari logos semata. Kekeringan makna, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan agama pada taraf seperti ini. Simbol tidak lagi bermakna, ritual hanya se­kum­ pulan doktrin dan simbol yang harus dilaksanakan, namun ti­ dak memberikan kontribusi apa pun bagi kehidupan manusia. Bah­kan ironisnya, ritual hampa nilai spiritualitas. Tetapi pada sisi lain, ada juga wajah agama (teologi?) yang jus­tru terang-terangan mengabaikan sisi rasionalitas. Agama ha­nya dipandang sebagai sekumpulan mitos belaka yang pa­da akhirnya, manusia seolah hanya menjadi budak agama. Ke­ke­ rasan dan pembunuhan tidak lagi menjadi perbuatan keji ketika di­san­dingkan dengan doktrin agama. la hanya menjalankan agama, namun tidak mengerti untuk apa dan siapa ajaran itu di­tu­runkan dan dilaksanakan. Apa pun itu, jika diyakini ber­ sum­ber dari agama, akan diterjemahkan ke dalam realitas se­ kali­pun dengan kekerasan dan perusakan yang bertentangan de­ngan nalar kemanusiaan. Benarlah apa yang dikatakan se­ orang penyair Irlandia WB Yeats (1865-1939), rasa tak ber­sa­ lah ditenggelamkan, yang terbaik kehilangan pendirian dan keyakinan. Pun, menjadi benar juga tuduhan Clarkson yang menyatakan bahwa dosa merupakan fantasi manusia, se­dang­ kan kejahatan merupakan wahyu Tuhan. Nalar agama adalah nalar profetik, nalar profetik adalah na­lar kemanusiaan, dan nalar kemanusiaan adalah nalar yang

N alar A gama yang Hilang

181

ber­sum­ber pada nurani. Tetapi, agama mainstream dewasa ini ada­lah agama yang tidak lagi memiliki nalar demikian. Watak aga­ma dengan nalar kemanusiaan tidak berada pada posisi mutual-interest. Agama dan Tuhan menjadi sesuatu yang superior, melebihi segalanya. Sedangkan nalar manusia yang ber­sumber pada nurani diposisikan pada ruang yang inferior. Ak­hir­nya, gerak agama tidak lagi selaras dengan bahasa nurani. Pada­hal, hati nurani merupakan instrumen Tuhan untuk me­ na­ruh dan menyemayamkan firman-Nya (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 193-194) agar manusia bergerak pada koridor hukum-hukum Tuhan cinta kasih. Dengan demikian, harus diakui bahwa nalar agama main­ stream saat ini tidak lebih dari sebuah nalar yang mencoba me­ re­kayasa kehidupan manusia dengan (apa yang dianggapnya) ha­nya bersumber pada perspektif Tuhan (agama) an sich atau se­mata murni rasional. Dan, tidak pernah menjadikan nurani ma­nusia sebagai referensi rekayasa ideal-normatif. Nalar (nurani) manusia dikesampingkan. Semua tindakan yang meng­ikut­sertakan blessing Tuhan ataupun semata rasio tampak begitu suci dan aksiomatik, walaupun meminta tumbal seribu darah manusia; pembunuhan dan pembantaian. Rekayasa aga­ ma ini tidak memberikan keteduhan bagi manusia, malah justru me­nelanjangi manusia dari kehidupan dan ketenangan jiwanya. Aga­ma dan manusia bak dua buah entitas yang terasing dan men­jadi orang asing (alien) di antara mereka. Ada dua sebab mengapa agama demikian. Pertama, keter­ ge­ser­an spiritualisme agama oleh kerasnya empasan badai rasio (baca: logos) manusia. Manusia berusaha melogosentriakan (de­sakralisasi) Tuhan dari tarikan napas agama. Pada persolan ini, pemikir besar Karen Amstrong menegaskan bahwa ma­nusia sama saja dengan membunuh Tuhan manakala hendak men­ja­ di­kan Tuhan (agama) murni rasional (Karen Amstrong, 2001).

182

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

Dan ketika agama demikian, ia tidak menjadi peneduh, tetapi meng­asingkan manusia dari dunia spiritual. Kedua, adanya rasio-phobia. Yakni, terlalu memandang negatif terhadap rasio yang telah membuat agama kehilangan spiritualismenya. Se­ hingga apa yang terjadi? Mitos pun menjadi pujaan. Bara den­dam dan kekerasan tidak dipandang sebagai bagian yang dila­rang Tuhan, melainkan sesajen yang seolah bisa membuat Tuhan ‘tersenyum’ dan ‘bangga’. Atas hadirnya dua faktor inilah, agama menjadi tidak memiliki nalar, baik nalar spiritualitas dan (lebih-lebih) nalar kemanusiaan (baca: nurani). Melihat pandangan tersebut, berpijak pada nalar kema­ nu­siaan adalah suatu keharusan bagi agama agar mampu me­ nye­tir kembali peradaban dunia. Agama tidak akan lagi dicibir seba­gai perusak peradaban (destroyer of human civilization) yang berkeadilan dan berkedamaian, sebagaimana nada WB Yeats dan Clarkson di atas. Karenanya, tawaran yang men­de­sak untuk diaplikasikan adalah membangun konsepsi dan re­ka­yasa agama yang selalu berasas dan mengacu pada nurani ke­ma­nu­ siaan. Nurani manusia tidak pernah meridhai segala bentuk ke­ ke­rasan pembantaian, dan penindasan. Nurani manusia selalu meng­inginkan kedamaian, kasih sayang, dan spiritualitas. Ini­ lah sesungguhnya nilai agama yang selama ini lepas dan hilang da­ri pelukannya. Inilah yang disebut oleh Tuhan sebagai agama fitrah (QS Al-Rûm [30]: 30) Rekayasa yang berasas pada nurani kemanusiaan tidak akan mencerabutkan spiritualitas agama dan tidak pula men­ di­ko­to­misasikan agama dengan logos. Melainkan keduanya harus saling bersimbiosis-mutualis dan bahu-membahu. Logos harus­lah legawa untuk tidak merasionalisasikan seluruh ma­ terial agama. Pun, agama (mitos) janganlah mengklaim salah ma­na­kala logos mencoba meluruskan gerak langkahnya.

N alar A gama yang Hilang

183

Sehingga, agama tidak lagi menjadi asing dan mengasingkan manusia dari dunia spiritualitas serta tidak memperbudak dan mem­bunuh nalar (baca: nurani) manusia dalam mengukur baik dan benarnya tindakan. Kiranya seperti itulah bangunan ideal aga­ma untuk masa kini, yang dahulunya pernah bersemayam mesra di zaman Muhammad, Yesus, Konfusius, dan Musa. Wallâhu A'lam.

Menyempurnakan Agama? (Media Indonesia, 2 Mei 2003)

S

ekalipun yang ditawarkan tiada hal yang baru, tulisan Hatim Gazali yang bertajuk “Agama Edisi Revisi” (Media Indonesia,11/4) sangat menggugah penulis untuk ikut mem­­per­­bin­cang­kannya. Bagi Hatim, agama saat ini sudah se­ layak­­nya direvisi, karena ia telah kehilangan fungsionalnya. Se­ra­ya mengutip pendapat pemikir Hendrik Khraemer dan Malachi Martin, Hatim berkesimpulan bahwa zaman keber­ha­ silan agama telah berakhir. Ini bisa dilihat dari, agama menjadi tung­­gangan politik para penguasa dan fungsionarisnya serta ke­sen­jangan das sein dan das sollen agama. Menurut Hatim, lahir­nya fe­no­mena tersebut karena agama ditempatkan sebagai suatu yang profan oleh masyarakat modern. Walau begitu, pada da­sar­nya saya sepakat dengan tawaran Hatim Gazali, kendati ada be­­be­rapa hal yang masih problematis dan akan didiskusikan pada kesempatan ini.

Meny empurnakan Agama?

185

Harus diakui, agama memiliki andil besar dalam memaju­ kan per­adaban dunia. Agama menjadi semacam inspirator un­ tuk mengonstruk tatanan primordial peradaban, kedamaian, ke­adilan, kebebasan, dan kesejahteraan. Bahkan, berawal dari agama­lah ide-ide revolusioner, liberatif, dan humanis lahir. Jauh ke belakang sejak kemunculannya, agama mendekonstruksi bu­ daya feodalisme, tribalisme, khauvinisme, dan vandalisme yang merupakan bentuk keterbelakangan peradaban manusia. Sayangnya, Hatim Gazali terlalu keburu mengambil ke­sim­ pulan bahwa zaman keberhasilan agama telah berakhir. Sembari meng­ambil petuah Hendrik Khraemer dan Malachi Martin bahwa agama telah memasuki periode krisis, baik pada wilayah per­sonal concern maupun communal community. Padahal, era ini merupakan titik balik dari argumen tersebut. Agama mu­lai bangkit dan merefleksikan dirinya ke dalam jiwa zaman ke­ma­ nu­siaan. Sejarah membuktikan, cita-cita materialisme ma­nu­ sia tak kuasa menggeser agama ke pinggiran. Usaha Jean Paul Sartre, Nietzsche, Karl Marx, dan para converse yang lain (isti­ lah ini digunakan Karen Amstrong) tak terbukti. Manusia tidak mungkin mengalienasikan diri dari agama (spiritualitas). Ia ada­ lah homo yang tegak di atas dua apitan alam, mitos dan logos (irasional dan rasional). Bahkan, Harvey Cox menggambarkan zaman saat ini dengan kebangkitan agama dan kebangkitan dunia sakral (Syamsul Arifin, 2001). Memang, harus diakui, agama acap menorehkan luka merah sejarah kemanusiaan. Terpaan arus logosentrisme dunia modern telah menggeser nilai dan fungsi agama. Agama berkelindan di atas altar sejarah manusia yang profan dan rasionalistik. Sehing­ ga, agama berubah menjadi legitimasi kekuasaan dan ke­pen­ ting­an para fungsionarisnya. Agama digiring dan diramu layak­ nya benda-benda profan yang lain. Akhirnya, pernyataan Hatim Gazali bahwa pemandangan jauhnya antara das sein dan das

186

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

sollen agama tak dapat dielakkan. Cita suci ideal agama tampak seperti cita utopia yang kontras dengan realitas faktualnya. Melihat hal itu, ada dua yang tak terjamah dari pemikiran Hatim Gazali dalam memandang disfungsi agama saat ini. Per­ ta­ma, dari segi doktrin. Kemandulan agama karena lembaga dok­trin aga­ma itu sendiri. Kekrisisan agama tidak an sich faktor po­lar­isasi dan po­litisasi agama. Tidak mungkin agama men­jadi le­gi­ti­ma­si ke­bi­jakan tanpa ada dorongan tekstual doktriner agama. Persetubuhan agama dengan kekuasaan memang senan­ tiasa mengundang polemik yang tak jarang meminta tumbal. Kenyataan sejarah ini mendesak kita untuk melakukan upaya redoktrinasi atau bahkan dedoktrinasi kesatuan agama dengan ke­kuasaan. Pakar agama John L. Esposito mengungkapkan, doktrin Kristen berbeda dengan doktrin Islam. Islam me­nya­­ kini kesatuan antara agama dan kekuasaan, sementara Kris­ten terpisah. Agama terlalu suci, jujur, dan polos untuk disan­ding­ kan dengan kekuasaan yang penuh muslihat, picik, dan arogan. Ini tidak berarti menempatkan agama dengan politik secara diametral, tapi agama harus mengambil jarak dengan ke­kuasaan. Sebab itu, harus ada upaya redoktrinasi ajaran aga­ma. Pun, ini harus dilakukan pada ajaran-ajaran agama yang ber­po­tensi menyulut keberingasan dan kekerasan, terutama doktrin jihad dan crusade yang acap diartikan konfrontasi secara fisikal. Kedua, kurangnya penghayatan terhadap nilai-nilai agama. Suasana disekuilibrium antara das sein (idealitas teks) dan das sollen (realitas konteks) dalam agama adalah fenomena kons­ tan yang sudah ada semenjak agama itu lahir. Dan, ini ter­jadi karena nilai-nilai agama yang diinternalisasi ke dalam jiwa tidak disertai penghayatan dan pemaknaan mendalam. Re­ka­ ya­sa normatif yang diidealkan teks menjadi terhambat karena ke­ni­hilan penghayatan itu. Tak heran yang kemudian acap

Meny empurnakan Agama?

187

tam­pak adalah distorsi dan reduksi ajaran-ajaran normatif aga­ ma yang mengandung kedamaian, keadilan, kebebasan, dan per­sau­daraan universal (universal brotherhood) yang lintas identitas (cross identity of humanity). Tanpa penghayatan ter­ ha­dap nilai cita ideal agama, utopis penyelarasan das sein dan das sollen tergapai. Karenanya, kesenjangan kedua wilayah ter­ se­but bukanlah sebab kekrisisan agama, ia merupakan akibat dari sebuah sebab, yakni luluhnya penghayatan tadi. Mengafirmasi pemikiran di atas, upaya Hatim Gazali me­ re­visi agama yang semula dianggap profan oleh masyarakat modern menjadi agama yang berdiri di atas dua pijakan, antara sakral (irasional) dan profan (rasional), akan mengalami ham­ batan. Ini terjadi jika cara beragama belum dibarengi dengan peng­hayatan terhadap nilai dan doktrin agama. Kendati ber­upa­ ya menempatkan agama pada middle place, agama akan tetap mem­bius umatnya dalam kepongahan dan arogansi destruktif. Tuduhan Marx bahwa agama adalah candu, Nietzche bahwa Tuhan telah mati, Hendrik Khraemer dan Martin Malachi bah­ wa agama telah memasuki masa krisis, lahir karena peng­hayat­ an terhadap agama sudah tidak menaungi kehidupan ma­nusia. Agama masih ditempatkan pada wilayah eksoteris, se­hingga ia menjadi kering. Apa pun bungkus sebuah agama tanpa peng­ ha­yatan berpotensi membawa manusia kepada keter­asing­an. Tanpa penghayatan inilah yang menyebabkan agama “sakral” meng­alienasikan dan membius masyarakat menuju penga­ laman. Sebaliknya, agama “profan” menempatkan agama seba­ gai barang rongsokan yang menjadikan manusia teralienasi dari dunia spiritualitasnya. Pun, agama middle place (antara sakral dan profan) tidak jauh dari kedua fenomena tersebut jika tidak di­barengi dengan penghayatan dan pemaknaan terhadap nilainilai ilahiah agama secara mendalam. Wallâhu A‘lam.

Merancang Fikih Bumi (Media Indonesia, 27 April 2007)

A

gama tidak hanya diperuntukkan bagi manusia, tetapi juga untuk keberlangsungan rotasi kehidupan di mu­ka bumi, itulah esensi rahmatan lil ‘âlamîn. Yakni mem­ beri rahmat dan manfaat bagi seluruh alam yang mengitari ga­ laksi ini. Tetapi, semua berbanding terbalik. Agama seolah ha­ nya untuk manusia, tidak untuk bumi. Dus, kini bumi menjadi second class dan objek eksploitasi manusia karena agama (mono­teisme) menempatkan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifah fi al-ardhi). Manusia pun menjadi pusat dari segala subjek yang ada di bumi. Tetapi benarkah agama tidak memberikan ruang untuk mem­perhatikan bumi? Kemajuan teknologi, sebagai simbol perkembangan pesat akal manusia, cenderung menjadikan manusia semakin liar ter­ ha­dap alam. Pada era mitos, alam manusia ditempatkan pada

Merancang Fikih Bumi

189

posisi agung dan sakral. Rasio berada di bawah bayang-bayang su­premasi irasionalitas, alam menjadi titik sentrum, alam men­jadi Tuhan bagi manusia yang menyeramkan sekaligus di­puja, disebut Rudolf Otto sebagai sang mysterium fascinan et tremendum. Manusia tidak berani memperlakukan alam semena-mena karena ia adalah entitas yang harus dipuja. Akan tetapi, pada era logos (modernisme), supremasi alam diruntuhkan oleh rasionalitas Cartesian, cogito ergo sum manusia menjadi ada ketika ia mampu menaklukkan ke­kuat­an irasionalitas alam. Tunduk terhadap alam berarati takluk ter­ ha­dap irasionalitas. Membiarkan diri takluk terhadap ira­sio­ nalitas berarti manusia belum menjadi being (baca: ada) yang se­sungguhnya. Logos dan rasionalitas menjadi citra yang nis­ caya melekat dalam diri manusia untuk menggada yang dieja­ wan­tah­kan dengan cara menundukkan alam semaunya dan semena-mena. Hegemoni nalar Cartesian tersebut menenggelamkan ma­ nusia pada peminggiran alam dan segala sesuatu yang di luar ke­lo­gisan. Alam harus tunduk pada segala kreasi akal ma­nu­sia berupa pembangunan dan kemajuan. Arus kencang logos atau rasionalitas telah membunuh jiwa alam dan men­ja­di­kannya an sich objek yang dapat dieksploitasi secara destruktif. Demi membangun segala fasilitas yang menunjang kehidupan ma­ nusia, seperti perkantoran, pertokoan, mall, dan transportasi, men­jaga alam dan keberlangsungan ekosistemnya menjadi marginal. Segala sendi kehidupan kita saat ini bergerak demikian. Bahkan, dalam ranah agama pun, hegemoni logos begitu be­ sar dengan menundukkan agama di bawah ketiak rasio (fide squerens intellectum). Dus, agama pun tidak mampu meng­ge­ rak­kan keliaran logos manusia atas alam. Di sinilah meman­tap­ kan kembali peran agama dalam menyeimbangakan akal ma­

190

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

nu­sia perlu ditancapkan agar mampu memberikan kon­tri­busi dalam menyeimbangkan alam dan manusia, tentu dalam mem­ berikan ruang agama berbicara, meletakkan agama di hadapan akal secara profesional terlebih dahulu harus dilakukan. Jika tidak, upaya tersebut akan sia-sia karena, bagai­ma­na­ pun juga, sisa-sisa hegemoni logos dan nalar modernisme pa­da masyarakat dunia tidak hanya meminggirkan alam, tetapi juga telah menendang untuk tidak mengatakan membuang aga­ma menjadi persoalan yang tidak penting, antara rasio dan irasio­ nalitas harus bergerak seimbang. Karena itu, mengembangkan nilai-nilai berbasis lingkungan mendesak dilakukan, agama memandang manusia dan alam tidak berjajar secara hierarkis, melainkan berposisi sejajar. Ter­utus­nya manusia sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah fi al-ardhi) bukan lantas ia berhak sewenang-wenang atas alam dan me­lihat jagat raya lebih inferior darinya yang menjadi dalil kita meng­eksploitasi alam. Sebagai wakil Tuhan, manusia harus mem­per­lakukan alam dengan penuh kasih sayang. Dengan kasih sayang itulah, alam dan manusia bisa berjalan harmonis. Alam tidak lagi diperlakukan sebagai objek rasio manusia secara liar. Agama menginformasikan bahwa jauh sebelum manusia tercipta, alam dan jagat raya ini sudah ada terlebih dahulu. Ma­ nu­sia ditugaskan menjaga dan melestarikan alam sekalipun di dalam diri manusia terdapat potensi perusak (baca: fujur) yang sewaktu-waktu akan membahayakan keberlangsungan bumi (baca: ekosistem). Berkali-kali Tuhan menjelaskan bahwa ma­ nusia terbuat dari tanah yang berarti antara manusia dan alam merupakan satu kesatuan yang saling bergantung satu sama lain (QS Al-Ra‘d [13]: 04 dan QS Al-Nâzi‘ât [79]: 30-33). Dengan de­mikian, rasio dan logos memerankan dirinya dalam kerangka men­jaga keberlangsungan alam semesta menjadi bagian dari diri manusia.

Merancang Fikih Bumi

191

Manusia tidak boleh mengedepankan rasionya untuk meng­eksplorasi alam hanya untuk kepentingannya, melainkan menge­de­pankan spesies lainnya (QS Al-Rahmân [55]:10). Me­ ma­hami alam dan manusia sebagai entitas yang integral akan meng­giring pada keseimbangan bahwa alam juga memiliki ba­ ngunan rasionalitasnya masing-masing. Sehingga, tak pelak, ben­cana pun datang bertubi-tubi karena rasio manusia sering me­la­brak rasionalitas dan moralitas alam itu sendiri. Sebab itu, dalam memberikan ruang agama memecah pro­ blem ekologis, perlu adanya rekayasa teologi yang aplikatif da­ lam pemikiran agama itu sendiri. Merancang fikih bumi atau ling­kungan adalah salah satu solusi aplikatif tersebut. Memang sangat disayangkan, pembicaraan lingkungan dalam khazanah fikih klasik tidak mendapatkan porsi yang besar. Alih-alih mem­ berikan porsi, fikih yang kita kembangkan dan jalankan justru ber­gerak stagnan tanpa ada pengembangan dan proses ijtihad yang disesuaikan dengan problem kontemporer. Di sini­lah cen­ dekiawan Muslim dan lembaga-lembaga keagamaan me­main­ kan peranan penting dalam menjawab krisis ekologi saat ini. Fikih lingkungan akan mengatakan dengan tegas bahwa orang yang mengabaikan, menyia-nyiakan, dan merusak tatan­ an ekosistem di atas bumi dapat dikatakan sebagai orang yang me­me­rangi Allah dan rasul-Nya (QS Al-Mâ’idah [5]: 33). Ka­re­na tindakannya dikategorikan memerangi Allah, orang yang me­ rusak alam dapat disebut sebagai kafir yang harus dihukum. Hal tersebut bukan lantas alam tidak dieksplorasi, melain­ kan diletakkan secara seimbang demi manfaat seluruh spesies bumi. Dengan demikian, rasio tidak menjadi penguasa yang liar, menebang untuk pembangunan dan kemajuan kota dan per­adaban, tetapi menjadi pengelola alam secara arif dan bijak­ sana.

Edisi Kritik Agama (Media Indonesia, 17 Oktober 2003)

P

ada saat agama dipahami dalam lingkup formal (organized religion), niscaya akan tampil dalam dua wajah pa­ radoks, sangar dan lembut. Itulah standar ganda (double standard) agama sebagai konsekuensi dari eksistensinya yang selalu berbaur dengan logika objektif-empiris sejarah. Pemikir Mahmoed Mohammad Toha menyebutnya dengan istilah spatio temporal. Konsekuensi dari double standard atau spatio temporal tersebut adalah, agama acap kali bertolak bela­kang antara idealitas-tekstual yang diinginkan dari realitas kon­ tekstual yang terjadi di lapangan. Tak heran jika agama justru kerap menjadi pemecah-belah (sentrifugal) daripada sebagai pemersatu (sentripetal). Tak heran jika kemudian seorang pemikir bernama AN Wilson berucap secara radikal bahwa agama pada dasarnya le­ bih berbahaya daripada candu. Karena, ia tidak hanya mem­buat

Edisi Kritik Agama

193

orang tertidur, tetapi juga mendorong manusia untuk meng­ aniaya dan membunuh sesamanya. Pelbagai kasus kekerasan seperti tragedi WTC, bom Legian, kasus Situbondo, Mataram, Ambon, dan tragedi Bom JW Marriott di Jakarta merupakan se­ge­lintir dari sejumlah rentetan keterlenaan manusia oleh buaian agama untuk berjalan dalam logika sejarah, sesekali mem­bantai sesamanya. Sekalipun dalam garis historisnya agama muncul sebagai upa­ya harmonisasi dan humanisasi bangunan sosial dan bu­ daya yang runtuh akibat egoisme despotik manusia, akan te­tapi ketika berjalan dalam logika sejarah, sesekali saja polos aga­ ma menampakkan keberingasan. Dan di situlah, sisi lain aga­ ma mengemuka, yakni sisi yang memiliki potensi perusak dan penghancur. Pada saat itu, agama tidak lagi dipahami se­cara fitrah yang sebenarnya, melainkan berjalan di atas ego ke­be­nar­ an yang menenggelamkan sisi kemanusiaan. Proyeksi lapangan yang coba dibangun agama menjadi an sich dilihat dalam perspektif yang monistik, melangit dan ti­dak pernah salah. Ruang kritik terhadap agama tertutup ra­ pat, karena logika manusia dianggap ‘haram’ mengkritik apa­lagi merevisi agama yang mahaparipurna dan mahasegala-sega­la­ nya. Semua jalan kebenaran hanya milik agama yang dianutnya dan pada saat yang bersamaan manusia tidak bisa memberikan masukan terhadap agamanya itu. Melihat hal itu, agama harus bisa memberi ruang kritik ter­ ha­dap wacana yang disuguhkannya. Memberikan ruang kritik ter­ha­dap agama tentu akan memberikan wajah baru dan lebih meng­hi­dupkan keadaan agama itu sendiri. Bukan berarti agama harus di­profansentriskan, dilogosentriskan atau dipisahkan dari nilai sakralitas dan mitos yang antirasio, tetapi mencoba memo­ sisikan agama secara proporsional bahwa agama adalah entitas me­nye­jarah yang sewaktu-waktu bisa saja salah.

194

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

Peran agama dengan fungsinya sebagai pegangan hidup tetap manusia, yang senantiasa bercampur baur dengan logikalo­gika sejarah yang dinamis, merupakan dasar argumen dari per­nyataan di atas. Agama yang bercampur baur dengan sejarah ter­sebut merupakan hasil interpretasi intrasubjektif manusia yang selalu mementingkan egonya di atas kepentingan bersama. Dalam rangka ini, agama tidaklah antikritik. Memang benar aga­ma mengajarkan kebaikan, tetapi agama tidak mengatakan bahwa hanya dirinyalah yang paling baik. Islam mengajarkan ke­be­naran, namun bukan berarti ia memproklamasikan dirinya selalu benar dan lepas dari kritik. Kesalahan terbesar kita dalam memahami agama saat ini adalah melupakan sisi kesejarahan agama yang selalu berbaur de­ngan faktor-faktor eksternal itu; sebuah kondisi objektif se­ jarah yang memengaruhi gerak tubuh agama itu sendiri. Atas pe­ma­haman itu, agama kemudian hanya diyakini sebagai yang abso­lut dan terpisah dari realitas empiris sejarah. Apa pun itu jika diyakini datang dari agama (Tuhan) akan dikatakan sebagai se­suatu yang benar, tanpa interpretasi, dan bersifat taken for granted. Padahal, ketika agama turun ke bumi, saat itu juga ia menjadi sebuah interpretasi. Sebab itu, kita harus berani mengatakan bahwa memang ada sisi–sisi agama yang melegitimasi dan menjadikan ke­ke­ ras­an sebagai langkah perjuangan. Logikanya, tidak mungkin sebuah kekerasan dilakukan oleh umat beragama sebagai jalan per­juangan tanpa ada legitimasi tekstual-doktriner dari agama itu sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya konsep jihad dan crusade yang memberikan jalan kekerasan sebagai langkah un­ tuk melawan the others enemy. Hal di atas bisa saja disebabkan oleh kondisi objektif aga­ma yang tidak hanya bergerak secara natural, melainkan bisa di­ge­ rak­kan dan ditunggangi oleh manusia. Memang benar agama

Edisi Kritik Agama

195

mun­cul ke bumi untuk membawa nilai-nilai kesejahteraan, akan tetapi setelah ia ditinggalkan oleh pembawanya (nabi), aga­ma akan mengalami beberapa deviasi disebabkan oleh ma­ nusia itu sendiri yang selalu memuja egonya. Dan, kalau meli­hat perjalanan panjang sejarah agama, kepentingan politik me­ru­pa­ kan salah satu entitas yang paling berpotensi besar melahirkan deviasi-deviasi tersebut. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita untuk menga­ta­ kan bahwa agama kebal dari kritikan, lepas dari campur tangan ma­nusia. Bagaimanapun, wacana-wacana yang disuguhkan aga­ma berada dalam konteks sejarah yang diproyeksikan untuk kese­jahteraan manusia. Selama ini umat beragama masih takut un­tuk mengkritisi agamanya, karena itu, ketika ada orang mela­ ku­kan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, selalu di­ pan­dang sebelah mata sebagai bentuk pemahaman yang keliru ter­hadap agamanya. Cara pandang ini menempatkan agama hanya pada posisi yang tak pernah salah, sebaliknya manusia ber­ada dalam ruang yang selalu salah. Dalam memberikan kritik terhadap agama, hal utama yang harus dilakukan adalah menyatukan persepsi bahwa agama ada­lah entitas historis. Sebuah upaya kritis dengan memandang aga­ma dalam konteks sejarah. Selain itu, kita juga harus bisa mem­berikan batasan terhadap upaya kritik kita kepada (teks) aga­ma, hanya pada sisi fungsionalitasnya bagi konteks sosial dan kemanusiaan. Dengan demikian, cita-cita agama untuk mem­ bangun dan menyejahterakan manusia benar-benar bisa me­ wu­jud di alam nyata manusia. Ajaran-ajaran yang tidak mem­ beri­kan kemajuan terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan ha­ruslah dikritik dan dipertanyakan relevansinya, bahkan bila perlu dinegasi dari agama itu sendiri. Sehingga, agama tidak akan pernah lagi dituduh sebagai en­titas yang lebih berbahaya daripada candu, sebagaimana yang

196

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

di­ungkapkan AN Wilson di atas. Pun, agama tidak akan pernah men­jadi perusak dan pemusnah peradaban, tetapi akan benarbenar berperan sebagaimana tujuan ia hadir di muka bumi ini, se­ba­gai penenteram bagi kehidupan manusia, rahmatan lil ‘âlamaîn. Wallâhu A‘lam.

Lebaran Topat dan Teologi Lokal (Lombok Post, 2 Desember 2003)

S

udah menjadi tradisi, satu minggu setelah Idul Fitri, masyarakat Lombok merayakan lebaran ketupat (baca: topat). Lebaran ketupat sebenarnya tidak hanya terdapat di Lombok semata. Selain Lombok, seperti Jawa dan Madura pun mengenal adanya lebaran ketupat. Belum jelas dari mana akar tradisi tersebut, namun kalau boleh dibilang pada dasarnya lebaran ini merupakan gelindingan tradisi yang menjadi ritual setelah satu minggu melakukan puasa sunnah syawal. Kebiasaan ini sesungguhnya sangat menarik diulas lebih dalam. Dikatakan menarik karena tradisi tersebut an sich budaya, melainkan juga ada kooptasi nilai-nilai teologis yang kental di dalamnya. Apa yang terlihat dalam lebaran ketupat di sini menunjuk­ kan, antara agama dengan budaya lokal pada dasarnya tidak ber­­sifat konfrontatif, sebagaimana yang sering kita pahami

198

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

se­la­ma ini, melainkan bersifat kooperatif, akomodatif dan bersinggungan secara dialektis. Agama tidak bisa melepaskan atau mencerabutkan diri­nya dari budaya manusia, sebab budaya merupakan simbol ins­ trumental utama manusia dalam mentransformasikan sebuah makna. Pesan agama akan meresap dalam jiwa manakala ia di­ sam­paikan melalui budaya setempat. Nabi Muhammad SAW telah menunjukkan cara-cara semacam itu. Budaya Arab tidak di­eliminir semuanya melainkan dengan mengambil mana yang baik dan mana yang buruk dari budaya itu sendiri. Proses dialektika agama dengan budaya tidak saling menga­lahkan dan menghakimi satu sama lain melainkan saling me­leng­kapi ibarat air dengan gelas. Air sebagai ajaran-ajaran nilai yang suci sedangkan gelas mewakili budaya yang berfungsi sebagai wadah untuk menampung nilai ajaran suci itu. Karena itu, agama tidak serta-merta meninggalkan budaya lokal, apa­ lagi berpandangan sinis atau bahkan selalu menempatkan bu­ daya sebagai penyakit masyarakat yang harus dieliminir. Sikap ini tidak akan memberikan ruang positif bagi agama dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran sucinya di tengah kehidupan manusia. Agama bekerja untuk mengisi kekosongan atau sisi regresivitas sebuah budaya, sedangkan budaya ber­ usa­ha menerjemahkan pengalaman religiusitas mendalam (erlebnes) manusia ke dalam simbol-simbol kebudayaan dengan seperangkat aksinya. Dengan demikian, terjadilah persenyawaan antara agama de­ngan budaya lokal secara harmonis-nondikotomis. Dari sini, me­minjam teori hermeneutikanya Hans George Gadamer, ajar­ an murni agama dengan budaya lokal seolah mengalami se­ma­ cam fusion of horizon (peleburan horizon; horizon agama dan horizon lokal) yang kemudian terbentuklah suatu cara ke­bera­ gamaan (teologi) yang khas lokalitas.

Lebaran Topat dan Teologi Lokal

199

Atau dalam bahasanya seorang sosiolog kawakan, Peter L. Berger, mengalami tahap objektivikasi itu lahir setelah terjadi proses eksternalisasi dan internalisasi dalam masyarakat. Di dalam lanskap fusion of horizon atau objektivikasi itulah, lahir perbedaan corak antara Islam yang ada di Arab, Islam di Jawa, Islam di Lombok dan Islam yang bernaung di dalam lokus bu­ daya yang lainnya. Fenomena lebaran topat atau selakaran misalkan telah me­ nunjukkan hal itu, sekalipun dalam tradisi seperti lebaran topat kurang menunjukkan ritual yang bersifat religius, melainkan ter­kesan lebih menonjolkan arus budaya yang berorientasi hedon­isme, seperti pergi ke tempat-tempat rekreasi dan hurahura. Hanya sebagian kecil yang mengisinya dengan ziarah ke makam-makam raja dan para wali. Sekalipun demikian, tradisi tersebut harus kita akui didorong oleh kerasnya arus semangat reli­giusitas atau kentalnya spatio domino spirit agama yang ada di masyarakat Lombok. Inilah yang memberikan corak tersendiri dalam tradisi lebaran topat. Perlu digarisbawahi, teologi lokal atau Islam lokal bukanlah sebuah upaya untuk mengagungkan budaya yang kemudian serta-merta disenyawakan dengan agama begitu saja. Teologi lokal bukan sebuah cara keberagamaan yang hanya tunduk ter­ hadap tradisi sehingga kehilangan daya kritisnya, melainkan men­coba bersikap proporsional, kritis tetapi tidak antitradisi. Agama dalam teologi lokal harus kritis melihat tradisi yang tidak memberikan nilai positif bagi kehidupan sosial. Karena itu, diharapkan teologi berbasis lokalitas berperan aktif dalam menopang arus euforia budaya massa yang demikian kerasnya apalagi di era globalisasi ini. Istilah Islam lokal tidak mengasumsikan bahwa Islam itu banyak secara akidah atau doktrin ketuhanan, melainkan hanya

200

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

menunjukkan keragaman dalam hal ekspresi keberagamaannya semata. Secara akidah tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan hadis, akan tetapi dalam hal ekspresi keberagamaannya membawa tradisi atau kultur-kultur lokal tertentu. Artinya, nilai lokalitas sebuah agama terletak pada wilayahwilayah eksoteris (riil) sedangkan dalam ruang esoterik (ideal) te­tap menunjukkan unitas ajaran Islam yang menyembah Allah Yang Maha Esa dan menyakini wahyu serta utusan-Nya. Karena itu, dalam teologi lokal kita tidak mengenal katakata bid’ah dan khurafat dalam artian yang sering kita pahami sela­ma ini, yakni sebagai bentuk membuat hal-hal baru da­lam agama (baca: syariat). Sebab, pandangan ini sering kali men­ jebak budaya ke dalam garis alienasi. Dialektika agama dan budaya akan berjalan harmonis mana­kala kedua entitas (agama dan budaya) tersebut bersamasama berparadigma empatik, bukan dengan paradigma konflik. Agama harus menghargai setinggi-tingginya budaya lokal tem­pat ia berpijak dan sebaliknya budaya harus menghormati aga­ma sebagai entitas yang datang dari Tuhan, tetapi tidak un­ tuk memusuhi budaya itu sendiri. Mutatis mutandis budaya para aras kerangka ini, agama harus dipahami sebagai nilai mo­ ral atau kerangka nilai yang bersifat ideal (immaterial, abstrak) dan budaya merupakan sistem simbolik manusia yang bersifat riil (material, konkret). Agama sebagai sistem dan nilai moral yang bersifat ideal itu menyemayamkan dirinya ke dalam simbol budaya setempat. Keniscayaan ini disebabkan kelemahan manusia dalam menang­ kap sesuatu yang ideal dengan mata indranya. Jangankan gagasan ideal Tuhan, gagasan ideal yang ada di kepala orang saja selaku manusia tidak bisa menangkapnya, ke­ cuali diterjemahkan ke dalam bahasa manusia. Jika demikian, apa­lagi hendak menangkap pesan-pesan ideal Tuhan Yang

Lebaran Topat dan Teologi Lokal

201

Mahaluas itu tentu manusia mana pun (kecuali Nabi) tidak akan sanggup menerjemahkannya. Pandangan ini dijustifikasi sendiri oleh Al-Quran. Allah SWT memilih bahasa Arab sebagai instrumen untuk me­nyam­ pai­kan firman suci-Nya yang mana objek langsung saat itu ada­ lah orang Arab abad VII masehi. Al-Quran sendiri begitu tegas me­nyatakan bahwa wahyu itu tidak diturunkan kecuali de­ngan bahasa suatu kaum untuk ia diturunkan. Tujuannya jelas, yakni agar bisa memberikan pemahaman yang jelas bagi kaum itu (QS Yûsuf [12]: 02). Dalam kajian antropologi, bahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Atau dengan kata lain, baha­sa adalah budaya itu sendiri. Bahkan, seorang antropolog ter­ke­mu­ ka seperti de Saussure pun menganggap bahasa sebagai entitas yang menyimbolkan dan mengondisikan suatu budaya tertentu. (Hedi Shri Ahimsa Putra, Strukturalisme Claude Levi Strauss, 2001). Bahasa Arab mengondisikan budaya Arab, bahasa Jawa mengon­disikan budaya induk semangnya, dan bahasa Lombok mengon­disikan budaya Lombok, begitu seterusnya. Kita akan me­ra­sa­kan perbedaan karakter budaya Jawa dan batak dengan cukup melihat bahasanya saja. Dengan demikian, ketika Allah memilih bahasa Arab abad VII sebagai instrumen untuk menyampaikan pesan suci-Nya, saat itu pula kemaha-universalitasan pesan itu menyempit ke da­lam bahasa manusia (Arab) yang maha terbatas dan mahapartikular. Dan itu berarti, seperangkat simbol (bahasa dan budaya) yang digunakan Allah dalam menyampaikan wahyu-Nya terse­ but bukanlah pesan Tuhan secara keseluruhan. Ia adalah ba­ gian dari kemahaluasan ayat Tuhan itu, sehingga apa yang dika­ta­kan­nya secara tekstual simbolik tidak serta-merta di­tah­ bis­kan mutlak maksud Tuhan yang sesungguhnya. Di da­lam­

202

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

nya tersimpan juga budaya Arab saat itu. Bagaimanapun, ba­ hasa manusia tidak dapat menampung keluasan wahyu Tuhan. Keniscayaan itu seolah memberikan pesan bahwa pada da­sar­ nya agama dengan budaya bersifat mutual interest tidak saling hujat. Tradisi lebaran topat ataupun selakaran, nyatusan, haul, tah­lil­an dan tradisi-tradisi ritual keagamaan lainnya yang ada di Pulau Lombok tersebut telah menunjukkan hal itu sebagai bukti adanya dialektika agama dengan budaya dan bentuk ke­ bera­gaman ekspresi budaya dalam menampilkan pengalaman reli­giusitas manusia.

Deislamisasi Identitas (Catatan Pribadi)

K

onsekuensi meyakini Islam sebagai the way of life me­ mak­sa untuk merelevansikan nilai-nilainya dalam se­ tiap epos perubahan sejarah manusia. Ajarannya ha­rus me­nemukan aktualitas dalam meruang dan mewaktu. Keter­ge­ ser­an agama oleh nalar modernisme dengan sekularisasi di­ja­ di­kan Islam sebagai momentum untuk bangkit ketika modern­ isme ditemukan boroknya. Islam tiba-tiba dimunculkan se­olah memberikan jawaban atas persoalan manusia. Seluruh ma­ nusia rindu merengkuh kembali spiritualitas yang pernah hi­ lang. Rating stasiun-stasiun televisi tiba-tiba naik setelah me­na­ yang­kan program yang berbau agama. Setiap tahun jamaah haji Indonesia tidak pernah surut, sekalipun lilitan ekonomi bangsa terus melorot. Lain bilik, manusia berani membantai sesama ke­tika agamanya diusik oleh orang yang dia anggap sebagai

204

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

yang lain (the other), tapi diam seribu bahasa melihat jutaan ma­nusia tewas karena kelaparan. Islam kadung terlanjur diimani oleh para pemeluknya ti­ dak hanya sebagai agama, tetapi juga menjadi satu sistem yang menyuguhkan aturan-aturan di dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Since its origin, Islam has always been not only a religion but also a definite religio-social system with this worldly interests.  Demikian ungkap Montgomerry Watt (1961). Da­lam nalar yang demikian, Islam merupakan ajar­an yang uni­versal (kâffah), mencakup jawaban segala kom­pon­en per­soal­an manusia. Islam laiknya panacea (obat se­gala pe­nya­ kit) bagi seluruh totalitas persoalan yang dihadapi ma­nusia. Setiap ada persoalan, Islam akan menyelesaikannya. De­­mi­ kian­­lah Islam yang diyakini para pemeluknya selama ber­abadabad la­manya. Maka, muncul kemudian, ekonomi Islam, de­mo­ krasi Islam, dan Islam-Islam lainnya. Kata Islam seolah nis­­caya hadir dalam bahasa ilmu pengetahuan. Jika tidak me­nam­­pilkan Islam, sesuatu itu menjadi tidak Islami. Term Islami di­reduksi hanya sebatas simbol. Arus globalisasi yang menyeragamkan identitas pada satu sisi dan membangkitkan kontestasi identitas lokal pada sisi lain meng­giring kerinduan manusia akan identitas “azali” mereka (Amin Maalouf: 2004). Kontestasi mengandaikan adanya ke­te­gangan antar-identitas, yakni identitas dominan  vis-avis devian. Islam yang niscayanya menjadi pendamai identitas yang ber­sitegang (QS Al-Hujurât [49]: 13) justru membakukan diri­nya menjadi identitas baru. Islam tiba-tiba muncul di manamana. Perang dan pembantaian atas nama agama yang se­ha­ rus­nya jadi pendamai pun lebih parah dari perang atas nama bangsa/negara. Alih-alih akan memberikan solusi krisis iden­ titas manusia, justru saat itulah agama menjadi problem. Pem­ ba­kuan identitas menjadikan Islam mudah dibajak untuk me­

D eislamisasi  Identitas

205

lin­dungi segala kepentingan yang bukan kepentingan mulia agama. Menyemayamkan Islam (agama) menjadi identitas men­do­ rong hasrat politisasi terhadap agama. Paradigma ini secara tak sadar menggiring diagnosis salah dalam melihat konflik aga­ ma, sehingga cenderung segala kesalahan diletakkan ter­ha­dap mereka yang memolitisasi agama, tetapi luput melihat faktor yang mendorong terjadinya politisasi terhadap agama itu sen­ diri. Islam yang diendapkan menjadi identitas mengundang hasrat untuk dipolitisasi. Tidak hanya untuk akumulasi ke­kuasa­ an di dalam pemilu atau pilkada, tetapi juga untuk mengum­ pul­kan kapital. Reaksi berlebihan umat Islam terhadap alir­an seperti al-Qiyadah al-Islamiyah dan Komunitas Eden me­nun­ juk­kan betapa mudahnya Islam dimobilisasi hanya cukup de­ ngan sedikit mengusik simbol-simbol identitasnya. Karena itu, praktik politisasi terhadap Islam merupakan akibat dari mem­ per­la­ku­kan Islam sebagai sebuah identitas. Pada aras selanjutnya, pergumulan tidak hanya terjadi da­ lam Islam secara eksternal, tetapi juga menjadi masalah di da­ lam tubuh Islam sendiri. Seperti berhadap-hadapannya Islam ber­corak Arab dengan Islam yang berakulturasi dengan budaya Nu­santara. Islam yang bercorak Nusantara dengan peci dan sarung­nya digerus oleh supremasi Islam yang bercorak Arab de­ngan serban dan jubahnya, karena Islam yang pertama tidak se­suai dengan identitas Islam. Corak yang pertama diposisikan se­bagai yang salah dan menyimpang (baca: bid’ah), sementara yang kedua dianggap sebagai pemegang otentisitas Islam. Hal itu me­nunjukkan betapa Islam yang merupakan sebuah nilai moral disempitkan sebatas simbol dan identitas. Dalam ranah pengembangan ilmu pengetahuan, Islam yang meng­identitas tidak lagi menjadi produktif dalam menyumbang­ kan ilmu pengetahuan. Hampir tidak ditemukan pemikir Islam

206

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

yang menyumbang kemajuan ilmu kontemporer kecuali hanya sibuk mencari pembenaran teks atas ilmu yang sudah ada. Islam pada posisi ini hanya bergerak defensif dan pasif yang hanya memberikan stempel halal atau haram terhadap sejarah dan ilmu pengetahuan. Islam berposisi bertahan serta enggan terjun lang­sung dan bertarung dalam pergulatan ilmu pengetahuan. Inilah yang menyebabkan Islam hanya menjadi penonton bagi perkembangan pengetahuan. Bahasa teks agama dianggap me­ lampaui segalanya. Parahnya, ayat Tuhan hanya dipahami lem­ baran teks (qauliyah)  an sich, tetapi tidak dalam hamparan alam semesta ini (kauniyah). Menggumpalnya Islam sebagai identitas absolut berakar dari struktur keyakinan yang tidak mampu memilah sakralitas dan profanitas teks Al-Quran. Islam mainstream cenderung me­li­hat teks Al-Quran mutlak sepenuhnya maksud Tuhan. Ti­ dak ada ilmu dan kebenaran di luar Al-Quran. Sehingga, hasil pemahaman terhadap teks yang kemudian menjadi praktik diklaim sebagai identitas Islam yang otentik. Padahal, wahyu Tuhan yang tidak terbatas menggunakan bahasa manusia (QS Yûsuf [12]: 02) yang terbatas (QS Al-Isrâ’ [17]: 109), karenanya teks pun menjadi terbatas. Teks terbatas dan hasil pemahaman pun terbatas. Karena pemahaman terbatas, maka praktik yang di­hasilkan dari pemahaman teks tidak bisa dijadikan sebagai identitas, apalagi sebagai identitas otentik Islam.  Karena itu, Islam harus keluar dari kungkungan identitas ke­islaman yang kaku. Identitas Islam tidak tunggal, tidak stag­ nan, tidak terkatakan, dan tidak berwujud. Artinya, identitas Islam bukan bahasa atau simbol-simbol melainkan jiwa dari simbol dan bahasa tersebut. Sebagai sebuah jiwa, dia tidak meng­endap dalam satu ruang semata, melainkan berada dalam tiap-tiap ruang. Sebab, Islam itu begitu luas, sehingga tidak bisa meng­endap hanya dalam satu simbol yang kemudian dijadikan

D eislamisasi  Identitas

207

sebagai identitas. Dalam diri personal, Tuhan menyebutnya de­ ngan takwa, manusia membahasakannya dengan spiritualitas. Orang yang dianggap baik oleh Tuhan bukan orang yang ber­ serban, berjenggot, dahi hitam, atau bersarung, melainkan orang yang berjiwa mulia (baca:  takwa). Dengan demikian, se­suatu yang Islami bukan karena dia menampilkan simbolsim­bol, melainkan bersikap rahmat dan menyayangi hidup dan kehidupan. Itulah esensi Islam sebagai petunjuk manusia (hudan li al-nâs).

Identitas Bersyariat di Kampung Global (Catatan Pribadi)

P

emikir asal Belanda, Martin van Bruinessen, pernah me­­lon­­tar­­kan kegelisahannya perihal corak Islam di Indonesia. Dia me­lihat pergeseran corak gerakan Islam yang se­­makin bergeliat ke arah pemikiran-pemikiran formal. Corak Islam formal yang dahulu sekadar komunitas devian kini se­ma­kin menunjukkan potensinya menjadi kelompok dominan di Indonesia. Kenyataan itu bukan tanpa bukti. Di berbagai dae­rah, kini berlomba-lomba mengeluarkan dan menerapkan peraturan-peraturan syariat Islam seiring dengan keran oto­no­ mi daerah diterapkan. Setelah Aceh menerapkan hukum syariat, daerah pun se­ dang berjuang menyusul. Sulawesi Selatan kabarnya mulai men­desak agar bisa menerapkan hukum Islam seperti di Aceh dan melalui Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) me­mim­pikan Sulawesi Selatan menjadi “Serambi Madinah”.

I dentitas B ers y ariat di K ampung Global

209

Adanya corak formal pada pergeseran beragama di Indonesia bu­kanlah tanpa bukti. Sebagai reaksi, di Papua Barat muncul ge­rakan untuk menegakkan syariat Kristen dengan mendirikan Kota Injili yang melarang Muslimah berjilbab. Sebuah reaksi yang “wajar” di tengah gempuran formalisasi syariat Islam di ber­bagai daerah. Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan inte­gritas kebangsaan sehingga memunculkan pertanyaan besar, fenomena apakah ini? Modernisme yang ditandai dengan kemenangan rasio atas mitos telah meruntuhkan seluruh tatanan manusia yang sebe­ lumnya dimutlakkan memancarkan kebenaran. Ilmu pe­nge­ta­ huan memimpin dunia. Alat-alat teknologi pun lahir se­bagai ejawantah kemajuan rasio. Konsekuensi sejarahnya, ke­mun­ culan teknologi dengan serta-merta mengubah mindset masya­ ra­kat dunia. Perubahan mindset mendorong nilai baru mendo­ brak nila-nilai budaya lama. Munculnya mesin produksi telah meng­ubah relasi buruh dengan majikan. Revolusi teknologi infor­masi meleburkan jarak dan waktu seolah tanpa masa. Pe­ ne­trasi dan reproduksi budaya dan nilai sosial begitu cepat ter­ jadi. Syahdan, dunia yang begitu luas tiba-tiba menjadi mungil (bahasa McLuhan, Global Village). Perjumpaan masing-masing ko­mu­nitas yang dulu jauh tidak dapat dielakkan. Dalam langgam perjumpaan yang demikian beragam itu, semua komunitas mendefinisikan dirinya. Diferensiasi ada­lah efek internal dalam diri manusia/komunitas untuk mem­be­ da­kan dirinya dengan entitas di luar dirinya (the other). Sejak bayi, dia sudah diajarkan ini bapak dan itu ibu yang berbeda de­ngan kamu. Diferensiasi menjadi bagian langkah untuk men­de­finisikan diri yang belum utuh dipahami oleh subjek itu sen­diri (Mark Brecher: 2005). Begitu juga, ketika perjumpaan ko­mu­nitas yang menembus batas pada era global semua ko­mu­ nitas mendefinisikan diri masing-masing dalam realitas yang

210

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

penuh cermin ini (baca: globalisasi). Muncullah benih-be­nih konsep the other (yang lain) yang pada akhirnya nanti menge­ ras menjadi ingroup dan outgroup. Muncullah identitas yang men­jadi problem di era “dunia mungil” ini. Pada dasarnya, identitas bergerak simultan dan tidak per­ nah final (Hans Mol: 1976). Identitas terangkum dalam ber­ ba­gai materi yang acak dan beragam (Amin Maalouf: 2004). Me­na­riknya, agama ketika hadir dalam ruang demikian justru me­­ma­­hami identitas secara final sehingga mengeraskan dan me­­ma­­ten­kan identitas yang melekat dalam dirinya sebagai satusatu­nya identitas yang mutlak kebenarannya. Di tengah kontes­ tasi identitas di era global ini, pergerakan identitas agamalah yang me­narik dicermati. Kontestasi identitas agama inilah yang sering kita sebut-sebut selama ini sebagai era kebangkitan aga­ma yang menghantarkan Huntington pada tesis clash of civilization. Bukan aspek spiritualitas agama yang mencuat, me­lain­kan identitas dan formalitasnya. Semua agama (Islam, Kristen, dan Hindu) berlomba-lomba menunjukkan identitas mereka. Runtuhnya gedung WTC, tragedi berdarah di Poso & Ambon, radikalisme Hindu di India, dan deretan bom bunuh diri adalah tayangan yang memaparkan begitu mengerikannya absoluditas identitas agama. Tidak ada dalam panggung sejarah manusia yang menulis sejarah perjalanannya dengan “darah” se­dahsyat sejarah agama. Padahal, agama diciptakan untuk me­ lampaui segala sekat-sekat identitas (cross identity) yang me­ nye­kat manusia. Sakralisasi agama mematri identitas agama se­ba­gai yang absolut dan tak terjamah oleh sejarah. Identitas aga­ma tidak dilihat dalam langgam yang profan, melainkan sakral dan absolut. Identitas, yang pada dasarnya tidak pernah final, itu pun terkunci dan dianggap final. Beragama menjadi pro­blematis, karena serta-merta memaksa sekian simbol dan iden­titasnya menyingkirkan kebaradaan yang lain.

I dentitas B ers y ariat di K ampung Global

211

Sementara itu, setiap komunitas dalam ranah global ber­ gerak dengan hasrat defensif dan ekspansif. Bergerak defensif un­tuk membentengi ego agar tidak tercemar oleh the other culture sembari menyebarkan pengaruhnya secara ekspansif dan masif. Dus, logika sistem sosial pada ranah global kemudian ber­ke­lindan pada prinsip evolusi sosialnya Spencer, the survival of the fittest. Siapa yang kuat dialah yang menang. Bukan dialog dan saling pengertian yang muncul, melainkan saling mem­bi­ nasakan dan memusnahkan budaya lain. Identitas yang terping­ gir kemudian harus melawan sekuat tenaga dengan melakukan for­malisasi. Akhirnya, agama menjadi tempat persinggahan iden­titas, karena pengorbanannya mengonpensasi kebahagiaan abadi setelah mati (baca: syahid).  Fenomena di atas, serta pernyataan Martin van Bruinessen yang disebut pada awal tulisan ini, pada dasarnya meng­gam­ bar­kan sebuah show of force dari suatu komunitas untuk me­ nam­pilkan identitas mereka. Sistem kejam globalisasi yang ber­pijak pada prinsip the survival of the fittest yang menisca­ ya­kan adanya peminggiran mesti akan melahirkan aksi ba­lik. Karenanya, aksi yang menampilkan identitas terjadi sebagai bentuk reaksi atas represi peminggiran jati diri oleh ke­lom­ pok dominan yang kemudian mereka anggap sebagai  the others.  Itulah corak beragama yang sedang banyak dijumpai akhir-akhir ini. Kerasnya desakan formalisasi Islam di berbagai dae­rah merupakan cermin jati diri yang terpinggirkan oleh sistem. Begitu juga dengan hasrat masyarakat Papua Barat un­ tuk membangun Kota Injili juga reaksi atas dominasi terhadap diri kekristenan mereka. Memang, harus ada suatu pemikiran mendalam untuk meng­im­bangi kekuatan gerak agama yang mengidentitas ke se­gala lini kehidupan saat ini. Bukan untuk membunuh, me­ lain­kan mengimbangi. Bukan pula dengan cara menghujat

212

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

me­reka, melainkan diajak untuk dialog dengan cara yang ha­ lus tanpa meminggirkan jati diri mereka. Jika tidak ada upa­ ya pengimbang, gerak formal agama tersebut tidak hanya ber­ke­lindan pada lokus lokal, melainkan menggeliat ke ruang yang lebih global. Kenyataan ini dapat merobek solidaritas ke­ indonesiaan dan digantikan oleh solidaritas agama an sich. Sen­di dan ranah-ranah identitas yang dibangun berdasarkan ke­bang­saan sewaktu-waktu akan dilelehkan oleh kekuatan iden­ti­tas agama yang mengglobal, seperti beberapa indikasi yang terjadi saat ini. Syahdan, bersyariat sebagai wujud keyakinan kita di dunia yang kian menjadi mungil ini membutuhkan sebuah kearifan yang mendalam dari seluruh komunitas. Keberagaman ekspresi apa pun bentuknya adalah sebuah kekayaan yang merupakan anu­gerah Tuhan yang diberikan melalui kekuatan akal budi ma­nusia. Betapa indah jika kita beragama (baca: bersyariat) di dunia global ini di mana kontestasi masing-masing iden­ti­ tas komunitas berjalan tetapi tidak mengusik, apalagi me­ming­ girkan keberaadaan yang lain. Sangat menggugah apa yang di­ ungkapkan Hans Kung bahwa agama akan dikatakan baik dan benar sejauh agama itu manusiawi. Dengan demikian, ber­sya­ riat tidak menghilangkan dan menghancurkan, tetapi me­lin­ dungi dan memajukan kemanusiaan. Itulah hakikat dari ber­ agama atau bersyariat (maqâshid al-syarî’ah) yang sejati.

Menggugat Keidentitasan Agama (Ditulis pada 17 Desember 2006)

J

umat pekan lalu (08/12), dengan hanya dihadiri sekitar 50 anggota DPR, Rapat Paripurna mengesahkan UU Ad­ mi­nis­trasi dan Kependudukan (UU Adminduk), sekalipun pe­merin­tah belum memutuskan hasil kajiannya. Pencantuman agama, yang pada bulan April lalu sempat mencuat gagasan agar di­ha­puskan, ternyata diurungkan. Agama akhirnya tetap ha­rus tertera di dalam Kartu Tanda Penduduk (Pasal 64 ayat 2). Ber­bagai alasan muncul terkait dengan pencantuman agama di da­lam KTP. Apa pun alasannya, penting menarik garis merah bah­wa agama, dalam sebagian pandangan umatnya (di DPR), ter­nyata tetap menjadi identitas. Inilah cikal bakal kerap terjadi distorsi dan politisasi terhadap agama.  Pada dasarnya, identitas, sebagaimana diungkap Hans Mol (Identity and The Sacred: 1976), terangkum dalam bingkai yang lapuk, mudah patah, dan tidak stabil. Identitas mengandaikan

214

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

sebuah keinginan untuk merangkum nilai, sementara nilai ti­ dak bisa sepenuhnya dirangkum dalam identitas yang kon­ kret. Identitas selalu melompat dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Agama melampaui identitas, karena dia berisikan nilai-nilai Tuhan. Menjadikan agama sebatas identitas justru mem­­persempit keluasan nilai-Nya. Misalnya, kita cenderung menga­­takan orang itu Islam melalui KTP-nya saja, sementara peri­la­ku­­nya tidak mencerminkan Islam. Dus, agama dikeringkan se­batas identitas. Sebuah indikasi jawaban kejatuhan agama pa­ da abad ke-21 yang belum dipahami pemeluknya (baca: DPR). Arus globalisasi yang menyeragamkan identitas pada satu sisi dan membangkitkan kontestasi identitas lokal pada sisi lain menggiring kerinduan manusia akan identitas “azali” me­reka. Kontestasi mengandaikan adanya ketegangan antar-iden­titas, yakni identitas dominan vis-a-vis devian. Agama yang nis­ cayanya menjadi pendamai identitas yang bersitegang (QS AlHujurât [49]: 13), justru membakukan dirinya menjadi iden­titas baru. Kebangkitan agama hanya kebangkitan kulit, bukan isinya. Alih-alih akan memberikan solusi krisis identitas ma­nusia, justru saat itulah agama menjadi problem. Pembakuan men­jadi identitas menjadikan agama mudah dibajak dalam melindungi segala kepentingan yang bukan kepentingan mulia agama. Agama yang menjadi identitas mendorong hasrat politisasi ter­hadap agama. Tidak hanya untuk akumulasi kekuasaan di da­ lam pemilu atau pilkada, tetapi juga menguntungkan kapitalisme in­dustri hiburan, seperti maraknya tayangan televisi, sambutan Ramadhan, dan Idul Fitri yang memainkan simbol-simbol yang di­anggap oleh pemeluknya sebagai identitas agama. Karenanya, praktik politisasi konflik agama sebagaimana yang terjadi di Mataram, Poso, Ambon dan berbagai daerah lain pada kurun 1998-2002, merupakan akibat dari memperlakukan agama sebagai sebuah identitas. Bukan sebaliknya.

Menggugat K eidentitasan Agama

215

Karena itu, persoalan memasukkan agama di dalam KTP tidak sesederhana yang dibayangkan. Tidak hanya memunculkan dis­kriminasi terhadap kaum minoritas (Konghucu, Islam Wetu Telu di Lombok, Ahmadiyah, dan lain-lain), tetapi juga akan me­ nim­bulkan sektarianisme, eksklusivitas, dan klaim kebenaran atas tafsir agamanya. Pengotak-ngotakan berdasar agama an­ tara aku dan dia pun terjadi. “Kamu Kristen, kamu Islam, dan kamu Hindu.” Akhirnya, ketika terjadi pertikaian individu, aga­ ma begitu mudah ditarik ke persoalan kelompok. Mengusik in­ di­vidu sama dengan mengusik agamanya. Sebab, mengusik aga­ ma sama dengan mengusik identitas diri penganutnya.

Melampaui Identitas Identitas agama tidak tunggal, tidak stagnan, tidak terkatakan, dan tidak berwujud. Artinya, identitas agama bukan bahasa atau simbol-simbol melainkan jiwa dari simbol dan bahasa ter­ se­but. Sebagai sebuah jiwa, dia tidak mengendap dalam satu ruang semata, melainkan berada dalam tiap-tiap ruang. Sebab, agama itu begitu luas, sehingga tidak bisa mengendap hanya dalam satu simbol yang kemudian dijadikan sebagai identitas. Apa­lagi identitas itu diendapkan di dalam KTP yang tentunya mem­bawa dampak sosial yang cukup tinggi. Tidak mencantumkan agama di dalam KTP tidak berarti kita mengambil jalan sekuler apalagi menarik agama menjadi ra­nah privat. Melainkan, hendak membawa agama ke peran yang se­­sungguhnya. Yakni, agama sebagai rahmat dan penyatu segala ben­tuk identitas primordial manusia (ras, suku, bahasa) yang meng­halanginya untuk berbagi bersama. Bukan lantas men­jadi­kan agama sebagai identitas baru. Orang yang dianggap baik oleh Tuhan bukan orang yang ber­serban, cantik, hitam, atapun putih, melainkan orang yang ber­jiwa mulia. Dengan demikian, sesuatu yang agamis bukan

216

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

ka­rena dia menampilkan simbol-simbol tertentu yang dianggap se­ba­gai identitas agama. Apalagi hanya dituangkan di dalam KTP yang tentunya akan banyak diskriminasi. Itulah esensi aga­ma sebagai petunjuk manusia (hudan li al-nâs). Wallâhu A’lam.

Fatwa Hati (Bernas, 31 Januari 2003)

S

uatu ketika, sahabat Wabishah datang menghadap kepada baginda Rasulullah SAW. Akan tetapi, sebelum be­liau mengutarakan maksud hati kedatangannya itu, Rasulullah mendahului bertanya: “Engkau datang untuk mena­ nya­kan tentang kebaikan?” “Ya”, jawab sahabat Wabishah. Ke­ mu­di­an, Rasulullah bersabda, “Mintalah fatwa kepada hati. Ke­baik­an itu menenangkan jiwa dan hati, sedangkan dosa me­re­sah­kan jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam hati” (HR Imam Ahmad). Ketika manusia tercipta, Allah SWT telah menganugerahkan hati kepadanya. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu­mu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia mem­berikan kamu pendengaran, pengelihatan, dan hati, agar kamu bersyukur (QS Al-Nahl [16]:78).

218

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

Hati bagi manusia bagaikan lentera yang siap menuntun lang­kah manusia dalam menyusuri lika-liku hidupnya yang selalu diintai oleh tipu daya dunia. Gerak langkah setiap insan sangat ditentukan oleh kekuatan hati. Karena itu, segala wujud tingkah laku senantiasa berhu­ bung­an dengan hati. Hati yang gundah, gelisah, atau sakit akan tercermin dalam tingkah laku yang tidak sesuai dengan mo­ ralitas. Sebaliknya, hati yang baik dan terpelihara akan se­nan­ tiasa memancarkan budi pekerti yang baik pula. Pada era yang penuh ketidakpastian ini, manusia kerap kali mengabaikan peringatan-peringatan yang disuarakan hati. Hati tidak pernah diajak berdialog dalam menyelesaikan ma­ sa­lah ataupun untuk sekadar menimbang tindakan yang akan di­lakukannya. Manusia lebih cenderung berdialog dengan hawa nafsunya. Sehingga, tindakan-tindakan yang diambilnya sering tidak sejalan dengan suara hati terdalamnya. Suara hati menjadi bisu dan telinga jiwa menjadi tuli ka­ rena dominannya nafsu-nafsu ketamakan tersebut merasuki se­ lu­ruh jasad dan jiwa manusia. Kebaikan tidak lagi diukur sebe­ rapa besar hati menerima, melainkan seberapa besar uang dan ke­kuasaan yang didapat. Hasrat terhadap uang dan kekuasaan telah memadamkan cahaya lentera hati yang bersemayam dalam dada, seolah uang adalah segala-galanya. Mungkin inilah, yang disebut oleh Rasul sebagai, tanda dari akhir zaman: “Kelak di akhir zaman ma­ nusia tidak akan lepas dari kekuatan pengaruh dirham, se­ orang baik dalam urusan agama maupun dunianya (AlThabari dalam al-Kabîr). Sahabat Al-Nuwan bin Sam’an bertanya kepada Nabi me­ ngenai kebaikan (al-Birr) dan dosa (al-Itsmu). Rasul menjawab: “Ke­baikan itu keluhuran budi pekerti dan dosa itu adalah se­

Fatwa Hati

219

suatu yang mengguncangkan hatimu dan engkau tidak senang hal itu diketahui orang lain” (HR Muslim). Suatu tindakan yang mendatangkan ketenangan dalam hati dan jiwa adalah kebaikan (al-Birr). Iman adalah sesuatu yang baik dan mulia, karena itu, ia mendatangkan ketenangan hati (al-imân tathmain al-qulûb). Sebaliknya, mencuri, mengambil hak orang lain, dan membunuh merupakan tindakan yang men­ da­tangkan kerisauan dan kegoncangan hati bagi pelakunya. Karena itu, ia termasuk perbuatan tercela dan dosa. Hati akan berfungsi secara maksimal sebagai penuntun da­ lam hidup ini manakala fatwa-fatwanya selalu didengar. Ten­ tu­nya untuk mendengarkan fatwa-fatwa hati tidak segampang mem­balikkan telapak tangan. Dalam proses ini, dibutuhkan per­juangan yang kuat (jihâd al-akbar) dan kesabaran hati yang kokoh. Dikatakan sebagai jihad akbar, karena untuk mendengar fatwa-fatwa hati, seseorang harus mampu melepas keter­kung­ kung­an jiwanya oleh nafsu-nafsu tamak dan ingin menguasai. Se­mentara itu, melawan hawa nafsu adalah salah satu jihad yang paling besar dan berat. Sebab itu, perbuatan ini adalah iba­dah yang sangat mulia. Karena, “Ibadah yang paling mulia adalah ibadah yang paling berat dalam pelaksanaannya,” sabda Nabi Muhammad SAW. Hanya ada satu upaya untuk menjadikan hati agar ia bisa menjadi penurun dan pembimbing langkah kita dalam meng­ hadapi gemerlapnya dunia, yakni dengan menjaga hati ini dari noda dan agar tidak tercemari olehnya. Jagalah hati, jangan kau nodai. Jagalah hati, cahaya hidup ini. Wallâhu A'lam.

Jihad Memelihara Kejujuran (Bernas, 2 Januari 2004)

Sahabat Ma’qil r.a. pernah berkata: saya akan menceritakan kepada engkau hadis yang saya dengar dari Rasulullah SAW, dan saya mendengar beliau bersabda: “Seseorang yang telah ditu­gaskan Tuhan akan memerintahi rakyat kalau tidak me­ mimpin rakyat dengan jujur, niscaya dia tidak akan mem­ peroleh bau surga.” (HR Bukhari)

B

erkata benar dengan bersandar pada bisikan kejujuran hati nurani itulah kejujuran yang paling hakiki dalam hidup ini. Sebab, ketika perkataan tidak bersandar pada apa yang diungkapkan hati nurani berpotensi untuk selalu ingkar dan berkhianat. Kejujuran menjadi penting dalam hidup sebagai pengontrol lang­kah manusia, karena bersandar pada suara dan bisikan

J ihad Memelihara Kejujuran

221

kebenaran nurani. Apa pun yang kita pikul dalam menjalankan aktivitas di dunia ini, kejujuran adalah tiket utama yang harus melekat menjadi sifat kita semua, terutama dalam menjalankan ama­nah sebagai pemimpin manusia. Sehingga, kejujuran me­ru­ pakan tolok ukur apakah pemimpin itu baik atau buruk. Dalam konteks Indonesia, kejujuran itu sangat langka—un­ tuk mengatakan tidak sama sekali—kita temukan melekat dalam jati diri para pemimpin bangsa. Kejujuran itu telah tergadaikan oleh seonggok berhala yang bernama uang. Ketidakberdayaan bangsa ini untuk melepaskan diri dari ke­ter­purukan krisis multidimensi adalah bukti itu semua. Kita se­mua belum bisa memelihara kejujuran itu. Yakni, kejujuran pada diri sendiri dan kejujuran kepada Tuhan untuk mengatakan bahwa “Hal itu salah dan karenanya harus saya tinggalkan.” Kejujuran pada diri sendiri hanya bersandar dari hati nurani. Dan, hati nurani itu akan terdengar manakala keta­mak­ an terhadap materi, kehormatan, dan prestise duniawi dile­nyap­ kan dari pikiran manusia. Tentu dilakukan dengan perjuangan yang tidak gampang. Mendengar hati nurani perlu hati yang su­ ci dan rendah diri. Dikatakan sebagai perkara yang sulit, karena berkata jujur yang selaras dengan kebenaran nurani membutuhkan ke­sa­ baran. Berkata jujur berarti kita mengatakan kebenaran, se­ dang­kan mengatakan kebenaran adalah suatu hal yang sulit. Rasulullah sendiri pernah menasihati umatnya agar berkata benar sekalipun itu sangat menyakitkan (qul-al haqqa walau kâna murrân). Menjadi insan jujur terutama dalam jeratan lingkaran setan ke­mu­nafikan akan sangat menyiksa diri kita. Ia membutuhkan peng­obanan dan perjuangan yang ekstra keras. Apalagi jika ke­ mu­nafikan itu telah tersistematisasi dan masuk sebagai bagian ke­kuatan struktur.

222

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

Banyak sekali orang yang berjuang menjaga kejujurannya, di te­ngah ruang yang menganggap kebohongan dan kemunafikan se­bagai sebuah tren, terpelanting dan diasingkan. Akhirnya, uang menjadi sulit jika tidak melakukan kebohongan (korupsi, ko­lusi). Itu­lah kekuatan lingkaran setan kemunafikan yang ter­sis­tem­a­tisasi, karena kekuatan struktur menjadi alat untuk men­dong­kel orang-orang yang jujur. Karena itulah, kejujuran adalah suatu hal yang sangat mu­ dah diucapkan tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan. Modal uta­ma untuk melawan lingkaran setan kebohongan itu adalah ber­juang untuk mengungkapkan kebenaran secara jujur. Jika usa­ha itu salah, katakan itu salah dan jika itu benar, katakan benar. Dan hal itu yang sering dicontohkan Rasulullah kepada kita. Dalam sebuah hadis yang datangnya dari Ibnu Mas’ud r.a., dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Se­ sungguhnya kejujuran itu membawa kebaikan, dan kebaikan itu membawa kepada surga. Dan sesungguhnya orang yang ber­kata benar akan dicacat oleh Allah sebagai shiddiq (orang yang jujur). Sedangkan kebohongan membawa keburukan, dan ke­burukan itu akan membawa ke neraka. Dan sesungguhnya orang yang berlaku bohong akan dicacat oleh Allah sebagai pen­dusta” (HR Bukhari). Berlaku jujur untuk mengatakan sebuah kebenaran dalam mengemban amanah bukan hanya mendengar ganjaran pahala besar oleh Allah, melainkan akan menjaga fondasi kehidupan kita dari kehancuran. Jika kejujuran sudah diabaikan, kebo­ hong­an menjadi kebiasaan, harta menjadi pujaan dan hati tidak mampu untuk sekadar mengatakan kebenaran, maka kehan­cur­ an tatanan hidup hanya menunggu hitungan detik. Kesulitan untuk berlaku jujur bukan sebuah alasan un­tuk melegalkan kebohongan. Kesulitan itulah yang akan me­num­

J ihad Memelihara Kejujuran

223

puk­kan kebaikan dalam diri kita. Ibadah yang paling disukai dan utama di hadapan Tuhan adalah ibadah yang paling sulit di­ker­jakan. Berlaku dan berkata jujur berarti kita telah sukses mem­bunuh hawa nafsu, sedangkan melawan hawa nafsu adalah jihad yang paling berat dan paling disukai Allah. Karena itu, sudah saatnya kita semua berjuang sekuat te­ naga (jihad) untuk memelihara kejujuran kita, karena kejujuran ada­lah lentera dan hiasan kepribadian. Tanpa kejujuran, tam­ pak­nya mengharapkan kemajuan adalah misi yang mustahil. Wallâhu A’lam.

Kasih Sayang (Bernas, 14 Maret 2003)

K

asih dan benci adalah dua kata yang selalu berupaya menga­lah­kan satu sama lain. Ia saling menghancurkan dan sa­ling mendominasi. Keduanya ibarat air dan mi­ nyak, tidak akan pernah menyatu sampai kapan pun. Karena masing-masing dari keduanya memiliki sifat yang berlawanan se­perti arus perlawanan antara kutub selatan dan kutu utara mag­netik. Rasa kasih sayang dan bara kebencian adalah sifat yang di­be­rikan Tuhan kepada setiap jasad yang berjiwa. Di dalam Al-Quran, Allah menyebutnya dengan takwa dan fujur. Takwa ada­lah simbol kasih sayang, cinta dan rindu. Sedangkan fujur ada­lah perwakilan rasa benci, ketamakan, kesombongan dan se­je­nisnya. Maka Allah mengilhami jiwa itu (sifat) kefasikan dan ketakwaannya (QS Al-Syams [91]: 8).

Kasih Sayang

225

Dua sifat itu adalah dua sifat yang selalu ada dalam jiwa ma­nusia dan saling mengalahkan dan mendominasi. Jika fujur mengalahkan ketakwaan, perbuatan pun akan jauh dari pancaran mutiara cinta dan kasih. Namun, bila takwa mendominasi jiwa seluruh raga pun tersenyum dan akan senantiasa menghampiri setiap makhluk dengan pancaran kasihnya. Sebab itu, Allah SWT berfirman, Sesungguhnya berun­tung­ lah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya me­ ru­gilah orang yang mengotorinya (QS Al-Syams [91]: 9-10). Ketakwaan merupakan lambang kesucian dan ke-fujur-an adalah simbol kekotoran jiwa. Ketakwaan diperoleh me­lalui usaha yang berat. Ia bisa hadir manakala diri ini bisa men­ cintai Tuhan dengan segenap jiwa. Kecintaan pada Tuhan itu kemudian memancarkan bias kasih yang amat terang pada se­ tiap jiwa, yang mana bias kasih itu dapat dirasakan oleh jiwajiwa yang berada di sekelilinginya, dalam sikap derma dan kasih sayangnya pada sesama. Kasih sayang kepada makhluk adalah bukti bahwa se­se­ orang cinta kepada Allah. Orang yang menyatakan diri ber­iman dan cinta pada Tuhan, tidak boleh tidak, dia pun akan men­ cintai dan mengasihi segala ciptaan-Nya di bumi ini. Ibarat ke­cintaan seorang kepada kekasihnya, apa pun yang dimiliki ke­kasihnya akan ia sayangi sebagaimana kebesaran cintanya ke­pada kekasihnya itu. Demikian pula perumpamaan orang yang menyatakan diri ber­iman dan cinta kepada Allah SWT, niscaya segala ciptaannya akan disapa dengan belaian kasih sayang yang lembut. Inilah yang disebut Allah sebagai orang yang beruntung, yakni orangorang yang mampu menyucikan jiwanya dari benda-benda kotor, kebencian, dendam, tamak, hasut, dan lain-lain. Orang yang mengaku dirinya beriman dan mencintai Allah, na­mun belum bisa mencintai sesamanya, tidaklah dikatakan

226

A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LOB A LI SA SI

sebagai orang yang beriman dan cinta kepada Allah. Apalagi jika ia sering menyakiti dan menusuk hati sesama saudaranya (se­iman) sendiri. Nabi pernah mengatakan bahwa seseorang tidak dikatakan sebagai orang yang beriman jika ia masih belum bisa menyayangi saudaranya sendiri sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Pada hakikatnya, kasih sayang dalam jiwa ini adalah per­ cikan sinar cinta Allah SWT, Yang Mahaluas nan Suci. Kasih sayang-Nya menyinari semua jiwa. Dengan belaian kasih Tuhan itulah, jiwa-jiwa menjadi betah bersemayam dalam jasad hingga ia hidup dalam kedamaian kasih-Nya. Muhammd Iqbal, dalam sajak puisinya, mengibaratkan ka­ sih Tuhan seperti matahari yang mana seluruh jiwa yang ada di bumi ini mengais sinar kasih itu kepada-Nya. Oh Tuhan… engkaulah matahari di mana bintang-bintang jiwa mem­ peroleh sinarnya. Rasulullah pernah berpesan, “Sayangilah apa-apa yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit juga menyayangimu.” Jika kita ingin dicintai dan mencintai Tuhan, hampirilah se­sa­ma­mu dengan kasih sayang, sapalah orang yang tak ber­ daya dengan kelembutan hatimu, bantulah mereka dalam me­ ri­ngan­kan susahnya kehidupan yang mereka hadapi dengan ulur­an tanganmu. Dan janganlah engkau biarkan hati busukmu (bakhil, tamak, angkuh) memadamkan lentera kasih sayang yang menerangi jiwamu itu. Jika itu telah kau lakukan, niscaya Allah SWT beserta malaikat-malaikat yang ada di langit akan menyayangi sebagai­ ma­na engkau menyayangi mereka. Kira-kira demikian siratan sabda Rasulullah kepada kita semua. Di lain kesempatan, Nabi Muhammad SAW juga pernah ber­pesan kepada istri beliau Aisyah r.a., “Wahai Aisyah, de­kati­

Kasih Sayang

227

lah orang-orang miskin, cintailah mereka, niscaya Allah akan dekat dengan kamu.” Karenanya, kinilah saatnya kita mencintai sesama sebagai bukti kecintaan kita kepada Tuhan. Kasih sayang sejati adalah ka­sih sayang yang tidak memiliki batas, melainkan amat luas yak­ni seluas kasih Tuhan yang dicurahkan-Nya kepada seluruh makh­luk, begitu jualah kasih sayang yang seharusnya kita miliki. Lupakanlah kulit-kulit luar yang membungkus masingmasing jiwa (perbedaan) yang dapat menghalangi hati ini untuk memberikan kasih sayang kepada mereka. Karena ia dapat memberikan sebuah ruang dan peluang kepada sifat fujur untuk menguasai jiwa dan raga ini, sehingga iman dan cinta kita kepada Allah tidak sampai ke haribaan-Nya, nau’udzu billâhi min dzâlik (semoga kita dihindarkan oleh Allah dari semua itu). Sekadar bahan perenungan, Tuhan tidak dahaga akan pu­ jian hamba-Nya, namun Tuhan “dahaga” menyaksikan hambaNya mencurahkan cinta kasihnya kepada sesama. Wallâhu A’lam.

Lihat lebih banyak...

Comentarios

Copyright © 2017 DATOSPDF Inc.